Share

Manja

Assalamualaikum,

Happy reading semua...

"Hara kapan ujiannya?" Tanya perempuan berusia 40 tahun di depan Ara, yang tidak lain Riska Dwingga–mama Ara.

Ara yang ditanya hanya mengedikan bahu, masih fokus pada kunyahannya "Kurang tau, Ma. Kata guru Hara, satu bulan lagi." Jawabnya setelah menelan kunyahannya.

"Kalau butuh sesuatu telpon Mama atau Papa, ya? Siang nanti Mama sama Papa mau berangkat ke Lamongan. Kita seminggu di sana." Laporan wajib Mama Ara. Selalu begitu, pulang sehari. Pergi berminggu-minggu. Tidakkah ada niat mereka untuk menemani Ara barang sebentar saja?

"Iya." Jawab Hara singkat tanpa minat.

"Hara sudah ambil keputusan belum, yang Papa minta kemarin?" Tanya Riska lagi.

Ara menghentikan makannya, ia menatap orang tuanya serius. "Mama sama Papa pengen banget ya, Hara tinggal di asrama?" Tanya Ara sedikit sinis.

"Iya Sayang, Mama sama Papa pengen kamu punya banyak teman dan juga terlindungi dari pergaulan bebas." Jelas Riska yang tidak melihat perubahan raut wajah anaknya.

Bukan buat nyingkirin Ara, ya? Batin Ara berdecih sedih.

"Hem, nanti Hara pikirkan lagi." Ujarnya dan melanjutkan makan meskipun sudah tidak bernafsu.

"Hara mau oleh-oleh apa?"

Ara menggeleng, dia tidak butuh oleh-oleh. Tapi butuh orang tuanya di sisinya, menjadi sandaran ketika Ara terpuruk dan menjadi pendengar semua cerita Ara. Ara ingin menjadi prioritas, itu saja. Namun hal itu sangat mustahil untuk didapatkan.

"Oke, nanti Mama bawain yang khas aja dari Lamongan." Putus Riska, melihat anaknya tidak pernah meminta oleh-oleh ketika dia dan suaminya pergi.

"Hati-hati di jalan, Ma, Pa. Hara berangkat dulu." Meskipun Ara tidak suka dengan Mama Papanya, Ara masih memiliki sopan santun dengan menyalami kedua tangan mereka sebelum berangkat ke sekolah.

Toh biar bagaimanapun, mereka lah yang membiayai segala apa yang Ara punya saat ini. Mulai dari kehidupan sehari-hari hingga pendidikannya.

"Uang sakunya mau ditambah tidak?" Hendro Dwingga–Papa Ara yang juga seorang pebisnis sukses akhirnya buka suara.

Ara menggeleng, pergi begitu saja. Riska dan Hendro yang melihatnya itu hanya mengedikan bahu ringan, mungkin Ara sedang bad mood.

"Uncle, let's go!" Seru Ara yang sudah berada di dalam mobil. Duduk bersebelahan dengan Jack yang juga menjadi supir.

"Oke." Mobil Rolls Royce berwarna hitam milik Ara melaju meninggalkan pekarangan rumah mewah milik keluarga Dwingga. Menyusuri jalan yang mulai padat pada jam kerja seperti ini.

"Hati-hati di kelas. Rajin belajar, beli jajan kalau lapar." Nasehat wajib Jack ketika Ara hendak turun dari mobil dan menuju ke sekolahnya.

Ara menatap sayang pada Jack–bodyguard kesayangannya yang saat ini masih sibuk membenahi rambut Ara yang berantakan karena tingkah pecicilan Ara di mobil.

"Sudah rapi. Buruan berangkat."

Tersenyum senang Ara memberikan kecupan di kedua pipi Jack, "Cup. Cup. Terima kasih, Uncle. Bye!" Jika sudah bersama Jack, pasti masalah dengan orang tuanya akan terlupakan begitu saja.

"Bye!" Jack tidak menjalankan mobilnya sebelum tubuh Ara menghilang di balik pagar sekolah.

Agenda Jack hari ini bersantai, melanjutkan acara liburnya yang tertunda. Tentunya bukan di rumah Ara ataupun di apartemen. Jack akan bersantai di caffe dekat sekolah Ara.

Agar ketika Ara membutuhkan sesuatu Jack bisa segera menuju lokasi tanpa harus melewati macetnya jalan.

😎

"Kayaknya happy banget nih?" Todong Sasya–sahabat Ara, ketika Ara duduk di bangku sebelahnya.

Senyum Ara semakin lebar, "Pasti dong. Ara." Kelakar Ara sombong.

Sasya berdecih "Siapa? Uncle-mu?" Tebak Sasya, dia cukup tau perihal kehidupan sahabatnya.

