Hembusan angin semilir yang sangat ramah ini membuat suasana menjadi sejuk-menyejukkan padahal sekarang sudah hampir menjelang siang. Carina yang masih sangat menggebu-nggebu begitu antusiasi ingin menceritakan perihal mengenai Xavier, dia seperti langit hitam yang ingin memuntahkan air bah karena takk bisa terbendung.
Sampai saat ini hanya Jeania yang dengan terang-terangan memberikan penilaian sikap buruk mengenai Xavier. Bagaiamana tidak, wajah Xavier yang begitu rupawan sudah banyak memikat wanita yang melihatnya, lantas ditambah dengan akademiknya yang begitu mumpuni, tentu sudah sangat terlihat perfect di kalangan warga sekolah. Carina adalah salah satu contoh wanita yang sedang tergila-gila dengan paras yang dimiliki Xavier, kalaupun dia tidak pernah dianggap sama sekali.
“Sini, lo! Ikutin gue aja!” pekik Carina mencekal lengan Jeania, sebenarnya Jaenia sama sekali tidak berminat untuk diajak.
“Mau kemana, sih?! Kenapa ga di kelas kita aja? Mager gue,” keluh Jenia. Carina tidak peduli.
Akhirnya dengan langkah gontai Jeania mengekor di belakang Carina. Sama seperti apa yang didapatnya tadi pagi, banyak pasang mata mengarah tajam kepada Jeania. Berbeda dengan tadi pagi, karena sekarang adalah jam istirahat pastilah lebih banyak yang memperhatikan Jeania.
“Gila, lo, Jen! Berasa jadi artis gue,” ujar Carina terkikik geli.
Jeania memutar bola matanya malas, dia sedang kesal. Padahal peasaannya sedari tadi dirundung kemarahan karena ulah Xavier tadi pagi dan sekarang Carina menambah kekesalanya, baru aja ia mengenalnya sehari.
“Nah sampai, deh,” ujar Carina setelah sampai kepada suatu tempat bertuliskan ‘Laboratorium Komputer’.
Jeania mengernyitkan dahinya dan alisnya saling bertaut dia begitu keheranan.
"Sebenarnya apa maksud dari wanita yang baru dikenal itu," pikirnya.
“Masuk! Lo ngapain matung di situ!?” tegur Carina melihat Jeania yang masih berdiri di depan pintu.
Tak ingin banyak bertanya terlebih dahulu Jeania memutusan untuk menuruti kemauan Carina, si wanita aneh yang baru ditemui. Dengan langkah gontai Jeania memasuki ruangan itu dan mengamati dengan seksama ruangan sekitarnya.
“Lo ngapain, sih?!” Carina mencekal tangan Jeania lagi. Kali ini Jeania menyengir kesakitan sayangnya Carina tak mengetahuinya.
Ruangan ini di penuhi dengan computer yang terlihat masih sangat baru. Bisa dikatakan laboratorium ini jarang sekali terpakai. Tentu, karena di tangan para siswa maupun siswi sudah ada smartphone yang sudah sangat canggih itu, berbeda dengan dahulu. AC yang menempel di dinding pun masih sangat baik digunakan.
“Lo ngapain ngajak kesini, sih?!” sergah Jeania menarik tangannya yang sedari tadi di cekal Carina sembari mengawasi sekitarnya yang masih sangat asing.
“Duduk sini duduk!” pinta Carina menarik bangku di sebelahnya. Jeania pun menghampirinya.
“Di sini itu…” Carina mendekatkan bibirnya ke salah satu alat pendengaran Jeania, “Dingin.” Seketika itu mata Jeania terbelalak setelah mendengar apa yang dituturkan Carina kemudian dia menepuk jidat Carina, Carina pun tersentak kaget.
“Bego, lo! Gue udah esmosi dari tadi pagi sekarang lo nambah-nambahin!”sunggutnya kesal.
“Esmosi apaan?! Ngadi-ngadi, lo! Erosi kalik?” ujar Carina berusaha membercandai Jeania yang sedang tersulut amarah. Alhasil tidak begitu buruk, Jeania pun terkekeh mendengar lawakan kuno yang dibawakan Carina.
“Gue lagi serius, bege!” Jeania megusap air mata yang mulai menetes karena tawa bahak yang dibuat Carina barusan.
“Lagian lo erosian.”
“Udah gak lucu! Lo piker gue…” Jeania mengatup bibirnya menggunakan kedua tangannya. Dia tidak bisa berbohong, jika teringat lawakan yang dibuat Carina tadi memang sangatlah lucu baginya. Apalagi bisa dikatakan Humor yang dimiliki Jeania itu memang rendah, jadi sangatlah mudah untuk membuat dia tertawa.
Tanpa mereka sadari kedekatan mereka mulai terbentuk kurang dari satu hari. Jeania yang memilik sifat pemarah ternyata mampu bertahan untuk berteman kepada Carina yang notabene memiliki sifat sangat cerewet.
“Lo mau cerita apa!?” Teriak Jeania yang begitu nyaring membuat Carina terperanjat dari tempat duduknya, Carina jatuh ke lantai beruntung lantai itu dilapisi karpet. Sengaja Jeania melakukan itu, apalagi teriakan itu sangat kencang dan sangat dekat dengan kedua telinga Carina. Jeania Kembali terkekeh merasa berhasil terhadap apa yang ia lakukan barusan, wajahnya pun begitu tergugah sumringah.
“Sialan, lo, Jen! Sakit pinggang gue!” ujar Carina dengan nada lirih. Tangannya mengelus-elus pinggang yang dirasanya sakit. Melihat Carina merengek kesakitan perasaan iba pun muncul, namun tidak dengan rasa bersalah. Jeania masih saja terkekeh sembari menolong Carina agar bisa duduk kembali di tempat yang sama.
“Aduh… duh… duh. Kasian anak mama ini,” ejek Jeania mengikuti Carina yang masih mengelus-elus pinggangya.
“Awas lu, jen! Gue bales,” ancam Carina yang sama sekali tidak membuat takut Jeania.
“Udah buru cerita!” pinta Jeania.
“Jadi Kak Xavier itu, pangerannya sekolah ini tauuuk!” bibir Carina terlihat begitu maju saat pengucapan kata terakhir.
"Oh jadi namanya Xavier," pikirnya.
Jeania tidak begitu terkejut dengan ungkapan pengeran itu, dia saja saat pertama kali bertemu bisa langsung jatuh cinta jika saja Xavier tidak begitu tajam saat berbicara.
“Iya terus?” ujari Jeania datar.
“Gila, lo! Siswi baru kayak lo gini bisa jalan sama Kak Xavier. Gue aja yang udah dua tahun mau lumutan belum pernah jalan sama Kak Xavier, Jen!”
Jeania menarik nafas panjang. Terlihat dari raut wajah yang sangat manis itu rasa kemalasan.
Dengan paras yang menawan sebenarnya sudah sangat biasa Jeania bertemu dengan pria yang memiliki rupa setara dengan Xavier, bahkan yang lebih pun banyak.
***
“Lo dari mana? Lama beut,” tanya Fano yang sedang asik bermain game online.
Xavier menarik bangku kosong yang berada disampingnya agar bisa meluruskan kakinya yang sedang kelelahan.
“Ada perintah tambahan dari Bu Faiza tadi,” ujar Xavier datar.
“Emang si ketua selalu sibuk, ya,” ejek Fano kepada Xavier namun tidak digubris sama sekali.
Sekarang pikirannya Xavier hanya berkutat pada satu wanita yang bersamanya tadi, Jeania. Dengan tubuh yang tidak begitu tinggi, rambut yang menjuntai lurus kebawah, dan wajah yang berseri-seri itu sudah berhasil membuat hati Xavier terpikat kepadanya. Padahal, dia memiliki tekad untuk tidak sesekali menyentuh kata itu -cinta-.
Memang benar, cinta bisa merubah segalanya. Karena cinta yang begitu dalam dia rela diinjak-injak oleh cintanya, bahkan disiksa dari hati sampai ke fisiknya, Sebagian orang mungkin mengatakan sebagai kebodohan. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda Xavier. Dan karena cinta juga Xavier yang sedari kemaren bertekad untuk membutakan hatinya yang perlahan mulai luluh karena pandangan pertamanya.
“Lo ngapain masih ngelamun?” Xavier tersentak ke alam nyata mendengar tuturan Fano.
“Jam sekolah udah selesai, hari ini kan kita pulang lebih awal!” cecar Fano.
