Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
Sesaat tadi dia merasakan tubuhnya seakan melayang. Hal terakhir yang dia ingat adalah gesekan angin yang menyapu kulitnya. Rambutnya berkibar menutup wajahnya, lalu bunyi tubuhnya bertabrakan dengan permukaan air. Perih terasa. Ngilu menusuk tulang. Gadis itu tak berani membuka mata. Bau anyir darah yang sepertinya berasal dari belakang kepalanya, merasuk ke dalam indra penciuman. Kini dia hanya bisa pasrah. Dia biarkan arus air membawanya. Dia tak memiliki kekuatan sama sekali untuk melawan. Seakan jarak antara dirinya dan kematian begitu dekat. Mungkin sebentar lagi dia akan bersua dengan malaikat maut. Dia pun tak mampu lagi mengambang. Tubuhnya serasa terhisap ke dasar. Sesenti lagi dan puncak kepalanya ikut tenggelam ke dalam air. Tiba-tiba sebuah tangan besar dan kuat mencengkeram lengannya, menariknya ke tepi. Gadis itu tergagap, menggapai rumput liar yang tumbuh di sepanjang pinggiran sungai. Tangan kekar itu lalu mengangkat dan menggendong tubuhnya. Gadis itu tak mampu membe
Roda mobil bertipe mini truck dengan bak terbuka berputar menginjak rerumputan di area pemancingan di tepi sungai Avon yang mengalir membelah kota Bristol di Inggris. Kota Bristol sendiri adalah kota pelabuhan, karena letaknya tepat di ujung teluk, berbatasan dengan Laut Keltik. Seorang pria berparas tampan, turun dari mini trucknya dengan gagah. Sneakers hitam putihnya menjejak tanah. Mata biru cerahnya seperti warna langit, melenakan siapapun yang memandangnya. Alis dan rambut kecoklatannya tampak berkilau terkena cahaya matahari di awal musim semi ini. Pria itu lalu melangkah ke bagian belakang mobil, membuka terpal yang menutupi bak truk dan menurunkan sekotak besar peralatan pancing. "Hari yang indah," gumamnya dambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya ada dia seorang di tempat ini. "Perfect!" ujarnya lagi. Menyendiri memang sudah menjadi kesukaannya sekarang. Menjauh dari hiruk pikuk manusia dengan segala permasalahannya. Terlebih saat ia harus kehilangan kedua or
Pria itu menghampiri dua orang polisi yang berdiri di depan pintu ruang gawat darurat. "Bagaimana, Sir? Apa anda sudah menemukan identitasnya?""Belum. Kami kesulitan mencari latar belakangnya. Sepertinya dia bukan berasal dari daerah sini," jawab salah seorang polisi. "Andakah yang membantu gadis itu tadi?" tanya polisi lainnya.Pria itu mengangguk dan mengulurkan tangannya, "I'm Brandon! Brandon Abraham Gallagher."Kedua polisi itu membalas jabatan tangan si pria sambil saling berpandangan, kemudian berpaling menatap Brandon lekat."You are Brandon Gallagher? The Brandon Gallagher?"(Brandon Gallagher yang itu?)Pria itu terkekeh, menampakkan lesung pipit di pipi kanannya, "Yes, it's me."Salah satu mata polisi itu membola. Ia kembali menyalami Brandon. "Whooaa, I can't believe we can meet here!" ujarnya antusias."Terima kasih atas sumbangan anda yang tak terkira pada komunitas penegak hukum," sahut polisi lainnya sembari menepuk lengan Brandon."Don't mention it," timpal Brandon m
Kegiatan baru Brandon selama seminggu ini adalah mengunjungi rumah sakit tiap pagi dan pulang di sore harinya. Akan tetapi, hari ini berbeda. Brandon terlihat sibuk mengemas barang yang kebanyakan berasal darinya, seperti kotak kue, termos dan camilan ringan. Dokter Marshall, dokter yang menangani gadis asing itu menyatakan pada Brandon bahwa luka robek di belakang kepala si gadis telah sembuh dan mengering. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang dan harus menjalani kontrol tiap minggu. Tak ada gangguan kesehatan serius meskipun memori si gadis belum kembali. "Aku akan pulang kemana?" tanya gadis itu dengan sorot mata polos. Mengingatkan Brandon akan Kirk, bajing kecil yang ia rawat selama dua bulan terakhir. "Sementara kau akan tinggal di rumah orang tuaku," sahut Brandon menahan tawa. "Apa mereka tidak keberatan?" Gadis itu mengusap hidungnya yang memerah. "Seperti boneka," gumam Brandon tanpa sadar. "Apa?" "Nothing. Ayo!" Brandon buru-buru meraih kursi roda yang sudah disedi