"Kupikir kaumerasakan hal yang sama. Kupikir kau juga mencintaiku," desah pemuda itu dengan raut wajah terluka. "Aku mohon, pergilah bersamaku. Kita akan memulai kehidupan yang baru. Lupakan pernikahan itu. Aku tahu kau tak pernah menginginkannya." Setengah mati Naraya mengidolakan Orion—anggota grup Stargazer yang tengah naik daun. Ia tak pernah menduga pertemuannya dengan sang idola saat acara fansign akan mendekatkannya dengan pemuda itu. Apalagi menyangka perasaannya akan berbalas. Namun, kehadiran seseorang dari masa lalu menjadi penghalang hubungan mereka. Orangtua Naraya menjodohkannya dengan teman masa kecil gadis itu, Xabi. Lalu, bagaimana nasib hubungan Naraya dengan Orion? Dipublikasi tanggal 16 Oktober 2021 ©2021, Jili Nai Picture by Resplash Font by Canva
Lihat lebih banyak“Siapa namamu?”
“N-Naraya,” jawabku pelan—malu-malu.
Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?
“Nama yang cantik, sama seperti pemiliknya,” rayu pemuda itu dengan suara selembut beledu.
Aku tidak berani mengangkat kepala, apalagi memandang langsung ke matanya. Bahkan tanganku tak bisa berhenti gemetar.
“Hey, kenapa nunduk terus? Tatap aku.” Aku tersentak ketika pemuda itu memegang daguku. Tangannya terasa hangat dan kulitnya amat lembut. Wajahku terangkat, dan untuk pertama kalinya aku bertatapan dengan idolaku.
Matanya menatapku hangat. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman yang teramat manis—senyuman paling manis yang pernah kulihat. Dan ketika ia tersenyum, aku melihat lesung pipinya. Lekukan kecil itulah yang membuatku semakin tergila-gila kepadanya.
Orion Arkana Dewantara, leader dari grup favoritku—The Stargazers. Grup itu terdiri dari tiga personel. Orion, Saka, dan Eris. Di antara ketiganya, Orion-lah yang paling kusukai. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa datang ke acara fansign mereka dan bertemu dengan idolaku secara langsung.
Dia masih tersenyum. “Nah, kalau begini kan aku bisa melihat wajahmu dengan lebih jelas. Siapa namamu tadi? Naraya?”
Aku mengangguk.
“Sepertinya aku pernah mendengar namamu sebelumnya,” gumam Orion lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku punya sesuatu untuk Kakak,” kataku. Suaraku serak. Aku butuh minum.
“Oh, tidak perlu memanggilku Kakak. Aku belum setua itu,” protesnya diikuti senyum jail.
Aku hanya nyengir. Kupikir panggilanku itu wajar. Orion berusia enam tahun lebih tua dariku. Kuangkat paperbag berisi hadiah yang sengaja kubawa untuk Orion.
Orion membuka paperbag itu, kemudian mengeluarkan isinya. Matanya berbinar dan dia tersenyum lebar. “Woow! Kamu membawakan buku ini untukku?” Dia terdengar bersemangat.
Aku mengangguk antusias. “Ya. Aku mengikuti akun media sosialmu. Kupikir … setelah melihat postinganmu, Kakak sepertinya akan menyukai buku itu. Aku sudah pernah membacanya dan menurutku ceritanya sangat bagus,” kataku penuh semangat. Kemudian dengan cepat kutambahkan, “Itu buku baru, bukan bekas dariku.”
“Bekas pun aku nggak masalah,” ujarnya, masih membolak-balik dan mengamati novel yang kubawa dengan antusias. Matanya berbinar. Ugh! Lesung pipinya bikin dia jadi semakin imut! “Kamu juga suka cerita genre thriller?”
“Sangat suka,” aku menyahut cepat. “Aku baca semua genre, tapi thriller genre favoritku.”
