Share

CHAPTER 5 Kata Papa, Ini Demi Kebaikanku

Tanpa menunggu Papa dan Mama, aku langsung berlari masuk ke rumah begitu mobil berhenti. Aku mengabaikan panggilan mereka. Mataku terasa panas. Dadaku sesak seakan ada yang menimpakan beban berat di atasnya. Jantungku berdentam-dentam menggedor rongga dadaku seolah akan meledak. Darah menderu di telingaku. Marah, sedih, kecewa, sakit, entah perasaan mana yang lebih kuat untuk saat ini.

Mereka berbohong! Mereka sudah memperdayaku! Mereka mengkhianatiku!

Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Setelah itu, tangisku pecah. Aku menjerit, berteriak, dan meraung.

Mengapa mereka tega melakukan ini padaku?

Aku dan Xabi bersitatap cukup lama. Sudah empat tahun kami tidak bertemu semenjak kejadian itu. Skandal itu. Pemuda itu datang bersama kedua orang tuanya. Pakaian mereka pun formal seperti pakaian kami. Xabi memakai setelan jas tiga potong berwarna senada dengan gaunku. Andaipun dia terkejut, pemuda itu tidak memperlihatkannya.

Mereka semua saling sapa. Ketika Om Satya dan Tante Rani menyapaku, aku hanya bisa tersenyum kaku. Namun, aku berusaha untuk tetap bersikap senormal mungkin. Selama makan malam berlangsung, aku lebih sering diam, tetapi otakku sibuk menebak-nebak mau ke arah mana acara ini sebenarnya. Obrolan mereka masih seputar bisnis, tetapi aku merasakan ada hal lain yang akan dibicarakan. Apalagi ketika kudapati Papa dan Mama sesekali saling lirik dengan cemas. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

“Aku masih ingat saat pertama kali Naraya dan Xabian bertemu. Naraya masih sangat kecil. Aku tidak menyangka kalau waktu berlalu begitu cepat dan sekarang Naraya sudah tumbuh dewasa,” ujar Om Satya. Dia tersenyum hangat padaku, yang kubalas dengan senyum sopan.

“Ya,” Tante Rani menyahut, “Aku selalu berharap memiliki seorang putri, tetapi Tuhan berkehendak lain. Naraya begitu manis. Mungkin Tuhan tidak memberiku putri, tetapi memiliki Naraya sebagai menantu sudah cukup bagiku. Aku sangat senang karena anak-anak kita akan menikah. Jujur saja, aku sempat khawatir karena Nara lama sekali tidak datang ke rumah.”

Untuk sesaat, aku membeku. Suara-suara di sekitarku seolah menghilang. Hanya ada keheningan. Aku seolah terempas ke dalam lubang gelap tak berdasar. Sentuhan di tanganku mengembalikanku ke bumi. Ternyata Tante Rani yang sekarang menggenggam tanganku.

    “Nara, kamu mau, ‘kan, menjadi menantu Tante?” tanyanya seraya tersenyum ramah. Ia merupakan wanita cantik berusia pertengahan empat puluhan. Seingatku, dia merupakan wanita yang lembut, baik hati, dan ramah. Sosok ibu yang sempurna.

    Aku mengerjap. “Huh? Ng … aku ….” Aku tergagap. Tenggorokanku seperti tersumbat. Aku tidak memiliki jawaban. Otakku kosong. Tante Rani dan Om Satya sepertinya menangkap kebingunganku. Mereka menatap Xabian penuh tanya.

    “Aku belum memberitahu Naraya. Kupikir, pertunangan ini akan menjadi kejutan untuknya,” Xabi menyahut. Nada bicaranya datar dan terkesan dingin. Dia bahkan tidak mau repot-repot menyembunyikan ketidaksukaannya kepada sang ibu. Kulihat senyuman di wajah Tante Rani memudar, begitu juga Om Satya. Suasana di ruangan ini menjadi agak canggung.

    Kalau Xabian berpikir ingin membuat kejutan, kuakui bahwa aku memang terkejut sampai hampir mati. Aku berpaling menatap Mama dan Papa secara bergantian, berharap mendapat penjelasan dari mereka. Namun, keduanya bahkan menolak untuk membalas tatapanku. Setelah itu, aku tak bisa mengingat apa yang kami bicarakan. Segalanya berlangsung kabur, tersembunyi di balik segala keramah-tamahan, senyum palsu, serta omong kosong.

“Sayang, berikan cincinnya,” ujar Tante Rani.

Xabi mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna putih dari saku jasnya. Ketika dibuka, ada dua buah cincin di dalamnya. Dia mengambil salah satu cincin dengan model yang lebih fenimin—dengan batu rubi di antara dua berlian yang berukuran lebih kecil. Kilau yang dipantulkan permata-permata itu terasa menyakiti mataku.

Di bawah meja, tanganku mencengkeram ujung gaunku. Yang kuinginkan hanya melemparkan kembali cincin itu ke wajah pemuda di hadapanku, tetapi aku tidak bisa. Aku tidak mau mempermalukan orang tuaku, meskipun keduanya sudah mengkhianatiku. Kurasakan tatapan semua orang tertuju padaku. Dengan berat hati, kuulurkan tanganku ke arah Xabi.

