Setelah lebih dari lima menit menikmati lengkung merah jambu milik kekasihnya itu, Briyan belum juga berniat untuk menarik diri. Terlebih, Chika sama sekali tak melakukan penolakan apa pun selain hanya diam dan seolah pasrah. Perlahan, Briyan pun membuka mata yang sedari tadi terpejam. Ia melihat ketenangan, setelah tadi hanya ada gurat gugup di wajah Chika. Semakin yakinlah dia, kalau Chika sudah benar-benar menjatuhkan hati terhadapnya.
Perlahan pula, Briyan pun menyusupkan kedua tangannya itu ke balik punggung Chika. Niat hati, ia pun ingin menyusupkan tangannya itu ke balik baju yang Chika pakai. Namun, baru saja telapak tangannya itu menyentuh punggung, Chika langsung terenyak.
“Yang?” gumamnya, setelah bibir di antara mereka terlepas seketika. “Aku lapar,” katanya lagi, demi untuk mengalihkan hasrat, yang ia sendiri merasa menggebu-gebu. “Tadi, katanya kita mau makan siang, kan? Ayo!”
Tak menjawab apa yang dikatakan Chika, Briyan pun langsung menarik diri sambil berdeham. Lantas, ia pun menyalakan mobilnya segera yang kemudian ia lajukan saat itu juga. Sebenarnya ia paham betul dengan keterkejutan Chika. Tapi, sisi keras kepalanya seketika mendominasi dirinya juga. Sehingga, membuat ia begitu kesal karena reaksi Chika yang berlebihan. Padahal, ia hanya ingin mendekapnya saja tadi.
Hening.
Sepanjang perjalanan menuju restoran yang Chika sendiri tak tahu di mana, keduanya tak bersuara. Chika diam dengan kebingungannya sendiri, perihal sikap Briyan yang tiba-tiba berubah dingin. Sementara Briyan, lelaki bertubuh tinggi tegap itu diam dengan kekesalan yang masih sama.
Sesekali Chika berdeham. Tapi, ia tak mampu membuka mulut untuk bertanya, kenapa kekasihnya itu berubah. “Aku, kan, cuman nggak mau kalau hal tadi berlanjut sampai dia berani menyentuh anggota tubuhku yang lain. Kenapa jadi dia yang marah? Harusnya aku, kan?” batinnya.
Namun, karena tak enak hati, Chika pun akhirnya berani menatap wajah lelaki di sampingnya itu. Lama dan dalam, sampai akhirnya ia berucap lembut. “Kamu kenapa? Kok, tiba-tiba murung gitu? Aku ada salah?” tanyanya, beruntun.
Lama, situasi di antara mereka kembali hening, sebelum akhirnya Briyan menggelengkan kepala. “Nggak apa-apa. Kamu nggak salah, kok, Yang. Aku 6ang salah. Maaf, ya?” ungkapnya.
“Loh, kok, gitu?” Chika pura-pura tak paham. Padahal, otaknya sudah menangkap apa yang dikatakan Briyan perihal ciuman mereka tadi.
“Dahlah, Yang. Pokoknya aku minta maaf karena udah berani nyium kamu, nyentuh kamu. Maaf,” ungkap Briyan kembali. Yang kemudian sukses membuat Chika berubah menjadi merasa bersalah juga.
Chika pikir, mungkin Briyan hanya ingin memeluknya. Tapi, dirinya justru bersikap, seolah Briyan akan memperkosanya. Karena bingung harus bicara apa, Chika pun akhirnya kembali diam. Dia tak ingin salah bicara, yang mungkin justru akan memicu pertengkaran.
“Dimaafin, kan?” tanya Briyan setelah beberapa menit kembali hening. Ia melirik Chika sekilas. Berharap, kekasihmu itu akan semakin melunakkan hatinya.
“Udah aku maafin. Nggak apa-apa. Mungkin, aku juga yang terlalu takut,” balas Chika, sembari menarik kedua sudut bibirnya tipis.
Gadis itu tersenyum sembari meraih dan meremas sebelah jemari Briyan yang baru saja mengoper gigi. Membuat Briyan seketika tersenyum juga, kemudian balas meremas jemari Chika sebelum kemudian ia tarik dan kecup dalam-dalam.
“Makasih, Sayang.” Briyan yang sedikit merasa senang pun bergumam sembari melirik Chika kembali. “Siap-siap, Yang. Bentar lagi kita sampai,” lanjutnya seraya kembali fokus melihat jalan. Ia pikir, lagi-lagi, dirinya kembali berhasil menarik simpati Chika.
