Share

BAB 3

"Melihatmu dengan amarah yang memuncak, membuat seluruh jiwaku seakan mati rasa!" 

—Yasmin Aurora 

——

Raja membantingkan buku di meja. Kekesalan sudah mendarah daging dan menjadi ekspresi setiap harinya sejak mengenal Yasmin. Perempuan agresif itu sepertinya tidak ingin membuat jiwanya tenang. Ini pertama kalinya Raja bertemu dengan orang yang selalu mengumbar kata ' nikah' seolah itu hanya sebuah mainan yang bisa dilakukan kapan saja tanpa memikirkan ke depan. 

"Aish!" Dengkusan kasar keluar dari bibir Raja. Mengacak rambutnya frustrasi, lalu setelahnya ia memilih memosisikan kepala di meja dengan kedua lengan sebagai bantalan. 

Raja tidak menyadari jika kedatangannya beberapa saat lalu telah mencuri perhatian seorang Malvin, teman sebangkunya. Lelaki yang tingginya hampir sama, tetapi terlihat lebih berisi dari Raja itu menatap tanpa berkedip. 

Bukan karena ia penyuka sesama jenis. Malvin normal bahkan sangat normal, sehingga memiliki banyak kekasih. Ia hanya penasaran saja, kenapa Raja selalu terlihat kesal sekaligus marah jika kembali dari luar kelas. 

Apa Raja kesambet setan? 

"Gue normal! Jangan lihat gue seakan-akan gue adalah makanan lezat!" Raja berucap pelan tanpa mengubah posisinya. Hanya wajah yang sedikit menengadah dan mata yang melirik sekilas. 

Spontan Malvin membuang pandangannya ke arah lain. Sial, ia ketahuan jika menatap dalam pada Raja. 

"Gue juga normal!" kata Malvin. Ia masih belum mengubah arah pandangnya. 

"Terserah! Gue enggak peduli!" Raja memejam mata. Untuk apa menanggapi ucapan Malvin jika pada akhirnya akan menambah api amarah. 

Diam lebih baik, bukan? 

Malvin yang diabaikan oleh Raja hanya mengangkat bahu cuek. Lalu mengotak atik ponselnya dan masuk ke aplikasi Instagram. Namun, beberapa menit kemudian matanya melotot bersamaan dengan mulutnya yang terbuka lebar. Melirik bergantian antara ponsel lalu ke Raja dan kembali ke ponsel.

"Raja! Raja!" panggilnya sembari mengguncang bahu Raja. Raja yang merasa terganggu menepis tangan Malvin. 

"Berisik!" protes Raja. 

Malvin tidak peduli dengan tingkah Raja. Ia semakin mengguncang bahu itu agar segera melihat ke arahnya. 

"Brengsek! Ada apa?" tanya Raja yang sudah membenarkan duduknya. Melotot tajam pada Malvin. 

"Lihat saja sendiri." Malvin menyerahkan ponselnya pada Raja. 

Kening Raja mengerut karena bingung, tapi tak menolak saat Malvin menyodorkan ponsel itu. Matanya memicing sempurna bersamaan dengan helaan napas kasar. 

Yasmin berulah lagi!

Fotonya yang entah kapan Yasmin potret tib-tiba berada di Instagram. Raja ingat, sweter warna biru tua kombinasi merah itu persis seperti apa yang ia kenakan hari ini. Berarti, foto itu diambil Yasmin secara diam-diam saat ia berada di taman.

"Sial!" maki Raja. 

Perempuan itu semakin lama semakin melonjak. Dibiarkan ... malah mengusik tanpa peduli pada perasaan Raja. 

"Lo pacaran sama senior itu?" Malvin masih fokus pada Raja. 

Raja menyerahkan ponsel kepada Malvin. "Senior?" Raja balik bertanya. 

"Maksud gue itu Kak Yasmin," jelas Malvin.

Kening Raja mengerut. Jujur ia tidak pernah tahu jika Yasmin adalah senior di sekolahnya. Tingkah perempuan itu lebih mirip adik kelas yang masih suka cari perhatian. 

"Postingan Kak Yasmin itu menjelaskan tentang hubungan kalian yang sudah cukup jauh." Senyum Malvin terpatri. Menggoda Raja sesekali tidak masalah bukan? Lagian, Yasmin sepertinya ingin memberi tahu pada semua orang jika Raja adalah miliknya. 

"Dia itu sakit jiwa! Gue enggak punya hubungan apa pun sama dia," elak Raja. Mimik wajahnya sungguh sulit diartikan.

