Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Xabian menatap sendu foto seorang gadis kecil yang sedang duduk di sebuah ayunan. Gadis kecil itu memakai celana pendek dan hoodie berwarna merah muda, serta sepatu berwarna senada. Rambutnya dikucir berbentuk ekor kuda dan dia tengah tersenyum lebar ke arah kamera—ke arahnya. Tatapan pemuda itu diliputi perasaan mendamba, juga penyesalan. Dia tidak ingat sudah berapa lama dirinya tiba di apartemen usai acara makan malam yang dipenuhi kecanggungan itu. Ia sudah melepas jas serta rompinya. Dua kancing teratas kemejanya sudah terlepas. Xabi merasa makan malam itu seperti berlangsung berabad-abad lamanya.
Sudah empat tahun Xabi tinggal sendirian di apartemen. Dia duduk di kursi di dekat jendela yang menampakkan pemandangan langsung ke pusat kota. Tangan kanannya memegang gelas berisi wiski. Kemudian, pemuda itu mengembuskan napas berat. Pemuda itu jarang mengonsumsi minuman dengan kadar alkohol tinggi. Hanya sesekali—biasanya ketika dia sedang merasa sangat tertekan.
Xabi mengusap cincin yang kini melingkari jari manisnya dan lagi-lagi mendesah. Dia teringat bagaimana Nara menatapnya penuh kebencian. Ketika memasangkan cincin, dia merasakan tangan gadis itu sedingin es. Dia juga bisa mencecap kemarahan yang menguar dari pori-pori kulit gadis itu di udara sekitarnya. Naraya benar-benar membencinya dengan sepenuh hati. Xabi tahu, hanya keberadaan orang tua mereka lah yang menahan Nara untuk melenyapkannya. Bisa pulang dalam kondisi utuh merupakan suatu keajaiban. Dia sempat mengira, paling tidak Nara akan menyiramkan minuman ke wajahnya. Pemuda itu menyugar rambutnya, lalu mengerang frustrasi.
Kenapa hidupnya jadi serumit ini? batinnya.
Dia menghabiskan sisa minumannya, lalu meletakkan gelas itu ke meja kecil di sebelahnya. Air matanya menetes. Xabi membenamkan wajahnya ke telapak tangan, lalu mulai menangis tersedu-sedu. Setelah tangisnya mereda, pemuda itu bangkit dari kursi kemudian terhuyung-huyung ke kamarnya dan langsung tertidur pulas bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal.
*
Aku terbangun dengan pandangan yang buram oleh air mata. Setibanya di hotel, aku langsung jatuh tertidur. Tidurku nyenyak dan aku tidak bermimpi, tetapi tubuhku masih terasa sangat lelah—malah rasanya semakin parah, seolah tidur nyenyak dan lama tidak berdampak apa pun. Kupaksakan tubuhku untuk bangun. Meski sudah mengerahkan seluruh kekuatan serta tekadku, sepertinya hal itu masih belum cukup untuk membuatku beranjak dari tempat tidur.
Kusadari kalau aku masih mengenakan baju yang kemarin kupakai, termasuk jaket Orion. Aroma tubuh pemuda itu menyelubungiku dan seketika kurasakan seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang meremas hatiku. Mataku terasa panas teringat kejadian kemarin.
Perjalanan kembali ke hotel menjadi perjalanan paling lama dan paling canggung yang pernah kualami. Duduk bersebelahan di tempat sempit bersama pemuda yang baru saja kutolak cintanya bukanlah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Kami berdua sama-sama bungkam. Baik aku maupun Orion tak ada yang berusaha membuka obrolan, bahkan untuk menatapku saja sepertinya pemuda itu enggan. Ketegangan melayang-layang di udara di sekitar kami. Aku bisa merasakan kemarahan serta kekecewaan Orion merambat di udara seperti aliran listrik. Dia masih tidak mau memandangku saat aku turun dari mobil. Dia mungkin menyesal karena sudah merepotkan diri membantuku atau mungkin dia sekarang membenciku. Orion pasti menganggap kalau aku hanya memanfaatkannya. Segera kuutepiskan pikiran negatif itu jauh-jauh.
Mama dan Papa sedang apa sekarang? Mungkinkah mereka mengkhawatirkanku?
