ホーム / Romansa / My Imaginary Husband / CHAPTER 4 Sudah Punya Pacar Belum?

共有

CHAPTER 4 Sudah Punya Pacar Belum?

作者: Jili Nai
last update 最終更新日: 2021-10-16 17:30:52

    Pokoknya kamu harus ada di tempat yang sudah aku sediakan. Di tempat itu, aku bakal bisa lihat kamu dengan jelas dari atas panggung.

    Konser sudah berlangsung hampir satu jam. The Stargazers sudah menyanyikan beberapa lagu dari album baru mereka. Jeritan dan pekikan para penggemar memekakkan telinga. Di konser ini, kami para penggemar seolah menyatu meski tak saling mengenal. Kami semua berteriak, berjingkrak-jingkrak, serta menyanyi bersama.

    Kali ini, giliran Orion yang tampil menyanyikan lagu solonya. Ia memakai jas berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak begitu tenang. Jemarinya menari dengan lincah di atas tuts piano. Dia tampak begitu menjiwai lagu tersebut dan penampilannya berhasil menghipnotis seluruh penonton yang datang. Begitu penampilannya selesai, tepuk tangan serta teriakan penonton bergemuruh.

    Orion berjalan maju. Dia tampak sedang mencari sesuatu di antara lautan penggemar. Sepertinya aku tahu apa yang dia cari. Ketika mata kami bertemu, bibirnya melengkung ke atas yang memancing teriakan para penonton. “Aku tahu kamu akan datang,” ujarnya dari atas panggung, “dan aku senang karena kamu berada di sini untuk menyaksikan penampilanku.”

*

Aku berjalan memasuki rumah sambil bersenandung. Tubuhku lengket karena keringat—juga lelah, tetapi aku sangat bahagia.

“Kamu dari mana, Sayang?”

Aku memutar tubuh. Tampak Papa duduk di sofa ruang tamu. Senyumnya tersungging. Aku berlari menghampiri Papa, lalu memeluknya. “Papa kapan pulang?” tanyaku. Terlihat jelas kelelahan di matanya. Dia juga agak pucat dan sepertinya agak sedikit kurus. Kerutan di wajahnya agak sedikit lebih dalam.

Papa balas memelukku. “Tadi sore, tapi ternyata kamu nggak ada di rumah. Dari mana, hm?”

Aku nyengir. “Abis nonton konser,” jawabku.

The Stargazer, eh?” tebaknya.

Aku mengangguk. Kuamati wajah Papa. Di usianya yang belum genap enam puluh tahun, Papa terlihat sangat kepayahan. Mungkin karena beban pekerjaannya, membuatnya jarang mendapat waktu istirahat yang cukup? Entahlah. Namun, melihat Papa sekarang, aku merasa khawatir dengan keadaannya.

“Pa … Papa sakit, ya?” tanyaku.

Dalam sepersekian detik, aku melihat sesuatu yang mirip seperti keterkejutan di matanya. “Kata siapa? Papa sehat, kok. Papa bahkan masih kuat naik sambil gendong kamu. Mau bukti?” ujar Papa sembari tertawa.

“Papa agak pucat,” kataku terus terang.

“Papa cuman kecapekan, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir.”

Tapi aku memang khawatir. Tiba-tiba, aku merasa takut kehilangan Papa. “Papa jangan sakit,” bisikku seraya mengeratkan pelukanku. Air mataku mulai menggenang.

Tiba-tiba Papa mengatakan sesuatu yang meruntuhkan momen mengharukan ini. “Astaga! Bau apa ini? Apa ini berasal darimu, Sayang?” Kalimat itu terasa semakin menyebalkan ketika dibarengi dengan Papa yang mengibas-ngibaskan tangannya di udara seolah sedang menghalau serangga.

Air mataku yang sudah hampir menetes seketika naik lagi. Aku langsung menarik diri, kemudian menatap kesal ke arahnya. “Papa, ih! Ngerusak momen banget!”

Papa tertawa renyah. “Beneran, Sayang,” ujarnya. “Mandi sana! Kita makan malam di luar. Papa mau mempertemukanmu dengan seseorang.”

“Siapa?” tanyaku.

“Rahasia.”

“Haruskah aku merasa curiga?”

“Boleh-boleh saja,” ujar Papa. “Apa kamu sudah punya pacar, Sayang?” Papa mengatakannya dengan nada riang.

Aku mengendikkan bahu. “Belum ada yang mau. Lagi pula, susah nyari yang model kayak Orion.”

Papa terkekeh. “Dasar kamu! Ya sudah, cepat pergi mandi. Papa nggak mau kita terlambat.” Namun, bukannya bangkit dan pergi bersiap-siap, aku justru menggelendot padanya. Setelah beberapa kali menyuruh dan aku tak kunjung beranjak, tiba-tiba Papa mengangkat tubuhku di bahunya. Aku langsung memekik.

“Kamu sudah besar, tapi susah sekali kalau disuruh mandi. Apa perlu Papa lempar kamu ke kolam renang, eh?” ancamnya.

“Jangan!” Kakiku menendang-nendang dengan panik.

“Astaga! Jangan bergerak-gerak terus. Nggak sadar, ya, kalau kamu bertambah berat?” ejek Papa.

Aku menyalak tak terima yang disambut derai tawa Papa.

“Turunin aku, Pa! Iya! Iya! Aku mandi sekarang!” kataku sambil tertawa-tawa.

“Janji?”

Aku tertawa. “Ya.”

Papa menurunkanku. Baru kusadari kalau Mama tengah memperhatikan kami. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada—menggeleng-geleng, mungkin tidak habis pikir melihat tingkah suami serta anaknya. Aku nyengir. Kucium pipi Papa, lalu menghampiri Mama dan menciumnya juga. Setelah itu naik ke kamarku. Aku baru mencapai separuh anak tangga ketika Papa memanggilku.

“Nara,” panggilnya.

Aku memutar tubuh menghadap Papa. “Ya? Ada apa, Pa?”

Ayahku tampak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia seperti hendak bicara, tetapi kemudian menggeleng sambil menyunggingkan senyum terpaksa. “Bukan apa-apa, Sayang. Cepatlah mandi. Dandan yang cantik.”

Aku pergi ke kamar dengan berbagai pertanyaan di benakku.

*

Baru kali ini Papa dan Mama membawaku ke sebuah jamuan makan resmi seperti ini. Biasanya hanya makan malam keluarga. Tapi makan malam dengan teman bisnis Papa—hampir tidak pernah.

Aku memakai gaun pendek berlengan panjang berwarna biru malam. Bahannya tebal dan menempel pas di tubuhku dengan aksen kancing dari bagian dada hingga roknya. Mama datang dan membantuku menata rambutku. Dia hanya mengikat rambutku menjadi bentuk ekor kuda.

“Pakai ini, Sayang.” Mama memberikan kotak perhiasan berwarna putih. Di dalamnya terdapat satu set perhiasan dengan desain yang sederhana, persis seperti kesukaanku.

“Cantik. Seperti kerlip bintang di langit malam.”

Aku menoleh ke sumber suara. Papa sedang tersenyum di ambang pintu kamarku. Dia memakai setelan jas tiga potong berwarna abu-abu, senada dengan gaun Mama. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Ia berjalan menghampiri kami, lalu mengulurkan tangannya.

*

“Teman Papa lupa kali kalau ada janji,” kataku. Aku bertopang dagu sambil menatap ke luar jendela. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi orang yang kami tunggu tak kunjung muncul batang hidungnya.

Kami berada di ruangan privat yang Papa pesan. Ruangan ini bernuansa keemasan, dengan jendela kaca lebar yang memungkinkan pengunjung untuk melihat pemandangan di luar. Lantainya berlapis permadani yang saking tebalnya akan membuat anak kecil terbenam di dalamnya. Meja panjang yang dilengkapi enam buah kursi berada di tengah-tengah ruangan. Pada langit-langitnya tergantung sebuah lampu kristal yang sepertinya hanya digunakan sebagai dekorasi semata. Melihat ukurannya, aku pasti akan mati dalam waktu hampir seketika jika lampu itu jatuh menimpaku.

“Sebentar lagi, Sayang. Mereka sudah dalam perjalanan,” ujar Mama tenang.

Aku hanya mendengus.

Pengusaha macam apa yang suka terlambat seperti ini? Sama sekali tidak bisa menghargai waktu!

Kemudian, pintu ruangan terbuka.

“Maaf, kami membuat kalian menunggu.”

Aku menoleh ke arah suara yang sudah lama tidak kudengar, tetapi sama sekali tak asing di telingaku, dan mataku seketika melebar.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
コメント (1)
goodnovel comment avatar
IyoniAe
hm... siapa itu
すべてのコメントを表示

最新チャプター

  • My Imaginary Husband   Chapter 32 Bayang-bayang

    Ketika Xabian mendorongku ke dinding dengan kasar, kemudian mencengkeram pergelangan tanganku dengan begitu kencang dan mulai menciumku, seketika bayangan tentang tangan-tangan yang memegangiku serta membekapku supaya tidak berteriak langsung muncul begitu saja ke permukaan benakku.Aku tak bisa berhenti gemetar, bahkan ketika Gamma, serta Mama dan Papa sudah datang sekalipun. Air mataku seolah tak ada habisnya. Mereka memanggil seorang dokter, kemudian dokter itu menyuntikkan entah apa ke dalam tubuhku sehingga aku tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.Setelah enam tahun berlalu, kupikir aku sudah benar-benar melupakan kejadian itu, tetapi ternyata belum. Kini, bayangan-bayangan itu bahkan terus mengejarku ketika aku tidur. Sering kali aku terbangun ketika tengah malam, dengan tangan mencekik leherku sendiri, napas tersengal-sengal, serta bersimbah peluh. B