***
Kesal setelah melihat Chika dan Briyan berciuman, Azka pun melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia membelah jalanan setengah ramai tanpa mengurangi rasa hati-hati. Namun, juga terkadang blank saking tertarik sepenuhnya isi pikiran pada apa yang ia lihat tadi. Hanya saja, Azka masih bisa menghindari kecelakaan yang mungkin saja dapat merenggut nyawa.
Sampai di kontrakan, Azka yang merantau dari desa di kota Sukabumi sana itu pun langsung memarkirkan motor, hasil dari kerja kerasnya menjadi seorang sopir pribadi Briyan, tepat di halaman depan kamarnya. Lantas, dengan langkah cepat ia pun membuka kunci terlebih dahulu sebelum masuk.
Panas akibat rasa cemburu, juga panas akibat cuaca siang hari di luar sana, membuat Azka merasa kebakaran sendiri. Sampai-sampai ia pun langsung membuka satu per satu yang ia pakai, sebelum akhirnya mengguyur sekujur tubuh dengan air di kamar mandi.
Berhenti sejenak, Azka memukulkan gayung yang digenggamnya itu ke atas air. Lantas, ia menenggelamkan kepala di sana untuk mendinginkannya, selama beberapa detik. Barulah setelah merasa pengap, Azka menarik kepalanya itu dengan sekali entakkan.
Air yang membasahi rambutnya seketika memuncrat, berhamburan menimpa dinding yang mengelilinginya. Azka menggelengkan kepalanya itu, kemudian ia menyapu air yang membuat perih matanya juga dengan gerakan cepat. Azka terengah karena napasnya terasa habis.
“Apa yang harus gue lakuin sekarang?” batinnya, seraya melanjutkan aktifitas mandinya itu. “Nggak mungkin juga kalau tiba-tiba, gue bilang kelakuan si Bos sama Chika. Jelas, dia nggak bakal percaya sama gue. Yang ada, gue pasti dipecat. Haish!”
Setelah membaluri kepalanya dengan shampoo, Azka beralih pada tubuhnya yang harus ia baluri sabun. Digosoknya keras-keras, saking terbawa perasaan. Dipikir, tubuhnya itu adalah Briyan yang sedang ia beri pelajaran.
“Tapi, gue takut kalau si Bos sampai berbuat macam-macam. Secara, si Chika nggak hanya cantik. Tapi juga lugu dan manis. Dia pasti mudah terperdaya oleh rayuan bulshit si Bos.”
Geram, Azka pun langsung meremas rambut penuh sabunnya. Lantas, kembali ia pun menenggelamkan kepalanya ke dalam air. Satu detik, dua detik, sampai akhirnya lima detik. Barulah setelah itu, Azka menarik diri dengan mulut menganga. Ia terengah karena hampir saja kehabisan napas.
“Gue harus bisa bikin mereka pisah lagi. Harus!” batinnya, kian geram pada keadaan karena ulahnya sendiri, sembari mengguyur tubuhnya lagi. “Bagaimana pun caranya. Terpenting, gue kagak dipecat!”
Karena sudah selesai, buru-buru Azka pun bangkit. Lantas, ia melilit tubuhnya itu dengan handuk yang seketika menutup perut sampai ke paha. Karena dirinya libur bekerja di hari Sabtu dan Minggu, tak ada kegiatan berarti setelah ini selain beristirahat setelah merasa begitu penat.
Namun, belum sempat Azka memakai baju, pintu kamar kontrakannya itu berbunyi. Seseorang mengetuknya dari luar. Azka bergidik, karena tak merasa ada janji dengan seseorang. Lantas, ia beranjak menuju tirai jendela untuk mengintipnya terlebih dulu.
Melihat siapa yang berdiri di depan pintu, seketika Azka mengernyit heran karena tumben orang itu main ke kontrakannya seorang diri. Ia pikir, mau apa temannya itu datang ke sana. Padahal, siang tadi, tak ada yang membuat mereka harus bertemu.