Malvin lagi-lagi mengangkat bahunya cuek, fokus pada ponselnya. Bibirnya masih setia memamerkan senyum. Selang beberapa waktu ia beralih pada Raja dan berkata, "awas jangan sampai kebencian lo berubah jadi cinta. Wajah sendu yang lo tampilkan saat ini bisa aja berubah jadi rindu." 

Decitan Raja terdengar. Tidak ingin berlama-lama di dekat Malvin, karena lelaki itu tidak jauh bedanya dengan Yasmin. Keduanya sama-sama membuat emosi memuncak. 

"Kalau lo terus menolak kehadirannya, gue jamin dalam hitungan minggu bahkan hari lo akan bertekuk lutut padanya. Siap-siap saja!" nasihat Malvin. 

Raja merespons menggunakan jari tengahnya. Pertanda ia sangat muak membahas apa pun tentang Yasmin. 

"Hei, Bung! Lo hati-hati saja. Gue enggak bermaksud khawatir sama lo, tapi postingan itu bisa membuat lo dalam masalah." 

Raja menulikan pendengarannya seolah teriakan Malvin hanya bisik angin lewat. 

Persetan dengan semuanya. 

Tujuannya cuma satu, menyelesaikan masalah yang menggerogoti hati dan pikirannya. 

"Yasmin!" pekiknya tertahan. 

**** 

Yasmin berhenti tertawa saat tiba-tiba tubuhnya terseret karena tangan seseorang menariknya cukup kuat. Keterkejutan mendera saat tahu jika orang yang tanpa berbicara tapi bertindak kasar itu adalah Raja. 

Sempat Yasmin meminta tolong pada Devina untuk menghentikan Raja menyeretnya, namun Devina tidak melakukan apa-apa. Yasmin tahu, Devina takut karena Raja menatapnya seolah ingin menguliti hidup-hidup. 

Tidak ada cara lain lagi untuk melepaskan diri dari Raja. Sebab itu, Yasmin mengikuti langkah itu dengan senang hati. Lagian, jarang-jarang 'kan Raja menggenggam tangannya erat, tepatnya tidak pernah. 

"Calon suami, jangan kasar gitu dong. Santai dikit. Tangan calon istri lo ini sakit. Nanti kalau luka, bagaimana? Kan lo juga yang rugi." 

Raja menghentikan langkahnya tepat di depan UKS, lalu mendorong tubuh Yasmin ke dalam. Cukup kuat sehingga Yasmin hampir tersungkur seandainya tidak menjaga keseimbangan. 

"Raja ... kok kasar banget sih? Gue ini calon istri lo." 

Raja mengusap wajahnya frustrasi. Kemudian menatap Yasmin tanpa berkedip. Menelisik hingga jauh ke dalam netra hitam pekat itu. Dan Yasmin bukannya takut malah terpesona akan tatapan teduh itu. 

"Mau lo apa sih? Kenapa merecoki hidup gue terus? Lo waras, 'kan?" Pertanyaan itu keluar secara beruntun dari mulut Raja. 

Yasmin tersenyum. "Mau gue itu sederhana kok. Lo jadi suami gue." 

"Sakit jiwa lo!" pekik Raja. 

"Raja gitu deh. Kan tadi lo nanya gue maunya apa, terus kenapa lo marah pas gue jawab? Aneh lo ya!" 

Raja menghela napas kasar. "Bisa enggak sih, lo berhenti mengusik hidup gue?" pinta Raja memelas. Bahkan kedua tangannya sudah mendekap di depan wajah sebagai permohonan. 

Yasmin menggeleng. "Gue berhenti, tapi setelah lo jadi milik gue." 

"Gue ... gue enggak mau punya masalah di sekolah ini. Please?" Lagi-lagi Raja memohon. 

"Raja, lo jangan bikin gue galau dong. Kalau lo kayak gini, bawaannya gue pengin bawa lo pulang terus gue karungi, terus gue ajak ke KUA." Cengiran khas Yasmin terpatri. 

Raja membantingkan kepalanya cukup kuat ke dinding semen UKS. Dan seketika darah segar mengalir dari sana. 

Yasmin melotot tajam. "Ja, apa-apaan sih?" khawatirnya. Segera mengambil sapu tangan dari saku rok dan hendak mengelap darah yang mengalir dari kepala Raja. 

Dengan kasar Raja menepis. "Menjauh dari gue. Jika lo terus mengusik hidup gue, lo bakalan melihat lebih dari ini." Raja berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban apa pun dari Yasmin. 

