“Siapa namamu?”
“N-Naraya,” jawabku pelan—malu-malu.
Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?
“Nama yang cantik, sama seperti pemiliknya,” rayu pemuda itu dengan suara selembut beledu.
Aku tidak berani mengangkat kepala, apalagi memandang langsung ke matanya. Bahkan tanganku tak bisa berhenti gemetar.
“Hey, kenapa nunduk terus? Tatap aku.” Aku tersentak ketika pemuda itu memegang daguku. Tangannya terasa hangat dan kulitnya amat lembut. Wajahku terangkat, dan untuk pertama kalinya aku bertatapan dengan idolaku.
Matanya menatapku hangat. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman yang teramat manis—senyuman paling manis yang pernah kulihat. Dan ketika ia tersenyum, aku melihat lesung pipinya. Lekukan kecil itulah yang membuatku semakin tergila-gila kepadanya.
Orion Arkana Dewantara, leader dari grup favoritku—The Stargazers. Grup itu terdiri dari tiga personel. Orion, Saka, dan Eris. Di antara ketiganya, Orion-lah yang paling kusukai. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa datang ke acara fansign mereka dan bertemu dengan idolaku secara langsung.
Dia masih tersenyum. “Nah, kalau begini kan aku bisa melihat wajahmu dengan lebih jelas. Siapa namamu tadi? Naraya?”
Aku mengangguk.
“Sepertinya aku pernah mendengar namamu sebelumnya,” gumam Orion lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku punya sesuatu untuk Kakak,” kataku. Suaraku serak. Aku butuh minum.
“Oh, tidak perlu memanggilku Kakak. Aku belum setua itu,” protesnya diikuti senyum jail.
Aku hanya nyengir. Kupikir panggilanku itu wajar. Orion berusia enam tahun lebih tua dariku. Kuangkat paperbag berisi hadiah yang sengaja kubawa untuk Orion.
Orion membuka paperbag itu, kemudian mengeluarkan isinya. Matanya berbinar dan dia tersenyum lebar. “Woow! Kamu membawakan buku ini untukku?” Dia terdengar bersemangat.
Aku mengangguk antusias. “Ya. Aku mengikuti akun media sosialmu. Kupikir … setelah melihat postinganmu, Kakak sepertinya akan menyukai buku itu. Aku sudah pernah membacanya dan menurutku ceritanya sangat bagus,” kataku penuh semangat. Kemudian dengan cepat kutambahkan, “Itu buku baru, bukan bekas dariku.”
“Bekas pun aku nggak masalah,” ujarnya, masih membolak-balik dan mengamati novel yang kubawa dengan antusias. Matanya berbinar. Ugh! Lesung pipinya bikin dia jadi semakin imut! “Kamu juga suka cerita genre thriller?”
“Sangat suka,” aku menyahut cepat. “Aku baca semua genre, tapi thriller genre favoritku.”
Orion meraih tanganku, kemudian meremasnya lembut. Aku nggak bakal cuci tangan selama seminggu! Dia berkata, “Sepertinya aku menyukaimu. Kita sama-sama suka membaca dan memiliki selera bacaan yang sama. Kalau suatu saat kita bertemu di toko buku, aku berjanji akan membelikan buku untukmu.”
Sesaat, aku mengira ada kesungguhan dan ketulusan di dalam kata-katanya. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, dia tidak mungkin bersungguh-sungguh. Mungkin itu hanya basa-basi, semata-mata untuk menyenangkanku sebagai penggemarnya. Meski begitu, aku sama sekali tidak keberatan. Bagaimanapun dia, seperti apa pun dia, aku akan tetap menyukainya dan mendukungnya. Idolaku menandatangani album yang kubawa, kemudian menyerahkannya kembali padaku. Dia mengusap puncak kepalaku seraya tersenyum sangat manis. “Senang bertemu denganmu.”
Malam harinya, aku tidak bisa tidur sama sekali.
*
Alunan musik dari The Stargazer memenuhi seluruh penjuru kafe. Aku duduk sembari menatap pintu masuk tempat ini. Sudah hampir satu jam aku berada di sini, tetapi orang yang kutunggu tak kunjung muncul batang hidungnya. Kopi yang kupesankan untuknya bahkan sudah dingin. Aku sudah bangkit dan baru saja akan beranjak ketika sesosok pemuda yang sedari tadi kunantikan akhirnya datang diiringi cengirannya yang amat menyebalkan. Dia berjalan menghampiriku, kemudian mengecup pipiku. “Gue pikir lo udah minggat,” ujar pemuda itu. Dia duduk pada kursi di seberangku, kemudian menyeruput kopi yang sudah dingin itu.
Aku memutar bola mata. “Gue pikir lo udah lupa kalau lo ini masih punya adek dan adek lo udah nungguin di sini,” ketusku.
Dia mengacak rambutku. “Sori, tadi meeting-nya rada ngaret. Terus ada urusan sebentar.” Dia seperti berniat membuat ekspresi menyesal, tetapi gagal.
Pemuda itu tak lain ialah kakakku—Gamma. Dia tujuh tahun lebih tua dariku. Di usianya yang sekarang, Gamma sudah memiliki pekerjaan yang nyaman dan sepertinya cukup menjanjikan sebagai manajer artis. Dia bahkan sudah bisa membeli apartemen sendiri dan sudah hampir setahun pindah ke sana. Dengan pekerjaan yang membuat dia sangat sibuk, aku jarang sekali bisa bertemu dengannya. Sebenarnya, ayahku sudah memintanya untuk bekerja si perusahaannya, tetapi kakakku menolak. Katanya, dia ingin melakukan apa yang disukainya sebelum memikul tanggung jawab besar mengelola perusahaan.
Aku memalingkan wajah, tak mau menatapnya. “Iya, gue paham, kok. Kerjaan lo jauh lebih penting daripada gue,” kataku pelan. Tenggorokanku agak tercekat. Aku mengerjap-ngerjap untuk menepiskan air mataku.
“Dek,” kakakku memanggil, “maafin gue. Gue nggak pernah berniat bikin lo sedih. Gue sayang sama lo. Jangan ngambek, dong. Gue janji bakal nyisihin waktu lebih banyak buat lo.”
“Gue nggak apa-apa, kok. Jangan pernah bikin janji yang nggak bisa lo tepatin, Bang. Sebulan yang lalu lo juga janji kayak gitu—juga bulan-bulan sebelumnya. Tapi kenyataannya lo selalu ingkar lagi. Pasti sekarang lo juga nggak bisa nemenin gue lama-lama, kan?” ujarku lirih.
Gamma menjepit daguku. Ia memaksaku untuk menatapnya. Kulihat kesedihan di matanya. “Maafin gue karena selalu sibuk dan hampir nggak pernah punya waktu buat lo. Gue mungkin bakal sering janji, kemudian ingkar. Tapi kalau untuk hari ini, gue bisa pastiin kalau waktu gue cuma buat lo. Gue janji,” ujarnya, kemudian menarik satu telinganya.
Aku ingin berpaling, tetapi tangan Gamma yang masih menjepit daguku dengan kuat membuatku tak bisa apa-apa.
“Gue-janji,” ulangnya.
“Beneran?” tanyaku serak.
“Ya. Cuma ada kita berdua—lo sama gue. Gue bakal temenin lo ke mana pun lo mau. Gue juga bakal beliin apa pun yang lo minta,” janjinya.
“Kalau gitu gue minta Orion jadi suami gue,” kataku cepat.
“Nah, kecuali itu,” sahut Gamma datar.
Aku mencebik. “Katanya apa pun?”
“Tapi yang masuk akal!” ketusnya sembari menonyor kepalaku.
“Duh, jangan main nonyor-nonyor, dong. Nanti kalau gue jadi bego gimana? Nanti Orion ninggalin gue, terus gue jadi janda, dong? Lo siap nanggung kebutuhan gue sama anak-anak gue?”
“Seharusnya malah gue jedotin kepala lo biar nggak halu mulu,” dengusnya.
Aku tergelak. Kemudian, pandanganku beralih ke paper bag yang dibawa Gamma.
“Itu apaan?” tanyaku disertai rasa penasaran yang tidak kututup-tutupi.
Gamma meletakkan benda itu di meja. “Buat lo. Tadi gue telat karena nungguin ini.”
Kuraih benda itu, kemudian membukanya. Mataku melebar sampai rasa-rasanya bola mataku hampir menggelinding keluar dari tempatnya. Kukeluarkan kotak album terbaru The Stargazers yang sudah ditandatangani oleh ketiga personelnya, kemudian memekik girang. Aku tersenyum malu ketika pengunjung lain menatapku sebal.
“Lo kok bisa dapetin ini? Kan belum resmi dirilis,” desisku, nyaris histeris. Terakhir kali mereka merilis album, aku datang ke acara fansign. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu.
