Pokoknya kamu harus ada di tempat yang sudah aku sediakan. Di tempat itu, aku bakal bisa lihat kamu dengan jelas dari atas panggung.
Konser sudah berlangsung hampir satu jam. The Stargazers sudah menyanyikan beberapa lagu dari album baru mereka. Jeritan dan pekikan para penggemar memekakkan telinga. Di konser ini, kami para penggemar seolah menyatu meski tak saling mengenal. Kami semua berteriak, berjingkrak-jingkrak, serta menyanyi bersama.
Kali ini, giliran Orion yang tampil menyanyikan lagu solonya. Ia memakai jas berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak begitu tenang. Jemarinya menari dengan lincah di atas tuts piano. Dia tampak begitu menjiwai lagu tersebut dan penampilannya berhasil menghipnotis seluruh penonton yang datang. Begitu penampilannya selesai, tepuk tangan serta teriakan penonton bergemuruh.
Orion berjalan maju. Dia tampak sedang mencari sesuatu di antara lautan penggemar. Sepertinya aku tahu apa yang dia cari. Ketika mata kami bertemu, bibirnya melengkung ke atas yang memancing teriakan para penonton. “Aku tahu kamu akan datang,” ujarnya dari atas panggung, “dan aku senang karena kamu berada di sini untuk menyaksikan penampilanku.”
*
Aku berjalan memasuki rumah sambil bersenandung. Tubuhku lengket karena keringat—juga lelah, tetapi aku sangat bahagia.
“Kamu dari mana, Sayang?”
Aku memutar tubuh. Tampak Papa duduk di sofa ruang tamu. Senyumnya tersungging. Aku berlari menghampiri Papa, lalu memeluknya. “Papa kapan pulang?” tanyaku. Terlihat jelas kelelahan di matanya. Dia juga agak pucat dan sepertinya agak sedikit kurus. Kerutan di wajahnya agak sedikit lebih dalam.
Papa balas memelukku. “Tadi sore, tapi ternyata kamu nggak ada di rumah. Dari mana, hm?”
Aku nyengir. “Abis nonton konser,” jawabku.
“The Stargazer, eh?” tebaknya.
Aku mengangguk. Kuamati wajah Papa. Di usianya yang belum genap enam puluh tahun, Papa terlihat sangat kepayahan. Mungkin karena beban pekerjaannya, membuatnya jarang mendapat waktu istirahat yang cukup? Entahlah. Namun, melihat Papa sekarang, aku merasa khawatir dengan keadaannya.
“Pa … Papa sakit, ya?” tanyaku.
Dalam sepersekian detik, aku melihat sesuatu yang mirip seperti keterkejutan di matanya. “Kata siapa? Papa sehat, kok. Papa bahkan masih kuat naik sambil gendong kamu. Mau bukti?” ujar Papa sembari tertawa.
“Papa agak pucat,” kataku terus terang.
“Papa cuman kecapekan, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir.”
Tapi aku memang khawatir. Tiba-tiba, aku merasa takut kehilangan Papa. “Papa jangan sakit,” bisikku seraya mengeratkan pelukanku. Air mataku mulai menggenang.
Tiba-tiba Papa mengatakan sesuatu yang meruntuhkan momen mengharukan ini. “Astaga! Bau apa ini? Apa ini berasal darimu, Sayang?” Kalimat itu terasa semakin menyebalkan ketika dibarengi dengan Papa yang mengibas-ngibaskan tangannya di udara seolah sedang menghalau serangga.
Air mataku yang sudah hampir menetes seketika naik lagi. Aku langsung menarik diri, kemudian menatap kesal ke arahnya. “Papa, ih! Ngerusak momen banget!”
Papa tertawa renyah. “Beneran, Sayang,” ujarnya. “Mandi sana! Kita makan malam di luar. Papa mau mempertemukanmu dengan seseorang.”
“Siapa?” tanyaku.
“Rahasia.”
“Haruskah aku merasa curiga?”
“Boleh-boleh saja,” ujar Papa. “Apa kamu sudah punya pacar, Sayang?” Papa mengatakannya dengan nada riang.
Aku mengendikkan bahu. “Belum ada yang mau. Lagi pula, susah nyari yang model kayak Orion.”
Papa terkekeh. “Dasar kamu! Ya sudah, cepat pergi mandi. Papa nggak mau kita terlambat.” Namun, bukannya bangkit dan pergi bersiap-siap, aku justru menggelendot padanya. Setelah beberapa kali menyuruh dan aku tak kunjung beranjak, tiba-tiba Papa mengangkat tubuhku di bahunya. Aku langsung memekik.
“Kamu sudah besar, tapi susah sekali kalau disuruh mandi. Apa perlu Papa lempar kamu ke kolam renang, eh?” ancamnya.
