Share

Part 4 Awal mula

Beberapa minggu yang lalu...

Saat pertama kali melihatnya, jantungku tak henti berdebar, terlebih lagi ketika pria itu tersenyum, diriku hilang kendali bersama senyumnya. Setiap kali dia melintas di hadapanku, seolah inilah wujud jiwaku yang hilang dan muncul kembali bersamanya. Aku sadar, sebagai wanita tidak memiliki standar kecantikan di atas rata-rata, namun pendirianku tak akan pernah berubah, walaupun perbedaan usia di antara kita cukup jauh, hal itu tidak akan menggoyahkanku untuk menggapainya dalam genggamanku.

...

Di balik jendela kamar, Ira melihat seseorang melintas di hadapan rumahnya dengan ransel menggantung di punggung pria tersebut.

"Haha...aku sangat menyukainya," cetus Ira dari balik jendela.

 Ira tersenyum girang melihat pria yang dia idam-idamkan selama ini, melintas di depan rumahnya.

Dia berjalan menuju dapur setelah melihat kejadian singkat yang berhasil membuat jantungnya seketika berdebar, tak lupa senyum di wajahnya belum terhapus hingga saat ini.

"Hmm... senyam-senyum," ledek Ibu tengah memasak, menoleh ke arah Ira sekilas.

"Hehe... Ibu masak apa?" jawab Ira malu-malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kasmaran ni?," ledek Ibu.

"Enggak Bu...Aku mau makan saja," jawab Ira seraya mengambil piring beserta nasi dan lauk pauknya.

"Nih!"

Ibu meletakan sayuran di atas piring Ira, masakan panas, langsung dari wajan.

"Ibu...kebanyakan!," rengek Ira.

"Sudah makan saja, biar cepat tinggi, kamu harus banyak makan sayur Ira."

"Gak enak Bu!" rengek Ira.

"Kamu sudah remaja, makan sayur sangat penting untuk kesehatanmu, nanti yang repot juga siapa, Kalau penyakit datang gara-gara kamu enggak makan sayur, bla bla....." jelas Ibu.

Tak ingin mendengar ocehan tak berguna, Ira segera menyela.

"Iya-iya, aku makan," jawab Ira dengan wajah masamnya.

Dia berjalan menuju kamar seraya menatap kembali jalanan yang di lalui pria tadi.

"15:00, aku akan menunggunya," ucap Ira dengan senyum khasnya.

...

Waktu menunjukkan Pukul 06:30, Ira segera bersiap dengan perlengkapan yang akan di bawanya menuju sekolah.

"Ibu! Aku berangkat dulu!" teriak Ira seraya memakai sepatu dengan cepat, dia segera berlari menuju ke sekolah.

"Ira, ini ketinggalan!" Teriak Ibu, berlari keluar mengejar Ira, namun gadis itu berlari bagai kilat, hingga tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

"Huh! Anak itu," ucap Ibu sambil menghela nafas.

***

Hari terasa panas setiap harinya, di caci karena miskin bukanlah hal yang menyakitkan lagi aku rasakan. Sudah tahu aku miskin, sangat lucu bukan jika mereka terus mengatakan aku miskin? Aku tak butuh di sadarkan oleh kalian, aku juga tak butuh kasihani kalian, aku sadar bagaimana keadaanku sekarang, tapi terima kasih atas pengertian kalian semua, kalian sudah repot-repot menyediakan waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk memikirkanku.

Dia berjalan menyusuri gang kecil di pesisir kota, bau pembuangan sangat menusuk hidung hingga dia menahan nafas sekejap, bau tak sedap memang tak mengenakan, namun inilah yang menjadi ciri khas kawasan kumuh ini.

"Harus cepat," batin Ira mulai mempercepat lajunya.

...

Sesampainya di rumah, dia membaringkan tubuh di atas ranjang, sesaat dia merasakan tubuh yang lelah ini perlahan mulai merasakan titik kenyamanannya, perlahan kantuk mulai menjalar, namun tiba-tiba dia teringat akan suatu hal.

