Satu bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Orion di toko buku. Tak ada kabar apa pun darinya—baik lewat pesan atau telepon. Sosoknya kian hari terasa semakin tak nyata saja. Aku terkadang mempertanyakan pertemuan kami benar-benar terjadi atau tidak. Bagaimana kalau yang terjadi pada hari itu hanya halusinasiku semata? Apa itu berarti kalau aku sudah mulai gila?
Satu-satunya yang menjadi peganganku ialah pesan yang pertama sekaligus terakhir kali ia kirimkan padaku. Sering kali terpikir olehku untuk mengirim pesan terlebih dulu, tetapi segera mengurungkannya. Aku tidak ingin mengganggu ataupun membuatnya merasa risih. Aku tak mau dia menganggapku seorang fanatik. Jadi, yang bisa kulakukan hanya terus menunggu pesannya siang malam. Lagi pula, memangnya aku ini siapa? Aku cuma seorang penggemar dan dia akan selamanya menganggapku begitu. Tidak akan ada yang berubah di antara kami.
Kutarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa aku takkan mampu menjangkaunya sampai kapan pun. Dunia kami terlalu berbeda. Aku baru saja akan beranjak ketika terdengar notifikasi di ponselku.
Dari : Cowok Berlesung Pipi
Hai, Ra. Apa kabar? Mmm … apa aku mengganggumu? Maaf karena aku baru sempat menghubungimu. Bagaimana bukunya? Apa kamu suka?
Tanpa sanggup kutahan, bibirku tersungging. Segera kubalas pesan dari Orion.
Hai! Nggak apa-apa. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?
Aku sudah selesai membaca semuanya! Dan ya! Aku sangat menyukainya! Bisa beritahu aku rekomendasi judul lain?
Aku berkata jujur. Ceritanya memang benar-benar bagus.
Hampir seketika, tanda centang dua berubah menjadi warna biru, kemudian muncul tulisan yang memberitahu bahwa Orion sedang mengetik balasan. Tak lama kemudian, balasan dari pemuda itu datang. Isi pesannya memanaskan wajahku.
Kamu lebih suka bukunya atau aku?
Aku bimbang akan membalas pesan itu atau tidak. Mungkin dia hanya berniat bercanda, tetapi pertanyaan itu sudah menjurus ke zona berbahaya—setidaknya, berbahaya untukku. Aku tidak ingin terbawa perasaan. Harus ada batasan antara aku dan idolaku. Setelah mempertimbangkannya, kuputuskan untuk menjawab pesan itu. Kuusahakan agar balasanku terkesan seceria mungkin.
Hey! Pertanyaan macam apa itu? Nggak adil banget! Aku penggemarmu, tentu saja aku lebih menyukai bukunya!
Kutambahkan banyak emot tertawa pada akhir kalimatnya. Kali ini jawaban datang cukup lama.
Dasar! Aku akan memberitahumu judul yang lain, tapi tidak sekarang. Hanya ketika kita bertemu secara langsung. Kita bertemu di toko buku lagi? Aku berniat kabur ke sana sore nanti.
Aku harus berjuang keras untuk mengendalikan detak jantungku. Dia hanya berusaha ramah padaku. Dia tidak benar-benar menyukaiku. Dia mengajakku bertemu karena secara kebetulan kami sama-sama suka membaca.
Apakah The Stargazers sudah tidak laku lagi, sehingga penyanyi utamanya bisa berkeliaran ke sana kemari seenaknya?
Hanya butuh beberapa detik, balasan Orion masuk.
Kuharap kami bisa memiliki waktu luang sedikit lebih banyak sehingga aku bisa lebih sering bicara denganmu.
Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya itu. Tidak boleh seperti ini! Ini sudah melewati batas! Kuletakkan ponselku, tak ingin lagi membalas pesan Orion. Kemudian, ponselku kembali berbunyi. Lagi-lagi pesan dari Orion.
Ayolah. Kumohon. Sore ini di toko buku yang dulu? Aku juga ingin memberimu sesuatu.
Aku nggak bisa, balasku hampir seketika itu juga.
Tiba-tiba ponselku berdering. Terpampang nama Cowok Berlesung Pipi pada layarnya.
*
Pada akhirnya, aku datang ke toko buku. Orion berjanji akan menemuiku tepat pukul empat sore di sini. Namun, sepertinya dia akan terlambat. Aku sedang fokus membaca blurb buku di tanganku ketika tiba-tiba seseorang menutup mataku dari belakang. Aroma tubuhnya yang seperti air laut dan sitrus menyerbu indra penciumanku.
“Tebak siapa aku?” bisiknya di telingaku.
Aku hendak memutar bola mata, tetapi tidak bisa karena dia menutup mataku.
“Cowok Berlesung Pipi,” jawabku datar.
Aku memutar tubuh menghadapnya, menemukan sosok jangkung memakai jaket pull-over berwarna hitam. Bagian kerahnya dinaikkan hingga menutupi dagunya. Orion juga memakai kacamata hitam serta topi berwarna senada. Tapi percayalah, jika ada penggemarnya yang melihat dia dari dekat, penyamaran hebohnya ini niscaya akan tetap ketahuan. Insting kami para penggemar sangatlah tajam. Tunjukkan kami foto mata ketiga anggota The Stargazers, kami masih bisa menebak pemilik mata itu dengan akurat. Jangankan mata, hanya dengan melihat tahi lalat atau jari kelingkingnya pun kami akan bisa mengenalinya.
“Sudah lama?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Baru beberapa menit,” jawabku. Nada bicaraku mungkin terdengar tenang, tetapi itu hanya untuk menutupi kegugupanku. Aku hanya tidak ingin tampak bodoh seperti saat pertemuan kami dulu. Kami larut dalam obrolan mengenai buku. Dia kembali memilihkan beberapa judul buku untukku tetapi kali ini aku bersikeras untuk membayar sendiri.
“Baiklah. Biarkan aku membayar bukumu lagi—hanya kali ini, aku janji. Dan traktir aku makan. Aku kelaparan.”
Aku sudah membuka mulut, tetapi suaraku bahkan belum keluar ketika dia menghentikanku. “Nggak bisakah kamu menurut padaku tanpa banyak mendebat?”
Aku mendecakkan lidah. “Terserahlah!” ketusku, kemudian keluar dari toko sambil mengentakkan langkah.
Orion menyusulku tak lama kemudian. Pemuda itu mengajakku makan di restoran yang khusus menjual makanan ala Korea. Aku memesan bibimbap—sejenis nasi campur ala Korea. Sedangkan Orion memesan jjajangmyeon—salah satu mi khas Korea, terbuat dari mi yang dicampur saus kedelai kental, sayuran, serta potongan daging. Kalau menurutku, tampangnya agak mirip dengan mi ayam.
“Ra, kuperhatiin kamu kayaknya sering bengong. Kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Orion setelah menyelesaikan makannya. Tatapan serta nada bicaranya begitu lembut.
Aku menggeleng. “Masa, sih? Perasaan Kakak aja kayaknya. Aku baik-baik aja, kok,” kataku seceria mungkin.
“Aku udah bilang jangan panggil aku kakak, cukup namaku,” ujar Orion dengan nada tak suka yang sangat kentara dalam suaranya.
Aku meringis. “Sori,” kataku sembari memegang kedua telingaku.
Orion merogoh ke saku jaketnya, kemudian memberikan selembar kertas padaku. “Minggu depan, kami akan mengadakan konser—“
“Aku tahu. Aku udah beli tiketnya,” celetukku.
Pemuda itu memutar bola matanya, tetapi bibirnya tersenyum. “Dengarkan dulu. Ini tiket VVIP. Aku—“
“Aku juga beli yang VVIP,” sahutku cepat, lalu tergelak melihat raut wajah Orion.
“Terserah,” dengusnya seraya membuang muka.
