DI ACARA PENYULUHAN RT 02...
Sekumpulan warga telah berkumpul di sini, Pak RT beserta jajarannya sudah bersiap di tempatnya masing-masing, tak lupa Ira yang masih sekolah juga di libatkan dalam hal ini.
"Ira tolong ambilkan minum untuk para tamu," perintah Pak Amar.
"Baik Pak, sebentar," jawab Ira kemudian pergi.
Warga yang datang cukup banyak hingga memenuhi ruangan yang terbilang cukup luas ini. Beberapa orang tua juga membawa buah hati mereka menuju tempat ini.
Acara akan di mulai, semua sudah siap di posisinya, namun Lingga tidak terlihat menampakkan batang hidungnya menghadiri acara ini.
"Bagaimana, apakah harus kita mulai sekarang?" ucap Agra.
"Mulai saja, kita tidak tahu dia akan datang atau tidak," jelas Pak Amar.
Agra menyalakan mikrofon dan mulai mengucapkan kata.
"Assalamualaikum WR. WB...."
Tok...tok...
"Maaf, apakah saya boleh masuk?" ucap Lingga dengan nada tak beraturan. Keringat terlihat mengalir dari pelipisnya.
"Pak Lingga silakan masuk," ucap Agra mempersilahkan.
"Terima kasih."
"Kami sangat berterima kasih kepada tamu undangan yang berkenan hadir, kalau begitu kita mulai saja...." lanjut Agra, sebagai pembawa acara.
...
Setelah beberapa menit, giliran Ira menjalankan tugasnya.
"Ra, tolong bawa ini ke depan sana," perintah Ibu Nina seraya memberikan sebuah nampan yang berisi berbagai jenis makanan ringan.
"Baik Bu," jawab Ira seraya mengambil nampan tersebut kemudian pergi.
Di ruangan yang padat ini, dia melangkah menuntaskan tugasnya. Satu persatu hidangan dia sajikan untuk sekedar membasahi mulut para tamu undangan.
Stt...
"Eh..."
Seketika Ira menghentikan kegiatannya, dia menatap sepasang mata indah di hadapannya dengan gugup, terlihat senyum tipis di sudut bibirnya.
"Ini benar-benar nyata kan?" batin Ira otomatis menunduk.
Dengan cepat dia menyelesaikan tugasnya, ingin sekali dia menjerit sekencang mungkin saat ini. Sesering apa pun bertemu dengannya tetap saja jantung ini selalu bereaksi sama, berdebar semakin kuat.
"Ira!" panggil Ibu Nina.
Ira melintas begitu saja di hadapan Bu Nina, pikirannya masih terfokus pada kejadian beberapa saat lalu.
"RA!"
Dia seketika menoleh setelah mendapat tepukan di bahunya.
"Eh, iya ada apa Bu?" jawab Ira baru tersadar.
"Hmm...kamu sakit?"
"Enggak Bu, aku sehat-sehat saja," jawab Ira dengan wajah polosnya.
"Kamu pulang saja, semuanya sudah beres," perintah Ibu Nina khawatir.
"Hmm...bolehkah aku di sini sebentar lagi?" Pinta Ira.
"Kamu benar-benar tidak apa-apa?"
"Aku sehat kok, tuh sehatkan!" Ira melompat-lompat menandakan dia baik-baik saja.
"Iya-iya Ibu percaya... kamu duduk saja di sana, kalau lapar ambil saja makanan ini, ini makanan sisa, jadi makan saja," jelas Ibu Nina seraya menunjukkan sebuah tempat sisa makanan tadi.
"Baik Bu!" Jawab Ira dengan wajah manisnya.
...
Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya acara penyuluhan untuk para pedagang selesai dengan sukses. Beberapa orang mengucapkan sepatah dua patah kata tanda terima kasih atas acara yang luar biasa ini, di sisi lain Ira sudah berada di tempat strategis untuk memantau pergerakan pria yang tersenyum kepadanya tadi.
"Kesempatan bagus!" batin Ira semangat.
Semua orang berhamburan keluar, Ira masih menunggu pria tadi.
"Kapan sih keluarnya!" Dalam batin kesal.
Stt...
"Keluar juga!"
Dia memberanikan diri menghampiri pria itu, namun tiba-tiba dia bersembunyi.
"Terima kasih sudah...."
"Tidak perlu seperti ini, saya juga...."
Percakapan bapak-bapak tersebut samar terdengar.
"Mereka bicara apa sih?" Batin Ira penasaran.
Di balik tiang dia bersembunyi menunggu kesempatan luang datang. Setelah tak terdengar suara bapak-bapak tadi, perlahan dia mengintip seperti tikus kecil yang menemukan makanannya.
"Dia ke mana?"
Ira celingukan mencari keberadaannya. Tak terlihat pria itu di tempat semula, sempat dia merasa heran sekaligus kesal.
"Cari siapa?"
Deg...
Ira menoleh ke belakang, mengikuti arah sumber suara.
"Hmm..." Ira seketika membeku di tempat, jangankan membalas pertanyaan itu, untuk memandang sepasang matanya saja dia tak sanggup.
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,