Tiba-tiba Gamma menegakkan punggung. Ia menepuk-nepuk dadanya seraya berkata dengan jemawa, “Apa, sih, yang gue nggak bisa? Ada kenalan orang dalam, gue mohon-mohon sama dia demi dapetin ini buat lo. Gue bilang kalau adik gue penggemar berat Orion. Itu alasan kenapa gue telat.”
Aku langsung bangkit, mengitari setengah meja, lalu memeluk kakakku. “Makasih banyak. Gue bahagia banget,” bisikku, kemudian aku mengecup pipinya.
“Gue bahagia kalau lihat lo bahagia,” balasnya. “Selamat ulang tahun ke dua puluh dua dan selamat karena akhirnya lo lulus. Gue senang karena lo berhasil lewatin itu semua dan sekarang lo baik-baik aja.”
Aku selalu tenang ketika berada di toko buku. Musik yang mengalun merdu, suara kertas-kertas yang bergesek ketika para pengunjung membolak-balikkan halaman buku, serta yang paling kurindukan ialah aroma buku baru. Semua itu membantuku mengalihkan pikiranku yang menyedihkan serta sedikit menghilangkan rasa kesepianku. Orang tua serta kakakku mungkin memenuhi segala kebutuhanku. Apa yang aku minta juga selalu mereka penuhi. Namun, tidak dengan kebutuhanku akan kasih sayang. Mereka semua selalu sibuk. Oke, sepertinya aku belum mengenalkan diriku secara layak. Sekarang perkenalkan, namaku Naraya Venetia Kalandra, anak terakhir dari dua bersaudara. Usiaku dua puluh dua tahun, baru lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, dan aku seorang pengangguran. Aku memiliki kakak laki-laki bernama Gammaliel Kalandra, tetapi aku memanggilnya Gamma. Dia tujuh tahun lebih tua dar
Satu bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Orion di toko buku. Tak ada kabar apa pun darinya—baik lewat pesan atau telepon. Sosoknya kian hari terasa semakin tak nyata saja. Aku terkadang mempertanyakan pertemuan kami benar-benar terjadi atau tidak. Bagaimana kalau yang terjadi pada hari itu hanya halusinasiku semata? Apa itu berarti kalau aku sudah mulai gila? Satu-satunya yang menjadi peganganku ialah pesan yang pertama sekaligus terakhir kali ia kirimkan padaku. Sering kali terpikir olehku untuk mengirim pesan terlebih dulu, tetapi segera mengurungkannya. Aku tidak ingin mengganggu ataupun membuatnya merasa risih. Aku tak mau dia menganggapku seorang fanatik. Jadi, yang bisa kulakukan hanya terus menunggu pesannya siang malam. Lagi pula, memangnya aku ini siapa? Aku cuma seorang penggemar dan dia akan selamanya menganggapku begitu. Tidak akan ada yang berubah di antara kami.
Pokoknya kamu harus ada di tempat yang sudah aku sediakan. Di tempat itu, aku bakal bisa lihat kamu dengan jelas dari atas panggung. Konser sudah berlangsung hampir satu jam. The Stargazers sudah menyanyikan beberapa lagu dari album baru mereka. Jeritan dan pekikan para penggemar memekakkan telinga. Di konser ini, kami para penggemar seolah menyatu meski tak saling mengenal. Kami semua berteriak, berjingkrak-jingkrak, serta menyanyi bersama. Kali ini, giliran Orion yang tampil menyanyikan lagu solonya. Ia memakai jas berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak begitu ten
Tanpa menunggu Papa dan Mama, aku langsung berlari masuk ke rumah begitu mobil berhenti. Aku mengabaikan panggilan mereka. Mataku terasa panas. Dadaku sesak seakan ada yang menimpakan beban berat di atasnya. Jantungku berdentam-dentam menggedor rongga dadaku seolah akan meledak. Darah menderu di telingaku. Marah, sedih, kecewa, sakit, entah perasaan mana yang lebih kuat untuk saat ini. Mereka berbohong! Mereka sudah memperdayaku! Mereka mengkhianatiku! Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Setelah itu, tangisku pecah. Aku menjerit, berteriak, dan meraung. Mengapa mereka tega melakukan ini padaku? Aku dan Xabi bersitatap cukup lama. Sudah empat tahun kami tidak bertemu semenjak kejadian itu
Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi. Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.
“Ra, kamu sakit?” tanya Orion. Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum. “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?” “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa j
Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka