Asya membiarkan, menunggu hingga Rafan tertidur. Setelahnya, perlahan melepas pelukan Rafan. Melihat Rafan masih pakai jaket, langsung melepasnya perlahan agar Rafan tidak terbangun. Lalu melipat dan menyimpannya di atas meja. Setelahnya, menutup balkon kamarnya dan keluar, membiarkan Rafan tertidur.
Saat Asya ke dapur karena haus, mendadak terusik saat Aksa menatap aneh."Apa?""Kakak ngomong sama siapa?" Aksa heran, saat melewati kamar Asya, seperti sedang berbicara dengan seseorang."Oh, sama Rafan." Asya meneguk air di gelas hingga habis."Rafan? Kapan datang kok nggak liat?" Arina heran."Baru tadi, Rafan datang lewat balkon kamar." Asya berkata jujur, karena terkejut melihat Rafan muncul tadi."Oh pantesan," celetuk Aksa."Sekarang mana Rafan?" tanya Azdi, kebetulan mendengar pembicaraan anak dan isterinya."Tidur di kamarku." Asya mencuci gelas yang tadi dipakainya."Hm, gitu." Azdi hanya mengangguk paham.****"Kakakmu mana?" tanya Risa, heran hanya Refan saja yang pulang bersama Rivo."Mungkin bertemu Asya." Refan bangun dari tidurnya, melirik ke arah Rivo yang baru datang dan duduk di sebelahnya."Kenapa?" Rivo heran dengan Refan."Keluarga Ambara sejak kapan menjalin hubungan bisnis?" Refan mulai iseng.Rivo berpikir sejenak. "Sekitar enam bulan yang lalu." Mendadak aneh dengan si bungsu. "Ada apa emangnya? Tiba-tiba bertanya begitu?""Hm, iseng saja." Refan menatap serius Rivo. "Sebenarnya, aku hanya nggak ingin ada masalah. Karena takut terulang kembali." Setelahnya, Refan pergi ke kamar.Risa terdiam, dan paham dengan maksud Refan. Lalu melirik Rivo yang menghela napas gusar, setelah mendengar penuturan Refan tadi."Ada apa?""Hm, entahlah." Rivo hanya membalas begitu.****Rafan terlihat duduk terdiam di tempat tidur Asya. Baru saja terbangun, setelah rasa kantuk menyerangnya akibat pusing belajar bisnis. Lalu melirik ke arah jam dinding di kamar Asya, ternyata sudah pukul delapan malam.Rafan mengernyit heran, saat Asya berdiri di hadapannya. "Apa?""Namanya siapa?" Asya mendorong Rafan hingga berbaring lagi, kemudian menindihnya dan memeluk erat.Rafan berpikir sejenak, kemudian membalas, "Tanya Refan saja." Lalu berganti posisi menyamping. Tangannya, mulai menyentuh wajah Asya.Asya langsung terpejam, saat wajahnya disentuh lembut oleh Rafan. Lalu menatap Rafan lagi, ketika bibirnya diusap pelan."Yang jelas dia dari keluarga Ambara." Rafan kembali berbicara, mulai mendekatkan wajahnya dan masih mengusap pelan bibir Asya.Asya belum merespon, justru mengelus pipi hingga menjalar leher Rafan. "Hm, Ambara ya?” elusannya merembet hingga punggung tegap Rafan—kembali memeluk. “Aku mencoba agar nggak cemburu yang berlebihan, tetep aja susah dan sebel." Lalu membungkam bibir Rafan.Rafan agak tersentak, saat Asya mengigit pelan, memperdalam dan ciumannya berubah menjadi liar.Asya masih asyik mendominasi Rafan lagi, sekaligus meluapkan kekesalan—cemburu. Kemudian berhenti dan kini membenamkan wajahnya di dada bidang Rafan, menurutnya sangat nyaman. Tangannya lancang, menyelinap dan menggerayangi tubuh biseps Rafan.Rafan membiarkan, dan semakin mendekap Asya. Bahkan menjadikan lengan kirinya sebagai bantal, tangan kanannya mulai menyisir lembut. Selagi Asya asyik dengan menggerayangi, bahkan sengaja melepas kaus hingga benar-benar bertelanjang