Ketika Xabian mendorongku ke dinding dengan kasar, kemudian mencengkeram pergelangan tanganku dengan begitu kencang dan mulai menciumku, seketika bayangan tentang tangan-tangan yang memegangiku serta membekapku supaya tidak berteriak langsung muncul begitu saja ke permukaan benakku.Aku tak bisa berhenti gemetar, bahkan ketika Gamma, serta Mama dan Papa sudah datang sekalipun. Air mataku seolah tak ada habisnya. Mereka memanggil seorang dokter, kemudian dokter itu menyuntikkan entah apa ke dalam tubuhku sehingga aku tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.Setelah enam tahun berlalu, kupikir aku sudah benar-benar melupakan kejadian itu, tetapi ternyata belum. Kini, bayangan-bayangan itu bahkan terus mengejarku ketika aku tidur. Sering kali aku terbangun ketika tengah malam, dengan tangan mencekik leherku sendiri, napas tersengal-sengal, serta bersimbah peluh. B
Empat hari sudah berlalu semenjak pagi yang penuh bencana itu. Jika ada seseorang yang memiliki kemampuan membuat sesuatu yang sepele menjadi begitu rumit, dan berakhir dengan pertengkaran tak berujung, maka Xabian sangat yakin Naraya-lah orangnya.Saat itu, Xabian baru saja selesai membuat sarapan untuk Naraya dan berniat untuk pergi karena hari itu dia ada jadwal pekerjaan. Kemudian, tiba-tiba Naraya datang ke dapur. Xabian bisa melihat senyum gadis itu yang seketika sirna saat melihatnya. Gadis itu menanyakan perihal keberadaannya di apartemen itu dengan suara melengking yang menyebabkan telinganya berdenging.“Gamma yang minta gue nginep di sini.” Mata Naraya melebar tak percaya mendengar jawabannya. Xabian mendengus, seraya menambahkan, “Kalau bukan karena gue yang ngerasa nggak enak buat nolak permintaan abang lo, gue juga lebih milih ti
Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke kamar melalui celah tirai serasa menusuk-nusuk mataku. Aku mengernyit, merasakan denyutan samar di kepalaku. Tubuhku terasa lemah. Aku membuka mata, kemudian menatap ke sekeliling.Aku tidak mengenali ruangan yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu tempatku berada sekarang. Kamarku tidak semuram ini, dan tentu saja, kamarkku dipenuhi buku dan pernak-pernik mengenai The Stargazer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menyadari betapa polosnya tempat ini. Hanya ada sebuah lemari besar berwarna hitam mengkilap, cermin setinggi badan di sisi lain ruangan, sebuah meja yang sepertinya difungsikan sebagai meja belajar sekaligus meja rias (genit sekali dia!), serta sebuah rak buku kecil. Di sebelah tempat tidur, terdapat sebuah nakas. Sepertinya pemilik tempat ini begitu suka memandangi dirinya sendiri, dan seketika teringat kalau semalam Xabia
“Lo di mana?” tanya Xabian. Rasa ngantuk dan peningnya lenyap begitu saja begitu mendengar suara Naraya. Dia sudah bangkit untuk menyambar jaket, kunci mobil, serta dompetnya ketika pesan dari Naraya berisi lokasi tempat gadis itu berada sekarang masuk. Xabian bahkan tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta wajah sembapnya. Pemuda itu melesat bak anak panah.Dia teringat ketika terakhir kali Naraya berbicara dengan suara seperti itu. Bukan sesuatu yang baik. Bayangan Naraya yang gemetaran dan bersimbah air mata memasuki benaknya tanpa bisa ia cegah. Xabian menggeleng-geleng, seolah berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang menyerbunya. Tidak, tidak, tidak! Naraya baik-baik saja.Lalu lintas yang macet menghambat perjalanannya. Pemuda itu mengumpat dan menyumpah, memuntahkan kata-kata kasar
Aku dan Orion hanya saling menatap untuk beberapa saat yang terasa seperti seabad lamanya. Aku terlalu terguncang untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan tidak bisa memercayai diriku sendiri untuk berbicara, takut kalau-kalau mengatakan sesuatu yang bodoh. Jantungku berdentam-dentam menghantam tulang rusuk sampai rasanya sakit, seolah dia ingin meloncat keluar dari tubuhku.“Hey! Bernapaslah!” kata Orion diwarnai kegelian. Suaranya masih selembut saat terakhir kali aku mendengarnya, yang bisa dibilang hampir setiap hari. Dia mengirim banyak pesan suara yang tak kubalas, tetapi sering kudengarkan.Aku bahkan baru menyadari kalau sedari tadi sudah menahan napas. Aku menarik napas dalam-dalam dan bisa melihat Orion sedang menahan senyum. Kenakalan menari-nari di matanya. Dia masih setampan dan semenawan terakhir kali kami bertemu, lebih malah. Lekuk kecil
Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La