Xavier akhirnya teringat Kembali jika hari ini memang pulang lebih awal. Xavier bahkan tidak sadar jika bel tanda untuk pulang sudah dibunyikan. Yang benar saja, pertemuannya dengan Jeania sudah mengacaukan pikirannya.
“Duluan ye.” Fano berpamitan dan dibalas anggukan Xavier.
Setelah membereskan buku-bukunya yang berserakan Xavier bergegas untuk pulang. Namun, tiba-tiba…
“Vier mau kemana, lo?!” itu adalah suara Asya yang sudah stand by di depan pintu kelas. Xavier menepuk dahinya pelan, dia teringat perkataannya tadi pagi. Padahal Xavier sudah sangat bersemangat untuk bertemu dengan ibundanya.
Akhirnya Xavier memutuskan untuk menepati perkataanya tadi pagi kepada Asya. Karena Xavier tidak ingin melihat ada drama-drama yang dibuat Asya. Dia bersyukur karena tadi pagi sudah banyak yang dikerjakan jadi sekarang hanya menyelesaikan sisanya. Setiap kali Xavier mengerjakan soal, Asya justru tidak memperhatikan cara pengerjaan itu. Mata Asya sedari tadi hanya terfokuskan pada wajah Xavier, wajah dengan rambut yang tidak begitu panjang yang menjadi mahkotanya dan mata sipit yang menambah keelokan rupa Xavier. Asya adalah contoh lain dari wanita yang sedang tergila-gila dengan Xavier.
Dan setelah semua soal terselesaikan Xavier segera beranjak meninggalkan Asya yang masih terkagum dengan cara pengerjaan yang dilakukan Xavier.
Setibanya di rumah, Xavier begitu terkejut melihat ibundanya sedang menangis. Dan tangannya terluka.
“Mamah!” pekik Xavier menghampiri ibundanya.
***
Xaiver dan Pak Tono keduanya masih dalam keadaan siaga. Padahal pagi ini masih begitu sepi sekali, tentu tidak akan ada yang mengawasi mereka berdua. Namun, rasa was-was yang menyelimuti Xavier begitu kuat.Xavier masih berpikir-pikir apakah ia perlu menceritakan rencananya kepada Pak Tono selaku satpam sekolah itu. Kedekatannya dengan Pak Tono membuatnya sedikit menyingkirkan rasa gengsinya meskipun hanya untuk sementara. Karena menurut Xavier Pak Tono hanyalah satpam yang sekedar menjaga gerbang, jadi ia tidak mungkin bisa mencampuri urusan Xavier lebih jauh.“Jadi gini, pak. Vier mau nyari data-data tentang Jeania di ruang guru,” ujar Xavier dengan berbisik pelan, berharap tidak ada yang mendengar. Pak Tono terkejut terlihat dari ekspresi wajahnya yang terpental kebelakang.“Buat apa Vier? Mending jangan deh, kamu itu Ketua OSIS. Nanti nama kamu bisa tercoreng abis itu angkatan kamu juga kena dampaknya. Mending dipikir-pikir lagi,&rdqu
-Cinta seorang ibu itu tidak pernah bohong. Kamu bisa mengetahuinya saat berinteraksi dengannya.-Semenjak kepergian Daniel beberapa hari yang lalu, rumah terasa tentram bagi Xavier. Tidak ada kegaduhan, kekacauan, dan kebengisan-kebengisan yang dibuat oleh Daniel. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda Xavier sekaligus istri Daniel, hari-harinya salalu ditemani oleh tangisan saat ia hanya menyendiri di kamarnya. Bahkan, Xavier tidak mengetahui hal itu, karena hari-harinya disibukkan oleh tugas sekolah yang sangat menumpuk, dan kewajiban-kewajibannya yang lain selaku Ketua OSIS.Diusia Xavier yang sudah beranjak dewasa ia sudah sangat mampu membagi waktu-waktunya. Ia tau kapan harus mengerjakan kewajibannya, menemani ibundanya, dan tentu ia tidak pernah terlupa untuk memikirkan Jeania.“Vier... kamu ngelamunin apa sayang?” pekik seseorang tiba-tiba memasuki kamar Xavier. Xavier sedang bersantai, karena di luar sedang turun hujan, melepas
Aku berusaha menutupi kebohonganku menggunakan kebohongan, dan semua itu hasilnya sia-sia. –JeaniaJeania dan Carina keduanya larut dalam kesunyian, perlahan kesadaran Jeania mulai luruh karena mengantuk. Selain hobi membaca Jeania juga hobi sekali melamun, seperti saat ini. Sengaja Carina ikut terdiam karena menunggu kata-kata yang akan dilontaran Jeania dan ia berharap adalah sebuah penjelasan. Namun, setelah sekian berlama-lama menunggu Jeania yang tak kunjung berbicara, Carina sudah mulai geram.“Jen!” pekik Carina mengejutkkan Jeania. Tadinya ia sudah terlelap untuk beberapa saat.Jeania menghela nafas panjang, ia menyesal telah mmenghadirkan Carina ke rumahnya. Sebenarnya yang bermasalah bukan pada Carina melainkan pikiran Jeania yang sedang tidak baik dan merusak mood-nya.“Oh iya Jen. Soal Kak Fano gimana lo jadinya,” tanya Carina. Jeania tersadarkan dengan rencananya.“Gak tau gue, Rin.