  • My Imaginary Husband   Chapter 31 Semakin Rumit

    Empat hari sudah berlalu semenjak pagi yang penuh bencana itu. Jika ada seseorang yang memiliki kemampuan membuat sesuatu yang sepele menjadi begitu rumit, dan berakhir dengan pertengkaran tak berujung, maka Xabian sangat yakin Naraya-lah orangnya.Saat itu, Xabian baru saja selesai membuat sarapan untuk Naraya dan berniat untuk pergi karena hari itu dia ada jadwal pekerjaan. Kemudian, tiba-tiba Naraya datang ke dapur. Xabian bisa melihat senyum gadis itu yang seketika sirna saat melihatnya. Gadis itu menanyakan perihal keberadaannya di apartemen itu dengan suara melengking yang menyebabkan telinganya berdenging.“Gamma yang minta gue nginep di sini.” Mata Naraya melebar tak percaya mendengar jawabannya. Xabian mendengus, seraya menambahkan, “Kalau bukan karena gue yang ngerasa nggak enak buat nolak permintaan abang lo, gue juga lebih milih ti

  • My Imaginary Husband   Chapter 30 Fatamorgana

    Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke kamar melalui celah tirai serasa menusuk-nusuk mataku. Aku mengernyit, merasakan denyutan samar di kepalaku. Tubuhku terasa lemah. Aku membuka mata, kemudian menatap ke sekeliling.Aku tidak mengenali ruangan yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu tempatku berada sekarang. Kamarku tidak semuram ini, dan tentu saja, kamarkku dipenuhi buku dan pernak-pernik mengenai The Stargazer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menyadari betapa polosnya tempat ini. Hanya ada sebuah lemari besar berwarna hitam mengkilap, cermin setinggi badan di sisi lain ruangan, sebuah meja yang sepertinya difungsikan sebagai meja belajar sekaligus meja rias (genit sekali dia!), serta sebuah rak buku kecil. Di sebelah tempat tidur, terdapat sebuah nakas. Sepertinya pemilik tempat ini begitu suka memandangi dirinya sendiri, dan seketika teringat kalau semalam Xabia

  • My Imaginary Husband   Chapter 29 Tempat Antah-berantah

    “Lo di mana?” tanya Xabian. Rasa ngantuk dan peningnya lenyap begitu saja begitu mendengar suara Naraya. Dia sudah bangkit untuk menyambar jaket, kunci mobil, serta dompetnya ketika pesan dari Naraya berisi lokasi tempat gadis itu berada sekarang masuk. Xabian bahkan tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta wajah sembapnya. Pemuda itu melesat bak anak panah.Dia teringat ketika terakhir kali Naraya berbicara dengan suara seperti itu. Bukan sesuatu yang baik. Bayangan Naraya yang gemetaran dan bersimbah air mata memasuki benaknya tanpa bisa ia cegah. Xabian menggeleng-geleng, seolah berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang menyerbunya. Tidak, tidak, tidak! Naraya baik-baik saja.Lalu lintas yang macet menghambat perjalanannya. Pemuda itu mengumpat dan menyumpah, memuntahkan kata-kata kasar

  • My Imaginary Husband   Chapter 28 Sebatas Idola dan Penggemar

    Aku dan Orion hanya saling menatap untuk beberapa saat yang terasa seperti seabad lamanya. Aku terlalu terguncang untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan tidak bisa memercayai diriku sendiri untuk berbicara, takut kalau-kalau mengatakan sesuatu yang bodoh. Jantungku berdentam-dentam menghantam tulang rusuk sampai rasanya sakit, seolah dia ingin meloncat keluar dari tubuhku.“Hey! Bernapaslah!” kata Orion diwarnai kegelian. Suaranya masih selembut saat terakhir kali aku mendengarnya, yang bisa dibilang hampir setiap hari. Dia mengirim banyak pesan suara yang tak kubalas, tetapi sering kudengarkan.Aku bahkan baru menyadari kalau sedari tadi sudah menahan napas. Aku menarik napas dalam-dalam dan bisa melihat Orion sedang menahan senyum. Kenakalan menari-nari di matanya. Dia masih setampan dan semenawan terakhir kali kami bertemu, lebih malah. Lekuk kecil

  • My Imaginary Husband   Chapter 27 Skandal

    Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status