"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
Sesaat tadi dia merasakan tubuhnya seakan melayang. Hal terakhir yang dia ingat adalah gesekan angin yang menyapu kulitnya. Rambutnya berkibar menutup wajahnya, lalu bunyi tubuhnya bertabrakan dengan permukaan air. Perih terasa. Ngilu menusuk tulang. Gadis itu tak berani membuka mata. Bau anyir darah yang sepertinya berasal dari belakang kepalanya, merasuk ke dalam indra penciuman. Kini dia hanya bisa pasrah. Dia biarkan arus air membawanya. Dia tak memiliki kekuatan sama sekali untuk melawan. Seakan jarak antara dirinya dan kematian begitu dekat. Mungkin sebentar lagi dia akan bersua dengan malaikat maut. Dia pun tak mampu lagi mengambang. Tubuhnya serasa terhisap ke dasar. Sesenti lagi dan puncak kepalanya ikut tenggelam ke dalam air. Tiba-tiba sebuah tangan besar dan kuat mencengkeram lengannya, menariknya ke tepi. Gadis itu tergagap, menggapai rumput liar yang tumbuh di sepanjang pinggiran sungai. Tangan kekar itu lalu mengangkat dan menggendong tubuhnya. Gadis itu tak mampu membe
Roda mobil bertipe mini truck dengan bak terbuka berputar menginjak rerumputan di area pemancingan di tepi sungai Avon yang mengalir membelah kota Bristol di Inggris. Kota Bristol sendiri adalah kota pelabuhan, karena letaknya tepat di ujung teluk, berbatasan dengan Laut Keltik. Seorang pria berparas tampan, turun dari mini trucknya dengan gagah. Sneakers hitam putihnya menjejak tanah. Mata biru cerahnya seperti warna langit, melenakan siapapun yang memandangnya. Alis dan rambut kecoklatannya tampak berkilau terkena cahaya matahari di awal musim semi ini. Pria itu lalu melangkah ke bagian belakang mobil, membuka terpal yang menutupi bak truk dan menurunkan sekotak besar peralatan pancing. "Hari yang indah," gumamnya dambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya ada dia seorang di tempat ini. "Perfect!" ujarnya lagi. Menyendiri memang sudah menjadi kesukaannya sekarang. Menjauh dari hiruk pikuk manusia dengan segala permasalahannya. Terlebih saat ia harus kehilangan kedua or
Pria itu menghampiri dua orang polisi yang berdiri di depan pintu ruang gawat darurat. "Bagaimana, Sir? Apa anda sudah menemukan identitasnya?""Belum. Kami kesulitan mencari latar belakangnya. Sepertinya dia bukan berasal dari daerah sini," jawab salah seorang polisi. "Andakah yang membantu gadis itu tadi?" tanya polisi lainnya.Pria itu mengangguk dan mengulurkan tangannya, "I'm Brandon! Brandon Abraham Gallagher."Kedua polisi itu membalas jabatan tangan si pria sambil saling berpandangan, kemudian berpaling menatap Brandon lekat."You are Brandon Gallagher? The Brandon Gallagher?"(Brandon Gallagher yang itu?)Pria itu terkekeh, menampakkan lesung pipit di pipi kanannya, "Yes, it's me."Salah satu mata polisi itu membola. Ia kembali menyalami Brandon. "Whooaa, I can't believe we can meet here!" ujarnya antusias."Terima kasih atas sumbangan anda yang tak terkira pada komunitas penegak hukum," sahut polisi lainnya sembari menepuk lengan Brandon."Don't mention it," timpal Brandon m
Kegiatan baru Brandon selama seminggu ini adalah mengunjungi rumah sakit tiap pagi dan pulang di sore harinya. Akan tetapi, hari ini berbeda. Brandon terlihat sibuk mengemas barang yang kebanyakan berasal darinya, seperti kotak kue, termos dan camilan ringan. Dokter Marshall, dokter yang menangani gadis asing itu menyatakan pada Brandon bahwa luka robek di belakang kepala si gadis telah sembuh dan mengering. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang dan harus menjalani kontrol tiap minggu. Tak ada gangguan kesehatan serius meskipun memori si gadis belum kembali. "Aku akan pulang kemana?" tanya gadis itu dengan sorot mata polos. Mengingatkan Brandon akan Kirk, bajing kecil yang ia rawat selama dua bulan terakhir. "Sementara kau akan tinggal di rumah orang tuaku," sahut Brandon menahan tawa. "Apa mereka tidak keberatan?" Gadis itu mengusap hidungnya yang memerah. "Seperti boneka," gumam Brandon tanpa sadar. "Apa?" "Nothing. Ayo!" Brandon buru-buru meraih kursi roda yang sudah disedi
Brandon merasakan seseorang mengusap punggungnya perlahan. Dia menoleh dan mendapati kakaknya sudah berdiri di belakangnya dengan berurai air mata. "Jean? What's wrong?" Brandon memeluk kakaknya erat, berusaha memberikan dukungan. Sementara si gadis yang baru saja memutuskan untuk memberi namanya dirinya sendiri dengan panggilan 'Daisy', beringsut mundur.Baru dua langkah dan telapak tangannya sudah digenggam oleh Jean. Jean menarik tangan gadis itu lalu mengajaknya berpelukan bersama. Aneh dan gemetar, saat lengan Brandon melingkar di pinggangnya, sedang lengan yang lain memeluk kakaknya. "Kami biasa begini, saat orang tua kami masih ada. Kami sering berpelukan bersama," jelas Jean. Setitik rasa nyeri hadir di hati Daisy. Beruntung sekali mereka yang memiliki kenangan. Tak seperti dirinya yang tak mampu mengingat apapun, bahkan dirinya sendiri pun dia tak ingat."Thank you," bisik Jean tepat di telinga Daisy. "For what?" Daisy balas berbisik. "Sudah mengembalikan tawa adikku yan
Brandon dan Daisy duduk berhadapan. Mereka hanya saling memandang tanpa mengucap sepatah kata. Sekali-sekali Brandon memainkan cangkir kopinya sebelum meneguk isinya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu malam. Tapi Daisy masih betah mengamati wajah tampan Brandon. "Aku bingung harus memulai cerita dari mana," Brandon mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di bibir cangkir. "Mulailah dari awal," sahut Daisy ringan. Brandon mendengus kesal, "Tentu saja dari awal, tapi awal yang mana yang harus kuceritakan lebih dulu?" "I don't know! 'Kan kau yang akan bercerita, Brandon?" nada bicara Daisy meninggi, menunjukkan bahwa dia kehilangan kesabaran. "Well ..." Brandon berhenti sejenak, menarik napas panjang lalu membayangkan sesuatu. Wajahnya sedikit mendongak sedangkan matanya menerawang, penuh kekosongan. "I'm an Architect," ujarnya kemudian. "Yeah, you told me before," Daisy memutar bola matanya. "Arsitek freelance, ya kan?" "Begitulah, Daisy. Aku mengikuti kesukaan ayahku. Belia
Camilla Jacobson, gadis cantik bermata abu-abu dengan rambut pirang keemasan, adalah primadona fakultas teknik. Senyumnya yang menawan, karakternya yang ramah dan riang, menawan hati siapa saja yang melihatnya, termasuk seorang Brandon Gallagher. Siang itu, jam makan siang. Brandon sudah memesan beberapa menu makanan dan membawanya dalam nampan bersama Liam. Mereka sedikit kebingungan saat hendak duduk. Pasalnya, seluruh meja kafetaria sudah terisi. Liam berjalan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan seluas lapangan voli itu. Sementara Brandon hanya bersiul dan melangkah tak teratur mengelilingi meja-meja. "Right here, Brandon!" Brandon menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara yang baru saja memanggil namanya. Dia membelalak tak percaya, ternyata gadis itu yang memanggil namanya. Gadis populer yang kecantikannya tak tertandingi di kampus. Liam pun ikut melongo melihatnya. "How did she know your name? (Bagaimana dia bisa tahu namamu)" tanya Liam keheranan. Bran