Senyum Ara semakin lebar mendengar tebakan Sasya yang tepat sasaran. "Yups. Pastinya dongse." Ah, Jack memang penawar lukanya.

"Uluh-uluh, seorang Sahara sedang jatuh cinta." Goda Sasya lebay sambil mencubit pipi Ara.

"Ish! Gak ya, dia itu My Lovely Uncle. Tapi bukan suka yang begituan." Ara menepis tangan Sasya di pipinya, dia tidak terima jika di bilang suka dengan Jack. Yeah, Ara suka tapi bukan dalam artian lebih, hanya seperti seorang keponakan pada Pamannya.

"Cie, cie, cie. Hihihi." Sasya masih saja menggoda Ara yang semakin cemberut.

"Diem Sya, ada Bu Fatma."

Suasana kelas senyap seketika, mendengar suara ketukan sepatu yang memasuki ruangan berisi 32 siswa-siswi tersebut. Dan pelajaran Matematika pun di mulai.

😋

"Uncle, aku capek!" Keluh Ara menyandarkan kepalanya di atas meja. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Dan Ara baru memulai belajarnya setengah jam yang lalu.

Sedari tadi kerjaannya malah mengeluh, padahal Senin besok dia sudah menghadapi Ujian Satuan Pendidikan atau USP. Dasar pemalas!

Jack yang melihat tingkah Ara menghela napas lelah, sedari dulu Ara memang susah jika berurusan dengan pelajaran. Tapi, apa harus malas setiap saat dan tidak ada usaha?

Jack beranjak dari sofa yang ia duduki menuju tempat Ara belajar–di lantai dekat ranjang Queen size milik Ara.

Cup. "Ayo semangat belajarnya." Jack memberi kecupan di pipi kiri Ara.

"Pusing Uncle." Rengekan Ara malah semakin menjadi, di tambah sekarang tubuhnya sudah berada di pangkuan Jack.

Hah, jika sudah begini pasti susah lepasnya. Harus menunggu Ara tidur dahulu baru bisa lepas. Tapi, Ara harus belajar.

Jack mengelus pipi mulus milik Ara, mengungkapkan betapa sayangnya ia pada gadis manja dan keras kepala di pangkuannya saat ini. "Pusing kenapa hem?"

Mendapat perlakuan sedemikian Ara semakin memeluk erat tubuh Jack. Tidak ingin beranjak dari kehangatan yang dia rasakan saat ini.

"Gak kuat mikir berat." Adunya kelewat manja.

"Sini, Uncle bantu belajar." Bujuk Jack sambil membuka buku pelajaran milik Ara.

Ara berdecak sebal, "males. Mau gini aja. Uncle, elus punggung Ara. Satunya peluk Ara." Ya Tuhan! Ara benar-benar, dan Jack tidak bisa menolaknya.

"Hem? Sudah selesai belajarnya? Kan baru sebentar?" Meskipun bujukan Jack berikan, tapi tak ayal tangannya menuruti perintah Ara. Memeluk dan mengelus punggung gadis 14 tahun ini. Memberikan kasih sayang yang ia punya sepenuhnya pada Ara. Nona Kecilnya.

"Sudah dulu ya, Uncle. Besok lagi, kan ujiannya masih lima hari lagi." Tawar Ara.

Jack menggeleng heran melihat kemalasan Ara. "Tapi janji, ya? Kalau gini lagi Uncle gak mau temenin Ara lagi." Ancam Jack, yang hanya gertak sambal saja sih. Mana berani Jack seperti itu.

Hanya anggukan yang Ara berikan, ia terlalu menikmati setiap sentuhan dan kasih sayang dari Jack. Dan jika Mama Papanya deal agar Ara sekolah berasrama, maka sebentar lagi waktunya untuk bermanja pada Jack. Meskipun tidak ikhlas.

Ara akan mengabadikan setiap moment kebersamaannya bersama Jack. Agar ketika ia rindu, ia bisa mengenangnya.

Keterdiaman dua orang disana membuat kamar berwarna peach milik Ara sunyi, dua orang yang masih tenang dalam posisi berpelukan di atas lantai tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Keduanya terlelap dalam kehangatan tubuh masing-masing.

Hanya detak jarum jam yang mengisi, bahkan suara jangkrik yang biasa terdengar tak nampak malam ini. Seolah seluruh benda di dalam sana ikut hanyut dalam kedamaian antara Ara dan Jack.

😉

"Ma, Pa. Hara mau sekolah berasrama, tapi Hara pilih sendiri." Putus Ara pada akhirnya. Setelah di pikir matang-matang, mungkin ini memang yang terbaik untuknya.

