Share

CHAPTER 4 Sudah Punya Pacar Belum?

    Pokoknya kamu harus ada di tempat yang sudah aku sediakan. Di tempat itu, aku bakal bisa lihat kamu dengan jelas dari atas panggung.

    Konser sudah berlangsung hampir satu jam. The Stargazers sudah menyanyikan beberapa lagu dari album baru mereka. Jeritan dan pekikan para penggemar memekakkan telinga. Di konser ini, kami para penggemar seolah menyatu meski tak saling mengenal. Kami semua berteriak, berjingkrak-jingkrak, serta menyanyi bersama.

    Kali ini, giliran Orion yang tampil menyanyikan lagu solonya. Ia memakai jas berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak begitu tenang. Jemarinya menari dengan lincah di atas tuts piano. Dia tampak begitu menjiwai lagu tersebut dan penampilannya berhasil menghipnotis seluruh penonton yang datang. Begitu penampilannya selesai, tepuk tangan serta teriakan penonton bergemuruh.

    Orion berjalan maju. Dia tampak sedang mencari sesuatu di antara lautan penggemar. Sepertinya aku tahu apa yang dia cari. Ketika mata kami bertemu, bibirnya melengkung ke atas yang memancing teriakan para penonton. “Aku tahu kamu akan datang,” ujarnya dari atas panggung, “dan aku senang karena kamu berada di sini untuk menyaksikan penampilanku.”

*

Aku berjalan memasuki rumah sambil bersenandung. Tubuhku lengket karena keringat—juga lelah, tetapi aku sangat bahagia.

“Kamu dari mana, Sayang?”

Aku memutar tubuh. Tampak Papa duduk di sofa ruang tamu. Senyumnya tersungging. Aku berlari menghampiri Papa, lalu memeluknya. “Papa kapan pulang?” tanyaku. Terlihat jelas kelelahan di matanya. Dia juga agak pucat dan sepertinya agak sedikit kurus. Kerutan di wajahnya agak sedikit lebih dalam.

Papa balas memelukku. “Tadi sore, tapi ternyata kamu nggak ada di rumah. Dari mana, hm?”

Aku nyengir. “Abis nonton konser,” jawabku.

The Stargazer, eh?” tebaknya.

Aku mengangguk. Kuamati wajah Papa. Di usianya yang belum genap enam puluh tahun, Papa terlihat sangat kepayahan. Mungkin karena beban pekerjaannya, membuatnya jarang mendapat waktu istirahat yang cukup? Entahlah. Namun, melihat Papa sekarang, aku merasa khawatir dengan keadaannya.

“Pa … Papa sakit, ya?” tanyaku.

Dalam sepersekian detik, aku melihat sesuatu yang mirip seperti keterkejutan di matanya. “Kata siapa? Papa sehat, kok. Papa bahkan masih kuat naik sambil gendong kamu. Mau bukti?” ujar Papa sembari tertawa.

“Papa agak pucat,” kataku terus terang.

“Papa cuman kecapekan, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir.”

Tapi aku memang khawatir. Tiba-tiba, aku merasa takut kehilangan Papa. “Papa jangan sakit,” bisikku seraya mengeratkan pelukanku. Air mataku mulai menggenang.

Tiba-tiba Papa mengatakan sesuatu yang meruntuhkan momen mengharukan ini. “Astaga! Bau apa ini? Apa ini berasal darimu, Sayang?” Kalimat itu terasa semakin menyebalkan ketika dibarengi dengan Papa yang mengibas-ngibaskan tangannya di udara seolah sedang menghalau serangga.

Air mataku yang sudah hampir menetes seketika naik lagi. Aku langsung menarik diri, kemudian menatap kesal ke arahnya. “Papa, ih! Ngerusak momen banget!”

Papa tertawa renyah. “Beneran, Sayang,” ujarnya. “Mandi sana! Kita makan malam di luar. Papa mau mempertemukanmu dengan seseorang.”

“Siapa?” tanyaku.

“Rahasia.”

“Haruskah aku merasa curiga?”

“Boleh-boleh saja,” ujar Papa. “Apa kamu sudah punya pacar, Sayang?” Papa mengatakannya dengan nada riang.

Aku mengendikkan bahu. “Belum ada yang mau. Lagi pula, susah nyari yang model kayak Orion.”

