Share

Setuju

Menyesap rokok di tengah malam tidak menjadikan Jack lebih baik. Dia bukan perokok, hanya saja sesekali jika masalahnya menumpuk maka dia akan menyulutnya.

Seperti halnya malam ini, pikirannya berkelana pada Ara, Nona Kecilnya yang sedang merayakan kelulusannya bersama kedua orangtuanya.

Mungkin hal itu yang dibenci Ara, karena menggagalkan rencana mereka berdua. Rencana yang sudah disusun Ara jauh-jauh hari, mengingat kedua orang tua Ara yang belum kembali dari perjalanan bisnis di Italia.

Tapi bagai kejutan, pagi tadi mereka pulang dan langsung membuat agenda untuk Ara tentunya tanpa ada dirinya. Ah, ia lupa. Siapa lah dirinya?

Tugas dari Tuan Hendro sudah Jack laksanakan dan sekarang tugasnya menunggu rumah megah bergaya Eropa dengan Timur milik keluarga Hendro. Sebenarnya ini juga bisa ia jadikan waktu untuk mengistirahatkan pikirannya.

Tring! Tring!

Dering telepon membuyarkan lamunan Jack, menyesap rokoknya sebentar sebelum membuangnya pada tong sampah.

Bunda calling...

Tumben Bundanya menelpon di malam seperti ini? Ah, Jack lupa, ia sudah seminggu lebih menelpon Bundanya. Anak durhaka!

"Assalamualaikum Bunda." Ah, Jack bukan pria baik-baik pun patuh dengan agama. Hanya saja jika bersama Bundanya, maka Jack akan mencoba menjadi pria baik-baik. Bundanya adalah wanita sholehah yang sangat ia sayangi.

"Wa'alaikumussalam, gimana kabarnya Nak?"

Suara merdu di seberang sana adalah obat tersendiri bagi Jack. Karena hanya beliaulah miliknya saat ini. Dan Jack dengan begitu teganya menyakiti hati lembut milik Bundanya dengan tidak menjalankan perintah agama.

"Baik Bun. Bunda sendiri?" Jack merubah posisi rebahannya menjadi duduk bersandar tembok. Saat ini ia sedang berada di teras depan mansion Dwingga–bersandar pada tiang penyangga yang kokoh dan mewah.

"Alhamdulillah, sehat. Kamu lagi ada kerjaan tidak?"

"Tidak ada Bun, bos dan keluarganya sedang makan malam bersama. Ada apa ya Bun?"

"Tidak apa-apa, cuma kangen aja sama anak laki Bunda, yang lupa pulang ke rumah." Gurau Bunda dengan nada yang pura-pura merajuk.

Jack merasa bersalah, "Maaf Bunda, Jack juga kangen sama Bunda. Nanti Jack usahakan buat ambil libur, terus pulang." Ah, sudah berapa lama Jack tidak pulang? Hem, satu tahun mungkin.

"Iya, Bunda paham. Tapi kalau  minggu depan bisa pulang tidak, ya? Ada hal penting yang mau Bunda sampaikan."

Dahi Jack berkerut bingung, biasanya tidak sampai suruh pulang, lewat telpon bisa. Apa bunda sakit? Tiba-tiba saja Jack merasa khawatir dengan Bundanya. "Ada apa Bun? Bunda sakit? Lambungnya kumat lagi?"

"Hust, tidak ada yang sakit. Bunda sehat jasmani dan rohaninya ini."

Lah terus? "Terus kenapa, Bun?"

"Wes to, pulang dulu baru tau nanti. Tidak ada penolakan pokoknya. Bunda tunggu, kalau ndak bisa izin nanti biar tak izinkan sama bosmu, mereka pasti paham."

"..."

"Ya sudah ya, Bunda sudah ngantuk ini. ,Kamu sehat-sehat di sana. Assalamualaikum."

"Bunda juga sehat-sehat, wa'alaikumussalam."

Hah, apalagi ini. Jack malah pusing memikirkan bagaimana caranya dia bisa mendapatkan izin dari Ara. Kalau Tuan pasti tidak akan masalah, tapi nona kecilnya pasti akan merengek tidak ingin ditinggal.

Selama ini dia hanya bisa pulang ketika lebaran saja. Selebihnya Ara tidak mengizinkan barang sehari saja. Pelit sekali memang. Terkadang ia akan menjadi sangat jengkel jika Ara memonopoli dirinya.

Oke, Jack harus menyiapkan berbagai rayuan manis untuk meminta izin pada Ara. Jack harus pandai meluluhkan hati Ara pastinya harus berhasil, demi bunda.

😁

Cup. "Uncle, bangun!"