Karena belum memakai baju, Azka pun meminta waktu sebentar. Barulah setelah Azka berpakaian lengkap, ia langsung membuka pintu sambil berdecak malas. “Tumbenan. Ngapain lu ke sini? Sendiri pulak!” tanyanya
“Galak bener temen gue yang satu ini. Mentang-mentang gue nggak datang sama Chika, terus lu sombong gitu sama gue? Ish! Biasa aja kali. Santui. Lagian, salah lu juga. Ngapain ngenalin Chika sama bos lu itu? Padahal, gue tahu kalau lu juga suka, kan, sama dia?”Padahal, Maya yang baru saja datang itu masih di depan pintu. Ia belum masuk sama sekali. Tapi, mulutnya susah nyerocos setengah ngebut kalau disamakan dengan kendaraan beroda empat. Ia juga tertawa-tawa tak jelas sampai membuat Azka keheranan.“Nggak jelas lu! Dahlah, kalau mau ngajak ribut mending lu balik, deh. Gue lagi nggak mood terima tamu. Nggak mood ngobrol. Nggak mood ngapa-ngapain, apalagi sama lu!” ujar Azka seraya hendak menutup pintu.Namun, karena lengah, Azka justru kecolongan saat Maya memilih menerobos masuk daripada pergi dari rumah kontrakan temannya itu. Bahkan, ia yang lelah setelah sedikit berjalan-jalan sepulang kuliah, langsung melempar tubuh tinggi sedangnya itu
“Suka?”Setelah semua hidangan makan sore mereka terhidang di meja, Bryan pun menanyakan perihal menu makanan di restoran milik bibinya itu. Ayam bakar utuh bumbu barbeque, ikan bakar saus rujak nanas, dan sambal goreng lengkap dengan lalapan-nya tampak masih mengepul juga segar. Belum lagiChika menggeleng. Namun, itu bukan karena dirinya tak suka dengan hidangan tersebut. Melainkan karena tergiur dan tak sabar ingin segera menyantap juga menikmatinya sampai kenyang.“Suka,” katanya sambil menyengir lebar. “Tapi, apa nggak kebanyakan ini, Yang? Kita cuman makan berdua loh?” sambung Chika yang seketika mengingat Maya. Ia dan temannya itu bahkan, harus menunggu satu bulan untuk bisa menikmati makanan seenak dan semahal itu.“Nggaklah. Makannya nggak usah pakai nasi aja, gimana?” usul Bryan.Dia yang menjaga kekekaran tubuhnya itu memang jarang sekali menyantap nasi. Paling-palin
Azka tahu kalau yang dilakukannya pada Maya adalah sesuatu yang salah. Namun, ia tetap melakukannya tanpa merasa takit atau berdosa. Ia pikir, yang dilakukannya adalah apa yang diinginkan Mayan. Ia sama sekali tak meminta atau memaksa.Bahkan, jika diulang, Maya lah yang memulainya. Maya lah yang memancingnya. Ia hanya terbawa arus, sampai akhirnya terseret jauh sampai berani melakukannya sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada gadis mana pun.Azka yang baru saja menyelesaikan hasrat dalam dirinya itu menarik diri dari tubuh wanita di hadapannya. Tanpa kata atau pun apa, ia langsung melengos pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya dari keringat. Barangkali, guyuran air dapat menyapu amarahnya yang masih saja berputar dalam kepala. Dan, itu masih saja tentang Chika.Sementara itu, Maya yang juga tak merasa takit sama sekali dengan tindakannya, kemudian duduk seraya beringsut turun. Satu persatu ia ambil pakaian yang berceceran di lantai untuk seg
“Aih, ngos-ngosan gitu. Kenapa?”Di ruang belakang, tempat di mana para karyawan beristirahat, Chika yang baru saja menyimpan tasnya itu dalam loker mengernyit heran saat melihat Maya. Temannya itu menundukkan tubuhnya, dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Sementara deru napasnya terdengar cukup keras, sehingga dapat dipastikan, kalau Maya sedang dalam keadaan capek.Gadis di hadapan Chika itu pun mengangkat wajahnya cepat. Ia masih mengos-ngosan sampai mulutnya maju mundur dengan membentuk sebuah huruf O. Susah paya ia menelan ludah juga sebelum akhirnya berdiri tegak sambil menghela dan membuang napas panjang.“Gue takut telat. Makanya, barusan gue lari dari depan. Mana nggak sempat mandi gue. Kan, asem!” jawabnya sembari mengangkat kedua tangan. Kemudian, ia mencium keteknya sendiri, bergantian. “Tuh, kan ... bau asem!” Ia ngomel sendiri.“Dih! Jorok banget, sih, lu? Lagian, bukannya tadi lu pulang lebih du
“Nanti gue kasih tau!” bisik Maya pada temannya itu. Sengaja agar Chika merasa penasaran. Sementara ia sendiri, kemudian sibuk mekayani pembeli. Tak peduli saat Chika menyikut dan membujuknya untuk bercerita sekarang. Maya tetap tak mau.“Astaga! Lu udah bikin gue penasaran, abis itu ditinggal! Ya, kali!” umpatnya seiring bibir cemberut. Karena pemberi masih saja berdatangan, Chika pun terpaksa abai meski rasa penasarannya berputar-putar dalam bayangan. Sampai-sampai Chika tak merasa konsen.“Yang semangat dong! Sekarang, mending lu cerita tentang makan sore lu sama si Bryan. Seru nggak?” Maya pun kembali memancing Chika untuk bicara, setelah sebelumnya merajuk.“Nanti aja gue ceritain. Sibuk gini!” timpalnya, balas mengatakan apa Yang dikatakan Maya. Chika yang masih cemberut itu seketika menarik kedua sudut bibir, berusaha tersenyum ranah pada pembeli saat kembali mulai melayani.