Orion meraih tanganku, kemudian meremasnya lembut. Aku nggak bakal cuci tangan selama seminggu! Dia berkata, “Sepertinya aku menyukaimu. Kita sama-sama suka membaca dan memiliki selera bacaan yang sama. Kalau suatu saat kita bertemu di toko buku, aku berjanji akan membelikan buku untukmu.”
Sesaat, aku mengira ada kesungguhan dan ketulusan di dalam kata-katanya. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, dia tidak mungkin bersungguh-sungguh. Mungkin itu hanya basa-basi, semata-mata untuk menyenangkanku sebagai penggemarnya. Meski begitu, aku sama sekali tidak keberatan. Bagaimanapun dia, seperti apa pun dia, aku akan tetap menyukainya dan mendukungnya. Idolaku menandatangani album yang kubawa, kemudian menyerahkannya kembali padaku. Dia mengusap puncak kepalaku seraya tersenyum sangat manis. “Senang bertemu denganmu.”
Malam harinya, aku tidak bisa tidur sama sekali.
*
Alunan musik dari The Stargazer memenuhi seluruh penjuru kafe. Aku duduk sembari menatap pintu masuk tempat ini. Sudah hampir satu jam aku berada di sini, tetapi orang yang kutunggu tak kunjung muncul batang hidungnya. Kopi yang kupesankan untuknya bahkan sudah dingin. Aku sudah bangkit dan baru saja akan beranjak ketika sesosok pemuda yang sedari tadi kunantikan akhirnya datang diiringi cengirannya yang amat menyebalkan. Dia berjalan menghampiriku, kemudian mengecup pipiku. “Gue pikir lo udah minggat,” ujar pemuda itu. Dia duduk pada kursi di seberangku, kemudian menyeruput kopi yang sudah dingin itu.
Aku memutar bola mata. “Gue pikir lo udah lupa kalau lo ini masih punya adek dan adek lo udah nungguin di sini,” ketusku.
Dia mengacak rambutku. “Sori, tadi meeting-nya rada ngaret. Terus ada urusan sebentar.” Dia seperti berniat membuat ekspresi menyesal, tetapi gagal.
Pemuda itu tak lain ialah kakakku—Gamma. Dia tujuh tahun lebih tua dariku. Di usianya yang sekarang, Gamma sudah memiliki pekerjaan yang nyaman dan sepertinya cukup menjanjikan sebagai manajer artis. Dia bahkan sudah bisa membeli apartemen sendiri dan sudah hampir setahun pindah ke sana. Dengan pekerjaan yang membuat dia sangat sibuk, aku jarang sekali bisa bertemu dengannya. Sebenarnya, ayahku sudah memintanya untuk bekerja si perusahaannya, tetapi kakakku menolak. Katanya, dia ingin melakukan apa yang disukainya sebelum memikul tanggung jawab besar mengelola perusahaan.
Aku memalingkan wajah, tak mau menatapnya. “Iya, gue paham, kok. Kerjaan lo jauh lebih penting daripada gue,” kataku pelan. Tenggorokanku agak tercekat. Aku mengerjap-ngerjap untuk menepiskan air mataku.
“Dek,” kakakku memanggil, “maafin gue. Gue nggak pernah berniat bikin lo sedih. Gue sayang sama lo. Jangan ngambek, dong. Gue janji bakal nyisihin waktu lebih banyak buat lo.”
“Gue nggak apa-apa, kok. Jangan pernah bikin janji yang nggak bisa lo tepatin, Bang. Sebulan yang lalu lo juga janji kayak gitu—juga bulan-bulan sebelumnya. Tapi kenyataannya lo selalu ingkar lagi. Pasti sekarang lo juga nggak bisa nemenin gue lama-lama, kan?” ujarku lirih.