Yasmin terduduk di lantai. Meremas ujung roknya kuat. Melihat Raja yang membantingkan kepalanya di dinding tadi membuat seluruh sarafnya seakan mati. 

Kenapa harus sesadis itu? 

****

"Hadiah terindah dari Tuhan adalah kamu." —Yasmin Aurora

——

Yasmin menghela napas kasar sembari mengaduk-aduk makanan yang ada di depannya. Selera makannya entah melayang ke mana. Yang jelas sedari tadi ia hanya menusuk-nusuk nasi berlauk cumi-cumi sambal itu.

Terlalu sepi. Rumah mewah nan megah peninggalan sang ayah lebih layak disebut sebagai tempat pengasingan. Sunyi dan hampa! Bundanya terlalu sibuk mengurusi urusan di luar sana sehingga lupa pulang. 

Sebulir air mata mengalir dari netra hitam pekat itu. Dengan kasar Yasmin menghapus cairan bening itu. Ia tidak boleh kalah pada keadaan yang menjebaknya dalam kepahitan. 

Jika di luar sana, ia terlihat seperti seseorang yang terlalu bebas dan bahagia. Itu terjadi karena Yasmin tidak ingin menunjukkan pada orang-orang, bahwasanya ia terluka sangat dalam tepat di hati.

Biarlah ia bersandiwara meskipun di saat sendiri, semua keperihan menusuk dan saling berdesakkan tanpa ampun. Memaksa air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.

Yasmin terperanjat saat handphone-nya berbunyi cukup kuat. Sontak ia segera mengambil benda pipih yang tergeletak di atas meja. 

Nama Maimunah yang tertera di layar. Sejenak, kening Yasmin mengerut bingung. Ada angin apa perempuan berkacamata tebal itu menghubunginya sore begini. 

Yasmin mengangkat bahunya acuh, namun menyempatkan diri mengeklik tombol hijau agar sambungan telepon itu segera terhubung. 

"Halo! Eh, Marmot! Lo di mana?" 

Belum sempat Yasmin mengeluarkan suara, Maimunah di seberang telepon sudah duluan menghujani dirinya dengan ejekan yang menggebu. Suara itu nyaris membuat kuping Yasmin berdengung. Syukur saja, ia segera menjauhkan dari rungunya. 

Merasa suara Maimunah tidak terdengar lagi, Yasmin mendekatkan handphone kembali ke telinga. 

"Ada apa, Mai? Lo sakit ya? Tiba-tiba berteriak enggak jelas gitu. Ngatain gue Marmot lagi," keluh Yasmin dan nada suaranya dibuat pelan dan seolah mengintimidasi. 

"Lo amnesia atau pikun sih? Sore ini kita kerja kelompok di rumah gue. Dasar bego!" Suara Maimunah masih sama melengkingnya seperti awal menelepon. 

Yasmin menepuk jidatnya kuat. Dia lupa! Selintas melirik jam di pergelangan tangan. Jarum sudah menunjuk pada jam 16.30 WIB, padahal janji mereka tepat pada jam 16.00. 

Gawat! Ia telat 30 menit. Pantes saja nenek sihir itu menggerutu terus. 

"Lo dengar gue, 'kan?" Maimunah kembali bertanya dan Yasmin mengabaikan. Malah memutuskan sambungan telepon secara sepihak, secepat kilat menuju kamar untuk berganti pakaian. Tidak peduli dengan makanan yang sejak tadi hanya ia aduk tanpa niat menikmati. 

"Yasmin, siap-siap lo kena sembur kemenyan," monolognya seraya mengganti pakaiannya.

**** 

Yasmin ragu untuk mengetuk pintu rumah sederhana bercat cokelat tua itu meskipun sudah berada di area teras. 

Pasti, jika ia masuk ke dalam, kuping yang awalnya baik-baik saja akan menjadi budek karena ceramah panjang lebar Maimunah. Bukan hanya sekali atau dua kali cewek berkawat gigi itu menghujani dirinya omelan menggebu dan makian. Mungkin setiap hari dan Yasmin tidak sanggup menghitungnya lagi. 

Memang Yasmin yang selalu mencari masalah, tapi mau bagaimana lagi, menggoda Maimunah hingga mengamuk adalah kesenangan tersendiri. Hiburan gratis di saat hatinya teriris pilu.

Di saat Yasmin masih berkutat pada pikirannya, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan sosok Devina yang hendak keluar. 

"Singa betina, lo ke mana saja? Kenapa baru nongol?" Sontak Devina mendorong Yasmin agar menjauh dari pintu. Kemudian menutup pelan agar tidak mengeluarkan bunyi. 

"Sorry, gue ketiduran," bohong Yasmin. Mimik wajah sengaja dibuat memelas seakan-akan merasa bersalah. 

"Lah, kenapa minta maaf ke gue? Kalau gue mah, enggak masalah lo datang atau enggak. Paling gue ngambek seabad sama lo. Sialnya, itu si Monster mana peduli. Siap-siap saja besok pagi nama lo terpampang nyata di mading." Devina tertawa mengejek sahabatnya itu. Apalagi ekspresi Yasmin terlihat seperti orang bodoh, mata melotot dan mulut menganga lebar.

"Sahabat macam apa lo? Ketawa di atas penderitaan gue," gerutu Yasmin. Ia menyandarkan tubuhnya di tembok. 

Sudah terlambat datang tapi masih saja banyak tingkah. 

"Lo juga, sih. Sudah tahu satu kelompok sama Maimunah, tapi masih saja bertingkah," nasihat Devina setelah mengatur kembali ekspresinya menjadi biasa. 

Yasmin mengacak rambutnya frustrasi. "Wah, lo kayaknya membela Maimunah. Lo sahabat gue apa Maimunah?" 

Dengan cepat tanpa berpikir Devina berkata, "Maimunah."

Yasmin mengentakkan kaki dan segera masuk ke dalam rumah. Jawaban Devina barusan membuat mood-nya jatuh bergelinding entah ke mana. 

Melihat tingkah Yasmin yang seperti itu sontak membuat Devina terkekeh. Bahkan sampai membuatnya memegangi perut karena kekehan yang keluar terlalu kuat dan membuat kram.

****

Tidak ada yang bisa dilakukan Yasmin selain duduk dengan kepala menunduk dan menjadi pendengar setia ceramah Maimunah. Yasmin seperti bocah nakal yang mencuri buah dari pohon milik tetangga sebelah lalu dinasihati oleh ibunya. 

Sebenarnya, Yasmin ingin sekali menjawab setiap kalimat yang dikeluarkan Maimunah, tapi Yasmin menahan sebisa mungkin. Ia tidak ingin jika besok pagi namanya menjadi topik utama dan juga tidak ingin nilainya anjlok karena tidak diikut sertakan oleh Maimunah. 

Istilah kata, saat ini Yasmin sedang merayu dan menjadi anak baik. 

"Lo dengar apa yang barusan gue bilang, kan?" tanya Maimunah antusias. 

Yasmin mengangguk berkali-kali. Jujur, sejak tadi dirinya tidak peduli dengan apa yang diucapkan Maimunah, bahkan ia tidak mendengar sama sekali karena pikirannya tengah melayang jauh. Jadi, untuk menghindari amukan lain, ia mengangguk saja. 

"Mai, jangan percaya. Gue yakin dia tidak mendengar sama sekali."

Yasmin mendelik pada Devina yang tengah menahan senyum. Dan sahabatnya itu hanya mengangkat bahu sebagai tanggapan. 

"Awas lo." Diucapkan hanya dengan pergerakan bibir tanpa mengeluarkan suara. 

Devina mengulurkan lidah. Yasmin semakin kesal akan tingkah Devina. 

"Eh, lo dengar gue apa enggak?" pekik Maimunah saat menyaksikan interaksi Yasmin dan Devina. Itu membuatnya kesal bukan main.

"Dengar. Enggak usah ngegas gitu dong. Entar jadi perawan tua lo. Mau?" 

Seketika Maimunah menepuk bahu Yasmin menggunakan buku. Kemudian berlalu menuju kamarnya. 

"Ngambek?" Yasmin menatap Devina yang masih tersenyum.

Devina mengangguk. "Gara-gara lo." 

"Aish!" Yasmin membantingkan kepalanya di sofa empuk. 

Ia merasa menyesal satu kelompok dengan Maimunah. Jiwanya seolah ditindas secara kejam tanpa iba. 

"Maimunah," cicitnya tertahan.

"Selamat menanti hukuman, Yasmin Aurora." 

Devina terkekeh setelah mengucapkan kalimat itu. Sedang Yasmin, ia hanya memasang wajah nelangsa, membayangkan hukuman yang akan ia terima besok di sekolah. Karena sudah pasti Maimunah menjadikannya target berhadapan dengan guru BP atau dengan bu Saveta.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status