Share

My Husband's Mistress
My Husband's Mistress
Penulis: DindaFW

Kebohongan Mirza

Kebohongan Mirza

Namanya Kanaya, dia merupakan seorang wanita berusia awal 30-an yang masih begitu cantik bagai remaja di usianya. Dagu yang belah serta lesung pipi di  wajahnya semakin membuat orang sering terpesona melihatnya. Rambut panjang dan ikal di bagian bawah membingkai wajah mungilnya. Matanya berwarna biru, mewarisi gen keturunan Belanda dari maminya. Profesinya adalah dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Karena Kanaya tampak awet muda, dia sering salah dikenali sebagai mahasiswi juga oleh mahasiswa dan mahasiswi yang dia ajarkan. Orang selalu memandang hidupnya sempurna dan memiliki pasangan yang begitu serasi. Suaminya adalah seorang dokter spesialis paru yang berwajah tampan, berkulit putih dan berbadan tinggi tegap, usianya 36 tahun, terpaut hampir 5 tahun dengan Kanaya.

Suatu siang, Kanaya baru saja memasuki ruangan dosen ketika sebuah pesan masuk ke whatsappnya. Tangannya bergetar hebat, kakinya pun tiba-tiba seperti tidak mampu menopang berat tubuhnya. Dia terjatuh begitu saja. Air mata membanjiri wajah Kanaya. Diana, mahasiswi yang juga asistennya panik bertanya.

"Mbak, kenapa Mbak? Mbak Aya kenapa? Kok jadi gini?"

"Mas Mirza, Di, Mas Mirza," ucapnya bergetar.

"Mas Mirza kenapa, Mbak? Coba Mbak Aya tarik napas dulu pelan-pelan." Diana membantu Kanaya bangun dan duduk di kursi.

Diana juga menyorongkan air mineral dan memaksanya untuk minum.

Butuh waktu beberapa menit untuk Kanaya menenangkan dirinya. Dia menunjukkan pesan yang masuk di hpnya pada Diana.

"Astaga, ini betul Mas Mirza, Mbak?"

"Jelas banget mukanya, Di. Tampak depan dan tampak samping. Itu juga kemeja yang dua bulan lalu aku belikan untuk hadiah ulang tahunnya, Di." Kanaya menyusut air mata yang seolah tak mau berhenti mengalir.

"Kok bisa sih, Mbak? Itu siapa perempuannya? Mbak kenal? Mas Mirza sudah izin sama Mbak Aya?" cecar Diana.

"Aku nggak tahu apa-apa, Di. Nggak pernah aku lihat tampang perempuan itu. Dua hari yang lalu Mas Mirza izin pergi seminar ke Bali. Aku juga nggak mikir macam-macam. Aku juga nggak tahu siapa yang kirim foto akad Mas Mirza sama perempuan itu. Sakit banget, Di. Sakit …."

Kanaya menepuk keras dadanya berulang kali. Berharap tindakannya itu bisa meringankan sakit di hatinya. Namun rasanya masih begitu pedih dan sesak. Seumur hidupnya belum pernah dia mengalami sakit hati sampai seperti itu.

"Terus, Mbak Aya mau gimana sekarang?"

"Biar aku tunggu Mas Mirza pulang, Di. Sambil aku berpikir yang terbaik buat kami ke depannya," ujar Kanaya pelan.

"Yang sabar ya Mbak Aya. Apapun keputusan Mbak, aku akan dukung dan selalu ada buat Mbak Aya."

"Makasih ya, Di. Mbak pulang dulu ya," pamit Kanaya pada Diana.

Sesampainya di rumah, kedua anaknya menyambut dengan riang. Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya di depan mereka. Mereka sibuk berceloteh mengenai kegiatan mereka di sekolah. Kanaya menanggapi dengan sabar dan lembut.

Dia tidak ingin berbagi rasa sakit dengan anak-anaknya. Jika masih bisa disimpan sendiri olehnya, dia memilih diam demi kebahagiaan mereka. Mereka cukup tahu bahwa ayah mereka adalah yang terbaik.

Tepat lima hari setelah Mirza izin pergi seminar, akhirnya dia kembali ke rumah. Kanaya menyambut dengan ramah dan hangat bersama anak-anak mereka. Diam-diam Kanaya memperhatikan suaminya. Mirza masih terlihat seperti sosok suami dan ayah yang baik di matanya. Kanaya masih tak habis pikir. Bagaimana mungkin Mirza tega mendua. Menikah lagi tanpa seizinnya. Mirza menoleh dan mengelus tangan Kanaya pelan. Kanaya hanya tersenyum tipis.

Setelah mengantar anak-anak ke tempat tidur, Mirza dan Kanaya masuk ke kamar mereka. Mirza memeluk Kanaya erat dan menggumamkan kata rindu.

