“Ra, kamu sakit?” tanya Orion.
Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum.
“Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?”
“Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa jam, keadaanku sedikit lebih baik.
Sekarang, kami sedang berada di mobil Orion. Sekitar satu atau dua jam yang lalu—aku tidak terlalu mengingatnya, dia datang menjemputku. Aku sempat khawatir kalau aku sudah mengganggu pekerjaannya, tetapi pemuda itu berdalih kalau jadwalnya memang sedang sedikit longgar. Katanya, dia ingin mengajakku ke suatu tempat. Awalnya aku menolak, tetapi Orion meyakinkan bahwa tidak ada hal buruk yang akan menimpaku selama aku bersamanya. Aku khawatir orang-orang suruhan Papa menemukanku. Semalam, aku menarik uang dari mesin ATM yang letaknya cukup jauh dari hotel tempatku menginap, dan kutinggalkan ponselku di rumah.
Aku tersentak saat Orion mengusap pipiku. Ketika menoleh, kutemukan Orion tengah menatapku. Mobilnya sudah berhenti. Berapa lama aku tenggelam dalam lamunanku?
“Kamu tahu? Kamu jelek kalau lagi nangis begini.”
Aku mengerjap, kemudian kuusap air mataku. “Ng-nggak, kok. Siapa yang nangis?” elakku pelan. Aku menurunkan pandangan, menghindari tatapan Orion.
“Kalau kamu butuh teman cerita, kamu bisa ngomong sama aku. Mungkin aku nggak bisa bantuin kamu, tapi aku berjanji bakal jadi pendengar yang baik. Dan aku jamin rahasia kamu akan tetap aman.” Orion tersenyum. Dia membuka sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu mobil. “Ayo turun. Sebentar lagi mataharinya terbenam.”
Aku mengikuti Orion turun dari mobil dan terkesiap melihat pemandangan di depanku.
Kami berada di sebuah dataran yang cukup luas untuk memarkir beberapa mobil sekaligus. Di depanku, terdapat pagar pembatas dari besi setinggi dadaku. Dan ketika melangkah maju, kutemukan lautan terbentang luas di hadapanku. Ombak menghantam tebing karang di bawahku.
“Aku,” ujar Orion, “selalu datang ke sini saat merasa jenuh, sedih, marah, atau saat ingin menyendiri. Aku sangat menyukai tempat ini karena suasana di sini begitu tenang. Biasanya aku berteriak untuk meluapkan emosiku jika apa yang kurasakan terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Kamu mau mencoba?”
Kucengkeram pagar pembatas, kemudian kupejamkan mataku. Kubiarkan angin menerpa wajah serta kulit lenganku yang telanjang. Kubiarkan angin mengibarkan rambutku yang tergerai. Dadaku terasa sesak. Kubayangkan wajah ayahku, ibuku, kemudian Xabi. Aku ingin membenci mereka karena sudah menghancurkan hidupku. Aku ingin membenci mereka karena sudah merenggut kebahagiaanku. Aku ingin membenci mereka karena tak pernah memedulikanku, tetapi tidak bisa. Apakah kakakku mengetahui mengenai rencana perjodohan ini? Mungkin aku bisa meminta bantuannya.
Kubayangkan aku melompat ke lautan di bawahku. Tubuhku menghantam karang. Mungkin akan ada beberapa tulang yang patah. Bisa saja aku akan langsung mati. Atau justru akan mati dengan perlahan dan sangat menyakitkan. Kemudian ombak menyeret tubuhku yang tengah sekarat—atau sisa tubuhku. Akankah keluargaku akan merasa sedih jika aku mati? Berapa lama mereka akan berduka sebelum kemudian melupakan keberadaanku?
Aku mulai berteriak, berteriak, dan berteriak. Aku berteriak sampai tenggorokanku terasa sakit dan suaraku serak. Kurasakan sepasang tangan merengkuh tubuhku, kemudian membawaku ke pelukannya.
“Nggak apa-apa,” bisik Orion. Tangannya mengusap rambutku dengan lembut. “Nggak apa-apa. Menangislah kalau itu bisa sedikit membebaskan hatimu. Menangislah.”
Aku mencengkeram bagian depan jaketnya. Entah berapa lama aku menangis. Rasanya air mataku seperti tak ada habisnya. Sekarang, aku duduk di sebelah Orion. Dia memberikan jaketnya padaku. Satu lengannya masih memelukku.
“Maaf, tadi aku berlebihan,” kataku serak.
Dari sudut mataku, tampak pemuda itu tersenyum. “Nggak apa-apa,” ujarnya. “Mau cerita?”
Aku terdiam sejenak. Aku menatap lautan yang seolah tak berujung. Air mataku kembali menetes. “Aku bertengkar sama orang tuaku,” bisikku.
“Itu alasan kenapa kamu kabur? Berselisih pendapat, eh?” terkanya.
Aku mengangguk.
Tangannya menyentuh kepalaku. “Nggak apa-apa. Waktu seumuran kamu, aku juga pernah kayak gitu, kok. Memang lebih baik menjauh dulu. Yang penting, setelah pikiran dan hati kamu sudah tenang, kamu harus pulang. Bicarakan masalahnya baik-baik. Katakan apa keinginanmu. Masalah kalian nggak akan selesai dengan cara kamu melarikan diri seperti ini. Masalah itu harus dihadapi, bukan dihindari. Mereka pasti sekarang sangat khawatir sama keadaan kamu.”
Aku hanya diam, merenungkan kata-katanya. Ketika aku menoleh, kudapati dia sedang mengamatiku. Mata kami bertemu. Orion bangkit, kemudian mengulurkan tangannya. “Mau ke bawah nggak?”
Aku menatap pantai di bawah kami, lalu mengangguk seraya meraih tangannya. Kami berjalan ke pantai dengan jemari yang saling bertaut. Ketika tiba di pantai, matahari sudah hampir terbenam.
“Suka nggak?” tanya Orion.
“Suka,” bisikku.
Orion memeluk pinggangku dari belakang. Dagunya ia tumpukan ke pundakku. “Kamu tahu? Semenjak pertama kali melihatmu di acara fansign, aku langsung jatuh cinta pada sama kamu,” bisiknya. Tubuhku menegang, tetapi aku tetap diam. “Awalnya, kupikir hal itu hanya ketertarikan biasa dan aku akan segera melupakanmu, tetapi kemudian kita tanpa sengaja bertemu di toko buku. Saat itu, aku nggak tahan untuk tidak mengajakmu berbicara, dan sebelum pergi aku mencuri nomor ponselmu. Selama satu bulan aku menahan diri untuk tidak menghubungimu.”
Bisa kubayangkan kini Orion tengah tersenyum, membuat lesung pipinya nampak. “Pasti kamu berpikir aku sangat sibuk sampai-sampai nggak sempat menghubungimu, kan?” tanyanya.
Ya, aku membatin.
“Aku nggak sesibuk itu. Aku sengaja nggak menghubungimu. Aku takut kalau yang kurasakan ini hanya penasaran semata. Aku nggak ingin menyakitimu. Tapi kutemukan kalau aku sangat merindukanmu. Dan kusadari kalau aku memang sudah jatuh cinta sama kamu.”
Orion melepaskan pelukannya, kemudian memutar tubuhku menghadapnya. Perlahan, wajah Orion semakin mendekat. Aku bisa mencium aroma tubuhnya, juga aroma napasnya. Satu tangannya menarik pinggangku agar tubuh kami merapat. “Jadilah kekasihku,” bisiknya. “Aku mencintaimu, Nara. Aku tahu ini takkan mudah untuk kita, terutama untukmu. Penggemarku—“ Orion menggeleng, “lupakan mereka. Aku berjanji akan membahagiakanmu. Aku akan melindungimu. Takkan kubiarkan penggemarku atau media menyentuhmu. Aku berjanji.”
Aku langsung menjauh dari Orion, kemudian menggeleng. Tampak jelas kebingungan di wajah pemuda itu—cintaku. Aku mengerjap-ngerjap, menghalau air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Tangan Orion terulur hendak meraihku, tetapi aku langsung menjauh. “Maaf,” gumamku sembari menggeleng, “maaf.” Kemudian aku berlari menjauh dari Orion, mengabaikan panggilannya.
Air mataku kembali menetes. Wajahku terasa dingin oleh air mata dan embusan angin laut. Aku ingin sekali mengatakan kalau aku juga mencintainya. Aku ingin meneriakkan kata-kata itu dan memberitahunya kalau aku pun merasakan hal yang sama, tetapi tak bisa. Hatiku yang sudah patah sekarang hancur berkeping-keping. Sampai kapan pun kami takkan mungkin bisa bersatu, meski kami memiliki perasaan yang sama.
Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka
Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me
Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini
“Bukannya tadi lo bilang kalau lo sibuk?” tanyaku tanpa menatap pada Xabi. “Tadi,” ujarnya seolah satu kata itu bisa menjelaskan segalanya. Aku menggerutu atas jawabannya yang tidak menjelaskan apa pun, kemudian mulai melamun lagi. Sekitar satu jam lalu, dia datang ke rumah sakit dengan alasan ingin menjenguk Papa. Kemudian, dengan ekspresi tak acuh mengajakku pulang bersama. “Sekalian kita mampir ke hotel,” ujarnya, kemudian menambahkan dengan berbisik, “gue tahu lo sudah nggak sabar.” Ingin sekali aku menempeleng pemuda tidak tahu malu ini untuk menghapus
Aku tersaruk-saruk ketika berusaha menyejajari langkah Xabi sembari menyeret koperku yang sepertinya bertambah berat kalau dibandingkan dengan saat aku datang ke hotel ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus repot-repot mengejar Xabi dan berlarian di lobi hotel seakan-akan aku cinta setengah mati kepada pemuda itu. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, apa yang kukatakan memang benar adanya. Jadi, aku sama sekali tidak tahu alasan mengapa bayi besar ini merajuk padaku. Setelah membuatku merasa bersalah dikarenakan caranya menatapku di kamar tadi, sekarang dia mendramatisir aksinya dengan mogok bicara padaku. Apalagi raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang. Orang lain yang melihat kami mungkin akan mengira kami sepasang kekasih. Oke. Aku dan Xabi memang bertunangan, tapi bukan berarti kami bisa digo
Cowok Berlesung Pipi : Ra, bagaimana kabarmu? Seminggu yang lalu aku datang ke hotel tempatmu menginap, tetapi kata resepsionis kamu sudah lama check-out. Sekarang kamu di mana? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Sebenarnya aku ragu mengirim pesan ke nomor ini, tapi aku mengkhawatirkanmu. Kalau kamu sudah pulang dan sudah membaca pesan ini, tolong balas secepatnya supaya aku tenang. Cowok Berlesung Pipi : Aku merindukanmu. Maaf karena waktu itu aku sudah bersikap seperti berengsek. Cowok Berlesung Pipi :