Share

My Imaginary Husband
My Imaginary Husband
Author: Jili Nai

CHAPTER 1 Fangirl

  “Siapa namamu?”

    “N-Naraya,” jawabku pelan—malu-malu.

    Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?

    “Nama yang cantik, sama seperti pemiliknya,” rayu pemuda itu dengan suara selembut beledu.

    Aku tidak berani mengangkat kepala, apalagi memandang langsung ke matanya. Bahkan tanganku tak bisa berhenti gemetar.

    “Hey, kenapa nunduk terus? Tatap aku.” Aku tersentak ketika pemuda itu memegang daguku. Tangannya terasa hangat dan kulitnya amat lembut. Wajahku terangkat, dan untuk pertama kalinya aku bertatapan dengan idolaku.

    Matanya menatapku hangat. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman yang teramat manis—senyuman paling manis yang pernah kulihat. Dan ketika ia tersenyum, aku melihat lesung pipinya. Lekukan kecil itulah yang membuatku semakin tergila-gila kepadanya.

    Orion Arkana Dewantara, leader dari grup favoritku—The Stargazers. Grup itu terdiri dari tiga personel. Orion, Saka, dan Eris. Di antara ketiganya, Orion-lah yang paling kusukai. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa datang ke acara fansign mereka dan bertemu dengan idolaku secara langsung.

    Dia masih tersenyum. “Nah, kalau begini kan aku bisa melihat wajahmu dengan lebih jelas. Siapa namamu tadi? Naraya?”

    Aku mengangguk.

    “Sepertinya aku pernah mendengar namamu sebelumnya,” gumam Orion lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.

    “Aku punya sesuatu untuk Kakak,” kataku. Suaraku serak. Aku butuh minum.

    “Oh, tidak perlu memanggilku Kakak. Aku belum setua itu,” protesnya diikuti senyum jail.

    Aku hanya nyengir. Kupikir panggilanku itu wajar. Orion berusia enam tahun lebih tua dariku. Kuangkat paperbag berisi hadiah yang sengaja kubawa untuk Orion.

    Orion membuka paperbag itu, kemudian mengeluarkan isinya. Matanya berbinar dan dia tersenyum lebar. “Woow! Kamu membawakan buku ini untukku?” Dia terdengar bersemangat.

    Aku mengangguk antusias. “Ya. Aku mengikuti akun media sosialmu. Kupikir … setelah melihat postinganmu, Kakak sepertinya akan menyukai buku itu. Aku sudah pernah membacanya dan menurutku ceritanya sangat bagus,” kataku penuh semangat. Kemudian dengan cepat kutambahkan, “Itu buku baru, bukan bekas dariku.”

    “Bekas pun aku nggak masalah,” ujarnya, masih membolak-balik dan mengamati novel yang kubawa dengan antusias. Matanya berbinar. Ugh! Lesung pipinya bikin dia jadi semakin imut! “Kamu juga suka cerita genre thriller?”

    “Sangat suka,” aku menyahut cepat. “Aku baca semua genre, tapi thriller genre favoritku.”

    Orion meraih tanganku, kemudian meremasnya lembut. Aku nggak bakal cuci tangan selama seminggu! Dia berkata, “Sepertinya aku menyukaimu. Kita sama-sama suka membaca dan memiliki selera bacaan yang sama. Kalau suatu saat kita bertemu di toko buku, aku berjanji akan membelikan buku untukmu.”

Sesaat, aku mengira ada kesungguhan dan ketulusan di dalam kata-katanya. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, dia tidak mungkin bersungguh-sungguh. Mungkin itu hanya basa-basi, semata-mata untuk menyenangkanku sebagai penggemarnya. Meski begitu, aku sama sekali tidak keberatan. Bagaimanapun dia, seperti apa pun dia, aku akan tetap menyukainya dan mendukungnya. Idolaku menandatangani album yang kubawa, kemudian menyerahkannya kembali padaku. Dia mengusap puncak kepalaku seraya tersenyum sangat manis. “Senang bertemu denganmu.”

    Malam harinya, aku tidak bisa tidur sama sekali.

*

    Alunan musik dari The Stargazer memenuhi seluruh penjuru kafe. Aku duduk sembari menatap pintu masuk tempat ini. Sudah hampir satu jam aku berada di sini, tetapi orang yang kutunggu tak kunjung muncul batang hidungnya. Kopi yang kupesankan untuknya bahkan sudah dingin. Aku sudah bangkit dan baru saja akan beranjak ketika sesosok pemuda yang sedari tadi kunantikan akhirnya datang diiringi cengirannya yang amat menyebalkan. Dia berjalan menghampiriku, kemudian mengecup pipiku. “Gue pikir lo udah minggat,” ujar pemuda itu. Dia duduk pada kursi di seberangku, kemudian menyeruput kopi yang sudah dingin itu.

    Aku memutar bola mata. “Gue pikir lo udah lupa kalau lo ini masih punya adek dan adek lo udah nungguin di sini,” ketusku.