Kanaya tiba-tiba tersedu. Mirza melepas pelukannya dan menatap Kanaya heran.

“Kenapa nangis, Sayang?” Mirza mengusap pipi Kanaya lembut.

“Salahku apa, Mas? Tega-teganya kamu berkhianat,” pekik Kanaya.

“Maksud kamu apa, Sayang?” Mirza masih berlagak tak mengerti.

“Aku sudah tahu, Mas. Ada yang kirim foto kamu sama perempuan itu,” ketus Kanaya.

Mirza tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Kanaya terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

“Siapa perempuan itu, Mas? Kamu kenal dimana? Sejak kapan kalian berhubungan? Kenapa kamu menikahi dia?”

Mirza masih membisu hingga Kanaya memukuli lengannya menuntut jawaban.

“Mas terpaksa, Sayang. Mas awalnya cuma kasihan sama dia. Dia anak tunggal, ayahnnya sudah meninggal. Ibunya juga sakit-sakitan. Dia juga dokter, tapi bukan spesialis paru seperti Mas. Dia banyak konsultasi mengenai ibunya. Seminggu yang lalu ibunya kritis. Beliau menitipkan putrinya untuk Mas jaga. Mas sudah terlanjur janji, Sayang,” jelas Mirza membuat Kanaya semakin meradang.

“Gampang banget kamu umbar janji ya, Mas. Apa perlu sampai kamu nikahi?”

“Dengan cara apa lagi Mas jaga dia kalau bukan sebagai suami? Usia dia bahkan lebih tua sedikit dari Mas, Sayang. Dia belum menikah sampai seusia itu. Dia nggak punya siapa-siapa lagi,” tutur Mirza.

“Kamu kasihan sama orang lain, tapi kamu nggak mikir gimana perasaan aku dan anak-anakmu? Tega kamu, Mas.”

“Sayang, poligami 'kan nggak dilarang agama. Mas justru menghindari maksiat. Tolong mengerti posisi Mas.”

“Poligami yang benar itu dengan izin istri pertama Mas. Tunggu keridhoan dari istri pertama. Tapi kalau berhubungan di belakang istri pertama dan menikah secara sembunyi-sembunyi itu namanya pengkhianatan, Mas!” seru Kanaya.

“Maafin Mas, Kanaya sayang. Mas janji akan berusaha untuk adil terhadap kamu dan Miranda. Mas nggak akan melupakan kewajiban Mas sebagai ayah dari anak-anak kita,” bujuk Mirza.

“Aku masih nggak ngerti sama cara berpikir kamu, Mas. Aku nggak ikhlas dimadu. Lebih baik kita pisah,” putus Kanaya.

“Nggak, Sayang. Kamu nggak akan tega melihat penderitaan anak-anak kita kalau sampai mereka tahu kita berpisah. Kamu nggak bisa egois.”

“Kamu yang egois, Mas. Ini semua salah kamu!”

Kanaya menutup mulutnya demi menahan teriakan kekecewaannya. Hanya anak-anak yang menjadi alasan dia berpikir seribu kali untuk berpisah. Tapi dia sendiri tidak yakin mampu bertahan bersama suami yang sudah mengkhianatinya.

Mirza menghela napas dengan berat. Dia sudah terlanjur mengambil keputusan. Memang benar dia kasihan dengan Miranda. Temannya semasa kuliah sarjana dulu. Awalnya Mirza hanya ingin menjadi pendengar yang baik dan memberikan solusi untuk perawatan ibu Miranda. Namun lama kelamaan hatinya mulai berdebar tidak wajar setiap kali Miranda datang padanya. Waktu-waktu berdua dengan Miranda menjadi semacam candu baginya. Sampai dia sering terpaksa berbohong kepada Kanaya saat harus pulang terlambat demi menemui Miranda.

Bak gayung bersambut, Miranda juga terlihat menyukainya dan memberikan perhatian lebih dari sekedar teman. 

Mirza tidak mau terjerumus dosa semakin dalam. Permintaan ibunda Miranda untuk menjaga putrinya memperkuat niatannya untuk mempersunting Miranda menjadi istrinya. Dia tahu pernikahan keduanya ini akan sangat menyakiti Kanaya. Namun, dia berusaha menyimpan rahasia hubungannya dengan Miranda serapat mungkin.

Entah siapa yang membocorkannya pada Kanaya. Ada setitik rasa bersalah di hati Mirza. Namun sebagian hatinya sudah terbagi untuk Miranda. Dia begitu kasmaran. Meski raganya kini berada di peraduan yang sama dengan Kanaya, tetapi hatinya serasa tidak di sana. Bayangan-bayangan malam indah yang baru dilaluinya dengan Miranda seolah tak mau pergi dari otaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status