“Jangan!” Kakiku menendang-nendang dengan panik.
“Astaga! Jangan bergerak-gerak terus. Nggak sadar, ya, kalau kamu bertambah berat?” ejek Papa.
Aku menyalak tak terima yang disambut derai tawa Papa.
“Turunin aku, Pa! Iya! Iya! Aku mandi sekarang!” kataku sambil tertawa-tawa.
“Janji?”
Aku tertawa. “Ya.”
Papa menurunkanku. Baru kusadari kalau Mama tengah memperhatikan kami. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada—menggeleng-geleng, mungkin tidak habis pikir melihat tingkah suami serta anaknya. Aku nyengir. Kucium pipi Papa, lalu menghampiri Mama dan menciumnya juga. Setelah itu naik ke kamarku. Aku baru mencapai separuh anak tangga ketika Papa memanggilku.
“Nara,” panggilnya.
Aku memutar tubuh menghadap Papa. “Ya? Ada apa, Pa?”
Ayahku tampak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia seperti hendak bicara, tetapi kemudian menggeleng sambil menyunggingkan senyum terpaksa. “Bukan apa-apa, Sayang. Cepatlah mandi. Dandan yang cantik.”
Aku pergi ke kamar dengan berbagai pertanyaan di benakku.
*
Baru kali ini Papa dan Mama membawaku ke sebuah jamuan makan resmi seperti ini. Biasanya hanya makan malam keluarga. Tapi makan malam dengan teman bisnis Papa—hampir tidak pernah.
Aku memakai gaun pendek berlengan panjang berwarna biru malam. Bahannya tebal dan menempel pas di tubuhku dengan aksen kancing dari bagian dada hingga roknya. Mama datang dan membantuku menata rambutku. Dia hanya mengikat rambutku menjadi bentuk ekor kuda.
“Pakai ini, Sayang.” Mama memberikan kotak perhiasan berwarna putih. Di dalamnya terdapat satu set perhiasan dengan desain yang sederhana, persis seperti kesukaanku.
“Cantik. Seperti kerlip bintang di langit malam.”
Aku menoleh ke sumber suara. Papa sedang tersenyum di ambang pintu kamarku. Dia memakai setelan jas tiga potong berwarna abu-abu, senada dengan gaun Mama. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Ia berjalan menghampiri kami, lalu mengulurkan tangannya.
*
“Teman Papa lupa kali kalau ada janji,” kataku. Aku bertopang dagu sambil menatap ke luar jendela. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi orang yang kami tunggu tak kunjung muncul batang hidungnya.
Kami berada di ruangan privat yang Papa pesan. Ruangan ini bernuansa keemasan, dengan jendela kaca lebar yang memungkinkan pengunjung untuk melihat pemandangan di luar. Lantainya berlapis permadani yang saking tebalnya akan membuat anak kecil terbenam di dalamnya. Meja panjang yang dilengkapi enam buah kursi berada di tengah-tengah ruangan. Pada langit-langitnya tergantung sebuah lampu kristal yang sepertinya hanya digunakan sebagai dekorasi semata. Melihat ukurannya, aku pasti akan mati dalam waktu hampir seketika jika lampu itu jatuh menimpaku.
“Sebentar lagi, Sayang. Mereka sudah dalam perjalanan,” ujar Mama tenang.
Aku hanya mendengus.
Pengusaha macam apa yang suka terlambat seperti ini? Sama sekali tidak bisa menghargai waktu!
Kemudian, pintu ruangan terbuka.
“Maaf, kami membuat kalian menunggu.”
Aku menoleh ke arah suara yang sudah lama tidak kudengar, tetapi sama sekali tak asing di telingaku, dan mataku seketika melebar.
Tanpa menunggu Papa dan Mama, aku langsung berlari masuk ke rumah begitu mobil berhenti. Aku mengabaikan panggilan mereka. Mataku terasa panas. Dadaku sesak seakan ada yang menimpakan beban berat di atasnya. Jantungku berdentam-dentam menggedor rongga dadaku seolah akan meledak. Darah menderu di telingaku. Marah, sedih, kecewa, sakit, entah perasaan mana yang lebih kuat untuk saat ini. Mereka berbohong! Mereka sudah memperdayaku! Mereka mengkhianatiku! Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Setelah itu, tangisku pecah. Aku menjerit, berteriak, dan meraung. Mengapa mereka tega melakukan ini padaku? Aku dan Xabi bersitatap cukup lama. Sudah empat tahun kami tidak bertemu semenjak kejadian itu
Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi. Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.
“Ra, kamu sakit?” tanya Orion. Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum. “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?” “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa j
Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka
Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me
Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini