Share

BAB 4

"Dunia ini terlalu sempit, menyesakkan, hingga dadaku rasanya tak sanggup menampung berjuta rindu yang menyesalkan!"

—Yasmin Aurora

__

"Yas, lo dipanggil Bu Saveta ke kantor tuh." 

Yasmin yang terlalu fokus selfie, menghentikan aktivitasnya itu dan menatap si empunya suara. 

"Kenapa?" tanya Yasmin bingung. Berharap Naura si pemanggil mempunyai jawaban dari pertanyaan itu. 

"Mana gue tahu!" Naura mengedipkan bahu pertanda tidak tahu. Lalu berlenggang pergi meninggalkan ruang kelas begitu saja. 

Yasmin menyimpan handphone ke saku rok. Berjalan keluar kelas. Namun sebelumnya, ia sempat mengembuskan napas gusar. 

Khawatir? Tentu saja. Bu Saveta itu guru bahasa Indonesia yang memberi mereka tugas kelompok. Bisa jadi Maimunah sudah melapor bahwa ia terlambat datang saat berkumpul mengerjakannya. 

"Maimunah!" Yasmin mengacak rambutnya frustrasi. Lagi-lagi dirinya harus mendatangi kantor guru karena si tukang mengadu.

Tangan terangkat mengetuk pintu yang terbuka sebagai penghormatan dan sopan santun. Yasmin tersenyum kikuk saat Bu Saveta menatapnya horor, lalu menggunakan isyarat mata menyuruh mendekat. 

Dengan susah payah Yasmin menelan salivanya. Gugup bercampur takut. Aura horor mendominasi ruangan itu. Jika saja hanya Bu Saveta di dalam sana, Yasmin masih bisa mengelak dengan beribu alasan terbaik yang ia miliki. Tapi masalahnya, di kantor guru ada Bu Mawar dan juga Raja. 

Mati gaya!

Bu Mawar itu galak bukan main. Memberi satu alasan saja belum tentu bisa diterima. Dan, bisa jadi ia berakhir di lapangan menghormati bendera. 

Dan Raja? 

Yasmin mengernyitkan kening bingung. Kenapa calon suami masa depannya ada di kantor? Apa Raja melakukan satu kesalahan?

"Yasmin, kamu dengar apa yang Ibu bilang barusan?" 

Yasmin mengerjap, seketika tersadar dari lamunannya. Kembali fokus menghadap Bu Saveta.

"Ibu bilang apa tadi?" Cengiran polos ia sematkan di sudut bibir. 

Bu Saveta menarik napas kasar. "Maimunah bilang kalau kamu—"

"Ibu, tolong deh, Maimunah jangan dibawa-bawa dalam pembahasan kita ini," keluh Yasmin memotong kalimat Bu Saveta. Namun, kemudian ia menutup mulutnya saat guru itu mendelik tajam.

"Maaf. Habis saya kesal, Bu. Ibu selalu mendengar apa yang dikatakan Maimunah."

Ekspresi Yasmin terlihat murung, menunduk tidak berani menatap Bu Saveta. Namun, percayalah ... separuh dari fokusnya tertuju kepada Raja dan Bu Mawar. Ia ingin tahu apa yang keduanya bicarakan!

"Itu karena Maimunah murid teladan. Baik dan patut dicontoh. Jujur dan juga pintar. Sedang kamu?"

Yasmin memutar bola matanya. "Iya deh. Tapi percayalah Bu, Maimunah itu tidak sebaik yang Ibu pikirkan. Nyatanya, dia selalu mengadukan saya pada semua guru." 

Bu Saveta melotot. "Itu karena kamu selalu mencari masalah."

Yasmin tersenyum kikuk. 

"Oke, fokus. Ibu kasih peringatan sekali lagi. Jika kamu tidak ikut mengerjakan tugas kelompok, Ibu akan mencoret nama kamu. Dan, nilai kamu bakalan Ibu kasih nol," peringat Bu Saveta. Yasmin mengangguk-angguk kecil. Sebenarnya ingin sekali membantah dan mengatakan kalau ia hadir meskipun telat, tapi ia urungkan saat ekor matanya menangkap bayangan Raja keluar dari ruang guru. 

Intinya, Yasmin ingin segera menyelesaikan urusannya dengan Bu Saveta, lalu menyusul Raja, menggoda bahkan merayu pujaan hati. 

"Jadi, untuk kali ini Ibu kasih kelonggaran. Namun, kamu tetap dapat hukuman. Bersihkan lapangan basket."

"What?" Yasmin menggeleng tidak percaya. Lapangan basket itu luas walau tidak seluas lapangan bola. Tapi tetap saja akan menguras tenaga.

"Kenapa? Mau Ibu tambahkan hukuman?" tanya Bu Saveta. 