Gamma menjepit daguku. Ia memaksaku untuk menatapnya. Kulihat kesedihan di matanya. “Maafin gue karena selalu sibuk dan hampir nggak pernah punya waktu buat lo. Gue mungkin bakal sering janji, kemudian ingkar. Tapi kalau untuk hari ini, gue bisa pastiin kalau waktu gue cuma buat lo. Gue janji,” ujarnya, kemudian menarik satu telinganya.
Aku ingin berpaling, tetapi tangan Gamma yang masih menjepit daguku dengan kuat membuatku tak bisa apa-apa.
“Gue-janji,” ulangnya.
“Beneran?” tanyaku serak.
“Ya. Cuma ada kita berdua—lo sama gue. Gue bakal temenin lo ke mana pun lo mau. Gue juga bakal beliin apa pun yang lo minta,” janjinya.
“Kalau gitu gue minta Orion jadi suami gue,” kataku cepat.
“Nah, kecuali itu,” sahut Gamma datar.
Aku mencebik. “Katanya apa pun?”
“Tapi yang masuk akal!” ketusnya sembari menonyor kepalaku.
“Duh, jangan main nonyor-nonyor, dong. Nanti kalau gue jadi bego gimana? Nanti Orion ninggalin gue, terus gue jadi janda, dong? Lo siap nanggung kebutuhan gue sama anak-anak gue?”
“Seharusnya malah gue jedotin kepala lo biar nggak halu mulu,” dengusnya.
Aku tergelak. Kemudian, pandanganku beralih ke paper bag yang dibawa Gamma.
“Itu apaan?” tanyaku disertai rasa penasaran yang tidak kututup-tutupi.
Gamma meletakkan benda itu di meja. “Buat lo. Tadi gue telat karena nungguin ini.”
Kuraih benda itu, kemudian membukanya. Mataku melebar sampai rasa-rasanya bola mataku hampir menggelinding keluar dari tempatnya. Kukeluarkan kotak album terbaru The Stargazers yang sudah ditandatangani oleh ketiga personelnya, kemudian memekik girang. Aku tersenyum malu ketika pengunjung lain menatapku sebal.
“Lo kok bisa dapetin ini? Kan belum resmi dirilis,” desisku, nyaris histeris. Terakhir kali mereka merilis album, aku datang ke acara fansign. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu.
Tiba-tiba Gamma menegakkan punggung. Ia menepuk-nepuk dadanya seraya berkata dengan jemawa, “Apa, sih, yang gue nggak bisa? Ada kenalan orang dalam, gue mohon-mohon sama dia demi dapetin ini buat lo. Gue bilang kalau adik gue penggemar berat Orion. Itu alasan kenapa gue telat.”
Aku langsung bangkit, mengitari setengah meja, lalu memeluk kakakku. “Makasih banyak. Gue bahagia banget,” bisikku, kemudian aku mengecup pipinya.
“Gue bahagia kalau lihat lo bahagia,” balasnya. “Selamat ulang tahun ke dua puluh dua dan selamat karena akhirnya lo lulus. Gue senang karena lo berhasil lewatin itu semua dan sekarang lo baik-baik aja.”
