Share

Dua

  "Apa kau marah padaku? Benar juga, aku seharusnya tidak bertanya begitu. Kau sudah pasti marah dan kecewa sekali padaku," ucap Karin.  

  "Karin, mana mungkin aku marah padamu? Kau adalah orang terdekat dan orang yang paling berarti untukku," ucap Edwin.

  "Tapi kau pasti kecewa padaku."

  "Tidak," ucap Edwin sambil membelai kepala Karin.

"Aku yakin yang terjadi adalah bukan salahmu."

  Karin menghela napas perlahan.

"Tapi aku tetap merasa bersalah. Aku sudah menghancurkan proyek penting ini."

  "Karin, kau tahu apa yang paling aku khawatirkan? Kau terluka seperti sekarang ini. Aku tidak mau mrlihatmu terluka."

  Karin tersenyum. 

"Ini hanya luka ringan. Aku baik-baik saja."

  "Kau ini harus menjaga dirimu. Jangan membuat aku khawatir lagi!"

  Karin bangun dari tidurnya dan menghormat.

  "Siap, Bos!" serunya. Edwin tersenyum dan mengacak rambut Karin. Tanpa mereka ketahui, seorang gadis memperhatikan itu dengan raut marah.

***

  "Dia itu memang genit. Dia hanya bisa merayu Edwin. Lihat, proyek ratusan juta amblas karena dia dan Edwin juga tidak marah," tukas seorang gadis berambut ikal pada beberapa gadis lain yang berada di dekatnya.

  "Kurasa tidak seperti itu. Dia begitu sedih karena proyek itu gagal. Edwin bersikap begitu mungkin karena melihat dia begitu sedih. Kau saja yang terlalu cemburu," sahut gadis di sebelahnya.

  "Benar, benar, kita semua juga tahu, sejak awal kerja di sini, kau sudah suka dengan Pak Edwin," sahut orang yang lain.

  Wajah gadis yang awal bergosip berubah cemberut. Tidak disangka,ia yang bermaksud menyebar rumor, tetapi malah dia yang dijatuhkan.

  "Jika kau ingin mengatakan sesuatu, maka beritahu langsung di depanku, jangan di belakang!" tukas Karin yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. Ia tadi hanya berniat melintas dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan gadis itu dengan rekan-rekan yang lain.

  "Baik, aku akan beritahu langsung padamu," ucap gadis itu sambil bangkit berdiri. 

  "Kau hanya perayu. Kau sengaja merayu Edwin agar dia tidak marah padamu. Kau juga merayu agar dia memberikan proyek padamu. Dasar tidak tahu malu!" tukasnya sambil mendorong-dorong Karin.

  "Apa yang kaulakukan? Apa kau tidur dengannya untuk bisa mendapatkan semua ini? Aku juga bisa melakukannya, tapi aku tidak mau melakukan cara murahan semacam itu," lanjut gadis tersebut.

  "Anna, hentikan!" gertak Edwin yang berdiri di ambang pintu.

"Kau sudah salah menuduh. Jika ada yang menyukai, maka itu adalah aku. Jika ada yang merayu, itu juga adalah aku."

   Edwin kemudian berjalan masuk dan meraih tangan Karin.

"Itu semua karena aku menyukainya. Aku menyukai Karin."

***

  "Terima kasih telah menolongku," ucap Karin yang kini berada di ruangan Edwin.

"Tapi kau tidak berbohong sampai seperti itu."

  "Siapa yang bilang aku berbohong? Aku memang menyukaimu, Karin. Sejak awal kau bekerja di sini, aku telah jatuh hati padamu," ucap Edwin sambil memegang kedua bahu Karin.

  "Maaf, aku tidak menyadari perasaanmu padaku," ucap Karin pelan.

  "Tidak masalah, sekarang kau telah mengetahuinya. Jadi apakah kau menerima perasaanku?"

***

  Karin duduk termenung di sofa ruang tamu rumahnya. Ia masih memikirkan ungkapan cinta yang dikatakan Edwin padanya. Ia tahu perasaan lelaki itu tulus. Hanya saja, ia belum menemukan jawaban untuk ketulusan perasaan itu.

  "Akh!" teriak Silvi yang sedari tadi sibuk melihat ponsel.

"Aku tidak percaya ini."

  "Ada apa?" tanya Karin dengan suara cemas. Mungkin ada kabar buruk yang menimpa kerabat sahabatnya itu.

  Silvi bergegas menghampiri dan duduk di dekat Karin. 

 "Lihat, lihat ini!" tukasnya sambil menunjukkan ponselnya.

"My honey, Vian, semua acara dia dibatalkan. Peran dia di drama dan reality show akan digantikan oleh si playboy, Matthew."

  Karin tidak mendengar penuturan panjang lebar Silvi. Ia justru terpaku melihat pada layar ponsel. 

  'Ya ampun, kenapa aku bisa lupa? Padahal Silvi membahas dia tiap hari. Ternyata pria yang aku tabrak itu adalah Vian. Pantas saja wajahnya begitu familiar,' gumam Karin dalam hati.

  "Oppa kesayanganku, malang nian nasibmu," ucap Silvi sambil memeluk ponselnya seolah itu adalah Vian.

  "Tenanglah," ucap Karin pelan sambil menepuk bahu sahabatnya itu.

  "Ini semua gara-gara gadis. Aku yakin gadis itu memang merayu dia. Siapa yang tidak akan terpikat dengan Vian-ku yang begitu tampan?"

  "Gadis?"

  "Iya ini," tukas Silvi sambil menunjukkan kembali kabar tersebut pada Karin. Karin terkesiap. Meski foto itu tidak terlalu jelas, tetapi itu adalah dirinya.

  Silvi menoleh pada Karin yang hanya diam kemudian kembali menatap layar.

"Tapi  mengapa gadis ini seperti dirimu? Pakaian yang dia kenakan juga, bukankah kau juga punya pakaian semacam ini?"

  Karin tertawa gugup sambil mengibaskan tangan.

"Ti-dak mungkin, tidak ada hal semacam itu. Lagipula untuk apa aku menemui Vian? Aku saja bosan mendengar kau terus membahas dia setiap hari."

  Silvi mengangguk-angguk.

"Benar juga," gumamnya pelan. Di sampingnya, Karin menghela napas lega.

***

  Vian meneguk vodka di tangan. Tatapan matanya tampak penuh dengan amarah. Sejenak ia tertawa terbahak. Tidak lama ia bangkit dan keluar dari bathtub mewah dan mengenakan piama mandinya. Semua karena gadis itu. 

  'Mungkin ia sekarang sedang bersenang-senang dengan beberapa teman. Menertawakan kebodohanku atau merayakan kesuksesan karena berhasil melakukan sesuatu bersamaku,' gumam Vian dalam hati. Mata dia tidak lepas menatap cermin di depannya.

  'Lihat saja. Aku pasti akan membalas jika bertemu lagi denganmu.'

  Vian yang telah selesai berganti pakaian bergegas keluar dari kamar mandi tersebut. Terdengar bunyi bel di pintu apartemen. Vian segera melihat pada layar untuk mengetahui siapa yang sedang berkunjung. 

  'Lagi-lagi dia. Apa dia tidak bisa menghilang saja?' gerutu Vian dalam hati.

***

  Gadis di luar bernama Cindy Wu. Dia blasteran China-Korea yang juga menjadi artis seperti halnya Vian. Semenjak awal bertemu saat menjadi bintang tamu di acara Vian, gadis berparas cantik itu telah jatuh cinta. Ia terang-terangan mengejar Vian, bahkan telah mengungkapkan rasa sukanya. Namun, Vian tidak menanggapi. Meski begitu, Cindy tetap mengejar. Ia merasa yakin bahwa Vian juga akan menyukai dia.

  "Cinta butuh waktu. Tidak apa, aku akan sabar menunggu hingga kau menyukaiku," ucap Cindy kala itu. Akan tetapi, Cindy tidak bersabar. Ia bertingkah seperti kekasih Vian dan merasa cemburu pada gadis mana pun yang dekat dengan Vian.

  "Vian, buka pintunya, Vian, biarkan aku bersama menemanimu saat ini!" seru Cindy dari luar saat pintu di depannya tidak kunjung membuka.

  "Vian, jangan bersedih, jangan mengurung diri. Aku akan selalu bersamamu," tukas gadis itu lagi dari luar saat tidak ada sahutan dari tempat Vian.

  Vian tetap saja diam. Ia tidak butuh Cindy yang malah membuat ia semakin suntuk. Yang ia butuhkan hanya rencana untuk menemukan gadis yang telah membuat ia kehilangan karirnya dan merencanakan balas dendam pada gadis tersebut.

  

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status