Satu
"Vian *oppa, wo ai ni, saranghae* !" Teriakan-teriakan tersebut terdengar lumayan keras dari para gadis yang tengah berkerumun di halaman luas nan terbuka tersebut. Namun, tidak hanya di sana. Di sebuah rumah, di depan layar televisi, seorang gadis juga meneriakkan kata-kata yang sama. "Vian oppa, saranghae, saranghamida. Vian oppa, my honey, bunny, sweety, love you very much ...!" BUGH! Sebuah bantal berukuran besar melayang dan menimpa wajah gadis tersebut. "Berisik amat sih!" keluh seorang gadis lain yang duduk tidak jauh dari gadis itu."Norak, lihat orang di layar aja teriak-teriak. Mending di sana kedengaran, kalau di sini, gak bakal juga dia dengar, kecuali dia punya pendengaran super." "PARK KARIN!" gertak gadis yang tadi berteriak-teriak tersebut sambil menatap tajam pada gadis yang baru menegur."Kamu itu sirik amat, sih. Kenapa? Kamu nggak suka Vian oppa? Kamu hatersnya, ya?" "Ih, kenal juga kagak, ngapain juga jadi hatersnya? Yang aku gak suka itu kamu ribut, loncat-loncat sampai bantalan kursi aku amblas, belum lagi aku gak bisa kerja karena dengar bisingnya teriakan kamu, Nona Silvi," sahut Karin. Silvi terkekeh dan segera mengalungkan lengan di leher Karin kemudian memeluk erat. "Maafkan aku, my BFF, I don't know about that." "Now you know about that. Jadi, sekarang lepaskan leherku. Kamu dah bikin aku susah napas," sahut Karin dengan suara tercekik dan memukul-mukul tangan sahabatnya itu. "Oh, oh,mianhae, sahabatku," ucap Silvi sambil segera melepaskan tangannya. Karin hanya menggeleng saja sambil kembali mengerjakan tugasnya. Mengerjakan desain sebuah kafetaria dengan komputer. Ia kemudian kembali fokus. Namun, itu tidak bertahan lama, karena beberapa saat kemudian Silvi kembali bersorak sambil melompat-lompat. Kata-kata oppa dan saranghae kembali meluncur dari bibir sahabatnya itu.*** Karin tengah mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Sebenarnya ia masih agak mengantuk. Gara-gara Silvi yang berteriak-teriak memanggil idola kesayangannya, ia tidak bisa fokus dan harus menunda pekerjaan. Pekerjaan tersebut akhirnya bisa ia kerjakan di saat hari telah larut dan dini hari baru selesai. Karin berniat menambah kecepatan, tetapi sebuah mobil sport berwarna hitam metalik meluncur tiba-tiba di depannya. Karin yang mengerem mendadak tidak bisa mempertahankan keseimbangan sepedanya dan terjatuh di aspal. Mobil hitam tersebut berhenti dan sang pemilik keluar dari bagian belakang mobil. Ia melihat sekilas pada mobilnya yang masih mulus. "Kau beruntung mobil kesayanganku tidak tergores. Jika tidak kau harus membayar ganti rugi," ucapnya pada Karin yang masih terduduk di aspal. Karin tertegun. Entah mengapa, ia merasa telah mengenal wajah pria itu. Pria tersebut kemudian berbalik dan bergegas pergi. Karin merasa geram. Ia tidak terima diperlakukan seperti itu. Jelas-jelas mobil itu yang salah, dia juga yang jatuh dan terluka, tetapi mengapa dia yang disalahkan oleh pria itu? Karin segera bangkit berdiri. Dengan langkah terpincang, mengejar pria tersebut. "Hei kau!" teriaknya sambil menerjang dan menarik baju pria itu. Ia bersiap untuk melayangkan bogem mentah, tetapi siapa sangka baju pria tersebut robek dan memperlihatkan dada bidangnya. Karin yang terkejut kehilangan keseimbangan dan langsung mendaratkan ciuman pada dada nan putih mulus tersebut. Ia dan pria itu jatuh bersamaan dengan dirinya berada di atas tubuh pria itu dan bibir tetap menempel pada dada sang pria. Mata Karin membeliak lebar seiring suara-suara jepretan kamera. Ia kemudian segera bangkit dan mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Sementara si sopir mobil segera turun dan menolong pria yang telah jatuh bersamanya tersebut untuk berdiri. Pria itu masih menatap marah pada Karin, tetapi segera pergi dari sana saat beberapa orang yang membawa kamera mendekat. Karin juga bergegas pergi dari sana.*** 'KENCAN RAHASIA IDOL TERNAMA TERTANGKAP KAMERA' Tulisan besar dan foto di surat kabar tersebut termuat di halaman depan. Vian membanting surat kabar tersebut dengan penuh marah. Ia yakin gadis yang terjatuh bersamanya itu telah merencanakan semua. Gadis itu pasti fans beratnya yang terlalu tergila-gila padanya. Sudah lama ia mendengar ada fans yang begitu gila melakukan apa pun untuk bisa dekat dengan idolanya, tetapi hal itu tidak pernah menimpa dia sebelumnya. Baru kali ini dan namanya langsung menjadi bulan-bulanan di media massa. Ponsel Vian berdering beberapa saat kemudian. "Kau berada di mana? Datang ke ruanganku sekarang!" perintah orang di seberang saat Vian menerima panggilan telepon tersebut. Vian segera bergegas. Telepon tersebut adalah dari pimpinan agensinya. "Pak Han, saya minta maaf. Itu semua adalah ketidaksengajaan. Saya berjanji hal semacam ini tidak akan terulang," ujar Vian saat berada di ruangan pimpinan tersebut. "Vian, aku tahu asmara adalah hal pribadi, tapi kau adalah seorang bintang. Kau harus bisa menjaga sikap. Sekarang jika kau berhubungan dengan seorang gadis, maka karirmu yang akan menjadi taruhan." "Pak, gadis itu bukan kekasihku. Saya bahkan tidak mengenalnya. Saya rasa dia sengaja melakukan ini." Pak Han terdiam sejenak. Tatapan matanya tetap tertuju pada sosok Vian di depannya. "Baiklah, kau boleh pergi, tapi untuk sementara jangan kemanapun. Kau harus mengurung diri. Jangan menjumpai siapa pun, terutama wartawan. Masalah ini, kami yang akan mengurus." Vian hanya mengangguk pasrah. Ia sudah tidak berdaya untuk menolak perintah itu. "Oh, ya, untuk sementara proyek-proyekmu juga akan ditangguhkan. Peran drama dan filmmu akan dialihkan pada artis lain." "Apa? Tapi ...." Pak Han mengangkat tangan menghentikan ucapan Vian. Ia kemudian mempersilakan Vian untuk keluar ruangan. Tangan Vian tergenggam erat. Emosi meluap dalam dadanya. Perlakuan semacam ini tidak seharusnya ia terima. Semua kemalangan terjadi karena gadis yang menabraknya itu.*** "Hai, Vian," sapa seorang pria sambil melambaikan tangan di depan wajah Vian. Pada wajah tampan pria tersebut tersungging seulas senyum mengejek. Vian berusaha mengabaikan dan terus melangkah pergi. "Vian," panggil pria itu dari belakang."Apa kau tahu semua proyek dramamu dialihkan pada seorang artis bernama Matthew Lee alias aku?" Vian terus saja melangkah tanpa peduli. Matthew tersenyum kecil dan kembali memanggil Vian,"makasih, Vian, ternyata kau memang begitu baik hati."*** Karin duduk seorang diri di kantin. Saat jatuh, desain yang ia bawa masuk ke selokan dan rusak parah. Tidak ada yang tersisa. Pekerjaan yang ia lakukan semua berakhir sia-sia. Edwin juga pasti marah besar padanya. Edwin adalah rekan kerja sekaligus atasan Karin. Meski masih muda, Edwin telah menjadi perancang bangunan yang sukses. Ia pula yang membimbing Karin dalam melakukan pekerjaannya. Karin menghela napas dan menyandarkan kepala pada meja di depannya. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Edwin sambil tersenyum dan ikut menyandarkan kepala di samping Karin.
"Apa kau marah padaku? Benar juga, aku seharusnya tidak bertanya begitu. Kau sudah pasti marah dan kecewa sekali padaku," ucap Karin. "Karin, mana mungkin aku marah padamu? Kau adalah orang terdekat dan orang yang paling berarti untukku," ucap Edwin. "Tapi kau pasti kecewa padaku." "Tidak," ucap Edwin sambil membelai kepala Karin."Aku yakin yang terjadi adalah bukan salahmu." Karin menghela napas perlahan."Tapi aku tetap merasa bersalah. Aku sudah menghancurkan proyek penting ini." "Karin, kau tahu apa yang paling aku khawatirkan? Kau terluka seperti sekarang ini. Aku tidak mau mrlihatmu terluka." Karin tersenyum."Ini hanya luka ringan. Aku baik-baik saja." "Kau ini harus menjaga dirimu. Jangan membuat aku khawatir lagi!" Karin bangun dari tidurnya dan menghormat. "Siap, Bos!" serunya. Edwin tersenyum dan mengacak rambut Karin. Tanpa
"Dia adalah seorang perancang bangunan. Jangan khawatir, saya akan mengatasi dia," ucap Jason, asisten Vian. Vian menatap ke layar di mana foto Karin terpampang jelas."Tidak perlu, aku akan melakukannya sendiri." "Tapi ...." "Ini adalah balas dendamku. Aku yang akan menangani sendiri."*** Karin sedang sibuk merancang maket di kantornya saat Edwin berjalan masuk. "Pekerjaan yang bagus. Kau melakukannya dengan baik," puji pria itu. "Sebaiknya kita tidak bertemu berdua saja seperti sekarang. Aku tidak mau Anna marah lagi padaku," sahut Karin yang terus melihat pada maket di depannya. Ia tidak menoleh sedikitpun pada Edwin. "Karin, aku sungguh menyukaimu," ucap Edwin sambil meraih tangan Karin. "Edwin, aku sudah bilang aku hanya menganggapmu teman. Teman yang sangat baik. Aku tidak mau merusak persahabatan kita dengan perasaan lebih dari itu."&
Karin datang ke restoran untuk bertemu dengan Vian. Ia melihat pria itu tengah duduk dengan topi dan kacamata hitam. Awalnya ia tidak mengenali jika Vian tidak melambaikan tangan lebih dulu. Di depan pria itu, hanya tersaji sebotol air mineral. Tampaknya meski karir mengalami kemunduran, menjaga penampilan tetap menjadi hal utama bagi pria itu. Karin segera duduk di hadapan Vian. Ia merasa lega. Pertemuan di tempat umum seperti sekarang lebih nyaman daripada di tempat tertutup seperti kantor Edwin kemarin. Yang mengatakan Vian pria yang sopan, maka menurut Karin itu adalah bohong belaka. Pria itu bahkan berani bersikap kurang ajar padanya di kantor itu. "Apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya Vian sambil tersenyum ramah. Karin menggeleng. Ia kemudian segera membuka tas hitam yang dia bawa. Tangannya terulur untuk mengambil sketsa. Akan tetapi, Vian yang telah berdiri di depan gadis itu, membungkuk dan memegang tangan Karin.
"Kau ini sedang apa?" tegur Karin sambil berusaha melepaskan rangkulan Vian di pinggangnya."Jangan macam-macam atau aku keluar dari proyek ini!" Vian melihat gadis itu sesaat kemudian mengangkat bahu dan melangkah pergi.'Ada apa sih dengannya?' gerutu Karin dalam hati.'Seenaknya saja main rangkul pinggang orang.' Vian yang melangkah menjauh juga merasa kesal. Entah apa yang terjadi padanya, saat Karin berbicara dengan pria lain, ia merasa tidak senang. Karena itu, tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri dan meraih pinggang gadis itu. 'Pikiranku pasti sudah kacau. Setelah proyek ini selesai, mungkin sebaiknya aku tidak bertemu atau bicara dengan Karin.'*** Karin datang ke kantor keesokan hari untuk melaporkan kemajuan proyek dia dengan Vian. Akan tetapi, Edwin malah menyuruh dia untuk berhenti dari proyek itu. "Kenapa? Proyek ini telah hampir berhasil. Cafetaria itu sebentar la
Keesokan hari, di kantor, Karin sibuk untuk merancang ulang cafetaria Vian. Gadis itu menggambar beberapa sketsa dan kembali menggambar model bangunan dengan komputer."Ada apa ini?" tegur Edwin yang berjalan memasuki ruangan. Ia tahu proyek cafetaria milik Vian telah hampir usai, tetapi ia tidak mengerti mengapa Karin masih terlihat sibuk, padahal tidak ada proyek baru untuk gadis itu setelah menolak berpindah dari proyek Vian."Vian tidak setuju dan ingin mengubah konsep yang kemarin, jadi aku merancang ulang lagi," jawab Karin tanpa menoleh. Gadis itu tampak begitu fokus dengan pekerjaan di depannya. Edwin menarik tangan Karin hingga mereka saling berhadapan."Sudah cukup!" tukasnya."Jangan kerjakan proyek ini lagi!" "Aku sudah mengatakan padamu, ini adalah proyekku. Aku yang memulai dan akan menangani sampai akhir." "Karin, dia hanya mempermainkanmu. Dia sengaja melakukan ini untuk terus mengikatmu
Di perhentian selanjutnya, Silvi membawa Ksrin untuk keluar dari bus. Silvi kemudian menyeret Karin menuju ke taksi yang dia hentikan. Akan tetapi, Karin menolak dan malah mendorong sahabatnya itu ke dalam taksi terbuka. Karin kemudian kembali berjalan sambil tertawa-tawa. Silvi tentu tidak tinggal diam. Dia langsung mengejar Karin. Vian tengah duduk melamun di dalam mobil yang dikemudikan sopir pribadinya. Ia merasa bersalah pada Karin. Seandainya tahu semua akan menjadi seperti sekarang, ia tidak akan muncul dalam kehidupan gadis itu. Niat dia hanya untuk membalas perbuatan gadis itu, bukan untuk membuatnya dipecat. Mobil berwarna hitam tersebut berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Vian yang melihat keluar jendela tertegun saat melihat saat sosok Karin berjalan tidak jauh dari mobilnya. Wajah Karin tengah tertawa-tawa dan jalan dia tampak tidak beraturan. Melihat saja, Vian tahu Karin tengah mabuk berat.*
"Apa kalian tadi akan berciuman?" tanya Silvi sambil tersenyum kecil. Karin menoleh cepat mendengar itu, tetapi kemudian dia segera menggeleng. "Hubungan kalian sungguh tidak biasa, tapi aku bisa merasakan ada ikatsn yang terjalin di antara kalian," ucap Silvi lagi. 'Jangan asal bicara. Tidak ada ikatan apa pun di antara kami. Kami tidak saling menyukai karena ada masalah di antara kami,' tulis Karin panjang lebar.*** Karin tengah duduk seorang diri di ruang tengah rumah Vian. Ia menghela napas panjang. Tidak lama, ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Di luar, hari telah menjadi gelap. "Kenapa? Apa kau merindukan rumahmu?" tegur Vian yang baru saja masuk di ruangan tersebut. Karin mengangguk. "Aku sudah membaik. Tentu aku ingin segera pulang," sahut Karin yang telah bisa berbicara normal. "Duduklah!" perintah Vian sambil meraih dan membimbing Karin kembali duduk di tempat duduknya semula. K
"Kau mau ke mana?" tanya Anna sambil menatap Edwin. "Itu bukan urusanmu!" sahut Edwin. Edwin hendak keluar, tetapi Anna segera meraih tangannya. "Apa kau hendak pergi menemui Karin?" Edwin diam tidak menjawab. Anna berjalan masuk ke ruangan pria itu dan duduk di kursi. "Kau mungkin lupa dengan yang terjadi. Karin pergi dari tempat ini bukan karena kau mengeluarkan dia. Seandainya dia ingin tetap di sini, dia bisa memohon untuk itu. Dia pergi karena ingin bersama aktor itu. Ia telah memilih aktor itu daripada dirimu," tutur Anna. Edwin terdiam sejenak kemudian menggeleng."Aku yang mengeluarkan dia dari pekerjaan. Karin adalah orang yang keras. Ia tidak akan memohon padaku untuk pekerjaannya." "Aku akan menemui dia sekarang dan meminta dia kembali," lanjut Edwin lagi sambil bergegas. "Edwin!" panggil Anna."Apa kau tidak sadar Karin tidak mencintaimu? Dia