Share

CHAPTER 7 Perasaan yang Sama

“Ra, kamu sakit?” tanya Orion.

    Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum.

    “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?”

    “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa jam, keadaanku sedikit lebih baik.

    Sekarang, kami sedang berada di mobil Orion. Sekitar satu atau dua jam yang lalu—aku tidak terlalu mengingatnya, dia datang menjemputku. Aku sempat khawatir kalau aku sudah mengganggu pekerjaannya, tetapi pemuda itu berdalih kalau jadwalnya memang sedang sedikit longgar. Katanya, dia ingin mengajakku ke suatu tempat. Awalnya aku menolak, tetapi Orion meyakinkan bahwa tidak ada hal buruk yang akan menimpaku selama aku bersamanya. Aku khawatir orang-orang suruhan Papa menemukanku. Semalam, aku menarik uang dari mesin ATM yang letaknya cukup jauh dari hotel tempatku menginap, dan kutinggalkan ponselku di rumah.

    Aku tersentak saat Orion mengusap pipiku. Ketika menoleh, kutemukan Orion tengah menatapku. Mobilnya sudah berhenti. Berapa lama aku tenggelam dalam lamunanku?

“Kamu tahu? Kamu jelek kalau lagi nangis begini.”

Aku mengerjap, kemudian kuusap air mataku. “Ng-nggak, kok. Siapa yang nangis?” elakku pelan. Aku menurunkan pandangan, menghindari tatapan Orion.

“Kalau kamu butuh teman cerita, kamu bisa ngomong sama aku. Mungkin aku nggak bisa bantuin kamu, tapi aku berjanji bakal jadi pendengar yang baik. Dan aku jamin rahasia kamu akan tetap aman.” Orion tersenyum. Dia membuka sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu mobil. “Ayo turun. Sebentar lagi mataharinya terbenam.”

Aku mengikuti Orion turun dari mobil dan terkesiap melihat pemandangan di depanku.

Kami berada di sebuah dataran yang cukup luas untuk memarkir beberapa mobil sekaligus. Di depanku, terdapat pagar pembatas dari besi setinggi dadaku. Dan ketika melangkah maju, kutemukan lautan terbentang luas di hadapanku. Ombak menghantam tebing karang di bawahku.

“Aku,” ujar Orion, “selalu datang ke sini saat merasa jenuh, sedih, marah, atau saat ingin menyendiri. Aku sangat menyukai tempat ini karena suasana di sini begitu tenang. Biasanya aku berteriak untuk meluapkan emosiku jika apa yang kurasakan terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Kamu mau mencoba?”

Kucengkeram pagar pembatas, kemudian kupejamkan mataku. Kubiarkan angin menerpa wajah serta kulit lenganku yang telanjang. Kubiarkan angin mengibarkan rambutku yang tergerai. Dadaku terasa sesak. Kubayangkan wajah ayahku, ibuku, kemudian Xabi. Aku ingin membenci mereka karena sudah menghancurkan hidupku. Aku ingin membenci mereka karena sudah merenggut kebahagiaanku. Aku ingin membenci mereka karena tak pernah memedulikanku, tetapi tidak bisa. Apakah kakakku mengetahui mengenai rencana perjodohan ini? Mungkin aku bisa meminta bantuannya.

Kubayangkan aku melompat ke lautan di bawahku. Tubuhku menghantam karang. Mungkin akan ada beberapa tulang yang patah. Bisa saja aku akan langsung mati. Atau justru akan mati dengan perlahan dan sangat menyakitkan. Kemudian ombak menyeret tubuhku yang tengah sekarat—atau sisa tubuhku. Akankah keluargaku akan merasa sedih jika aku mati? Berapa lama mereka akan berduka sebelum kemudian melupakan keberadaanku?

Aku mulai berteriak, berteriak, dan berteriak. Aku berteriak sampai tenggorokanku terasa sakit dan suaraku serak. Kurasakan sepasang tangan merengkuh tubuhku, kemudian membawaku ke pelukannya.

“Nggak apa-apa,” bisik Orion. Tangannya mengusap rambutku dengan lembut. “Nggak apa-apa. Menangislah kalau itu bisa sedikit membebaskan hatimu. Menangislah.”

Aku mencengkeram bagian depan jaketnya. Entah berapa lama aku menangis. Rasanya air mataku seperti tak ada habisnya. Sekarang, aku duduk di sebelah Orion. Dia memberikan jaketnya padaku. Satu lengannya masih memelukku.