dada.Asya kembali mendongak untuk menatap Rafan sebentar, kemudian membenamkan wajahnya lagi. Lalu teringat, cerita Vio tentang Refan dulu yang masih manja sekali, bila sedang tertekan pasti minta digendong, dan tidur dengan Rafan.Pantas saja manja terus.Asya tersenyum tipis, semakin melesak ke dalam dekapan Rafan—seperti biasa selain menggerayangi, kini mengecup dan menggigit gemas.Mereka berdua mulai lebih intim, melepas rindu dan kekesalan efek kemunculan orang asing. Bukan berarti akan kebablasan melakukan. Walau bisa dikategorikan hampir, Rafan membiarkan bukan berarti tidak bernafsu—lebih tepat menahan diri.“Puas?” Rafan bertanya sembari mengecup bibir Asya berulang-ulang, merembet ke leher jenjangnya.“Ya,” balasnya, seketika melenguh saat merasakan gigitan kecil merembet ke bahu. Mengingat libur, seharian ini Asya hanya mengenakan piama. Entah sejak kapan, sedikit terbuka hingga memperlihatkan bahu—setengah tertutup.Rafan kembali menatap intens Asya, beralih ke leher Asya dan kini jari tangannya mulai menyentuh. Asya terusik, langsung menggenggam tangan Rafan yang sempat menyentuh lehernya. "Kau belum makan 'kan?""Ya, tapi aku nggak lapar." Rafan membiarkan tangannya digenggam Asya.Rafan menindih dan merangkul pinggang Asya.Asya tersenyum kecil, mulai mengelus lembut kepala Rafan. "Nggak pulang?" tanya Asya pelan."Hm, sebentar." Rafan membuat wajahnya berdekatan dengan Asya, lalu membungkam sebentar bibir Asya. Lalu menyingkir dan memakai jaket hitamnya lagi. Kemudian keluar, dengan Asya juga. Teringat, tadi sore datang melalui balkon.Saat melewati ruang tengah, langkah mereka terhenti. Mendadak Azdi bertanya sesuatu. Bisa dikatakan, ingin mencoba mengobrol dengan Rafan."Dunia bisnis menurutmu gimana?""Hm, merepotkan." Rafan mendadak malas, karena ditanya dunia bisnis lagi.Azdi hanya tersenyum kecil, tadi sempat datang ke Xander Corp. Lucu sendiri, melihat Rafan terus menggerutu kesal saat memahami materi bisnis."Tapi menyenangkan ya?" Azdi berbicara lagi."Apanya yang menyenangkan? Ditemani tumpukan kertas?" Rafan kesal, malas sekali melihat tumpukan kertas meskipun itu semua penting dan berharga. Berbagai macam jenis laporan, membuat Rafan pusing melihatnya."Mungkin saja." Azdi kembali ke ruang kerja, karena teringat ada sesuatu yang belum dikerjakan.Rafan masih kesal karena ditanya tentang bisnis lagi, lalu melirik ke arah Asya asyik menertawakan dirinya. "Puas sekali menertawakanku?""Maaf, deh." Asya berhenti tertawa."Hm, iya." Rafan berniat pulang. Namun, terhenti dan berbalik menatap Asya.Asya heran dengan Rafan, baru saja ingin bertanya. Langsung tidak jadi, karena Rafan mengecup bibirnya. Rafan menjauhkan wajahnya, mulai tersenyum kecil. Karena melihat wajah Asya kembali memerah."Kau ini." Asya terkejut dan sebal bila ada yang melihat Rafan menciumnya."Tapi suka 'kan?" Rafan semakin usil."Kok jadi ngeselin banget sih!" Asya semakin heran dan sebal."Entahlah." Rafan langsung pamit pulang.Sedangkan Asya semakin sebal. Walau sebenarnya, suka dengan perlakuan Rafan tadi. Terbukti, wajahnya kembali memerah."Ih kakak, wajahnya merah banget?" Aksa mulai usil."Sejak kapan kau di sini?" Asya tidak menyangka Aksa sudah berada di ruang tengah."Ehm, dari tadi." Aksa semakin menatap usil. "Bisa dibilang saat Rafan mengobrol dengan