Share

CHAPTER 8 Rencana Selanjutnya

    Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.

    Xabian menatap sendu foto seorang gadis kecil yang sedang duduk di sebuah ayunan. Gadis kecil itu memakai celana pendek dan hoodie berwarna merah muda, serta sepatu berwarna senada. Rambutnya dikucir berbentuk ekor kuda dan dia tengah tersenyum lebar ke arah kamera—ke arahnya. Tatapan pemuda itu diliputi perasaan mendamba, juga penyesalan. Dia tidak ingat sudah berapa lama dirinya tiba di apartemen usai acara makan malam yang dipenuhi kecanggungan itu. Ia sudah melepas jas serta rompinya. Dua kancing teratas kemejanya sudah terlepas. Xabi merasa makan malam itu seperti berlangsung berabad-abad lamanya.

    Sudah empat tahun Xabi tinggal sendirian di apartemen. Dia duduk di kursi di dekat jendela yang menampakkan pemandangan langsung ke pusat kota. Tangan kanannya memegang gelas berisi wiski. Kemudian, pemuda itu mengembuskan napas berat. Pemuda itu jarang mengonsumsi minuman dengan kadar alkohol tinggi. Hanya sesekali—biasanya ketika dia sedang merasa sangat tertekan.

    Xabi mengusap cincin yang kini melingkari jari manisnya dan lagi-lagi mendesah. Dia teringat bagaimana Nara menatapnya penuh kebencian. Ketika memasangkan cincin, dia merasakan tangan gadis itu sedingin es. Dia juga bisa mencecap kemarahan yang menguar dari pori-pori kulit gadis itu di udara sekitarnya. Naraya benar-benar membencinya dengan sepenuh hati.  Xabi tahu, hanya keberadaan orang tua mereka lah yang menahan Nara untuk melenyapkannya. Bisa pulang dalam kondisi utuh merupakan suatu keajaiban. Dia sempat mengira, paling tidak Nara akan menyiramkan minuman ke wajahnya. Pemuda itu menyugar rambutnya, lalu mengerang frustrasi.

Kenapa hidupnya jadi serumit ini? batinnya.

    Dia menghabiskan sisa minumannya, lalu meletakkan gelas itu ke meja kecil di sebelahnya. Air matanya menetes. Xabi membenamkan wajahnya ke telapak tangan, lalu mulai menangis tersedu-sedu. Setelah tangisnya mereda, pemuda itu bangkit dari kursi kemudian terhuyung-huyung ke kamarnya dan langsung tertidur pulas bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal.

*

    Aku terbangun dengan pandangan yang buram oleh air mata. Setibanya di hotel, aku langsung jatuh tertidur. Tidurku nyenyak dan aku tidak bermimpi, tetapi tubuhku masih terasa sangat lelah—malah rasanya semakin parah, seolah tidur nyenyak dan lama tidak berdampak apa pun. Kupaksakan tubuhku untuk bangun. Meski sudah mengerahkan seluruh kekuatan serta tekadku, sepertinya hal itu masih belum cukup untuk membuatku beranjak dari tempat tidur.

Kusadari kalau aku masih mengenakan baju yang kemarin kupakai, termasuk jaket Orion. Aroma tubuh pemuda itu menyelubungiku dan seketika kurasakan seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang meremas hatiku. Mataku terasa panas teringat kejadian kemarin.

    Perjalanan kembali ke hotel menjadi perjalanan paling lama dan paling canggung yang pernah kualami. Duduk bersebelahan di tempat sempit bersama pemuda yang baru saja kutolak cintanya bukanlah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Kami berdua sama-sama bungkam. Baik aku maupun Orion tak ada yang berusaha membuka obrolan, bahkan untuk menatapku saja sepertinya pemuda itu enggan. Ketegangan melayang-layang di udara di sekitar kami. Aku bisa merasakan kemarahan serta kekecewaan Orion merambat di udara seperti aliran listrik. Dia masih tidak mau memandangku saat aku turun dari mobil. Dia mungkin menyesal karena sudah merepotkan diri membantuku atau mungkin dia sekarang membenciku. Orion pasti menganggap kalau aku hanya memanfaatkannya. Segera kuutepiskan pikiran negatif itu jauh-jauh.

    Mama dan Papa sedang apa sekarang? Mungkinkah mereka mengkhawatirkanku?

    Setetes air mata berhasil lolos dan mengalir di pipiku. Aku merindukan mereka. Ini pertama kalinya aku jauh dari kedua orang tuaku dan aku bahkan tidak tahu kapan akan berkumpul kembali bersama mereka. Aku tidak akan pulang selama Papa dan Mama masih bersikukuh untuk menjodohkanku dengan Xabi.