Guncangan di bahu serta kecupan-kecupan di pipi membuat Jack terusik dalam tidurnya. Dan oh, jangan lupakan beban berat di tubuhnya. Tapi biarlah, Jack ingin melihat sampai mana gadis ini mengganggunya.

"Uncle, bangun!" Teriaknya. Ara masih belum menyerah dia sungguh butuh bantuan Jack. Tentunya juga merindukan Jack yang semalaman tidak bersamanya. Padahal ia sudah memiliki banyak list untuk dikunjungi bersama Jack ketika merayakan kelulusannya.

Bagaimana Ara bisa sampai kamar Jack? Tentu saja gadis ini melarang Jack mengunci pintu kamar khusus pekerja milik Jack. Jika melanggar tau lah akibatnya dan Jack tidak mau itu terjadi. Gadis ini manja dan keras kepala.

Gigitan panjang Ara berikan pada hidung mancung milik Jack yang membuat empunya melotot terkejut dan spontan membuka matanya.

"Ara, apa yang kamu lakukan?" Geram Jack, sialan pagi-pagi dia sudah di goda gadis kecil.

"Hihihi, ayo Uncle cepat bangun." Paksa Ara lagi ia menarik tangan Jack.

"Turun dulu dari tubuh Uncle." Pasrah Jack akhirnya, walau masih ada sisa kantuk di matanya. Bagaimana tidak, semalam dia baru bisa tidur pukul dua dini hari. Dan sekarang pun masih pagi jam enam pagi.

Ara menggeleng, "No way. Ara suka di sini."

Astaga, Ara suka. Lah apa kabar dengan Jack. Meskipun masih kecil, tapi lekuk tubuh Ara mulai terlihat. Dan itu sedikit mengganggu sisi liar Jack. Bayangkan di pagi hari yang cerah, bangun dengan keadaan toples. Ditambah ada gadis yang menggoda dengan tengkurap di atas tubuhnya. Apa yang kalian rasakan?

"Uncle mau cuci muka dulu, Ara. Mau pakai baju juga."

Ara masih bergeming bahkan sekarang merubah posisi tengkurap menjadi duduk di atas perut Jack. Apa yang hendak Ara lakukan? "Uncle punya tato? Kok Ara baru tau?" Ara mengamati tato yang ada di dada Jack dengan serius.

Jack menggeram kala jari mungil Ara menelusuri tato di dadanya. Jari itu seakan menggoda, bohong jika Jack merasa biasa saja ketika berada dalam posisi ini. Ia laki-laki normal ia selalu kesulitan jika Ara sudah bertingkah demikian.

"Kan Uncle tidak pernah buka baju di depan Ara." Kilah Jack meskipun benar adanya.

Ara mengangguk, tapi tidak menyudahi usapan jarinya pada tato di dada dan lengan Jack.

"Kok gambarnya bunga mawar Uncle?"  Wajah Ara menunduk mengamati tato Jack.

"Mawar memiliki arti yang indah." Jawab Jack asal. Pasalnya tato itu ia buat hanya untuk iseng saja ketika ia merayakan kelulusan SMA nya.

"Di lengan gambarnya gak jelas." Komen Ara ketika menemukan tato yang tidak dia pahami bentuknya di lengan kanan Jack.

Jack tertawa mengejek Ara. "Kamu saja yang tidak tahu seni, haha."

Ara mempoutkan bibirnya sebal, "Besok gambar Ara ya, Uncle. Di sini." Tunjuk Ara pada lengan kiri Jack.

"Kenapa gambar Ara?"

"Kan, Uncle sayang Ara." Jawab Ara dengan wajah polos nan menggemaskan.

Jack tersenyum mendengar jawaban Ara, "Iya kah Uncle sayang Ara?"

Ara mencebik, "Iya. Harus pokoknya, Uncle sayang Ara."

"Hahahaha, iya Uncle sayang Ara."

"Besok gambar, ya?"

Astaga, gadis ini. Memang harus membuat tato dirinya. Lagian Jack tidak ingin menambah koleksi tato di tubuhnya. Bisa habis di babat bunda ini saja diam-diam.

Jack memilih diam sambil mengamati rupa cantik gadis yang masih duduk di perutnya ini. Gadis manja dan keras kepala yang sangat ia sayangi.

"No, tidak boleh buat lagi." Tolaknya dengan senyum geli.

Ah, bibir itu selalu mengerucut jika keinginannya ditolak.

"Uncle pelit!"

Astaga, sejak kapan dirinya pelit?

"Kamu kenapa ke sini? Nanti kalau Mama Papa lihat gimana?" Jack mengalihkan pembicaraan agar mood gadis itu tidak rusak di pagi hari ini. Jack sebenarnya takut ketikan bermesraan seperti ini dengan Ara. Ia takut kepergok bosnya dan ditendang dari rumah ini juga dianggap pedofil.

