Pagi-pagi sekali Bima sudah sampai di depan rumah Zea. Ia membawa sebuket bunga yang mamanya beli pagi tadi, Ia menekan tombol bel, lalu seseorang membukannya. Bi Inah- tersenyum ramah, ia mempersilahkan Bima masuk ke dalam.
Bima mendudukan diri di sofa, pandanganya mengedar kesegala penjuru ruangan. Terakhir kali ia datang kerumah mewah dengan gaya mediterania itu, saat ia berusia dua belas tahun. Pandangan Bima menyorot foto gadis kecil berbando pink, rambut panjangnya di ikat keatas. Bima berdiri lalu mengapai foto di atas nakas, itu foto Zea saat kecil. Bima ingat, dulu ia selalu menjahili gadis mungil itu. Rambut panjangnya selalu ia mainkan sampai gadis itu risih dan menangis.
Pernah suatu hari Bima mengatai Zea jelek, lalu gadis itu menangis hingga tidak mau berbicara dengan Bima sampai ia pergi ke Michigan Usa, sehari sebelum keberangkatannya. Bima menunggu Zea mengunjunginya. Namun, gadis itu tidak pernah datang. Bima tidak menyadari kalau hal itu membuat Zea membencinya.
"Ngapain lo?!" Suara cempreng Zea mengagetkan Bima. Ia mengelus dada dan berbalik menghadap gadis berambut sebahu itu.
"Bisa tidak kalo ngomong pelan-pelan, ini rumah bukan hutan."
"Suka-suka gue dong, ini ‘kan rumah gue.”
"Yaudah, ayo berangkat." Bima menggandeng tangan Zea tapi dengan cepat Zea menepisnya kasar.
"Ngga usah, gandeng-gandeng, lo kira gue lansia yang perlu bantuan lo kalo jalan!”
Bima mendengkus, sepertinya mulai dari hari ini. Ia harus menyetok banyak-banyak kesabaran menghadapi cewek cebol tukang marah itu. "Yaudah, ayo."
Bima memasukan tanganya kedalam saku, ia mengamati gerak-gerik gadis yang berjalan di depannya itu. Zea masih sama, selalu ketus kepadanya dan malah bertambah ketus sekarang.
"Tante, saya sama zea pamit," kata Bima saat melihat Mona di teras rumah, sepertinya wanita paru baya itu baru pulang lari pagi. Terlihat dari jaket dan celana training yang ia pakai juga wajahnya dibanjiri keringat.
"Iya, makasih ya uda mau jemput anak tante," jawab Mona tersenyum ramah.
"Kalau gitu kami pergi dulu." Bima menyalami tangan Mona, ia dan Zea menuju motor sport hijau Bima yang terparkir di luar gerbang.
Saat Bima hendak memakaikan helm ke kepala Zea, dengan gerakan cepat Zea merampasnya. "Gue bisa sendiri," ucapnya datar.
Zea memakai helm itu di kepalanya, namun helm itu justru menutupi seluruh wajahnya." Ishh...apa nih!" teriaknya marah.
"Astagah, kalo engga bisa, bilang. Jangan marah-marah."
Zea mengeluarkan helm itu di kepalannya, lalu menampar helm Bima dengan keras. Ia bersedekap dada, menatap Bima dengan pandangan sengit. Dengan hati-hati Bima memasangkan helm itu di kepala Zea, takut jika tangan cewek itu kelepasan dan menamparnya lagi.
"Lo Pms? Marah-marah mulu perasaan."
"Apa, mau marah?!"
"Nggak." Bima mengeleng.
Setelah memasang helm ke kepala Zea, ia duduk dimotornya dan menepuk jok belakang. “ Yuk, naik.”
Setelah Zea naik ke motor, Bima mengendarainya dengan kecepatan sedang. Ia melirik kaca spionnya, muka Zea tampak cemberut. Bima tidak tahu salahnya apa pagi ini, sehingga membuat gadis itu cemberut dan marah kepadanya.
"Ze, lo kenapa sih. Masih dendam sama gue?"
"Ngga."
"Atau lo nggak suka sama perjodohan ini? Bilang sama gue. Biar gue ngasih tahu Papa buat batalin."
Zea diam, tidak tahu mau bilang apa, ia saat ini membutuhkan petuah dari Amel. Sejujurnya ia juga tidak enak hati sudah marah-marah kepada Bima, tapi masa bodo soal itu. Entah mengapa saat melihat Bima rasanya Zea ingin meledak.
Suasana SMA Bakti Nusa tampak riuh saat melihat kehadiran Bima, seluruh mata tertuju kepadanya. Zea berdecih, memangnya Bima artis sampai dilihat sebegitunya. Bisikan-bisikan pengagum dadakan Bima terdengar di telinga Zea.
"Siapa tuh, gans banget."
"Gila, murid baru, ya?"
"Subhanallah, Ganteng banget!"
"Iii masyaallah gantengnya!"
Dan masih banyak pekikan memuja lainya, memang susah menjadi orang tampan. Salah satu cewek yang berbisik tadi menghampiri Bima, cewek berambut panjang itu mengulurkan tangan." Hai, kenalin aku Chindy." Ia tersenyum manis matanya memandang Bima dengan tatapan menggoda.
"Bima," balas Bima dan menjabat tangan cewek itu, cewek bernama Chindy itu di buat meleleh dengan suara berat Bima. Belum lagi senyum tipis pemuda itu membuatnya dag-dig- dug -ser.
Cewek-cewek itu terus berdatangan, mengajak Bima mengobrol. Zea semakin dibuat keki, dengan perasaan marah ia berjalan begitu saja meninggalkan Bima dengan para fens barunya itu. Zea benar-benar tidak diperdulikan.
Zea mengerutu dalam hati. "Apaan sih, males tau ngga lihat Bima sama mereka. Apalagi Chindy, belum puas apa dia ngerayu Rey dari gue. Sekarang Bima juga mau dia embat, murahan."
Langkah Zea terhenti, seseorang menarik pergelangan tangannya. Zea yakin itu Bima, ia berbalik, lalu. “Apaan sih, Bim--" ucapanya terhenti karena melihat orang yang ia kira Bima ternyata adalah Rey.
"Lepas! Mau apa lagi lo? belum puas lo nyakitin gue?!" Zea marah. Matanya berkaca-kaca.
"Ze, dengerin aku. Aku minta maaf, aku menyesal Ze. Beri aku kesempatan lagi." Pinta Rey, ia menggenggam kedua tangan Zea. Lalu membawa gadis itu dalam pelukannya. Zea memberontak, memukul-mukul dada bidang Rey.
"Kamu kira aku ngak sakit hati?! Kamu ngeduain aku, hiks..."
"Ze, maaf. Aku sadar aku salah, kita mulai semuanya lagi dari awal, ya?" Rey mengelus surai Zea dalam dekapannya. Dalam hati ia tertawa penuh kemenangan saat gadis itu mengangguk.
"Makasih, aku janji ngga akan nyakitin dan duai kamu lagi."
"Iya."
"Yaudah, aku anterin ke kelas kamu ya?"
"Hum."
Bel masuk berbunyi, suasana kelas yang semulanya riuh kini mulai tenang, karena kedatangan seorang wanita parubaya yang berpakaian dinas menandakan bahwa dia seorang guru.
"Pagi anak-anak!" sapa Bu Nurma kepada murid-muridnya.
"Pagi Bu!" balas mereka serempak.
Matanya melirik pada Bima, yang duduk diam sambil memperhatikannya.
"Eh ada murid baru ya, sini perkenalkan diri dulu," ujar Bu Nurma, tersenyum ramah.
Bima melangkah ke depan. Semua yang ada di kelas mulai memperhatikannya, tarmasuk Zea. Bima berdiri tegap di depan kelas, Ia mulai memperkenalkan diri.
"Perkenalkan nama saya Bima Setiawan, saya pindahan dari Eisenhower di Michigan Usa, saya anak tunggal, sebelumnya saya mendapat jabatan sebagai wakil ketua osis di sekolah lama saya, terima kasih. Apa ada yang ingin di tanyakan?"
Salah satu cewek mengangkat tangan, semua menatap ke arah ia yang di ketahui bernama Chindy itu.
"Udah punya pacar belom?"
Bima tersenyum manis kearahnya "Belom nih," ujarnya tertawa begitu pula dengan teman-temanya yang lain.
"Boleh Daftar dong?" tanya Chindy lagi. Hal itu sukses membuat Zea memutar bola mata karena muak dengan wajah sok cewek itu.
"Cindy, kamu ini ya, ada-ada aja. Udah jangan ganggu-ganggu murid baru," imbuh Bu Nurma, tersenyum menatap siswi yang bernama Chindy.
"Bima, kamu bisa kembali ke tempat duduk kamu."
"Makasih Bu."
Bima memilih bangku paling pojok dekat jendela, dengan begitu ia bisa memantau gerak-gerik Zea. Bima termasuk siswa cerdas, ia menguasai bahasa inggris sebab di sekolahnya dulu ia di tuntut menggunakan bahasa inggris setiap harinya ketika masuk sekolah. Pelajaran kembali dimulai dengan khidmat.
Hati Zea berbunga-bunga, dengan mudah ia luluh dengan rayuan Rey. Zea tidak merasa bersalah telah menduakan Bima, lagi pula belum tentu juga Bima menyukainya kan? Mereka hanya bertunangan belum menikah. Senyum manisnya tak pudar, sampai Amel jengah melihatnya.
"Woi. Ze, lo kenapa? senyam-senyum mulu dari tadi. Capek gue liatnya.
"Mel tau nggak, gue sama Rey udah balikan!" pekik Zea girang, saat ini mereka berdua sedang di perpustakaan.
"Apa?! serius. Bima mau lo kemanain?"
Zea mengangkat bahu acuh." Biarin aja, gue enggak percaya sama Bima. Dia ganteng, bisa aja dia ninggalin gue sama cewek yang lebih cantik kan? Lagian gue masih sayang sama Rey."
"Tapi, setahu gue, gue rasa Bima ngga seperti itu deh. Dan soal Rey, apa lo yakin dia benar-benar tulus sama lo. Bisajadi dia cuman mau manfaatin lo doang?"
"Loh, kok lo, jadi curigaan sama Rey. Bukannya dulu lo sendiri yang dukung gue sama dia."
"Ya... itu dulu, Ze. engga selamanya cowok sama, gue rasa Rey ngga benar-benar tulus sama lo. Percaya deh sama gue."
"Udahlah, Mel, lo sama aja kayak yang lain. Liat gantengnya doang, lo pacaran sama Conan juga karena dia ganteng dan tajir kan? Gue nggak sama seperti lo, gue suka Rey apa adanya. Bukan ada apanya."
Amel tidak bisa berkata-kata, ia sangat terkejut bagaimana bisa sahabatnya itu menuduh ia sebegitu kejamnya. Amel menyukai Conan dari dulu semenjak mereka SMP tapi dengan mudah Zea memfitnahnya.
"Ze, gue pacaran sama Conan karena sama-sama suka. Gue bukan cewek matre, Ze. Gue nggak habis pikir sama lo, tega-teganya lo nuduh gue kayak gitu!" Amel geram, ia menggebrak meja di hadapannya. Hingga membuat beberapa siswa memandang kearah mereka. Dengan perasaan kesal Amel meninggalkan Zea, entah setan apa yang merasuki Zea hingga gadis polos itu mengatakan hal jahat seperti itu kepadanya. Sementara Zea, dia malah mengedikkan bahu acuh. Seolah apa yang terjadi barusan bukan sebuah masalah besar.
Part 17 (Latihan Futsal) Sore ini Bima akan latihan futsal dengan timnya. Ia sudah siap-siap dengan jersey yang melekat dibadan tegapnya. Guru olahraga yang merangkap menjadi pelatih mereka mengatakan bahwa beberapa bulan lagi akan ada turnamen antar SMA-se Bandung. Semua merasa sangat excidet menyambut datangnya hari itu. Bima menatap pantulan dirinya dalam cermin, setelah dirasa siap ia keluar dari kamar dan menarik knop pintu. Zea saat ini sedang asyik selonjoran disofa ruang tamu. Ia sibuk mengunyah keripik. Bima ikut duduk disamping cewek itu dan mencomot satu potong keripik dan langsung dihadiahi pelototan tajam Zea. Bima mendengus. “Pelit banget sih, sama laki sendiri.” “Suka-suka gue, sana lo pergi. Hus, hus,” jawab Zea sembari mengibaskan tanggan. “Dasar, udah cebol, istri gue, lagi,” Bima keki ia berdiri dan mengacak rambut Zea. “ Gue pergi dulu, jangan ke mana-mana. Gue pulangnya
Zea membanting pelan tasnya di atas meja, Amel yang melihat kehadiran sahabatnya langsung menepuk-nepuk pundak Zea di depannya."Ze, lesu banget, kayaknya?""Au, aku lagi males.""Eh, kamu tau nggak?""Apa?""Si Bima sama Conan, ikut main di tem Futsal. Katanya sih sementara, kan kita bentar lagi lulus," ujar Amel."Oh." Zea berpikir sejenak, kalau Bima ikut tim futsal. Ia bisa punya banyak waktu bersama Rey."Serius 'kan?" tanya Zea menahan senyum kemenangannya."Iya, emang... Bima nggak ngasih tau?""Enggak," jawab Zea sambil menggeleng pelan.Suasana kelas kembali riu setelah bel masuk berbunyi. Bima berjalan di koridor dengan kedua adik kelas di kanan dan kirinya."Duluan," ucap Bima."Siap, bang. Kita tunggu di lapangan!" uc
Sepulang sekolah. Bima dan Zea sepakat untuk pindahan hari ini, semua baju-baju dan barang-barang yang Zea butuhkan sudah dikemas rapih dalam koper. Apartemen Bima cukup luas, dapur dan segala isinya lengkap. Zea langsung duduk di kursi pantri saat dirinya baru saja menjelajahi hunian barunnya itu. "Suka nggak?" tanya Bima yang ikut duduk di samping Zea. "Suka... oh iya, kamar aku yang mana? Aku mau masukin baju-baju." "Tuh..." Tunjuk Bima pada pintu bercat putih gading di bagian kiri mereka. Zea mengerutkan kening, seperi ada sesuatu yang janggal. "Kalo kamar kamu yang mana? Aku tadi, nggak liat ada kamar lagi selain ruangan kosong?" tanya Zea binggung. "Iya, itu... kamar aku dan kamu. Emangnya, aku mau kamu suruh tidur dimana?" "M-maksudnya... kamu sama aku tidur sekamar?" "Iya." "Nggak bisa! Pokoknya aku nggak mau tidur berdua lagi sama kamu!" Bima menaikan sebelah alisnya binggung, ia tersenyum c
Keduanya mengangguk walau tidak mengerti dengan tingkah Rey yang tiba-tiba terlihat aneh. Rey buru-buru berljalan menjauh, tidak menoleh sama sekali. "Mana teme lo berdua?" tanya Conan, ia duduk di samping Xion yang menunduk gugup. "Maksud lo, si Rey?" tanya Geva, ia menatap Conan dengan kening berkerut. "Iya, Bima mau ngomong sama dia." "Kita berdua nggak tau, dia emang nggak masuk satu minggu ini," kata Geva berbohong. "Kalian nggak bohong, kan?" tanya Bima yang ikut duduk di samping Geva. "Haha, bro. Emang muka gue, kayak muka penipu gitu?" Geva tertawa melengking, mencoba menetralisir kegugupannya. Bima mengangguk paham dan menarik Conan untuk pergi bersamanya. " Okey, thanks infonya," ucap Bima sembari memberikan senyum ramah. Mereka berjalan menjauhi bangku kedua pemuda itu. "Huf... untung dia percaya, ya, nggak Gev. Keliatanya si Rey ada problem nih sama si murid baru itu?" Geva
Rey memutuskan untuk masuk hari ini. Belakangan ini ia sibuk mencari uang dengan membantu paman Ujang menjadi kernek. Rey mensater motor Cb 100nya, ia berhenti di depan warung untuk mengisi bensin. Dikeluarkanya selembar uang berwarna ungu dari saku celananya. Ia kembali menerjang dinginya udara pagi, berusaha menghindar dari Bima. yakin pemuda itu akan memberikan perhitungan kepadanya. Jika ditanya takut? Rey akan menjawab jujur bahwa ia merasa takut bahkan sangat takut. Bayangan wajah Zea yang tersenyum hangat saat menyapanya kini membuat rasa bersalah itu kian membuncah. Tepat pukul 06: 12 Rey tiba di sekolah. Sekolah masih sangat sepi hanya ada dua kendaraan yang ada di parkiran. Rey Menarik tudung hoodie hitamnya. Ia berjalan menunduk, kedua tanganya ia masukan kedalam saku celana. Rey persis seperti orang yang takut ketahuan maling. Ekor matanya melirik kanan dan kiri saat tiba di kelasnya tanpa halangan Rey menarik nafas lega dan duduk bersanda
Zea duduk di kasurnya, setelah acara yang melelahkan itu akhirnya ia bisa istirahat juga. Bima membuka pintu kamar Zea perlahan, ia ikut duduk di samping istrinya itu sambil melepaskan jas.Zea meneguk ludah susah, jantungnya berdetak kencang saat Bima membuka dua kancing teratas kemejanya. Pipi Zea bersemu merah hal itu membuat Bima mengerutkan dahi."Lo kenapa?""Ngak pa-pa, ngapain kamu duduk di sini? Kamu tidur di sana..." Zea menunjuk sisi di belakang mereka dengan telunjuk di mana biasanya sofa panjang tempat Zea membaca buku tertata rapih di pojok kamar, mata Zea membelalak saat tidak mendapati benda empuk itu."Dimana?" tanya Bima heran.Zea berjalan mendekati tempat bekas sofa empuknya." Lah kok ngak ada?! Sofanya tadi masih di sini... jangan-jangan..." Zea berjalan cepat membuka lemari penyimpanan selimut dan karpet tapi tidak ia dapati satu pun benda penghangat itu di sana."Ah, Mama... mama pasti yang re