Aku selalu tenang ketika berada di toko buku. Musik yang mengalun merdu, suara kertas-kertas yang bergesek ketika para pengunjung membolak-balikkan halaman buku, serta yang paling kurindukan ialah aroma buku baru. Semua itu membantuku mengalihkan pikiranku yang menyedihkan serta sedikit menghilangkan rasa kesepianku. Orang tua serta kakakku mungkin memenuhi segala kebutuhanku. Apa yang aku minta juga selalu mereka penuhi. Namun, tidak dengan kebutuhanku akan kasih sayang.
Mereka semua selalu sibuk.
Oke, sepertinya aku belum mengenalkan diriku secara layak. Sekarang perkenalkan, namaku Naraya Venetia Kalandra, anak terakhir dari dua bersaudara. Usiaku dua puluh dua tahun, baru lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, dan aku seorang pengangguran. Aku memiliki kakak laki-laki bernama Gammaliel Kalandra, tetapi aku memanggilnya Gamma. Dia tujuh tahun lebih tua dariku. Kemudian, ayahku—Dirgantara Kalandra, seorang pengusaha. Perusahaan Papa bergerak di bidang fesyen. Sedangkan ibuku—Virania Untari merupakan seorang desainer.
Nah, sudah cukup perkenalan, ramah-tamah, serta omong kosongnya. Mari kembali ke cerita.
Sering kali aku di rumah hanya bersama para pelayan. Ayahku sering pergi ke luar negeri untuk urusan bisnisnya, sedangkan ibuku juga sibuk mengelola butik dan biasanya berada di sana hampir seharian. Terkadang aku datang ke butik, tetapi biasanya berakhir dengan diabaikan karena kesibukannya. Atau biasanya ibuku tidak ada di tempat. Seperti siang ini contohnya. Aku datang dan ternyata ibuku akan keluar untuk pertemuan dengan salah seorang kliennya.
“Pergilah berbelanja, Sayang. Beli apa pun yang kamu mau,” ujar Mama sembari meletakkan sebuah kartu kredit di tanganku. Mama agak tergesa-gesa dan tampak khawatir. Mama juga sedikit pucat. Dalam hati aku bertanya-tanya, sepenting apa klien Mama sehingga bisa membuatnya seperti ini.
“Ma, are you oke?” tanyaku tanpa menyembunyikan kekhawatiranku.
Mama tersenyum. Meski begitu, aku melihat kalau senyumannya agak dipaksakan. “Tentu saja, Sayang. Mama baik-baik saja. Bersenang-senanglah. Mama pergi dulu.” Mama mencium keningku, lalu pergi tanpa menengok lagi padaku.
Buku dan musik selalu berhasil sedikit mengobati rasa kecewaku. Yang pertama kutuju yaitu rak yang khusus memajang novel bergenre misteri dan thriller—genre kesukaanku. Aku berjalan menyusuri rak, sesekali mengambil buku yang tampaknya bagus. Setelah beberapa kali mengambil buku, kemudian mengembalikannya lagi ke rak karena blurb-nya terasa kurang menarik, akhirnya ada sebuah buku yang sangat kusukai.
Aku sudah membaca blurb serta bab pertamanya (Kalau beruntung, kita bisa menemukan buku yang plastiknya sudah dibuka sehingga paling tidak bisa membaca bab awal, atau sampai selesai jika kau cukup kuat menahan malu.) Namun, aku tidak bisa menemukan buku yang belum dibuka. Setelah beberapa lama mencari, aku menemukannya pada bagian rak teratas. Beberapa kali mencoba menggapai, tetapi tetap tak berhasil. Aku baru akan meminta tolong pegawai di toko itu ketika seorang pemuda datang, kemudian mengambilkan buku itu untukku.
“Makasih,” kataku tulus.
Pemuda itu mengenakan jaket hoodie putih. Topinya ditarik ke depan sehingga menutupi sebagian besar wajahnya. Kulihat bibirnya tersungging. “Terima kasih kembali,” sahut pemuda itu ramah. Suaranya lembut dan dalam. Aku merasa tak asing dengan suara itu, seolah aku sudah sering mendengarnya. Dan senyuman itu … aku juga sudah sering melihatnya. Mataku membulat ketika kusadari siapa pemuda itu. Aku merasa rahangku seperti jatuh menyentuh lantai karena menganga saking lebarnya.
“Ssst … jangan berisik,” bisiknya sembari meletakkan telunjuknya di bibirku.
Jarak kami sangat dekat. Tubuh kami bahkan hampir bersentuhan. Baru kusadari kalau aku terjebak di antara tubuhnya dan rak buku. Napasku memburu. Lidahku kelu. Jantungku terasa seperti menggedor-gedor rongga dadaku. Aku bahkan tak mampu menggerakan tubuh walau hanya satu inchi. Aku kembali melihat senyuman itu—juga lesung pipinya, menyebabkan jantungku serasa jatuh ke perut.
“Akhirnya kita bertemu, Naraya,” Orion berbisik.
Aku tak menyangka kalau kami sungguh-sungguh bertemu di toko buku. Saking dekatnya jarak kami, aku bisa mencium aroma mint pada napasnya, juga aroma tubuhnya.
Aku menelan ludah. “K-kau mengingatku?” Astaga! Kenapa aku terbata-bata? Tampangku sekarang pasti seperti gadis dungu!
Lagi-lagi kulihat senyuman itu. Oh, Tuhan. Apa dia berniat membunuhku dengan tersenyum menggoda seperti itu?
Dia sempat melirik ke arah lain sebelum kemudian meraih tanganku. “Aku sudah berjanji akan membelikanmu buku ketika kita bertemu, jadi sekarang aku akan menepati janjiku,” kata pemuda itu. Aku bahkan sudah melupakan janji itu sampai hari ini dia datang dan mengingatkannya padaku. Kemudian Orion mengangkat bahunya yang lebar, “Yaah … nggak mudah melupakan seorang gadis secantik kamu,” ujarnya seolah bisa membaca pikiranku.
Kurasakan wajahku memanas. Tanpa bisa kutahan, ujung bibirku terangkat. Aku menunduk untuk menutupi senyuman tolol di wajahku. “Aku nggak berharap kau akan mengingat janjimu itu,” kataku pelan.
“Kamu nggak kepingin ketemu aku lagi?”
Apa itu? Apa dia sedang merajuk? Kenapa suaranya manja begitu, sih? Aku harus menahan dorongan untuk menyeretnya ke kantor catatan sipil dan meminta dia menikahiku saat ini juga.
“Bukan begitu,” tukasku. “Kupikir kamu nggak akan ingat soal itu.”
Seperti saat fansign, dia memegang daguku, kemudian mengangkat wajahku. Tatapan kami bertemu. Orion tersenyum lembut. “Tapi kenyataannya aku udah di sini, kan? Sekarang, ayo ikut aku. Aku kasih tahu kamu buku-buku favoritku.”
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku mengikuti Orion dengan patuh. Kutatap jemari kami yang saling bertaut, kemudian nyengir.
Ya Tuhan, kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku.
*
“Makasih banyak buat bukunya, Kak,” kataku.
Orion membelikanku beberapa buku pilihannya. Sebenarnya aku sudah menolak dan hendak membayarnya dengan uangku sendiri, tetapi dia melarangnya. Dia juga membeli beberapa buku untuk dirinya sendiri. Wajahnya memberengut. “Jangan panggil aku Kakak, dong! Dulu aku sudah larang kamu panggil aku begitu.”
Aku nyengir. “Sudah kebiasaan. Soalnya, Kakak cuma beda setahun sama kakakku.” Kugigit lidahku ketika kembali memanggil dia kakak.
“Mulai sekarang, panggil aku Orion. Rion juga boleh. Aku nggak mau tahu, nanti pas kita ketemu, aku nggak bakal terima kalau kamu masing manggil aku kakak.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Ingin rasanya kukatakan kalau kemungkinan itu rasanya teramat kecil, tetapi aku tidak ingin melukai perasaannya.
“Sebenarnya aku kepingin ngajak kamu makan, tapi sudah nggak ada waktu,” katanya diikuti raut wajah menyesal.
“Nggak apa-apa, Ka—On,” kataku.
Aku memahami kesibukannya. Dia tadi bercerita kalau dirinya sering mencuri-curi waktu di tengah kepadatan jadwalnya untuk sekadar mengunjungi toko buku. Dia melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya, lalu berkata, “Aku harus pergi sekarang.” Kemudian, Orion mengulurkan tangannya ke arahku. “Ponselmu.”
Aku mengerjap. “Hah?”
“Pinjam ponselmu sebentar.”
Setelah merogoh dan mengaduk-aduk isi tasku, akhirnya aku bisa menemukan ponselku. Kuserahkan benda pipih berwarna merah muda itu kepada idolaku. Tampak dia mengetikkan sesuatu. Tak lama kemudian, aku mendengar bunyi ponsel lain.
“Selesai,” ucap Orion, kemudian mengembalikan ponselku. “Sekarang kita udah resmi berteman. Aku udah punya nomor kamu, begitu juga sebaliknya.”
Tiba-tiba, dia mengecup pipiku. “Sampai ketemu lagi.” Kemudian berlari pergi dan segera menghilang dari pandanganku.
Aku mengerjap-ngerjap, berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Kusentuh pipiku. Meski berlangsung secara kilat, tetapi masih kurasakan ketika bibirnya bibirnya yang hangat menyentuh pipiku.
“Ciuman pertamaku,” gumamku.
Suara notifikasi dari ponselku menyentakkanku. Keningku berkerut melihat nama si pengirim yang tertera pada layar. “Cowok Berlesung Pipi? Perasaan aku nggak pernah nyimpan kontak pakai nama seaneh itu,” aku bergumam.
Kubuka pesan itu. Seketika mataku terbelalak setelah melihat isinya.
Kuharap kamu suka sama bukunya.
Aku berharap kita bisa ketemu lagi secepatnya.
Orion.
Oke. Jangan bangunkan aku. Aku sekarang yakin kalau semua yang terjadi cuma mimpi.
Satu bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Orion di toko buku. Tak ada kabar apa pun darinya—baik lewat pesan atau telepon. Sosoknya kian hari terasa semakin tak nyata saja. Aku terkadang mempertanyakan pertemuan kami benar-benar terjadi atau tidak. Bagaimana kalau yang terjadi pada hari itu hanya halusinasiku semata? Apa itu berarti kalau aku sudah mulai gila? Satu-satunya yang menjadi peganganku ialah pesan yang pertama sekaligus terakhir kali ia kirimkan padaku. Sering kali terpikir olehku untuk mengirim pesan terlebih dulu, tetapi segera mengurungkannya. Aku tidak ingin mengganggu ataupun membuatnya merasa risih. Aku tak mau dia menganggapku seorang fanatik. Jadi, yang bisa kulakukan hanya terus menunggu pesannya siang malam. Lagi pula, memangnya aku ini siapa? Aku cuma seorang penggemar dan dia akan selamanya menganggapku begitu. Tidak akan ada yang berubah di antara kami.
Pokoknya kamu harus ada di tempat yang sudah aku sediakan. Di tempat itu, aku bakal bisa lihat kamu dengan jelas dari atas panggung. Konser sudah berlangsung hampir satu jam. The Stargazers sudah menyanyikan beberapa lagu dari album baru mereka. Jeritan dan pekikan para penggemar memekakkan telinga. Di konser ini, kami para penggemar seolah menyatu meski tak saling mengenal. Kami semua berteriak, berjingkrak-jingkrak, serta menyanyi bersama. Kali ini, giliran Orion yang tampil menyanyikan lagu solonya. Ia memakai jas berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak begitu ten
Tanpa menunggu Papa dan Mama, aku langsung berlari masuk ke rumah begitu mobil berhenti. Aku mengabaikan panggilan mereka. Mataku terasa panas. Dadaku sesak seakan ada yang menimpakan beban berat di atasnya. Jantungku berdentam-dentam menggedor rongga dadaku seolah akan meledak. Darah menderu di telingaku. Marah, sedih, kecewa, sakit, entah perasaan mana yang lebih kuat untuk saat ini. Mereka berbohong! Mereka sudah memperdayaku! Mereka mengkhianatiku! Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Setelah itu, tangisku pecah. Aku menjerit, berteriak, dan meraung. Mengapa mereka tega melakukan ini padaku? Aku dan Xabi bersitatap cukup lama. Sudah empat tahun kami tidak bertemu semenjak kejadian itu
Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi. Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.
“Ra, kamu sakit?” tanya Orion. Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum. “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?” “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa j
Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka
Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me