“Maaf, tadi aku berlebihan,” kataku serak.

Dari sudut mataku, tampak pemuda itu tersenyum. “Nggak apa-apa,” ujarnya. “Mau cerita?”

Aku terdiam sejenak. Aku menatap lautan yang seolah tak berujung. Air mataku kembali menetes. “Aku bertengkar sama orang tuaku,” bisikku.

“Itu alasan kenapa kamu kabur? Berselisih pendapat, eh?” terkanya.

Aku mengangguk.

Tangannya menyentuh kepalaku. “Nggak apa-apa. Waktu seumuran kamu, aku juga pernah kayak gitu, kok. Memang lebih baik menjauh dulu. Yang penting, setelah pikiran dan hati kamu sudah tenang, kamu harus pulang. Bicarakan masalahnya baik-baik. Katakan apa keinginanmu. Masalah kalian nggak akan selesai dengan cara kamu melarikan diri seperti ini. Masalah itu harus dihadapi, bukan dihindari. Mereka pasti sekarang sangat khawatir sama keadaan kamu.”

Aku hanya diam, merenungkan kata-katanya. Ketika aku menoleh, kudapati dia sedang mengamatiku. Mata kami bertemu. Orion bangkit, kemudian mengulurkan tangannya. “Mau ke bawah nggak?”

Aku menatap pantai di bawah kami, lalu mengangguk seraya meraih tangannya. Kami berjalan ke pantai dengan jemari yang saling bertaut. Ketika tiba di pantai, matahari sudah hampir terbenam.

“Suka nggak?” tanya Orion.

“Suka,” bisikku.

Orion memeluk pinggangku dari belakang. Dagunya ia tumpukan ke pundakku. “Kamu tahu? Semenjak pertama kali melihatmu di acara fansign, aku langsung jatuh cinta pada sama kamu,” bisiknya. Tubuhku menegang, tetapi aku tetap diam. “Awalnya, kupikir hal itu hanya ketertarikan biasa dan aku akan segera melupakanmu, tetapi kemudian kita tanpa sengaja bertemu di toko buku. Saat itu, aku nggak tahan untuk tidak mengajakmu berbicara, dan sebelum pergi aku mencuri nomor ponselmu. Selama satu bulan aku menahan diri untuk tidak menghubungimu.”

Bisa kubayangkan kini Orion tengah tersenyum, membuat lesung pipinya nampak. “Pasti kamu berpikir aku sangat sibuk sampai-sampai nggak sempat menghubungimu, kan?” tanyanya.

Ya, aku membatin.

“Aku nggak sesibuk itu. Aku sengaja nggak menghubungimu. Aku takut kalau yang kurasakan ini hanya penasaran semata. Aku nggak ingin menyakitimu. Tapi kutemukan kalau aku sangat merindukanmu. Dan kusadari kalau aku memang sudah jatuh cinta sama kamu.”

Orion melepaskan pelukannya, kemudian memutar tubuhku menghadapnya. Perlahan, wajah Orion semakin mendekat. Aku bisa mencium aroma tubuhnya, juga aroma napasnya. Satu tangannya menarik pinggangku agar tubuh kami merapat. “Jadilah kekasihku,” bisiknya. “Aku mencintaimu, Nara. Aku tahu ini takkan mudah untuk kita, terutama untukmu. Penggemarku—“ Orion menggeleng, “lupakan mereka. Aku berjanji akan membahagiakanmu. Aku akan melindungimu. Takkan kubiarkan penggemarku atau media menyentuhmu. Aku berjanji.”

Aku langsung menjauh dari Orion, kemudian menggeleng. Tampak jelas kebingungan di wajah pemuda itu—cintaku. Aku mengerjap-ngerjap, menghalau air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Tangan Orion terulur hendak meraihku, tetapi aku langsung menjauh. “Maaf,” gumamku sembari menggeleng, “maaf.” Kemudian aku berlari menjauh dari Orion, mengabaikan panggilannya.

Air mataku kembali menetes. Wajahku terasa dingin oleh air mata dan embusan angin laut. Aku ingin sekali mengatakan kalau aku juga mencintainya. Aku ingin meneriakkan kata-kata itu dan memberitahunya kalau aku pun merasakan hal yang sama, tetapi tak bisa. Hatiku yang sudah patah sekarang hancur berkeping-keping. Sampai kapan pun kami takkan mungkin bisa bersatu, meski kami memiliki perasaan yang sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status