"14:45," gumam Ira seraya menatap jarum jam di kamarnya.

Waktu terasa begitu lambat, andai saja waktu bisa berputar lebih cepat.

"Sebentar lagi."

Dia terkekeh kecil menunggu saatnya tiba, namun terlihat di luar sana hari semakin gelap, membuat Ira merasa sedikit khawatir.

"Ira, jemuran!" teriak Ibu.

Heira attalia , itulah namaku, si manja Alva Rendra itulah adikku, hidup satu keluarga di gubuk ini memang tidak begitu menyenangkan, keributan sering terjadi di kala hujan datang, bocor di mana-mana hingga tak bisa tidur semalaman sudah biasa aku rasakan.

Ira segera keluar memenuhi panggilan Sang Ibu.

"Mendung." Ira menatap langit yang mulai menghitam.

"Apakah dia akan lewat kesini?," batinnya, seraya mengambil satu persatu pakaian dari atas tali.

Stt...

Pria itu melintas tepat di hadapannya, berlari dengan gagah dan memesona, itulah yang ada di pikiran Ira sekarang.

"Pangeranku."

Ira seketika terpana melihat pria berjaket hitam melintas di hadapannya. Perlahan hujan turun, dia masih dalam posisinya melihat pria itu hingga tak terlihat lagi punggung gagahnya .

"Ira!" Teriak Ibu.

"Iya Bu, sebentar!" jawab Ira seraya membawa pakaian yang baru dia ambil ke dalam rumahnya.

Tiba di dalam rumah, adik satu-satunya tengah bermain game di kursi rumah tanpa menghiraukan Sang Kakak yang kerepotan membawa pakaian.

"Woy!" teriak Ira.

"Apa?" jawab Alva tanpa melirik Sang Kakak, hanya fokus pada game nya.

"Nih! Bawa ke kamar," perintah Ira sambil melemparkan sekeranjang pakaian.

"Kakak saja yang bawa," jawab Alva ketus.

"Cepat bawa!" perintah Ira, kemudian pergi.

"Ibu! Liat Kakak enggak mau di suruh," keluh Alva, namun tak ada yang mendengarnya.

Tak mendapat respon dari siapa pun, dengan terpaksa dia membawa keranjang pakaian tersebut ke dalam kamar.

"Huh! sudahlah."

...

Seorang gadis SMA masih setia terbaring menatap jalanan kecil di depan sana dari dalam kamar. Hujan deras perlahan mulai mereda, suasana terasa begitu sejuk di sertai suara angin yang berhembus pelan, menambah kenyamanan dalam ruangan sempit ini.

"Dingin," ucap Ira.

Dia melangkah kan kaki menuju dapur, berharap ada apa saja yang bisa mencairkan tubuh yang terasa membeku ini.

Tak...tak...

Dia mengambil gelas seraya menumpahkan air mendidih di atasnya.

"Ada yang kurang," ucap Ira.

Dia menggeledah setiap tempat, berharap apa yang ada di pikirannya berubah dalam bentuk nyata. Alhasil setelah sekian menit mencari, dia tak menemukan apa pun.

"Bu! Teh di mana?" teriak Ira dari dapur.

"Beli saja, teh habis sama Alva kemarin!" teriak Ibu entah dari mana.

Ira merogoh saku celananya, dia lihat tiga butir koin bertuliskan lima ratus di tangannya.

"Cukup."

Ira segera melangkah menuju ke luar, meninggalkan segelas air tergeletak begitu saja di dapur.

...

DI WARUNG...

"Mas, teh satu," ucap Ira.

"Tunggu sebentar," jawab Mas Edo.

Ira merapikan sedikit rambut yang terkena percikan hujan, berlari bagai kilat adalah solusinya saat pergi ke tempat ini. Sesaat dia lihat bangku di warung ini, bersih dan kosong, dia langsung duduk menunggu mas Edo menyiapkan barangnya.

Stt...

"Mas, kopi satu di seduh."

Seketika Ira menatap asal suara menggema itu, sambil berusaha melihat wajahnya dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status