Ira menatap sepasang mata indah pria tersebut, bulu mata lentik, rahang yang tegas, di tambah rambut yang tertata, sangat serasi di padukan dengan tubuh gagah dirinya.
"Dia!" batin Ira terkejut.
Pria itu hendak duduk di bangku, namun tanpa sengaja pandangan mata indahnya bertemu dengan seorang gadis di sana, tanpa di sadari, saat ini mereka saling beradu tatapan.
"Um...."
Ira langsung membuang muka ke sembarang arah, sambil berdecak memaki dirinya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan Ira!"
Pria itu langsung duduk setelah melihat Ira membuang muka. Dia melepas jaket yang di kenakannya seraya merapikan rambut yang terkena percikan hujan.
"Ira, ini tehnya," ucap Mas Edo.
Tanpa banyak bicara, Ira langsung mendekat mengambil barang yang dia inginkan. Dia merogoh saku celana dan langsung memberikan uang kepada si penjual. Tiba-tiba suara decing logam terdengar menggelinding, jatuh dari genggamannya.
"Sial!" pekik Ira dalam hati.
Ira berniat membawa koin yang terjatuh, namun jantungnya kini tidak bisa di kondisikan lagi, berdegup kencang dan terus semakin kencang.
"Bisa, aku pasti bisa!"
Setelah mengumpulkan keberanian, dia berbalik menghadap pria tadi, koin itu berada tepat di dekatnya, tak ada jalan lain, Ira mencoba memberanikan diri.
"Ini!"
Deg!
Suara itu menggema di telinganya, koin yang dia cari, berada di tangan pria yang sedang mengajaknya bicara saat ini, seketika untuk bernafas saja terasa sulit, oksigen di sekitar terasa menghilang, sesak tidak bisa dia tahan lagi sekarang.
Ira langsung mengambil koin itu dengan gugup, kemudian segera memberikan kepada Mas Edo yang telah menunggu.
"Hais!"
Dia berlari terbirit-birit, jantung berdegup sangat cepat, wajahnya sudah seperti kepiting rebus, merah merona.
Bak!
Pintu kamar dia lempar dengan keras hingga menghasilkan suara yang menggelegar.
"Ira, ada apa?" tanya Ibu panik, dari luar kamar.
"Ga ada apa-apa Bu, Cuma ke banting!" jawab Ira sambil tersenyum girang tak karuan.
"Tadi benar-benar dia kan? Akh! Aku tidak tahan lagi, aku benar-benar ingin memilikinya," dalam batin menjerit girang.
Gadis itu terbaring di ranjang sambil menggulingkan badan tak tentu arah.
Tok...tok...
"Ira, ada yang mencarimu!" teriak Ayah dari luar.
Dalam kebahagiaan yang meluap ini, Ira tersadarkan, dan langsung menghampiri Sang Ayah.
"Siapa?"
"Tidak tahu, Dia sedang menunggu di luar," jelas Ayah.
Tak...tak...
Ira segera melangkah keluar.
"Ira!" Ucap seorang anak laki-laki di sana..
"Kamu?"
"Iya ini aku, si tampan pemberani pangeranmu," puji Adri membanggakan diri.
Adri adalah teman masa kecil Ira, dia satu-satunya teman yang Ira miliki, namun karena orang tuanya berpisah, mengharuskan dia pergi meninggalkan tempat ini.
"Sayangnya walaupun kau tampan, aku tidak bisa menjadikanmu pacar," gurau Ira.
"Semakin kau menolak semakin aku ingin memilikimu," jawab Adri dengan nada menggoda.
Melihat ekspresi Adri, Ira menahan tawa, namun semakin dia tahan, malah semakin susah untuk mengendalikan diri.
"Haha...aku ingin sekali melempar wajahmu sekarang." Ira terbahak-bahak setelah mendengar balasan Adri.
"Aku harap kau tidak melakukannya," jawab Adri dengan nada khawatir.
"Ha...ha...aku tidak tahan lagi." Ira menekan perutnya tak kuat menahan tawa.
Melihat Ira tertawa terbahak-bahak, Adri menampakkan senyum tipisnya.
"Dia masih Ira yang dulu," batin Adri.
...
DI SEBUAH RUMAH...
Seorang pria gagah menjatuhkan helai demi helai kain yang menempel di tubuhnya. Air hangat yang mengguyur berhasil menyegarkan tubuh yang terasa berat ini.
Setelah membersihkan tubuh, dia mengambil laptop, matanya fokus memeriksa setiap tugas para murid yang telah di kirimkan kepadanya.
Tiba-tiba hal menarik dia temukan dari puluhan dokumen yang datang. Di sana terlihat jelas kalimat " Pak Lingga aku mencintaimu," tulis seorang siswa. Dia tersenyum tipis setelah melihat dokumen itu.
"Dasar, anak-anak," ucap Lingga menggelengkan kepala.
Setelah membereskan pekerjaannya, dia menoleh ke arah dawai di atas meja yang berdering, segera dia ambil menjawab panggilan seseorang.
"Ada apa pak?"
"Pak Lingga, di RT 02 akan di adakan penyuluhan untuk masyarakat yang berpencaharian pedagang, setahu saya Pak Lingga adalah orang yang mengerti akan hal seperti ini, maka dari itu saya selaku RT mengundang anda mendatangi acara kami dan memberikan sedikit ilmunya kepada masyarakat di sini," jelas Pak Amar.
"Akan saya usahakan, jika tidak bertabrakan dengan acara lain," jawab Lingga.
"Saya sangat berharap Pak Lingga bisa hadir di acara kecil ini, sebelumnya saya mohon maaf telah mengganggu waktu Pak Lingga yang padat."
"Tidak apa-apa, tidak perlu sungkan, saya akan usahakan untuk datang."
"Kalau begitu terima kasih Pak, assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Percakapan singkat tadi, mengingatkan akan suatu hal, namun segera dia lupakan hal itu, tak ingin mengingat hal yang ingin dia lupakan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, setiap barang yang tergeletak di ranjang dia bereskan, tak lupa dia menyeduh secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh di kala hujan seperti ini, kemudian melangkah menuju jendela di kamarnya menikmati udara sejuk dari luar.
"Ayah, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Lingga pada dirinya sendiri seraya menggoyangkan secangkir kopi.
Dia lihat dawai di atas meja sana, tidak pernah sekalipun mendapat panggilan dari Sang Ayah. Setiap hari yang dia rindukan hanyalah keluarga, namun apalah daya, sekarang belum waktunya untuk kembali.
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,