Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali.
"Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!"
Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih.
Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama.
"Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea.
Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa Radhika tergila-gila padanya. Hanya saja saat kembali dari Philadelphia, Evangeline terlihat buruk dan kacau, membuat Milea merasa khawatir dan simpatik.
"Hah, kamu terlalu memujiku. Kamu juga sangat cantik, Beb!" Evangeline langsung memeluk Milea dan menyentuhkan sisi wajahnya secara bergantian ke sisi wajah temannya.
"Ayo masuk dan bersenang-senang! Lupakan segala kegundahan dan mantan tak guna!" seloroh Milea penuh semangat.
Evangeline tertawa mendengar ucapan temannya itu. Mereka akhirnya masuk ke klub itu, Milea sudah membocking ruangan untuk mereka berdua.
Keduanya tampak menikmati malam itu, Evangeline bisa sejenak melupakan rasa sakit yang sudah menekan jiwanya selama enam bulan ini. Milea adalah teman terbaik Evangeline, begitu wanita itu menghubungi dirinya kalau ingin bercerai dengan Radhika, Milea langsung menerima Evangeline dengan tangan terbuka, ia adalah tempat mencurahkan rasa sakit yang sedang dirasakan temannya itu.
Evangeline sudah tidak memiliki siapapun, kedua orangtuanya sudah meninggal sedangkan saudara dari orangtuanya tidak pernah baik kepadanya. Semasa sekolah, keluarga Milea yang memang dari kalangan atas, membantu biaya sekolah gadis itu. Kemudian saat masuk perguruan tinggi, Evangeline memilih bekerja sambilan untuk bisa membiayai hidup dan pendidikannya, ia hanya merasa tidak enak hati jika terus merepotkan keluarga Milea.
"Aku mau ke kamar kecil," ucap Evangeline yang langsung berdiri sedikit sempoyongan.
"Mau aku antar?" tanya Milea yang sadar jika temannya itu sudah mabuk parah.
Evangeline hanya menggoyangkan telapak tangannya tanda tidak perlu, ia pun berjalan sedikit gontai keluar dari ruangan itu. Mungkin dia gila karena sudah mabuk seperti itu, tapi ini salah satu cara untuk melupakan kenangan yang terus muncul dalam pikirannya.
Wanita itu berjalan seraya meraba tembok, kakinya sedikit terseok dan hampir membuatnya terjatuh. Hingga tanpa sengaja ia menabrak seorang pria, Evangeline terjatuh tapi pria itu menatapnya dengan wajah dingin dan datar tanpa menolongnya.
Evangeline yang terjatuh ke lantai lantas mendongakkan kepala, matanya sampai menyipit untuk bisa melihat siapa pria yang berdiri tapi tidak mau menolongnya. Dasar orang mabuk, ia langsung bangun kemudian memegang dada pria itu lalu mulai meracau.
"Wah, Tuan! Anda ternyata tampan sekali!" Evangeline tersenyum manis dengan mata yang menyipit.
"Lepaskan tangan kotormu!" perintah pria tadi yang ternyata adalah Devan.
Mungkin ini keberuntungan untuk Evangeline, Devan tidak sadar jika itu sekretarisnya karena penampilan wanita itu begitu sangat berbeda.
"Cih ... Tuan! Anda sombong sekali! Baru aku pegang sedikit saja sudah galaknya minta ampun!" Evangeline yang benar-benar terpengaruh alkohol langsung mencengkeram jas Devan dengan kedua tangan.
Danny yang berdiri di belakang Devan pun mencoba melepas tangan Evangeline karena atasannya itu tidak suka jika disentuh orang sembarangan.
"Nona, Anda jangan kurang ajar!" Danny mencoba melepas tangan Evangeline tapi tidak berhasil.
"Diam kamu!" bentak EvangelinepEvangeline Danny, ia kemudian menatap Devan yang terlihat memalingkan wajah karena malas.
"Hei, Tuan! Jangan sombong-sombong! Anda pernah dengar, orang benci itu bisa jadi cinta, jangan sampai Anda nanti cinta karena benci kepada saya, ya!" racau Evangeline semakin menjadi.
Devan membulatkan bola mata lebar, melotot pada Evangeline yang masih mencengkeram jas dan tersenyum pada dirinya.
"Dasar wanita gila! Lepaskan!" Devan mencoba melepas tangan Evangeline.
Namun, kejadian selanjutnya membuat Devan dan Danny terkejut tidak percaya. Evangeline menenggelamkan wajahnya ke dalam jas Devan, memuntahkan isi perutnya di sana.
"Dasar gila!!!" teriak Devan panik karena kemeja dan jas-nya kini penuh dengan muntahan Evangeline.
"Ahh ... lega!" Evangeline mengusap sisa muntahan di permukaan bibirnya dengan punggung tangan. Ia sudah melepas tangannya dari jas Devan lantas menyandarkan tubuhnya di tembok.
Danny ikut panik melihat wajah Devan yang memerah menahan amarah, pria itu langsung melepas jas dan kemeja lalu melemparnya serampangan. Kini Devan bertelanjang dada, memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan otot dada yang membentuk sempurna.
"Saya akan mengambilkan pakaian Anda." Danny langsung berlari ke arah luar klub menuju mobil.
Devan memicingkan mata pada Evangeline yang terlihat menyandarkan kepala di tembok dengan mata terpejam, pria itu merasa harinya begitu buruk sampai bertemu dengan wanita mabuk yang muntah ke jasnya.
Milea yang merasa jika Evangeline pergi terlalu lama pun berniat menyusul, ia lantas keluar dari ruangan. Baru saja berjalan beberapa langkah, Milea terkejut melihat Devan yang bertelanjang dada dengan Evangeline yang menyandar pada tembok. Ia langsung berlari menghampiri temannya itu.
"Dia teman kamu?!" tanya Devan dengan nada sedikit membentak ketika melihat Milea menghampiri Evangeline.
"I-iya," jawab Milea sampai tergagap, melihat tatapan dingin yang menusuk membuat Milea sampai merinding.
"Lihat kelakuan temanmu! Dia sudah muntah di tubuhku! Jika bukan wanita, sudah aku remas mulutnya!" geram Devan seraya menunjuk pada jas dan kemeja yang teronggok di lantai.
"Ma-maaf, nanti saya ganti pakaian Anda," ucap Milea mencoba mempertanggung jawabkan kelakuan temannya.
"Aku tidak butuh! Jaga saja temanmu agar berperilaku baik!" bentak Devan.
Begitu melihat Danny datang membawa setelan jas, Devan langsung meninggalkan Milea dan Evangeline.
"Wow, tubuhnya sungguh bikin jantung bergetar. Ck ... ck ... benar-benar mubazir tuh tubuh seksi," gumam Milea seraya melihat punggung Devan yang berlalu pergi.
Kemudian ia sadar akan kondisi temannya, Milea langsung memapah Evangeline dan membawanya pergi dari sana.
"Dasar gadis bodoh, mabuk sampai muntah ke tubuh orang. Untung itu orang nggak ngapa-ngapain kamu!"
-
--Evangeline memegangi kepalanya yang pening, ia mencoba menggerakkan kelopak matanya yang terasa berat.
"Aghh ... sakit!" Evangeline merasakan kepalanya yang begitu berat.
Ia bangun dan duduk bersandar kepala ranjang. Evangelinep meraih ponsel di atas nakas, ia melihat waktu masih menunjukan pukul enam pagi. Evangelina mengangsurkan kakinya, ia hendak pergi ke kamar mandi tapi tatapannya tertuju pada paper bag yang ada di atas meja.
Evangeline pun melihat apa itu karena penasaran. Ia langsung menutup hidung karena bau busuk tercium dari paper bag.
"Apa ini?" Evangeline langsung menutup paper bag itu.
Ada secarik kertas di bawah paper bag, ia lantas membaca tulisan di sana.
'Heh, dasar gadis bodoh! Kalau sudah sadar cepat kabari aku. Mabuk sampai segitunya, merepotkan saja! Oh ya, itu adalah pakaian pria yang kamu muntahin semalam, jangan lupa dicuci!'
Evangeline membulatkan bola mata lebar, ia sampai terduduk di sofa ketika tahu jika dirinya muntah pada pakaian orang, pantas saja pakaian yang ada di papar bag itu begitu bau, ternyata itu ulahnya sendiri.
"Pria? Siapa? Ahh ... masa bodoh!"
Evangeline menyambar paper bag berisi kemeja dan jas Devan, ia langsung memasukannya ke mesin cuci, memberi deterjen dan pewangi sebanyak mungkin agar tidak bau.