    Aku berbaring telentang menatap langit-langit. Sekarang apa yang akan kulakukan? Aku tidak mungkin bersembunyi di hotel ini selamanya. Baik Papa, Mama, maupun kakakku memang memberiku uang yang cukup banyak setiap bulannya, tetapi jika aku terus menerus tinggal di hotel ini, tabunganku akan habis dengan cepat. Tarif menginap di sini lumayan mencekik, sedangkan aku harus menghemat pengeluaran. Sedangkan aku tidak mungkin memakai kartu kredit. Menggunakan kartu kredit sama saja seperti dirimu bersembunyi, tetapi kau justru berteriak sembari melambai-lambai kepada orang yang tengah mencarimu.

    Sempat terpikir olehku untuk pulang saja dan bersikap menjadi anak yang manis serta penurut, kemudian menerima perjodohan itu dengan hati lapang dan riang gembira. Namun, mengapa harus Xabi? Jika dijodohkan dengan pemuda lain, mungkin aku akan berusaha untuk menerimanya meski berat. Tapi, Xabi? Astaga! Bahkan jika seluruh pria di alam semesta musnah dan yang tersisa Xabi seorang, aku lebih memilih untuk hidup seperti seorang biarawati. Aku kembali berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan tenaga serta semangatku, akhirnya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman kasur yang begitu nyaman. Akan kupikirkan mengenai rencanaku nanti. Aku tidak bisa berpikir dalam keadaan lapar. Aku butuh makan.

*

    Setelah membersihkan tubuh, kuputuskan untuk makan di resto hotel. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan layanan kamar sehingga tak perlu repot-repot keluar. Namun, aku merasa butuh udara segar. Aku harus keluar kamar atau aku akan gila memikirkan kehidupanku yang tiba-tiba menjadi penuh drama. Baru kusadari kalau aku benar-benar kelaparan. Aku memesan sarapan besar ala Inggris yang berupa roti panggang dengan olesan butter, telur ceplok, sosis, jamur kancing, daging asap, tomat panggang, serta kacang yang dimasak dengan saus tomat dan menghabiskannya dalam sekejap. Itu pun masih ditambah dengan pencuci mulut berupa buah-buahan potong dan segelas cokelat hangat.

    Setelah kenyang, aku berpikir untuk pergi ke toko buku. Aku tidak terlalu suka menonton televisi. Aku berniat untuk membeli satu atau dua buku untuk mengisi waktu. Jarak hotel tempatku menyembunyikan diri ke mall sangat dekat, hanya perlu waktu sekitar lima menit dengan berjalan kaki. Ketika keluar dari area hotel, kurasakan seperti ada yang mengikutiku, tetapi tak menemukan siapa pun yang tampak mencurigakan ketika berbalik menoleh.

    Mungkin aku hanya terlalu paranoid, pikirku.

Aku melanjutkan berjalan. Namun, aku tak bisa sepenuhnya mengeyahkan perasaan itu—seolah ada seseorang yang tengah menguntitku. Untuk sesaat, buku membantuku mengalihkan perasaan itu. Setelah cukup lama mencari, aku memilih tiga novel dan membayarnya di kasir. Aku baru akan keluar dari toko ketika menyadari keberadaan si penguntit.

Pemuda itu berusia pertengahan dua puluhan. Rambutnya dicukur sangat pendek. Dari ujung mataku, tampak dia sedang berpura-pura asyik membaca buku. Tapi sangat jelas kalau pemuda itu hanya berpura-pura karena posisi buku itu terbalik. Aku menghargai usahanya untuk membaur dengan lingkungan di sekitarnya, meski kuakui kalau itu sama sekali tak berhasil. Pakaian serbahitamnya membuat pemuda itu tampak salah tempat. Aku pernah bertemu dengannya. Dia salah satu orang Papa.

Aku berusaha bersikap sesantai mungkin walaupun jantungku mengentak-entak di dalam rongga dadaku. Aku tidak ingin menunjukkan kalau aku tahu keberadaan pemuda itu. Aku menahan diri untuk tidak melirik ke belakang sekadar memastikan apakah pemuda itu mengikutiku atau tidak. Karena dia memang mengikutiku. Ketika aku masuk ke salah satu outlet yang khusus menjual pakaian dalam, pemuda itu sepertinya segan untuk ikut masuk. Tokonya sepi pengunjung. Bahkan, sepertinya akulah satu-satunya pengunjung di tempat ini. Kulihat dia menempelkan ponsel di telinganya, mungkin menelpon rekannya—atau lebih parah lagi, ayahku.

Tepukan di bahuku membuatku memekik. Ternyata salah satu pegawai di toko tempatku berada. Perempuan itu cantik. Mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua dariku. Perempuan itu tersenyum ramah.

“Ada yang bisa saya bantu, Kak? Kakak sedang cari apa?” tanyanya.

“Aku—“ aku tergagap. Aku melirik cemas ke luar, tempat pemuda itu menungguku. Dia berdiri agak jauh dari dari toko tempatku berada, sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Tapi aku tahu kalau matanya mengawasiku. “ada yang menguntitku,” bisikku dengan bibir bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status