ayah sebentar, aku masuk loh. Jahat banget sih, nggak merasakan kehadiranku!""Ih, masa? Beneran loh, nggak melihat kau datang." Asya benar-benar tidak sadar. "Kau dari mana?" Asya kumat lagi."Rahasia." Aksa masih tidak mau menjawab."Dih! Kok rahasia lagi sih!" Asya semakin sebal dengan Aksa."Suka-suka dong." Aksa langsung masuk ke kamarnya, tetapi terhenti dan mulai menatap usil Asya.Asya menduga sesuatu, dari tatapan usil Aksa. "K-kau me-melihatnya?" Asya mulai gugup dan malu."Hm, bisa jadi." Setelah berkata begitu, Aksa kembali masuk ke kamarnya. Yang dikatakannya benar. Aksa melihat Rafan mengecup bibir Asya, dan itu tidak sengaja.Asya terdiam, semakin malu karena Aksa melihatnya. Lalu orang tuanya datang dan menatap heran dirinya."Kenapa?""Nggak!" Asya langsung berlari masuk ke kamarnya."Dia kenapa?" Arina heran dengan Asya, karena wajahnya merah sekali."Entahlah." Azdi hanya mengangkat bahu, karena tadi kembali ke ruang kerja.Segerombolan orang misterius, masih bersikeras mengejar Arsen. Itu pun secara acak, buktinya mereka muncul dari berbagai arah. Sukses membuat Arsen kelimpungan. "Kau beda sekali," celetuk salah satunya, berhasil mendahului Arsen dan kembali memberi serangan telak. Tepat, mengenai perut Arsen hingga membuatnya terbatuk. Lalu terhempas lagi ke jalan raya, sepertinya mereka bersungguh-sungguh untuk menyerang Arsen ya? Atau mungkin, ingin membunuhnya? Decakan kesal, terdengar dari orang tadi yang berhasil menyerang. Setelah melihat Arsen masih bisa menyeimbangkan diri, dan berpindah cepat dari jalan raya ke area yang aman. Napas Arsen mulai memburu, sesekali terbatuk kecil. Efek dari tendangan keras yang mengenai perut dan mendekati uluh hatinya. "Kau benar-benar lemah ya?" Arsen telat menghindar. Bahkan, kehilangan konsentrasi dan kewaspadaannya terhadap sekitar. Ada apa denganku? Arsen amat bingung, sulit
Rafan sengaja berjalan lambat menuju ruangan pertemuan. Menurutnya, amat mengherankan. Padahal sudah ada Refan. Kenapa dirinya harus juga? Tidak hanya sengaja melambatkan langkah kakinya. Akan tetapi, sama sekali tidak ada niat berganti pakaian formal lebih dulu? Kemunculannya di Xander Corp, dengan pakaian serba hitam—perpaduan jaket, kaus, celana—berwarna hitam semua. Melewati sekretaris, langsung masuk, dan bergabung dengan para pebisnis lain. Refan hanya menghela napas pasrah, dengan kelakuan Rafan sama sekali belum berubah. Setidaknya, sedikit biasakan gitu? Lah ini, malah berpakaian di luar jam kegiatan formal. "Ka—" Rafan melirik dengan sorot mata malas nan dingin, berhasil membuat Refan berhenti berbicara. Setelahnya, kembali ke posisi semula—diam. Helaan napas pasrah, kembali terdengar. Refan membiarkan, daripada pusing sendiri. Pada akhirnya, tetap memulai rapat. Rafan hanya diam, tetapi mendengarkan dengan baik apa yang oran
