Share

Jerat Cinta Miranda

Miranda adalah seorang dokter spesialis anak berusia 36 tahun. Dia adalah wujud dari wanita Indonesia asli dengan tulang pipi tinggi, mata kecil, dan hidung pendek. Kulitnya juga sawo matang. Kendati begitu, dia tetap sering dipuji dengan kecantikannya yang sering dimirip-miripkan dengan Tara Basro. Sayangnya, hingga kini dia masih lajang. Semua orang bilang dia terlalu pilah pilih dalam hal jodoh. Tetapi dia merasa tidak begitu, hanya saja sejauh ini belum ada yang berhasil mencuri perhatiannya.

Sampai kemudian dia bertemu kembali dengan Mirza. Temannya semasa kuliah S1. Mirza yang dulu terlihat sangat kutu buku dan kurang menarik, sekarang tampak gagah dan jauh lebih tampan. Miranda nyaris tidak mengenalinya ketika pertama bertemu kembali. Kebetulan ibu Miranda menderita penyakit paru yang sudah cukup kronis. Salah seorang sahabat di kampus dulu merekomendasikan ibunya Miranda untuk ditangani oleh Mirza yang sudah menjadi dokter spesialis paru terkenal.

Awalnya tak ada niat untuk menjadikan Mirza seseorang yang spesial dalam hidupnya. Tapi Miranda justru menjadi tertarik ketika mendengar bagaimana Mirza menceritakan istri dan anak-anaknya penuh cinta. Sikap lembut dan sopan santun Mirza membuat benih-benih cinta tumbuh di hati Miranda. Dia tak bisa lagi memandang Mirza hanya sebagai teman biasa.

Setiap kali dia merasa rapuh dan butuh sandaran, Mirza selalu berusaha menenangkannya dan ada di sisinya. Miranda menangkap bahwa Mirza juga mulai mencintainya. Dia tidak tahan lagi untuk mengungkapkan perasaannya pada Mirza.

"Mirza, please, temani aku nunggu ibu malam ini. Aku takut sendirian," bujuk Miranda meminta Mirza ikut menginap di ruang rawat ibunya.

"Anak-anakku kasihan, Mir, daritadi mereka nunggu-nunggu aku yang nggak biasanya pulang telat," tolak Mirza halus.

Miranda paham, tipe pria seperti Mirza tidak bisa terlalu diikat. Dia harus bermain tarik ulur dan menyentuh perasaannya.

"Iya ya, kasihan Celine dan Mario, pasti kangen sama ayahnya. Yaudah kamu pulang aja nggak apa-apa," ucap Miranda pelan.

"Kamu berani 'kan? Bisa sendiri di sini?" tanyanya mulai cemas.

"Iya berani, tapi kamu tetep temani aku lewat W******p ya nanti," ujar Miranda bermanja padanya.

"Iya, tenang aja," Mirza menjawab dengan senyum manis seraya mengusap pipi Miranda..

Spontan Miranda mengecup bibir Mirza cepat dan Mirza terperanjat. Mirza terdiam selama beberapa saat. Miranda menunduk seraya menggigit bibirnya. Khawatir salah langkah dan membuat Mirza malah menjauh darinya. Yang tidak dia duga, Mirza mendongakkan kepalanya lagi dan Mirza kembali mendekatkan wajah mereka. Dia mengecup Miranda lebih lama hingga gadis itu terhanyut dibuatnya.

Mereka saling menjauhkan wajah ketika mendengar suara dehaman ibu Miranda yang baru saja terbangun. Mirza menanyakan kondisi ibu Miranda dan mengobrol sebentar sebelum akhirnya Mirza pamit pulang. Miranda mengantarnya sampai ke parkiran. Mirza mengecup kening Miranda sebelum masuk ke balik kemudi mobilnya.

Hati Miranda seperti mau meledak saking senangnya. Rasanya bagai remaja yang baru mengenal cinta. Pipinya juga terasa hangat karena masih merona sejak dia berinisiatif mengecup Mirza.

"Mira, temanmu itu si Mirza bukannya sudah punya istri?" tanya ibu Miranda.

Miranda tersentak mendengar pertanyaan ibunya.

"Sudah sih, Bu," jawab Miranda.

"Ibu lihat lho apa yang kalian lakukan tadi. Nggak baik itu, Mira. Kasihan anak istrinya," nasihat ibu Miranda.

"Habisnya gimana, Bu. Mira terlanjur klop sama Mirza. Baru dia laki-laki yang bisa bikin Mira jatuh cinta. Dianya juga keliatannya suka sama Mira kok, Bu," tutur Miranda.

"Ya tapi anak istrinya mau dikemanakan? Apa kamu siap jadi madu?"

"Belum terpikir ke sana sih, Bu. Tapi nggak apa juga 'kan aku jadi istri kedua? Poligami 'kan diizinkan agama, Bu."

"Iya, tapi bagaimana dengan istrinya Mirza? Apa dia bisa terima kamu? Pikirkan itu dulu, Nduk. Jangan menyakiti sesama wanita." Ibu Miranda berkata seraya mengusap pucuk kepalanya.

"Mira lebih baik nggak nikah sama sekali, Bu. Ketimbang harus menikah sama lelaki selain Mirza," ujark Miranda merajuk.

"Husss, jangan ngomong sembarangan, Nduk. Ibu cuma bisa berharap yang terbaik buat kamu."

Miranda memeluk ibunya. Sejujurnya dia tidak menampik apa yang dikatakan ibunya. Dia tahu banyak hati yang tersakiti. Tapi rasanya sudah terlalu jauh dia melangkah. Dia tidak bisa mundur lagi. Entah bagaimana caranya, Mirza harus menjadi miliknya.

Tiga hari sejak pembicaraan terakhir Miranda dan ibunya mengenai Mirza, kondisi ibu Miranda semakin drop. Bicaranya sudah semakin lambat, nadinya juga melemah. Ibunya meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan dia dan Mirza. 

"Mirza, Ibu tahu kamu berhubungan dengan Mira lebih dari sekedar teman. Meski sudut hati Ibu menolak, tapi cuma kamu lelaki yang Ibu percaya saat ini. Tolong yakinkan istrimu untuk bisa menerima Mira dalam rumah tangga kalian. Ibu titip Mira sama kamu ya," ujar ibu Miranda dengan segenap tenaga yang tersisa, berusaha menyampaikan keinginannya.

"Iya Bu, Mirza mencintai Miranda. Mirza akan cari cara agar bisa segera menikahi Miranda. Ibu tenang aja, Mirza pasti akan jaga Miranda baik-baik. Ibu fokus untuk pulih ya," ucap Mirza menenangkan ibu Miranda.

Hati Miranda menghangat mendengar janji Mirza.

Ternyata, pesan ibu Miranda kepada Mirza adalah saat terakhir mereka mendengar suaranya. Ibu Miranda menghembuskan napas terakhirnya beberapa jam kemudian. Meski Miranda tahu bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, tetapi rasanya dia tetap masih tidak percaya, kini dia sebatang kara.

Miranda membawa pulang jenazah ibunya, Mirza setia menungguinya dan selalu memeluknya memberikan kekuatan dan kehangatan. Entah dengan alasan apa Mirza izin tidak pulang kepada istrinya.

Seminggu setelah kepergian ibu Miranda, Mirza melamarnya. Mirza bilang ingin menjadikan Miranda istrinya yang sah di mata agama. Tidak masalah baginya, untuk sementara waktu, sah secara agama sudah cukup.

Miranda yang tengah berduka dan kehilangan cukup terhibur dengan status barunya sebagai istri. Malam pertama yang dia rasakan bersama Mirza membuatnya merasa menyesal mengapa tidak menikah sedari dulu. Caranya menyentuh Miranda sangat lembut dan hati-hati, bagaikan menyentuh porselen yang mudah pecah. Rasanya seperti dibawa melayang ke udara. 

Mirza berdalih pergi seminar. Sesekali dia mengirim foto selfie kepada anaknya. Mereka tidak tahu bahwa ayahnya sedang menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru bersama Miranda.

Saat itu, sebelum akad, Miranda meminta salah seorang teman yang hadir untuk mengabadikan momen pernikahan mereka di ponselnya. Lalu, diam-diam dia mencuri nomor ponsel Kanaya dari ponsel Mirza, selanjutnya dia mengirimkan foto tersebut kepada Kanaya. 

Meski belum pernah melihatnya secara langsung, tetapi Miranda iri karena selama ini Kanaya merupakan sosok yang dicintai oleh Mirza. Perlahan tapi pasti, dia berusaha untuk menggeser kedudukan Kanaya. Sampai dia akan menyerah dengan sendirinya dan merasa terusir dari rumah tangganya.

Miranda akan mencari cara untuk membuat rumah tangga Mirza dan Kanaya bagaikan neraka. Dia tidak mau berbagi apa yang sudah dimilikinya. Sejak dulu, semua orang terdekatnya sudah tahu bagaimana ambisiusnya Miranda.

Mirza yang polos sebentar lagi akan menjadi miliknya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status