Eits, tunggu. Bukan bermesraan, tepatnya Ara yang suka menempel dan bermanja pada Jack.

"Mereka sudah pergi tadi pagi-pagi." Jawabnya acuh, kini sebelah wajah Ara sudah berada di ceruk leher Jack. Katanya suruh bangun, tapi malah di timpa seperti ini. Ara, Ara.

"Emang sekarang jam berapa?" Oh, Jack melupakan olahraga paginya.

"Ck, udah jam enam lebih, Uncle." Ara berdecak sebal.

"Ya ampun, ayo bangun. Kita sarapan terus jalan-jalan."

"Nanti Uncle, masih pengen kayak gini." Tolak Ara gadis itu malah mengeratkan pelukannya.

"Kan besok masih bisa."

"Ck, Ara kan mau di asrama, Uncle. Jadi, Ara mau puas-puasin dulu." Ah, Ara jadi sedih mengingat dirinya sebentar lagi pergi.

Jack diam, Nona Kecilnya sudah memutuskan ternyata. Apa ada unsur paksaan? Tuhan, yang pasti dia akan sangat merindukan gadis ini.

"Uncle, bantu Ara pilih sekolahnya, ya? Ara pengen yang banyak ekskulnya."

"He'em, makanya ayo bangun. Kita pilih-pilih sekolahnya sekalian daftar online." Jack merubah posisinya menjadi bersandar kepala ranjang, dengan Ara yang masih seperti koala menemplok erat pada tubuh Jack.

"Emang bisa, Uncle?" Tanya Ara bingung, memangnya bisa daftar online?

Jack tertawa, astaga gadis ini. Selama ini kemana saja, ponsel pintar sudah dia kantongi sejak dulu, tapi masalah seperti itu saja tidak tahu.

"Hahaha, ada Sayang. Masak Ara gak tau sih?" Ejek Jack.

"Ish, kan Ara bukan kepowers."

"Bukan masalah kepowers, berarti Ara ndeso, hahaha."

Plak!

"Uncle, ih!"

"Haha, hihihi."

"Udah ah, ayo cari sekolahnya."

"Oke."

Jack mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, mencari informasi tentang sekolah yang memiliki basis asrama.

Ah, mungkin akan lebih baik jika Ara berada di pesantren, menurut Jack itu lebih baik. Yah, Jack harus memberi pengertian pada Ara.

Dan setelah Ara di asrama, maka Jack juga akan mempelajari ilmu agama yang sudah lama ia tinggalkan. Pasalnya Bundanya adalah seorang guru ngaji salah satu pondok di Malang.

"Uncle...,."

"Hem."

"Udah nemu?"

"Udah."

"Lihat."

"Nanti."

"Pelit."

"Haha."

"Jahat."

"Hahaha."

"Nih, lihat. Gimana menurut Ara?" Jack menunjukkan gambar berisi seluk beluk pesantren.

"Kok kayak gini, Uncle?" Mana Ara tahu sekolah dengan basis pondok pesantren. Yang ia tahu hanya sekolah dengan siswi yang menggunakan jilbab, itupun hanya segelintir saja. Selama ini juga dia tidak pernah menjalankan sholat semenjak Mbok Endang meninggal. Ara lupa bagaimana caranya.

"Ini namanya pondok pesantren, Ara. Di sana kamu bakal dapat banyak ilmu, dari yang umum maupun agama. Ingat, kita di dunia hanya sementara, jadi harus punya bekal cukup untuk kembali menghadap-Nya. Wanita muslim wajib berjilbab, itu yang harus Ara tau." Ah, Jack sudah seperti ustadz saja, padahal dirinya sama saja. Sholat saja bolong-bolong, jika ingat saja.

Ara diam.

"Hem? Gimana?" Semoga Ara mau. Harap Jack.

"Kalau menurut Uncle baik buat Ara, Ara mau." Ya Tuhan, Ara-nya.

Cup. Cup. Cup. Cup. Cup. Cup.

"Uncle sayang Ara."

"Ara juga, hihihi."

Cup. Cup.

Tuhan, biarlah ini menjadi yang terakhir. Karena nanti ketika Ara sudah berada di pesantren maka semua akan berubah.

Batasan-batasan antara dirinya dan Ara akan terlihat dan tidak boleh di langgar. Ara pasti akan belajar itu.

Semoga kelak Ara-nya akan menjadi gadis Sholihah, dan menjadi kebanggaan orang tuanya.

Dan dia pun tidak tahu, setelah ini apa masih bekerja di sini. Yang pasti, Ara tetap menjadi kesayangannya. Kesayangan Jack Marlon.

TBC...

Tanah Merah, 16 September 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status