Yasmin menggeleng. "Oke, saya pergi, Bu." Lantas mengambil langkah seribu meninggalkan kantor guru. 

Bu Saveta menggeleng, kemudian melirik ke arah Bu Mawar yang sedang menghela napas kasar. 

"Kalau tidak sanggup menghadapi bocah gesrek itu, lemparkan pada saya," tukas Bu Mawar, dan Bu Saveta membalas dengan cara mengangguk. 

**** 

"Gimana hasilnya?" 

Yasmin yang baru keluar dari kantor guru langsung disambut oleh Devina. Senyum sahabatnya itu tercipta cukup lebar, layaknya model iklan pasta gigi. 

Ingatkan Yasmin untuk menyumpal mulut Devina menggunakan kain kotor yang menumpuk di rumahnya. 

"Yas, jawab dong." Devina mengikuti langkah Yasmin yang terus berjalan. 

"Gue dihukum. Puas lo?" Yasmin menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadap pada Devina yang juga ikut berhenti. 

"Wah, mantul dong." Devina mencolek pipi Yasmin gemas. 

"Mantul kepala lo! Gue dihukum, bukan lagi kencan," ucap Yasmin kesal. 

"Iya, maaf. Emang hukuman lo apa sih?" tanya Devina antusias. 

Mimik Yasmin berubah sendu. "Bersihkan lapangan basket sampai kinclong." 

Devina mengangguk. "Bagus dong." 

"Bagus apanya? Lo bantu gue dong," mohon Yasmin, memasang mimik puppy eyes kepada Devina. 

Sesaat terlihat menggemaskan layaknya anak kecil. Hingga membuat tangan Devina terangkat mencubit kedua pipi putih mulus itu. 

"Ogah!" tolak Devina. 

"Kasihani sahabat lo ini, dong," cicit Yasmin dengan nada pelan. Ekspresi wajahnya masih sama seperti tadi. 

"Lo yakin mau gue temani?" Senyum menggoda Devina semakin tercipta. 

Yasmin mengernyitkan kening. "Kenapa enggak yakin?" 

Devina menarik tangan Yasmin agar kembali melanjutkan perjalanan mereka. 

"Soalnya, tadi gue lihat Raja lagi jalan menuju lapang basket," jelas Devina. 

Spontan Yasmin membulatkan matanya, menatap tidak percaya pada Devina.

"Serius?" 

Devina mengangguk penuh semangat. 

Senyum Yasmin mengembang. Kesempatan manis selalu berpihak padanya. Sejurus, ia melepaskan genggaman Devina darinya, lantas berlari meninggalkan sahabatnya itu menuju lapangan basket. 

"Calon suami, tunggu gue!" teriak Yasmin layaknya orang kerasukan setan.

**** 

Yasmin tersenyum semringah saat punggung Raja terlihat olehnya. Sengaja berjalan pelan, bahkan terkesan seperti seorang maling. Niatnya tidak ingin membuat kegaduhan, agar bisa melancarkan aksinya mengejutkan Raja. 

Namun, sayangnya takdir baik tidak berpihak padanya. Nyatanya, sebelum berhasil mengejutkan Raja, Yasmin malah tersungkur ke lantai lantaran memijak genangan air. 

Raja yang mendengar bunyi benda jatuh menoleh seketika, kemudian mengernyitkan kening bingung. 

Yasmin menengadah, menatap Raja dengan mimik sendunya. 

"Raja, bantuin ...." Mengulurkan tangan pada Raja, berharap cowok pendiam itu segera meraih tangannya. 

Namun, 1 detik, 2 detik hingga detik-detik berikutnya, cowok itu masih diam. 

"Raja, help me?" mohon Yasmin masih dalam posisi tersungkur. 

Sebenarnya, ia bisa saja berdiri tanpa bantuan Raja, hanya saja, ia tidak ingin membuang kesempatan yang ada di depan mata. 

"Raja," cicit Yasmin memelas. 

Raja melempar sapu yang ada di tangan begitu saja. Terpaksa mendekat pada Yasmin meskipun kekesalannya lebih mendominasi. Ia masih memiliki hati walau rasanya ingin mengubur Yasmin hidup-hidup. 

Dengan sigap, membantu Yasmin berdiri, lalu memapah menuju bangku yang ada di sana. Raja terlalu serius, sedang Yasmin tersenyum begitu manis. 

"Lain kali berhati-hati." 

Yasmin mengangguk semangat. Binar mata bahagia terpancar! Meskipun kalimat itu diucapkan dengan nada datar, tapi bagi Yasmin itu suatu kemajuan. Untuk pertama kalinya, Raja Perhatian padanya. 

"Karena dilain waktu, gue gak akan menolong lo." 

Seketika binar bahagia itu redup. Raja begitu jago membuat hati Yasmin seperti diutak-atik layaknya mesin rusak yang hendak diperbaiki. 

"Lo jahat. Cium baru tahu!" seru Yasmin sembari menggembungkan pipinya kesal.

Dasar Raja, manusia yang tercipta tanpa rasa peka! 

****** 

Yasmin menampilkan senyum manis saat sang bunda menarik kursi dan ikut sarapan dengannya pagi ini. 

Setelah sekian lama mendambakan kehangatan yang telah hilang, akhirnya setitik cerah menjelma dalam tali kasih yang suram selama ini. 

Yasmin terlalu bahagia. Binar matanya tidak dapat membohongi keadaan. 

"Bunda mau sarapan?" tanya Yasmin pelan. Senyumnya masih belum luntur sama sekali. Ia hendak berdiri dari tempat duduk untuk mengambil piring. 

"Tidak. Bunda hanya ingin bicara sebelum pergi." 

Hela napas kasar keluar dari mulut Yasmin. Suara bundanya lagi-lagi terkesan sangat dingin padanya. Lalu. Memilih duduk kembali, menunduk sembari mengaduk-adukkan nasi goreng yang masih baru 2 suap ia nikmati. 

Jawaban sang bunda benar-benar menohok. Seperti duri yang menancap tepat pada luka hati yang membusuk! 

"Yasmin." 

Yasmin menengadah. Tidak menyahut karena ia lebih sedang menunggu kalimat berikutnya dari sang bunda. 

"Bunda sudah memiliki kekasih." Diucapkan dengan sangat santai tanpa peduli pada satu hati yang teriris. 

Ya Tuhan. 

Yasmin menggenggam sendok sekuat tenaga. Menyalurkan rasa sesak yang terbentuk begitu saja saat kalimat itu meluncur bagai air hujan. 

Terlalu jujur dan terucap tanpa beban. 

"Namanya Abimana. Mungkin dalam waktu dekat, Bunda akan memperkenalkan kepada kamu." 

Yasmin menggigit bibirnya. 

Kenapa semakin lama ucapan bundanya semakin lancar terucap. 

"Apa secepat itu Bunda melupakan ayah?" 

Yasmin tidak sanggup menahan luapan hati yang sakit. 

Terdengar helaan napas Viola. "Ayahmu sudah lama meninggal. Tidak ada salahnya jika Bunda mencari seseorang untuk menjadi pendamping masa depan. Apa Bunda harus terus larut dalam kesedihan? Apa Bunda tidak boleh bahagia?" 

"Lalu, bagaimana dengan Yasmin? Apa anakmu ini bukan sumber kebahagiaan?" Nada suara itu sedikit meninggi. 

Viola menatap dalam pada putrinya itu. Perasaannya bercampur antara sedih, kesal dan kecewa. 

"Kenapa Bunda tidak menjawab?" tanya Yasmin mendesak saat melihat Viola beranjak dari duduknya. 

"Bunda ada urusan di luar. Seperti biasa, jangan menunggu. Pesan aja makanan melalui ojol kalau malas masak." Viola meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja, jumlahnya 500 ribu.

Tidak ada sahutan dari Yasmin. Netra gadis remaja itu fokus pada Viola yang berjalan menjauh dari ruang tamu. 

"Ayah ...," cicit Yasmin saat tubuh indah nan semampai milik Viola menghilang dari pandangan. Dan, sebulir air mata merembes keluar dari mata indah itu. 

Sesakit itukah saat orang yang kamu cintai mengabaikan tanpa tahu sebab yang pasti. 

Kejam atau menyedihkan? 

**** 

Yasmin tergeletak di sofa dengan malas. Ia meniupkan rambutnya berkali-kali lantaran bosan karena sendiri di rumah. Hari libur selalu seperti ini, dan berakhir tanpa ada satu pun yang bisa ia lakukan selain mondar-mandir kamar, ruang tamu dan dapur. 

Padahal, Yasmin sudah memikirkan berbagai hal yang bisa ia lakukan bersama bundanya seandainya perempuan cantik itu memilih tetap di rumah tanpa menghabiskan waktu di luar sana entah dengan siapa. 

Seandainya menjadi kata yang mengerikan, selayaknya mantra yang mampu membunuh dalam dilema. 

"Raja, gue butuh lo." 

Yasmin mengerucut bibirnya. 

"Telepon gak, ya?" 

Masih setia bermonolog. 

Dan pada akhirnya Yasmin memutuskan menghubungi nomor cowok tampan itu. 

Jangan tanya dari mana Yasmin mendapatkan nomor Raja. Karena cewek berwajah manis sekaligus tengil dan centil dalam waktu bersamaan itu memiliki seribu cara. Salah satunya, Devina. 

Devina itu layaknya Googletalk. Memiliki berbagai informasi yang akurat dan tidak perlu diragukan. Bisa menjadi agen mata-mata dalam urusan cinta. 

Bermasalah dalam hubungan percintaan? Devina solusinya. 

Sudah tahu kehebatan Devina, bukan? 

Lupakan! 

Yasmin segera menghubungi nomor Adiraja. 

Tidak ada sahutan sama sekali dari seberang telepon. Tidak ada bunyi apa pun kecuali keheningan.  Kening Yasmin mengerut, Devina tidak mungkin membohonginya dengan memberi nomor palsu, 'kan? 

"Oke, Yas. Lo harus sabar. Untuk mendapatkan hati calon suami, lo harus kalem." Menyemangati diri sendiri. 

Yasmin membenarkan posisinya. Duduk sembari bersandar pada sandaran sofa. 

Ia mengetik sebaris pesan yang menggelitik. 

"Calon suami, calon istri rindu. KUA, yuk!" 

Senyum mengembang setelah berhasil mengirim pesan itu. Dan hingga 10 menit berlalu, tidak ada balasan sama sekali dari nomor Adiraja. 

Ingin sekali Yasmin memaki cowok itu. Di zaman modern kayak sekarang ini, lelaki itu tidak memiliki WhatsApp. 

Kolot atau masa bodoh? 

Yasmin memutuskan ke kamar. Ia sudah mulai lelah juga. Lelah pikiran dan hati! Mungkin tidur siang bisa membuat hatinya kembali bersinar seperti sediakala. 

Dengan langkat sengaja diseret, Yasmin menuju kamar. Melempar diri ke atas ranjang empuk lalu memejam mata. Namun, belum sempat ia menuju alam mimpi, sebuah pesan masuk ke ponselnya. 

Dengan gerakan cepat, Yasmin memfokuskan netranya, berharap itu dari Adiraja. 

"Bunda pulang sedikit telat. Jangan menunggu." 

Yasmin mendengkus. Dari sang bunda, dan selalu seperti itu. Dari waktu ke waktu, bunyi pesan itu selalu sama. 

Menyebalkan! 

Kapan perempuan itu bertanya tentang keadaannya? 

Kembali ponsel itu berbunyi. Kali ini bukan pesan melainkan telepon. Yasmin menekan tombol merah, mematikan secara sepihak tanpa mau tahu siapa yang tengah menghubungi nomornya. 

Dan lagi, ponselnya kembali berbunyi. Yasmin menarik rambutnya kasar. Suasana hatinya selalu saja hancur tiap berada di rumah. 

Tanpa pikir panjang, Yasmin menekan tombol hijau. Sambungan telepon terhubung. 

"Terserah Bunda. Mau pulang atau enggak pun, tidak akan masalah. Yasmin bisa hidup sendiri." 

Yasmin memburu kalimatnya tanpa memberi kesempatan berbicara pada orang di ujung telepon. 

"Bersenang-senanglah. Pulang dengan selamat." 

Hampir saja Yasmin mematikan sambungan telepon itu. Namun, tertahan saat suara si penelepon bukan milik bundanya. Kening Yasmin mengerut,  dan segera melirik nomor ponselnya. 

Bukan nomor sang bunda. Melainkan nomor asing yang entah siapa. 

Yang ada di otak Yasmin adalah penipu via hipnotis secara menelepon. Namun, suara itu .... 

"Halo, lo de-dengar gue?" 

"Raja," cicit Yasmin pelan. Pipinya memanas dan seketika memerah layaknya tomat. 

Jangan tanya soal jantungnya. Mungkin sebentar lagi ia akan dikirim ke rumah sakit karena teralu bersemangat. 

"Lo pacarnya? Gue saranin mending lo ke sini segera, deh. Cowok lo dalam masalah besar." 

Suara cewek! 

Spontan Yasmin berdiri. Siapa cewek yang berbicara setelah Raja? Lalu ke-2, masalah apa yang menimpa Raja? 

Tanpa berpikir panjang, Yasmin keluar dari kamar setelah mengambil dompet di laci meja belajar. 

"Alamat?" 

Tanya Yasmin serius. 

Sambungan telepon mati. Dan beberapa detik berikutnya pesan masuk. Yasmin mengangguk setelah membaca pesan itu. Ternyata alamat di mana Raja berada. 

Yasmin mengangguk. Alamat itu tidak jauh dari sekolah mereka. 

"Gue butuh ojek online." 

Lalu masuk ke aplikasi ojek online dan memesan tanpa peduli pada harga yang harus ia keluarkan nantinya. 

Rasa khawatir memburu hati Yasmin. 

"Ya Tuhan, semoga bukan prank!" Harapan hati Yasmin. 

***** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status