Setetes air mata berhasil lolos dan mengalir di pipiku. Aku merindukan mereka. Ini pertama kalinya aku jauh dari kedua orang tuaku dan aku bahkan tidak tahu kapan akan berkumpul kembali bersama mereka. Aku tidak akan pulang selama Papa dan Mama masih bersikukuh untuk menjodohkanku dengan Xabi.
Aku berbaring telentang menatap langit-langit. Sekarang apa yang akan kulakukan? Aku tidak mungkin bersembunyi di hotel ini selamanya. Baik Papa, Mama, maupun kakakku memang memberiku uang yang cukup banyak setiap bulannya, tetapi jika aku terus menerus tinggal di hotel ini, tabunganku akan habis dengan cepat. Tarif menginap di sini lumayan mencekik, sedangkan aku harus menghemat pengeluaran. Sedangkan aku tidak mungkin memakai kartu kredit. Menggunakan kartu kredit sama saja seperti dirimu bersembunyi, tetapi kau justru berteriak sembari melambai-lambai kepada orang yang tengah mencarimu.
Sempat terpikir olehku untuk pulang saja dan bersikap menjadi anak yang manis serta penurut, kemudian menerima perjodohan itu dengan hati lapang dan riang gembira. Namun, mengapa harus Xabi? Jika dijodohkan dengan pemuda lain, mungkin aku akan berusaha untuk menerimanya meski berat. Tapi, Xabi? Astaga! Bahkan jika seluruh pria di alam semesta musnah dan yang tersisa Xabi seorang, aku lebih memilih untuk hidup seperti seorang biarawati. Aku kembali berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan tenaga serta semangatku, akhirnya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman kasur yang begitu nyaman. Akan kupikirkan mengenai rencanaku nanti. Aku tidak bisa berpikir dalam keadaan lapar. Aku butuh makan.
*
Setelah membersihkan tubuh, kuputuskan untuk makan di resto hotel. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan layanan kamar sehingga tak perlu repot-repot keluar. Namun, aku merasa butuh udara segar. Aku harus keluar kamar atau aku akan gila memikirkan kehidupanku yang tiba-tiba menjadi penuh drama. Baru kusadari kalau aku benar-benar kelaparan. Aku memesan sarapan besar ala Inggris yang berupa roti panggang dengan olesan butter, telur ceplok, sosis, jamur kancing, daging asap, tomat panggang, serta kacang yang dimasak dengan saus tomat dan menghabiskannya dalam sekejap. Itu pun masih ditambah dengan pencuci mulut berupa buah-buahan potong dan segelas cokelat hangat.
Setelah kenyang, aku berpikir untuk pergi ke toko buku. Aku tidak terlalu suka menonton televisi. Aku berniat untuk membeli satu atau dua buku untuk mengisi waktu. Jarak hotel tempatku menyembunyikan diri ke mall sangat dekat, hanya perlu waktu sekitar lima menit dengan berjalan kaki. Ketika keluar dari area hotel, kurasakan seperti ada yang mengikutiku, tetapi tak menemukan siapa pun yang tampak mencurigakan ketika berbalik menoleh.
Mungkin aku hanya terlalu paranoid, pikirku.
Aku melanjutkan berjalan. Namun, aku tak bisa sepenuhnya mengeyahkan perasaan itu—seolah ada seseorang yang tengah menguntitku. Untuk sesaat, buku membantuku mengalihkan perasaan itu. Setelah cukup lama mencari, aku memilih tiga novel dan membayarnya di kasir. Aku baru akan keluar dari toko ketika menyadari keberadaan si penguntit.
Pemuda itu berusia pertengahan dua puluhan. Rambutnya dicukur sangat pendek. Dari ujung mataku, tampak dia sedang berpura-pura asyik membaca buku. Tapi sangat jelas kalau pemuda itu hanya berpura-pura karena posisi buku itu terbalik. Aku menghargai usahanya untuk membaur dengan lingkungan di sekitarnya, meski kuakui kalau itu sama sekali tak berhasil. Pakaian serbahitamnya membuat pemuda itu tampak salah tempat. Aku pernah bertemu dengannya. Dia salah satu orang Papa.
Aku berusaha bersikap sesantai mungkin walaupun jantungku mengentak-entak di dalam rongga dadaku. Aku tidak ingin menunjukkan kalau aku tahu keberadaan pemuda itu. Aku menahan diri untuk tidak melirik ke belakang sekadar memastikan apakah pemuda itu mengikutiku atau tidak. Karena dia memang mengikutiku. Ketika aku masuk ke salah satu outlet yang khusus menjual pakaian dalam, pemuda itu sepertinya segan untuk ikut masuk. Tokonya sepi pengunjung. Bahkan, sepertinya akulah satu-satunya pengunjung di tempat ini. Kulihat dia menempelkan ponsel di telinganya, mungkin menelpon rekannya—atau lebih parah lagi, ayahku.
Tepukan di bahuku membuatku memekik. Ternyata salah satu pegawai di toko tempatku berada. Perempuan itu cantik. Mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua dariku. Perempuan itu tersenyum ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Kak? Kakak sedang cari apa?” tanyanya.
“Aku—“ aku tergagap. Aku melirik cemas ke luar, tempat pemuda itu menungguku. Dia berdiri agak jauh dari dari toko tempatku berada, sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Tapi aku tahu kalau matanya mengawasiku. “ada yang menguntitku,” bisikku dengan bibir bergetar.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka
Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me
Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini
“Bukannya tadi lo bilang kalau lo sibuk?” tanyaku tanpa menatap pada Xabi. “Tadi,” ujarnya seolah satu kata itu bisa menjelaskan segalanya. Aku menggerutu atas jawabannya yang tidak menjelaskan apa pun, kemudian mulai melamun lagi. Sekitar satu jam lalu, dia datang ke rumah sakit dengan alasan ingin menjenguk Papa. Kemudian, dengan ekspresi tak acuh mengajakku pulang bersama. “Sekalian kita mampir ke hotel,” ujarnya, kemudian menambahkan dengan berbisik, “gue tahu lo sudah nggak sabar.” Ingin sekali aku menempeleng pemuda tidak tahu malu ini untuk menghapus
Aku tersaruk-saruk ketika berusaha menyejajari langkah Xabi sembari menyeret koperku yang sepertinya bertambah berat kalau dibandingkan dengan saat aku datang ke hotel ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus repot-repot mengejar Xabi dan berlarian di lobi hotel seakan-akan aku cinta setengah mati kepada pemuda itu. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, apa yang kukatakan memang benar adanya. Jadi, aku sama sekali tidak tahu alasan mengapa bayi besar ini merajuk padaku. Setelah membuatku merasa bersalah dikarenakan caranya menatapku di kamar tadi, sekarang dia mendramatisir aksinya dengan mogok bicara padaku. Apalagi raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang. Orang lain yang melihat kami mungkin akan mengira kami sepasang kekasih. Oke. Aku dan Xabi memang bertunangan, tapi bukan berarti kami bisa digo
Cowok Berlesung Pipi : Ra, bagaimana kabarmu? Seminggu yang lalu aku datang ke hotel tempatmu menginap, tetapi kata resepsionis kamu sudah lama check-out. Sekarang kamu di mana? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Sebenarnya aku ragu mengirim pesan ke nomor ini, tapi aku mengkhawatirkanmu. Kalau kamu sudah pulang dan sudah membaca pesan ini, tolong balas secepatnya supaya aku tenang. Cowok Berlesung Pipi : Aku merindukanmu. Maaf karena waktu itu aku sudah bersikap seperti berengsek. Cowok Berlesung Pipi :
“Tante nggak menyangka kalau kalian akan datang lebih cepat, jadi masakannya belum selesai. Kamu jadi repot-repot bantuin masak.” Aku tersenyum meskipun kusadari bahwa Tante Rani tidak bisa melihatnya karena posisiku yang memunggunginya. Konsentrasiku hampir sepenuhnya terpusat pada capcay di hadapanku. Tante Rani memasukkan potongan sosis dan bakso, kemudian kuaduk masakan itu dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang.Bukannya aku sama sekali asing dengan dapur, tetapi biasanya aku datang ke dapur hanya untuk mengambil makanan. Paling banter aku memasak mi instan. Untuk memasak makanan sungguhan, ini pengalaman pertama bagiku. Aku berusaha agar tidak terlihat kikuk ketika memegang spatula. Singkat cerita, aku hanya membantu mengadu