Pemuda itu agak berjengit ketika kulit kami bersentuhan, tetapi dengan cepat ekspresinya kembali datar—kemampuannya sebagai aktor benar-benar digunakan dengan sangat baik. Xabi menyematkan cincin itu di jari manisku, kemudian gantian aku memasangkan cincin dengan model yang lebih maskulin ke jari manisnya. Sekarang, kami sudah resmi bertunangan. Mereka ingin mengadakan pesta, tetapi aku menolak. Aku tidak tertarik mengorbankan kebebasanku dengan menyiarkan pertunangan konyol ini ke seluruh dunia.

Di dalam kamar, aku menjerit. Kulempar apa pun yang bisa kuraih. Dalam sekejap, kamarku sudah hancur. Aku meringkuk di sudut kamar sambil memeluk lutut dan terisak-isak.

“Sayang?” Kudengar Mama memanggil.

Ketukan pintu lagi. “Nara sayang, Papa mohon dengarkan penjelasan kami.”

“Pergi!” teriakku. “Pergi kalian! Aku benci kalian berdua! Kalian sudah membohongiku! Pergi! Pergi! Pergi!”

Ketukan pintu semakin cepat dan mendesak. Ada kepanikan di sana.

“Sayang, kami mohon buka pintunya. Dengarkan kami dulu.”

Aku menutupi kedua telingaku. “Aku nggak mau dengar apa pun! Kalian pembohong!”

Terdengar gumaman-gumaman. Mama masih terus memanggil-manggilku. Tak lama kemudian, terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka tanpa suara, tetapi aku bisa mendengar langkah kaki yang memasuki kamarku. Papa dan Mama langsung menghambur ke arahku. Keduanya hendak memelukku, tetapi aku semakin mendesakkan tubuhku ke dinding.

“Menjauh dariku,” kataku dingin.

    Wajah Mama sudah basah oleh air mata, tetapi aku tidak peduli.

    “Sayang, Papa mohon.” Suara Papa agak bergetar.

    “Aku benci Papa sama Mama! Aku benci kalian berdua! Kalian pembohong! Kalian penipu!” jeritku.

Ekspresi mereka tampak terluka. Bagus! Aku ingin mereka merasakan apa yang kurasakan. Papa mendekatiku dengan perlahan. Tangannya terulur. Dia memperlakukanku seolah aku ini seekor hewan yang terluka—dan aku memang sedang terluka.

    “Jangan dekati aku,” kataku dingin. Kutatap mata keduanya. Kupastikan mereka tahu kalau aku terluka dan aku kecewa terhadap keputusan mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa yang mereka perbuat sudah menyakitiku begitu dalam. Mereka sudah mengorek luka lama dan sekarang luka itu kembali mengucurkan darah segar.

    “Maafkan Papa, Nak,” bisik Papa lemah. “Papa pikir, ini yang terbaik untukmu. Xabian … dia akan menjagamu dengan baik.”

    “Xabi? Menjagaku?” Aku menggeleng tak percaya, benar-benar tidak habis pikir dengan perkataan Papa. “Papa berniat memercayakanku pada laki-laki seperti dia?”

    “Semua itu tidak seperti yang kamu pikirkan,” ujar Papa.

    Aku mengusap air mataku dengan kasar. “Lalu apa kebenarannya? Kenapa Papa menyerahkanku kepada orang yang sudah pernah membuatku hancur? Kenapa Papa berpikir kalau dia bisa menjagaku? Papa mau pergi? Papa berniat lari dari tanggungjawab terhadapku? Ada kau! Ada Gamma juga! Kalian bisa menjagaku!”

    “Papa tidak bisa memberitahumu sekarang, tetapi suatu hari nanti, kamu akan menyadari kalau yang Papa lakukan semata demi kebaikanmu. Xabian pilihan terbaik untukmu,” ujarnya. Kemudian menambahkan, “Kami tidak bisa selamanya menjagamu.”

    “Lalu kaupikir Xabi bisa?” bisikku. Aku terisak. “Kupikir Papa menyayangiku. Papa juga pernah bilang kalau Papa menyayangiku lebih dari apa pun di dunia ini, tapi justru begini kenyataannya.” Air mataku mengalir semakin deras.

    “Berapa?” Keduanya menatapku dengan raut wajah bingung. “Berapa mereka membeliku? Kalian menjualku pada mereka demi mengembangkan bisnis, kan? Berapa hargaku?”

Segalanya terjadi begitu cepat. Ketika Papa berjalan ke arahku dengan langkah lebar, kemudian melayangkan tamparan ke wajahku. Terdengar pekikan Mama. Wajahku tersentak ke samping. Telingaku berdenging. Rasa kebas dan panas menjalari pipiku. Terlepas dari rasa sakit akibat tamparannya, hatiku jauh lebih sakit karena ini pertama kalinya Papa memukulku. Papa mungkin sibuk dan hampir tidak memiliki waktu untukku, tetapi jangankan menamparku, menaikkan suara ketika bicara padaku saja tidak pernah. Kusentuh wajahku yang terasa nyeri.

Tangan yang digunakannya untuk memukulku terkepal di samping tubuhnya. Matanya membelalak. Napasnya memburu. “Jangan.pernah.berkata.lancang.seperti.itu!” tandasnya. Dia berbalik dan melangkah keluar dari kamarku yang diikuti oleh Mama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status