Ketika Xabian mendorongku ke dinding dengan kasar, kemudian mencengkeram pergelangan tanganku dengan begitu kencang dan mulai menciumku, seketika bayangan tentang tangan-tangan yang memegangiku serta membekapku supaya tidak berteriak langsung muncul begitu saja ke permukaan benakku.Aku tak bisa berhenti gemetar, bahkan ketika Gamma, serta Mama dan Papa sudah datang sekalipun. Air mataku seolah tak ada habisnya. Mereka memanggil seorang dokter, kemudian dokter itu menyuntikkan entah apa ke dalam tubuhku sehingga aku tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.Setelah enam tahun berlalu, kupikir aku sudah benar-benar melupakan kejadian itu, tetapi ternyata belum. Kini, bayangan-bayangan itu bahkan terus mengejarku ketika aku tidur. Sering kali aku terbangun ketika tengah malam, dengan tangan mencekik leherku sendiri, napas tersengal-sengal, serta bersimbah peluh. B
Empat hari sudah berlalu semenjak pagi yang penuh bencana itu. Jika ada seseorang yang memiliki kemampuan membuat sesuatu yang sepele menjadi begitu rumit, dan berakhir dengan pertengkaran tak berujung, maka Xabian sangat yakin Naraya-lah orangnya.Saat itu, Xabian baru saja selesai membuat sarapan untuk Naraya dan berniat untuk pergi karena hari itu dia ada jadwal pekerjaan. Kemudian, tiba-tiba Naraya datang ke dapur. Xabian bisa melihat senyum gadis itu yang seketika sirna saat melihatnya. Gadis itu menanyakan perihal keberadaannya di apartemen itu dengan suara melengking yang menyebabkan telinganya berdenging.“Gamma yang minta gue nginep di sini.” Mata Naraya melebar tak percaya mendengar jawabannya. Xabian mendengus, seraya menambahkan, “Kalau bukan karena gue yang ngerasa nggak enak buat nolak permintaan abang lo, gue juga lebih milih ti
Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke kamar melalui celah tirai serasa menusuk-nusuk mataku. Aku mengernyit, merasakan denyutan samar di kepalaku. Tubuhku terasa lemah. Aku membuka mata, kemudian menatap ke sekeliling.Aku tidak mengenali ruangan yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu tempatku berada sekarang. Kamarku tidak semuram ini, dan tentu saja, kamarkku dipenuhi buku dan pernak-pernik mengenai The Stargazer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menyadari betapa polosnya tempat ini. Hanya ada sebuah lemari besar berwarna hitam mengkilap, cermin setinggi badan di sisi lain ruangan, sebuah meja yang sepertinya difungsikan sebagai meja belajar sekaligus meja rias (genit sekali dia!), serta sebuah rak buku kecil. Di sebelah tempat tidur, terdapat sebuah nakas. Sepertinya pemilik tempat ini begitu suka memandangi dirinya sendiri, dan seketika teringat kalau semalam Xabia
“Lo di mana?” tanya Xabian. Rasa ngantuk dan peningnya lenyap begitu saja begitu mendengar suara Naraya. Dia sudah bangkit untuk menyambar jaket, kunci mobil, serta dompetnya ketika pesan dari Naraya berisi lokasi tempat gadis itu berada sekarang masuk. Xabian bahkan tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta wajah sembapnya. Pemuda itu melesat bak anak panah.Dia teringat ketika terakhir kali Naraya berbicara dengan suara seperti itu. Bukan sesuatu yang baik. Bayangan Naraya yang gemetaran dan bersimbah air mata memasuki benaknya tanpa bisa ia cegah. Xabian menggeleng-geleng, seolah berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang menyerbunya. Tidak, tidak, tidak! Naraya baik-baik saja.Lalu lintas yang macet menghambat perjalanannya. Pemuda itu mengumpat dan menyumpah, memuntahkan kata-kata kasar
Aku dan Orion hanya saling menatap untuk beberapa saat yang terasa seperti seabad lamanya. Aku terlalu terguncang untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan tidak bisa memercayai diriku sendiri untuk berbicara, takut kalau-kalau mengatakan sesuatu yang bodoh. Jantungku berdentam-dentam menghantam tulang rusuk sampai rasanya sakit, seolah dia ingin meloncat keluar dari tubuhku.“Hey! Bernapaslah!” kata Orion diwarnai kegelian. Suaranya masih selembut saat terakhir kali aku mendengarnya, yang bisa dibilang hampir setiap hari. Dia mengirim banyak pesan suara yang tak kubalas, tetapi sering kudengarkan.Aku bahkan baru menyadari kalau sedari tadi sudah menahan napas. Aku menarik napas dalam-dalam dan bisa melihat Orion sedang menahan senyum. Kenakalan menari-nari di matanya. Dia masih setampan dan semenawan terakhir kali kami bertemu, lebih malah. Lekuk kecil
Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen