Tanpa menunggu Papa dan Mama, aku langsung berlari masuk ke rumah begitu mobil berhenti. Aku mengabaikan panggilan mereka. Mataku terasa panas. Dadaku sesak seakan ada yang menimpakan beban berat di atasnya. Jantungku berdentam-dentam menggedor rongga dadaku seolah akan meledak. Darah menderu di telingaku. Marah, sedih, kecewa, sakit, entah perasaan mana yang lebih kuat untuk saat ini.
Mereka berbohong! Mereka sudah memperdayaku! Mereka mengkhianatiku!
Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Setelah itu, tangisku pecah. Aku menjerit, berteriak, dan meraung.
Mengapa mereka tega melakukan ini padaku?
Aku dan Xabi bersitatap cukup lama. Sudah empat tahun kami tidak bertemu semenjak kejadian itu. Skandal itu. Pemuda itu datang bersama kedua orang tuanya. Pakaian mereka pun formal seperti pakaian kami. Xabi memakai setelan jas tiga potong berwarna senada dengan gaunku. Andaipun dia terkejut, pemuda itu tidak memperlihatkannya.
Mereka semua saling sapa. Ketika Om Satya dan Tante Rani menyapaku, aku hanya bisa tersenyum kaku. Namun, aku berusaha untuk tetap bersikap senormal mungkin. Selama makan malam berlangsung, aku lebih sering diam, tetapi otakku sibuk menebak-nebak mau ke arah mana acara ini sebenarnya. Obrolan mereka masih seputar bisnis, tetapi aku merasakan ada hal lain yang akan dibicarakan. Apalagi ketika kudapati Papa dan Mama sesekali saling lirik dengan cemas. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
“Aku masih ingat saat pertama kali Naraya dan Xabian bertemu. Naraya masih sangat kecil. Aku tidak menyangka kalau waktu berlalu begitu cepat dan sekarang Naraya sudah tumbuh dewasa,” ujar Om Satya. Dia tersenyum hangat padaku, yang kubalas dengan senyum sopan.
“Ya,” Tante Rani menyahut, “Aku selalu berharap memiliki seorang putri, tetapi Tuhan berkehendak lain. Naraya begitu manis. Mungkin Tuhan tidak memberiku putri, tetapi memiliki Naraya sebagai menantu sudah cukup bagiku. Aku sangat senang karena anak-anak kita akan menikah. Jujur saja, aku sempat khawatir karena Nara lama sekali tidak datang ke rumah.”
Untuk sesaat, aku membeku. Suara-suara di sekitarku seolah menghilang. Hanya ada keheningan. Aku seolah terempas ke dalam lubang gelap tak berdasar. Sentuhan di tanganku mengembalikanku ke bumi. Ternyata Tante Rani yang sekarang menggenggam tanganku.
“Nara, kamu mau, ‘kan, menjadi menantu Tante?” tanyanya seraya tersenyum ramah. Ia merupakan wanita cantik berusia pertengahan empat puluhan. Seingatku, dia merupakan wanita yang lembut, baik hati, dan ramah. Sosok ibu yang sempurna.
Aku mengerjap. “Huh? Ng … aku ….” Aku tergagap. Tenggorokanku seperti tersumbat. Aku tidak memiliki jawaban. Otakku kosong. Tante Rani dan Om Satya sepertinya menangkap kebingunganku. Mereka menatap Xabian penuh tanya.
“Aku belum memberitahu Naraya. Kupikir, pertunangan ini akan menjadi kejutan untuknya,” Xabi menyahut. Nada bicaranya datar dan terkesan dingin. Dia bahkan tidak mau repot-repot menyembunyikan ketidaksukaannya kepada sang ibu. Kulihat senyuman di wajah Tante Rani memudar, begitu juga Om Satya. Suasana di ruangan ini menjadi agak canggung.
Kalau Xabian berpikir ingin membuat kejutan, kuakui bahwa aku memang terkejut sampai hampir mati. Aku berpaling menatap Mama dan Papa secara bergantian, berharap mendapat penjelasan dari mereka. Namun, keduanya bahkan menolak untuk membalas tatapanku. Setelah itu, aku tak bisa mengingat apa yang kami bicarakan. Segalanya berlangsung kabur, tersembunyi di balik segala keramah-tamahan, senyum palsu, serta omong kosong.
“Sayang, berikan cincinnya,” ujar Tante Rani.
Xabi mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna putih dari saku jasnya. Ketika dibuka, ada dua buah cincin di dalamnya. Dia mengambil salah satu cincin dengan model yang lebih fenimin—dengan batu rubi di antara dua berlian yang berukuran lebih kecil. Kilau yang dipantulkan permata-permata itu terasa menyakiti mataku.
Di bawah meja, tanganku mencengkeram ujung gaunku. Yang kuinginkan hanya melemparkan kembali cincin itu ke wajah pemuda di hadapanku, tetapi aku tidak bisa. Aku tidak mau mempermalukan orang tuaku, meskipun keduanya sudah mengkhianatiku. Kurasakan tatapan semua orang tertuju padaku. Dengan berat hati, kuulurkan tanganku ke arah Xabi.
Pemuda itu agak berjengit ketika kulit kami bersentuhan, tetapi dengan cepat ekspresinya kembali datar—kemampuannya sebagai aktor benar-benar digunakan dengan sangat baik. Xabi menyematkan cincin itu di jari manisku, kemudian gantian aku memasangkan cincin dengan model yang lebih maskulin ke jari manisnya. Sekarang, kami sudah resmi bertunangan. Mereka ingin mengadakan pesta, tetapi aku menolak. Aku tidak tertarik mengorbankan kebebasanku dengan menyiarkan pertunangan konyol ini ke seluruh dunia.