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas
"Oma!" teriak Angel begitu sampai di rumah.Angel berada di perusahaan Devan sampai sore, gadis kecil itu tidak mau dipisah dari Evangeline."Ya ampun, kenapa baru pulang?" tanya Sonia—Nenek Angel."Angel tadi sama mama Ivi," jawabnya seraya naik ke pangkuan Sonia.Sonia mengernyitkan dahi, ia tidak mengerti kenapa Angel memanggil nama 'mama Ivi'."Ma-mama Ivi siapa?" tanya Sonia bingung, ia menatap Angel dengan ekspresi keheranan.Devan yang baru saja masuk rumah tampak sedikit melonggarkan dasinya lalu duduk di sebelah Sonia. Ia ikut mendengarkan celotehan Angel."Mama Ivi itu bibi yang kemarin nolong Angel. Itu lho yang pakai kacamata!" Angel menjelaskan pada Sonia.Sonia bisa menangkap maksud cucunya, tapi ia bingung kenapa Angel memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama Ivi'.Angel menjelaskan jika dirinya menganggap Evangeline
Devan melepas dasi kemudian membuka kemejanya, ia lantas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Pria itu menyalakan shower air, membiarkan air mengguyur tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Entah kenapa tiba-tiba Devan teringat akan kejadian lima belas tahun yang lalu setelah Evangeline menyentuhnya, kejadian di mana ia memiliki kenangan buruk yang membuatnya trauma hingga pada akhirnya ia merasa jijik dengan wanita.Devan saat itu berumur lima belas tahun, ia baru saja duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Pemuda itu menunggu Diana—Adik perempuannya, Diana kala itu duduk di kelas dua SMP.Diana terlihat berjalan cepat menuju ke arah Devan, gadis itu melambaikan tangan kepada kakaknya."Sudah lama?" tanya Diana begitu sampai di hadapan Devan."Nggak, baru saja. Ayo pulang!" ajak Devan seraya menggandeng adiknya itu.Mereka memang berjalan kaki saat pulang
Evangeline terlihat sedang menyusun dokumen, hari ini dia terlihat begitu serius bekerja. Evangeline melihat laporan untuk pengajuan Tender yang akan diikuti oleh perusahaan Devan. Perusahaan Devan salah satunya adalah sebuah perusahaan properti, tentu saja mereka tidak akan melewatkan setiap ada proyek besar yang akan dilaksanakan.Wanita itu tampak mencermati dan mempelajari berkas itu, tapi ia merasa ada yang kurang. Evangeline yang sudah biasa membantu Radhika memenangkan Tender melalui ide-idenya agar bagian penyelenggara tertarik, tentu saja merasa perlu membantu perusahaan atasannya agar bisa menang Tender yang akan mereka ikuti.Evangeline membawa berkas itu, ia lantas berjalan menuju meja Devan. Evangeline meletakkan dokumen di tangan ke atas meja."Pak, untuk pengajuan Tender ini, saya punya usul," ucap Evangeline memberanikan diri seraya menunjuk pada berkas yang ia bawa.Meski bagian pengajuan ada sendir
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, sudah waktunya bagi Evangeline untuk kembali. Namun, Evangeline bingung karena Angel terus menempel padanya selepas pulang sekolah."Ica, Mama Ivi mau pulang. Ica sama paman, ya!" bujuk Evangeline seraya merapikan berkas di atas meja."Pulang? Ica ikut!" pinta Angel penuh semangat, gadis kecil itu langsung mengemas buku dan peralatan menulisnya lalu memasukannya ke tas.Evangeline terkesiap, ia tampak bingung dengan permintaan Angel. Wanita itu sampai menggaruk-garuk kepala tidak gatal."Lho, Ica harus pulang sama paman," bujuk Evangeline lagi memberi alasan.Angel menggelengkan kepala, ia malah berteriak memanggil Devan. Evangeline semakin bingung, ia kemudian berjongkok dan memberi pengertian pada gadis itu."Ica harus pulang, kasihan oma. Ica tega ninggalin oma? Kalau oma nyari Ica gimana?" tanya Evangeline dengan nada membujuk."Ica telpon dong, bilang mau tidur di rumah Mama Ivi," balas gadis itu
Evangeline menghidu uap panas yang mengepul dari makanan yang ia masak. Setelah merasa jika rasanya sudah pas dan matang, Evangeline mematikan kompor kemudian menuangkan makanan itu ke mangkuk saji.Devan yang sadar jika Evangeline telah selesai pun bergegas duduk ke sofa, jangan sampai ia ketahuan memperhatikan wanita itu sejak dari tadi."Ica! Makan malam, yuk!" ajak Evangeline.Angel yang mendengar ajakan Evangeline pun langsung bangkit dan berlarian kecil menuju meja makan, seolah sudah biasa dan tidak merasa canggung di rumah Evangeline."Pak, Anda tidak ingin bergabung?" tanya Evangeline yang melihat Devan masih duduk.Mendengar tawaran Evangeline tentu saja membuat Devan langsung bangkit dan berjalan menuju meja makan. Meski pria itu mengeluarkan ekspresi datar, tapi jauh di dalam hatinya ia merasa bahagia karena Evangeline masih ingat untuk menawari dirinya makan malam."Say