Share

CHAPTER 6 Pelarian

Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi.

Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.

Aku melangkah dengan amat perlahan—berusaha untuk menimbulkan suara sesedikit mungkin dan berhasil sampai di lantai bawah tanpa gangguan. Pintu depan sudah terlihat di depanku. Hanya beberapa langkah lagi menuju kebebasanku. Aku melangkah ke pintu dengan terlalu bersemangat. Tanganku terulur ke gagang pintu, kemudian kutarik dengan perlahan.

    Pintu terbuka tanpa menimbulkan suara. Kemudian, kuayunkan kakiku keluar.

    “Nara, kamu mau ke mana malam-malam begini?”

    Langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah sumber suara. Mama berdiri dengan sebuah botol berisi air putih di tangan kanan dan sebuah gelas kosong di tangan kirinya. Ia memandangku. Dia mengenakan jubah tidur sutra berwarna hitam. Matanya beralih ke koper yang kubawa, kemudian kembali menatapku.

    “Sayang?” panggilnya. Suaranya agak bergetar. Dia maju selangkah—aku mundur dua langkah.

    Aku menggeleng. “Jangan halangi aku, Ma,” kataku. Tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Tanganku menggenggam erat gagang troli koperku.

    Mama melangkah maju lagi. “Sayang, Mama mohon jangan lakukan ini,” pintanya. Kulihat kepanikan di matanya.

    Aku mundur ke arah pintu. “Maaf,” bisikku. Lalu segera berlari keluar dari rumah sambil menjinjing koperku yang berukuran tak terlalu besar.

    Kudengar Mama berteriak memanggil Papa. Aku sempat menoleh sekilas ke belakang dan tampak Papa baru saja keluar, tetapi jarak kami sudah cukup jauh. Aku sudah hampir mencapai pintu gerbang dan langsung mengumpat ketika salah seorang penjaga sudah sangat dekat denganku. Kupercepat lariku, tetapi penjaga itu berhasil menangkapku.

    “Lepasin gue!” teriakku sambil terus menggeliat dan meronta untuk melepaskan diri, tetapi penjaga itu memegangi sikuku dengan sangat erat. Mataku terbelalak ketika Papa dan beberapa penjaga lain sudah semakin dekat.

    Nggak! Bukan kayak gini akhirnya!

    Aku menatap penjaga yang menangkapku. Mata kami bersirobok. Aku menyeringai sambil mengatakan Sori tanpa suara, lalu menghantamkan lututku ke selangkangannya dengan sekuat tenaga. Begitu cengkeramannya terlepas, aku langsung berlari meninggalkannya. Aku tak sempat memerhatikan bagaimana rupa penjaga itu, tetapi aku berdo’a dengan sepenuh hati supaya dia pulih dan masih bisa memiliki keturunan. Sungguh.

    Aku berlari cukup jauh untuk keluar dari kompleks perumahan tempat tinggalku. Sebenarnya, bisa saja aku kabur menggunakan mobil, tetapi itu hanya akan menyusahkanku dan membuatku mudah ditemukan. Beberapa kali aku harus bersembunyi ketika melihat mobil yang kucurigai merupakan milik Papa. Langkahku melambat. Kakiku sudah sangat pegal. Paru-paru seperti terbakar. Aku juga haus. Tubuhku bersimbah keringat. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk berjalan, tetapi aku tidak bisa berhenti. Papa mungkin akan menemukanku jika aku berhenti.

Aku mendesah lega ketika sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Pintu depannya terbuka. Aku lebih dulu mengulurkan koperku, kemudian baru masuk setelahnya. Pengemudinya mengenakan jaket hoodie berwarna putih serta topi berwarna senada. Dia mengambil sebotol air mineral dan mengulurkannya padaku. Aku meraih botol itu dengan agak ragu sembari menatap curiga pemuda itu. Namun, sepertinya dia tidak menyadari kecurigaanku. Ketika mencoba membukanya, ternyata tutupnya masih tersegel. Setelah itu, aku meminumnya tanpa ragu dan menghabiskan lebih dari separuh isinya.

    “Trims,” kataku terengah-engah sembari menyeka sisa air yang menetes di daguku.

    “Aku butuh penjelasan. Aku nggak mau dituduh nyulik anak orang,” gerutu Orion.

    Sebelum kabur, kuberanikan diri untuk menghubungi pemuda itu untuk meminta bantuan. Aku bisa saja meminta bantuan kepada temanku, tetapi Papa pasti akan dengan cepat menduganya. Jadi, kusingkirkan perasaan maluku dan menelpon Orion. Namun, dia tak kunjung menjawab panggilanku. Aku baru akan memutuskan sambungan ketika akhirnya dia mengangkatnya. Aku sempat khawatir dia akan menolak untuk membantuku, mengingat aku menelponnya ketika waktu sudah lewat tengah malam. Tapi ternyata dia langsung mengiakan permintaanku.

    Kusandarkan punggungku. Mataku terpejam. Jantungku masih berdebar sangat kencang. “Nanti,” engahku. “Carikan aku hotel dulu untuk menginap.”

    “Astaga! Aku ini penyanyi, bukannya sopir,” keluhnya.

    Aku memaksakan bibirku untuk tersenyum. Tanpa kusadari, setetes air mata jatuh di pipiku yang segera kuusap sebelum Orion sempat melihatnya. Kalaupun dia melihatnya, Orion tidak menunjukkannya. Dia bersenandung dengan mata terfokus pada lalu lintas di hadapannya. Aku bersyukur karenanya. Dalam hati, kuyakinkan pada diriku bahwa segalanya akan baik-baik saja. Aku benar-benar pergi. Aku sudah bebas.

*

    “Beristirahatlah. Besok setelah pekerjaanku selesai, aku akan datang ke sini. Aku menuntut penjelasan tentang semua ini,” ujar Orion diikuti seringai jail di wajahnya.

    Aku mengangguk. Aku bahkan sudah tidak sanggup untuk sekadar membalas senyumannya. “Terima kasih,” kataku bersungguh-sungguh.

    Orion tersenyum. “Bukan masalah. Aku pergi dulu,” ujarnya.

    Setelah Orion pergi, kututup pintu kamarku dan menguncinya. Tiba-tiba, aku merasa sangat lelah. Tenagaku seperti terkuras habis. Kuseret langkahku, kemudian mengempaskan tubuhku ke tempat tidur. Tak ada lagi keinginan untuk membersihkan tubuhku yang lengket karena keringat. Mataku menatap nyalang langit-langit kamar tempatku menginap. Meskipun kamar ini cukup luas, tetapi aku merasa sesak. Dinding serta langit-langit kamar seperti bergerak menghimpitku. Aku meringkuk di ranjangku, lalu mulai menangis tersedu-sedu. Entah apa yang kutangisi. Aku takut. Aku kesepian. Dan aku merindukan kedua orang tuaku. Aku menangis sampai akhirnya kegelapan datang merengkuhku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status