Di dalam kamar, aku menjerit. Kulempar apa pun yang bisa kuraih. Dalam sekejap, kamarku sudah hancur. Aku meringkuk di sudut kamar sambil memeluk lutut dan terisak-isak.
“Sayang?” Kudengar Mama memanggil.
Ketukan pintu lagi. “Nara sayang, Papa mohon dengarkan penjelasan kami.”
“Pergi!” teriakku. “Pergi kalian! Aku benci kalian berdua! Kalian sudah membohongiku! Pergi! Pergi! Pergi!”
Ketukan pintu semakin cepat dan mendesak. Ada kepanikan di sana.
“Sayang, kami mohon buka pintunya. Dengarkan kami dulu.”
Aku menutupi kedua telingaku. “Aku nggak mau dengar apa pun! Kalian pembohong!”
Terdengar gumaman-gumaman. Mama masih terus memanggil-manggilku. Tak lama kemudian, terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka tanpa suara, tetapi aku bisa mendengar langkah kaki yang memasuki kamarku. Papa dan Mama langsung menghambur ke arahku. Keduanya hendak memelukku, tetapi aku semakin mendesakkan tubuhku ke dinding.
“Menjauh dariku,” kataku dingin.
Wajah Mama sudah basah oleh air mata, tetapi aku tidak peduli.
“Sayang, Papa mohon.” Suara Papa agak bergetar.
“Aku benci Papa sama Mama! Aku benci kalian berdua! Kalian pembohong! Kalian penipu!” jeritku.
Ekspresi mereka tampak terluka. Bagus! Aku ingin mereka merasakan apa yang kurasakan. Papa mendekatiku dengan perlahan. Tangannya terulur. Dia memperlakukanku seolah aku ini seekor hewan yang terluka—dan aku memang sedang terluka.
“Jangan dekati aku,” kataku dingin. Kutatap mata keduanya. Kupastikan mereka tahu kalau aku terluka dan aku kecewa terhadap keputusan mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa yang mereka perbuat sudah menyakitiku begitu dalam. Mereka sudah mengorek luka lama dan sekarang luka itu kembali mengucurkan darah segar.
“Maafkan Papa, Nak,” bisik Papa lemah. “Papa pikir, ini yang terbaik untukmu. Xabian … dia akan menjagamu dengan baik.”
“Xabi? Menjagaku?” Aku menggeleng tak percaya, benar-benar tidak habis pikir dengan perkataan Papa. “Papa berniat memercayakanku pada laki-laki seperti dia?”
“Semua itu tidak seperti yang kamu pikirkan,” ujar Papa.
Aku mengusap air mataku dengan kasar. “Lalu apa kebenarannya? Kenapa Papa menyerahkanku kepada orang yang sudah pernah membuatku hancur? Kenapa Papa berpikir kalau dia bisa menjagaku? Papa mau pergi? Papa berniat lari dari tanggungjawab terhadapku? Ada kau! Ada Gamma juga! Kalian bisa menjagaku!”
“Papa tidak bisa memberitahumu sekarang, tetapi suatu hari nanti, kamu akan menyadari kalau yang Papa lakukan semata demi kebaikanmu. Xabian pilihan terbaik untukmu,” ujarnya. Kemudian menambahkan, “Kami tidak bisa selamanya menjagamu.”
“Lalu kaupikir Xabi bisa?” bisikku. Aku terisak. “Kupikir Papa menyayangiku. Papa juga pernah bilang kalau Papa menyayangiku lebih dari apa pun di dunia ini, tapi justru begini kenyataannya.” Air mataku mengalir semakin deras.
“Berapa?” Keduanya menatapku dengan raut wajah bingung. “Berapa mereka membeliku? Kalian menjualku pada mereka demi mengembangkan bisnis, kan? Berapa hargaku?”
Segalanya terjadi begitu cepat. Ketika Papa berjalan ke arahku dengan langkah lebar, kemudian melayangkan tamparan ke wajahku. Terdengar pekikan Mama. Wajahku tersentak ke samping. Telingaku berdenging. Rasa kebas dan panas menjalari pipiku. Terlepas dari rasa sakit akibat tamparannya, hatiku jauh lebih sakit karena ini pertama kalinya Papa memukulku. Papa mungkin sibuk dan hampir tidak memiliki waktu untukku, tetapi jangankan menamparku, menaikkan suara ketika bicara padaku saja tidak pernah. Kusentuh wajahku yang terasa nyeri.
Tangan yang digunakannya untuk memukulku terkepal di samping tubuhnya. Matanya membelalak. Napasnya memburu. “Jangan.pernah.berkata.lancang.seperti.itu!” tandasnya. Dia berbalik dan melangkah keluar dari kamarku yang diikuti oleh Mama.
Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi. Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.
“Ra, kamu sakit?” tanya Orion. Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum. “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?” “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa j
Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka
Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me
Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini
“Bukannya tadi lo bilang kalau lo sibuk?” tanyaku tanpa menatap pada Xabi. “Tadi,” ujarnya seolah satu kata itu bisa menjelaskan segalanya. Aku menggerutu atas jawabannya yang tidak menjelaskan apa pun, kemudian mulai melamun lagi. Sekitar satu jam lalu, dia datang ke rumah sakit dengan alasan ingin menjenguk Papa. Kemudian, dengan ekspresi tak acuh mengajakku pulang bersama. “Sekalian kita mampir ke hotel,” ujarnya, kemudian menambahkan dengan berbisik, “gue tahu lo sudah nggak sabar.” Ingin sekali aku menempeleng pemuda tidak tahu malu ini untuk menghapus