Langit terlihat begitu mempesona terukir indah di cakrawala. Kicauan burung menambahkan kelarasan bercengkrama. Tidak ada tanda kesenduan yang terlihat di langit, tentu tidak akan ada air yang mengguyur tanah sekolah SMA ini.Setelah kejadian yang menimpa Jeania, ia langsung meminta maaf kepada Asya karena sudah meninggalkannya sendirian. Dan setelah Jeania menjelaskan semua, seakan mengerti perasaan Jeania, Asya lalu memaafkannya. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan yang diperlihatkan Asya. Ia masih menganggap Jeania sebagai seorang siswi baru yang tidak mungkin berbuat macam-macam.Perasaan Jeania masih diselimuti kekesalan, lagi-lagi dia harus terkena kesialan karena berurusan dengan seseorang yang bernama Xavier. Sebenarnya Xavier tidak melakukan kesalahan apapun, hanya saja karena Jeania yang sudah berani menaruh perasaan kepada Xavier jadi semua yang berhubungan dengan perasaan selalu salah di mata Jeania.Xavier masih dengan sikapnya seperti biasa, dia
Jangan pernah menduga-duga seseorang dengan sesuatu yang buruk,selain tidak ada untungnya jika dugaanmu salah, itu bisa menjadi penyesalan teramat besar. “Gue...”“Kenapa!?” sergah Xavier kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi.“Gue mau manggil guru soalnya dari tadi kelas gue kosong Xavier sang Ketua OSIS... galak amat,” ketus Asya.Bisa dikatakan Asya adalah seseorang siswi yang cukup rajin, pasalnya ia dipilih oleh guru untuk menjadi ketua kelas bukan tanpa alasan. Selain karena sifat rajinnya ia juga memiliki sikap yang tegas terhadap teman-temannya.“Oh gitu, yaudah sana. Gue duluan,” ujar Xavier melenggang meninggalkan Asya. Seperti biasa sikap dinginnya masih sangat melekat setiap harinya, bahkan untuk seorang yang cantik dan rajin seperti Asya sangat susah untuk mendapatkan perhatian.Asya melangkahkan kakinya untuk pergi ke tempat yang akan ia tuju. Pikirannya masih berkut
-Pov Jeania-“Apa-apan Xavier sialan itu! Kemarin ngaku-ngaku jadi pacar gue, sekarang udah ada berita jalan sama yang lain,” gumamku yang masih terdengar oleh Carina.“Hah... apa lo bilang!? Seriusan?” sergah Carina ia terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan. Sengaja berita itu tidak kuceritakan kepadanya, karena aku tidak ingin dicecarnya dengan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu.“Kok lo gak ngasih tau gue, sih!?”Dan benar saja, Carina sepertinya setelah ini akan mencecarku dengan banyak pertanyaan.. Berita yang kuberikan kepadanya seperti wartawan yang mendapatkan umpan untuk disantap.“Lo diem... lo diem! Gak usah banyak tanya dulu, mood gue ilang denger lo ngasih kabar gituan,” ujarku. Aku merengkupkan tanganku di atas meja lalu menopangkan daguku.Seharusnya sedari awal aku menyadari jika Xavier itu memang terlalu tinggi untuk digapai. Layaknya bulan yang h