“Jadi, Maya nelepon gue karena ingin memberitahu keadaan Chika? Astaga! Gue emang bodoh! Tolol!”Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Azka yang sedang menyetir mobil bosnya itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bahkan, ia sampai tak dapat menahan amarah yang membuatnya berulang kali mengepalkan telapak tangan. Sesekali ia pukulkan telapak tangan itu ke setir. Sesekali ia pukulkan pula kepalan tangannya itu ke paha tanpa Bryan sadari.Bosnya yang duduk di belakang itu Azka lihat tengah fokus pada layar ponsel. Bahkan, Azka yakin kalau Maya sedang memberitahu Bryan tentang kejadian yang membuat Chika masuk ke rumah sakit. Azka ingin tahu. Tapi, kali ini ia tak berani bersua.Bryan tahu kalau Azka menyukai kekasihnya. Tapi, Bryan tak kan memberinya kesempatan karena Chika susah menjadi miliknya sepenuhnya. Dengan memperingatkan Azka agar tak merusak hubungan mereka. Barulah setelah Bryan sendiri yang merusaknya, Azka boleh memungut Chika.Seke
Dilihatnya Maya tengah berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Azka dan Bryan pun langsung menghampiri mereka. Bahkan, Azka yang begitu cemas akan keadaan Chika pun langsung bertanya tanpa mengucapkan sapaan dan basa-basi. Beda dengan Bryan yang justru hanya berdiri saja, mendengarkan dua orang di hadapannya.Alih-alih menjawab, Maya justru memarahi Azka habis-habisan karena telepon yang dihubungkannya tadi, justru ditolak Azka. Maya bilang, saat itu ia sedang di perjalanan menuju rumah sakit yang tak begitu jauh dari minimarket. Dan dia ingin memberitahu Azka langsung. Tapi, yang didapatinya justru penolakan. Itu kenapa, Maya pun menghubungi Bryan dari ponsel Chika.Katanya, “Sekarang Chika lagi ditangani dokter. Soalnya tadi dia lemes banget sebelum akhirnya pingsan.”“Ya, Tuhan. Maafin gue, May. Gue pikir, bukan urusan penting. Tadi gue mo nge-gym sama si Bos soalnya.” Azka beralasan. “Tapi,
“Oh, iya. Ya, sudah. Ayo!”Maya yang baru saja masuk itu pun kembali keluar dengan langkah kesal. Dalam hatinya merutuk, gemas akan sikap Azka yang masih saja ketus padanya. Padahal, Maya harap, setelah tidur bersama akan membuat Azka luluh. Tapi kenyataannya tidak. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu justru tampak begitu jijik padanya.Namun, Mayang tak kan menyerah begitu saja. Ia akan terus berjuang, meski mungkin akan melewati hal sulit untuk bisa mendapatkan Azka. Dia pikir, tak mengapa untuk saat ini dirinya terlihat begitu menjijikkan. Tapi nanti, ia pastikan, Azka sendiri uang akan mengejarnya.Sembari terus berjalan melewati lorong panjang di rumah sakit tersebut, Maya tak menoleh sama sekali. Ia pikir, menunggu teman-temannya di parkiran akan jauh lebih baik untuk hati dan perasaannya ketimbang jalan bersama. Maya tak ingin melihat seringai peduli di mata Azka untuk Chika. Ia pikir, ia tak mau melihat seringai jijik