Papa terkekeh. “Dasar kamu! Ya sudah, cepat pergi mandi. Papa nggak mau kita terlambat.” Namun, bukannya bangkit dan pergi bersiap-siap, aku justru menggelendot padanya. Setelah beberapa kali menyuruh dan aku tak kunjung beranjak, tiba-tiba Papa mengangkat tubuhku di bahunya. Aku langsung memekik.

“Kamu sudah besar, tapi susah sekali kalau disuruh mandi. Apa perlu Papa lempar kamu ke kolam renang, eh?” ancamnya.

“Jangan!” Kakiku menendang-nendang dengan panik.

“Astaga! Jangan bergerak-gerak terus. Nggak sadar, ya, kalau kamu bertambah berat?” ejek Papa.

Aku menyalak tak terima yang disambut derai tawa Papa.

“Turunin aku, Pa! Iya! Iya! Aku mandi sekarang!” kataku sambil tertawa-tawa.

“Janji?”

Aku tertawa. “Ya.”

Papa menurunkanku. Baru kusadari kalau Mama tengah memperhatikan kami. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada—menggeleng-geleng, mungkin tidak habis pikir melihat tingkah suami serta anaknya. Aku nyengir. Kucium pipi Papa, lalu menghampiri Mama dan menciumnya juga. Setelah itu naik ke kamarku. Aku baru mencapai separuh anak tangga ketika Papa memanggilku.

“Nara,” panggilnya.

Aku memutar tubuh menghadap Papa. “Ya? Ada apa, Pa?”

Ayahku tampak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia seperti hendak bicara, tetapi kemudian menggeleng sambil menyunggingkan senyum terpaksa. “Bukan apa-apa, Sayang. Cepatlah mandi. Dandan yang cantik.”

Aku pergi ke kamar dengan berbagai pertanyaan di benakku.

*

Baru kali ini Papa dan Mama membawaku ke sebuah jamuan makan resmi seperti ini. Biasanya hanya makan malam keluarga. Tapi makan malam dengan teman bisnis Papa—hampir tidak pernah.

Aku memakai gaun pendek berlengan panjang berwarna biru malam. Bahannya tebal dan menempel pas di tubuhku dengan aksen kancing dari bagian dada hingga roknya. Mama datang dan membantuku menata rambutku. Dia hanya mengikat rambutku menjadi bentuk ekor kuda.

“Pakai ini, Sayang.” Mama memberikan kotak perhiasan berwarna putih. Di dalamnya terdapat satu set perhiasan dengan desain yang sederhana, persis seperti kesukaanku.

“Cantik. Seperti kerlip bintang di langit malam.”

Aku menoleh ke sumber suara. Papa sedang tersenyum di ambang pintu kamarku. Dia memakai setelan jas tiga potong berwarna abu-abu, senada dengan gaun Mama. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Ia berjalan menghampiri kami, lalu mengulurkan tangannya.

*

“Teman Papa lupa kali kalau ada janji,” kataku. Aku bertopang dagu sambil menatap ke luar jendela. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi orang yang kami tunggu tak kunjung muncul batang hidungnya.

Kami berada di ruangan privat yang Papa pesan. Ruangan ini bernuansa keemasan, dengan jendela kaca lebar yang memungkinkan pengunjung untuk melihat pemandangan di luar. Lantainya berlapis permadani yang saking tebalnya akan membuat anak kecil terbenam di dalamnya. Meja panjang yang dilengkapi enam buah kursi berada di tengah-tengah ruangan. Pada langit-langitnya tergantung sebuah lampu kristal yang sepertinya hanya digunakan sebagai dekorasi semata. Melihat ukurannya, aku pasti akan mati dalam waktu hampir seketika jika lampu itu jatuh menimpaku.

“Sebentar lagi, Sayang. Mereka sudah dalam perjalanan,” ujar Mama tenang.

Aku hanya mendengus.

Pengusaha macam apa yang suka terlambat seperti ini? Sama sekali tidak bisa menghargai waktu!

Kemudian, pintu ruangan terbuka.

“Maaf, kami membuat kalian menunggu.”

Aku menoleh ke arah suara yang sudah lama tidak kudengar, tetapi sama sekali tak asing di telingaku, dan mataku seketika melebar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
IyoniAe
hm... siapa itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status