    Dia mengacak rambutku. “Sori, tadi meeting-nya rada ngaret. Terus ada urusan sebentar.” Dia seperti berniat membuat ekspresi menyesal, tetapi gagal.

    Pemuda itu tak lain ialah kakakku—Gamma. Dia tujuh tahun lebih tua dariku. Di usianya yang sekarang, Gamma sudah memiliki pekerjaan yang nyaman dan sepertinya cukup menjanjikan sebagai manajer artis. Dia bahkan sudah bisa membeli apartemen sendiri dan sudah hampir setahun pindah ke sana. Dengan pekerjaan yang membuat dia sangat sibuk, aku jarang sekali bisa bertemu dengannya. Sebenarnya, ayahku sudah memintanya untuk bekerja si perusahaannya, tetapi kakakku menolak. Katanya, dia ingin melakukan apa yang disukainya sebelum memikul tanggung jawab besar mengelola perusahaan.

    Aku memalingkan wajah, tak mau menatapnya. “Iya, gue paham, kok. Kerjaan lo jauh lebih penting daripada gue,” kataku pelan. Tenggorokanku agak tercekat. Aku mengerjap-ngerjap untuk menepiskan air mataku.

    “Dek,” kakakku memanggil, “maafin gue. Gue nggak pernah berniat bikin lo sedih. Gue sayang sama lo. Jangan ngambek, dong. Gue janji bakal nyisihin waktu lebih banyak buat lo.”

    “Gue nggak apa-apa, kok. Jangan pernah bikin janji yang nggak bisa lo tepatin, Bang. Sebulan yang lalu lo juga janji kayak gitu—juga bulan-bulan sebelumnya. Tapi kenyataannya lo selalu  ingkar lagi. Pasti sekarang lo juga nggak bisa nemenin gue lama-lama, kan?” ujarku lirih.

    Gamma menjepit daguku. Ia memaksaku untuk menatapnya. Kulihat kesedihan di matanya. “Maafin gue karena selalu sibuk dan hampir nggak pernah punya waktu buat lo. Gue mungkin bakal sering janji, kemudian ingkar. Tapi kalau untuk hari ini, gue bisa pastiin kalau waktu gue cuma buat lo. Gue janji,” ujarnya, kemudian menarik satu telinganya.

    Aku ingin berpaling, tetapi tangan Gamma yang masih menjepit daguku dengan kuat membuatku tak bisa apa-apa.

    “Gue-janji,” ulangnya.

    “Beneran?” tanyaku serak.

    “Ya. Cuma ada kita berdua—lo sama gue. Gue bakal temenin lo ke mana pun lo mau. Gue juga bakal beliin apa pun yang lo minta,” janjinya.

    “Kalau gitu gue minta Orion jadi suami gue,” kataku cepat.

    “Nah, kecuali itu,” sahut Gamma datar.

    Aku mencebik. “Katanya apa pun?”

    “Tapi yang masuk akal!” ketusnya sembari menonyor kepalaku.

    “Duh, jangan main nonyor-nonyor, dong. Nanti kalau gue jadi bego gimana? Nanti Orion ninggalin gue, terus gue jadi janda, dong? Lo siap nanggung kebutuhan gue sama anak-anak gue?”

    “Seharusnya malah gue jedotin kepala lo biar nggak halu mulu,” dengusnya.

    Aku tergelak. Kemudian, pandanganku beralih ke paper bag yang dibawa Gamma.

    “Itu apaan?” tanyaku disertai rasa penasaran yang tidak kututup-tutupi.

    Gamma meletakkan benda itu di meja. “Buat lo. Tadi gue telat karena nungguin ini.”

    Kuraih benda itu, kemudian membukanya. Mataku melebar sampai rasa-rasanya bola mataku hampir menggelinding keluar dari tempatnya. Kukeluarkan kotak album terbaru The Stargazers yang sudah ditandatangani oleh ketiga personelnya, kemudian memekik girang. Aku tersenyum malu ketika pengunjung lain menatapku sebal.

    “Lo kok bisa dapetin ini? Kan belum resmi dirilis,” desisku, nyaris histeris. Terakhir kali mereka merilis album, aku datang ke acara fansign. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu.

    Tiba-tiba Gamma menegakkan punggung. Ia menepuk-nepuk dadanya seraya berkata dengan jemawa, “Apa, sih, yang gue nggak bisa? Ada kenalan orang dalam, gue mohon-mohon sama dia demi dapetin ini buat lo. Gue bilang kalau adik gue penggemar berat Orion. Itu alasan kenapa gue telat.”

    Aku langsung bangkit, mengitari setengah meja, lalu memeluk kakakku. “Makasih banyak. Gue bahagia banget,” bisikku, kemudian aku mengecup pipinya.

    “Gue bahagia kalau lihat lo bahagia,” balasnya. “Selamat ulang tahun ke dua puluh dua dan selamat karena akhirnya lo lulus. Gue senang karena lo berhasil lewatin itu semua dan sekarang lo baik-baik aja.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
IyoniAe
Orion. .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status