Arsen masih berdiam diri di kelas—sendirian. Sedangkan yang lain, sudah pulang maklum kegiatan sekolah telah usai. Pikirannya melayang pada penjelasan Rafan mengenai 'kunci dari latihannya'. Meskipun, sudah dijelaskan tetap saja membuatnya ragu untuk memulai. Semenjak penjelasan itu, Arsen sudah mantap untuk melakukan percobaan kedua. Walau, keraguan terus melandanya. "Dengan santai ya?" gumam Arsen. Sembari beranjak dari bangku dan menyampirkan tas sekolahnya, mulai melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepertinya, sudah hilang rasa keraguannya untuk melakukan percobaan lagi. Terus melangkah, mencari tempat yang cocok dan jauh dari keramaian orang. Jujur, risi bila kelakuannya dilihat—terlebih lagi menjadi pusat perhatian! Arsen tidak mau terjadi lagi, cukup menjadi pusat perhatian ketika diserang oleh segerombolan orang tidak dikenal saja. Selebihnya, Arsen memilih enggan dan mungkin akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cepat. Juga k
Arsen memilih duduk di teras rumah, mulai memikirkan cara cepat menguasai gerakan seperti Rafan. Mulai dari parkour, larian cepat, dan terakhir teknik serangan juga cengkeraman kuat.Dengkusan kekesalan kembali terdengar, sesekali mengusap pelan kepalanya akibat terjungkal tadi masih agak pusing. Lalu mendongak dan mengerutkan kening.Sejak kapan Rafan sudah muncul dan berdiri di hadapannya?"Jangan dilakukan secara terpisah, tapi langsung aja." Rafan sengaja memberi tahu kunci latihannya selama ini, karena mempraktikkannya secara langsung di hutan tanpa perlu melatih awalan."Tetap saja, sulit." Arsen membalas cepat, karena sadar dirinya tidak langsung liar seperti Rafan.Rafan mendudukkan dirinya di sebelah Arsen, manik hitamnya tertuju ke depan dan amat tenang. Sepertinya, sudah berhasil menahan emosi."Lebih baik kau melatih kecepatan saja, jangan menyeimbangkan dan pijakan kaki didahulukan."Arsen mulai mengernyit heran, dengan u
Meskipun Arsen tidak suka disamakan dengan Rafan, walau sadar dalam waktu tertentu bisa persis sekali. Bukan berarti Arsen tidak kepo dengan kelebihan—kemampuan ekstrem dan liar yang dimiliki Rafan.Arsen nyatanya amat kepo, lebih lagi setelah diajak oleh Rafan ke lingkungan yang berbeda—alias—hutan. Tujuannya, melatih meski bagi Rafan sendiri baru pertama kali melatih seseorang—anak sendiri. Membuat Rafan sulit, menahan diri buktinya hampir melukai—kalau tidak sadar bisa saja membunuh anak sendiri.Hutan yang sering kali didatangi Rafan untuk menyendiri dan melatih kemampuannya. Sayangnya, bukan karena itu. Melainkan, Arsen penasaran setelah berusaha mengamati cara Rafan yang mulanya berjalan santai. Namun, dalam sekejap bisa melenyapkan diri amat cepat dari pandangannya. Itu membuat Arsen semakin penasaran. Oh iya, gerakan parkour liar. Arsen juga penasaran dan ingin bisa melakukannya.****Kebetulan masih
Arsen kini sudah beranjak dewasa, perangai asli mulai terlihat. Bisa dibilang, seperti koin. Sisi asli yang tertutup oleh sisi pencegah—dinding pembatas keluarnya perangai asli Arsen.Terbukti, semakin beranjak dewasa. Yang lebih dominan diperlihatkan adalah sifat yang mirip sekali dengan Asya. Tampak kalem, kutu buku—penggemar novel misteri lain, efek sisi kalem membuat Arsen jarang berbaur. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan buku kesayangan, terakhir maniak cokelat.Setiap di rumah, si kalem Arsen mengurung diri dengan buku dan berbagai macam jenis cokelat. Asya? Hanya sedikit. Arsen lah, yang seringkali menghabiskan.Arsen juga cocok dijuluki, si kalem asam manis. Kalemnya, karena menyendiri. Asemnya, sekali diajak berbincang ada dua reaksi, satu dibalas ketus dan terakhir diabaikan. Kelakuannya, asamnya sekali 'kan?Sisi manisnya, itu karena Arsen penggemar cokelat. Selalu menyetok ban