Saat ini mereka sedang merayakan kelulusan Ara di sebuah restoran bergaya Eropa yang setiap hari ramai dengan pengunjung.

Jack tidak ikut, dia sedang ada urusan tersendiri. Meskipun Ara memaksa dan ingin merayakan bersama Jack saja. Dan Jack pun juga sama.

Tapi, apa dayanya yang hanya sebagai babu. Titah tuannya lebih mulia, bukan?

Riska dan Hendro saling tatap. Tidak menyangka putri semata wayangnya mendengarkan apa keamauan mereka.

Meraka tidak bermaksud menjauhkan Hara, hanya saja biarlah Hara berada di asrama dan memiliki teman. Mereka cukup sangsi melihat putrinya tidak pernah bermain layaknya gadis seusianya.

"Benarkah? Baik-baik, nanti Hara pilih saja." Berbinar sorot mata Riska, tanpa peduli perasaan anaknya.

Ara berdecih lirih, sebegitu senangnya kah jika Ara pergi? Kalau memang iya, kenapa dulu mereka melahirkan Ara? Argh, terkadang Ara menyesal lahir di dunia, jika saja tidak ada Mbok Endang dan Uncle Jack yang menemaninya.

"Mama sama Papa seneng ya, kalau Hara pergi?" Santai nada yang keluar dari pertanyaan Ara.

Tapi tidak bagi Hendro dan Riska, mereka mematung dan menghentikan makannya. Bahkan mata Riska sudah berkaca-kaca, tidak menyangka anaknya berkata seperti itu.

Tidak, bukan itu maksud mereka. Mereka hanya ingin Hara tidak salah jalan, dengan pergaulan yang bebas. Apalagi selama dua tahun ke depan, mereka akan menetap di Amerika.

Mereka tidak membawa Hara karena pergaulan yang bebas di sana. Sex pun seperti makanan sehari-hari, tidak ada pembatasnya.

Hendro dan Riska tidak ingin Hara menjadi seperti itu, meskipun mereka bukan orang yang taat agama. Tapi apa salahnya mencegah bukan?

"Ma–maksud Hara apa?" Riska bahkan susah menelan salivanya sendiri, ditatapnya Hara yang masih asyik dengan sepiring nasi gorengnya.

Sedangkan Hendro masih diam, mencerna pertanyaan anaknya. Apakah dia dan istrinya nampak seperti itu?

Hara mengangkat bahunya acuh, "gak tau. Mama sama Papa pikir aja sendiri." Tuhan, bukan Ara ingin durhaka pada Mama Papa Ara. Batin Ara yang sudah menangis.

"Hara, tidak baik bicara seperti pada orang tua." Geram Hendro, melihat mata istrinya berkaca-kaca.

"Salah lagi. Salah lagi. Mama sama Papa pernah didik Hara tidak? Wajarlah anak jadi nakal tanpa didikan orang tuanya." Skakmat.

Bagai tertampar petir, tubuh Riska dan Hendro menegang kaku. Tidak menyangka putri semata wayangnya akan berkata seperti itu.

"Kamu kan tahu Mama sama Papa sibuk. Seharusnya kamu bisa berpikir dewasa, Mama sama Papa kerja juga buat Hara." Jelas Hendro, mencoba membela diri.

Ara meminum es jeruknya yang terasa hambar karena es batunya mencair, "hm. Dan sebenarnya Mama sama Papa juga harus bisa berpikir dewasa juga, kalau Hara bukan hanya butuh uang. Tapi juga kasih sayang. Jangan salahkan Hara suatu hari nanti lupa dengan Mama Papa." Argh! Ara ingin segera menyudahi acara ini.

Tidak ada jawaban, Riska dan Hendro terdiam. Tertampar dengan ucapan Ara. Mungkinkah nantinya akan seperti itu? Tuhan, maafkanlah kami. Batin Hendro. Mungkin dia akan berdiskusi lagi dengan istrinya nanti.

Pembicaraan tidak berlanjut, Riska dan Hendro melanjutkan makan, meskipun nafsu makannya jatuh.

Tidak jauh beda seperti apa yang Ara rasakan. Nafsunya hilang sudah, yang dia ingin ini cepat berakhir dan dia bisa bertemu dengan Jack.

Ara bukan gadis patuh, dirinya kelewat keras bila mengahadapi orang tuanya. Dia tidak terima diacuhkan, diabaikan. Ara ingin orang tuanya, bukan uangnya.

Tuhan, bisakah Kau membaut mereka sadar? Bahwa ada anaknya di sini yang ingin di perhatikan, dan di beri kasih sayang. Batin Ara berdoa.

TBC....

Tanah Merah, 15 September 2021

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status