Accueil / Romansa / My Lover is Cheating / Bab. 3. Dikira Gila, Padahal Iya. Eh?!

Share

Bab. 3. Dikira Gila, Padahal Iya. Eh?!

Auteur: AlphQueen
last update Dernière mise à jour: 2021-05-31 16:09:33

Melupakan perdebatan di dapur, aku dan kedua sahabat somplakers pun hendak memakan hidangan cilok yang dibuat oleh mereka sendiri tadi.  Berharap, asam dari perasan jeruk, manis dari sejumput gula dan pedas dari segenggam cabai rawit mampu membuang resah dan gelisah yang sedang kurasakan saat ini, seperti biasanya.

Perlahan, kuhidu aroma segar dari asap yang masih mengepul dalam mangkuk. Lantas kuaduk cilok yang ditabur daun bawang, selederi, dan sebungkus Tiktuk ini sampai tercampur rata. Membuat air liurku seketika mencair dan hampir saja menetes, kalau saja tak buru-buru kutelan.

“Woah ... seger sangat ini!” celetuk Kho sambil mengunyah cilok. Mata belonya terpejam. Sementara bibir tipisnya bergerak lambat. Mungkin, selain karena sedang menikmati perpaduan rasa di dalamnya, tekstur ciloknya memang sedikit alot. “Cocok banget dimakan anget-anget pas cuaca lagi dingin begini.”

“Serius! Asam, manis dan pedasnya itu pas. Pas ... banget!” timpal Tania sambil menempelkan jempol dan telunjuk di depan bibirnya yang aduhai. Merah dan seksi. Dia juga terpejam. Bibirnya pun sama-sama bergerak lambat.

“Dah biasa makan juga. Biasa aja kali!” timpalku, sebelum mencicip kuah ciloknya dulu. Hm ... seger sih memang. Enak juga. Mantap lagi. Haduh. Paket komplit ini.

Tapi, ya, biasa aja! Nggak perlu lebay!

“Dih! Si Tika.” Tania langsung memutar bola mata, mendelik ke arahku, dengan mulut dipenuhi cilok. “Gue serius. Kali ini, cilok dan bumbunya enak banget tauk. Iya nggak Kho?” tanyanya pada Kho. Lirikannya pun beralih pada Kho.

“Huum!” Sambil menjilati tulang paha ayam, Kho mengangguk-angguk. “Tulangnya juga empuk. Yumi pokoknya.” Ia, bahkan tak melirik aku mau pun Tania saking khusuk dengan rasa nikmat yang dirasanya itu, mungkin.

“Siapa dulu dong yang masak?” timpal Ibu dengan PD-nya begitu muncul dari ruang sebelah. Dari bibirnya terukir seulah senyum. Senyum yang kesongongannya hakiki. “Karena memang sengaja ibu buat enak, biar si Neng nggak galau terus mikirin jodohnya orang.”

Jah, dibahas lagi! Reseknya, dua somplakers pun ikut ngetawain. Kan, bikin aku pen ngunyah mangkok. Eh, bukan-bukan. Ngunyah cilok banyak-banyak maksudnya.

“Malah bengong si Neng. Makan itu ciloknya. Tadi katanya mau cilok.” Ibu, sebelum melangkah entah hendak pergi ke mana mengomentariku. Padahal, aku lagi usaha buat meredam otak yang hampir berasap karena gelak tawa mereka.

“Nanti dulu deh, Bu. Neng ... tiba-tiba pen berak. Nggak kuat ini hampir berojol!” seruku seraya bangkit dari duduk bersila di lantai ruang tamu. Kemudian aku berlari menuju dapur sebelum ditimpuk mangkuk sama dua somplakers.

“Tika ...!” teriak Kho dan Tania, yang kurasa seketika langsung berhenti mengunyah cilok.

Ha-ha.

Emang enak?

***

 Malam pun akhirnya menjelang juga. Dan, yang tersisa hanya tumpukkan piring dan perabot kotor bekas bikin dan makan cilok tadi siang, di wastafel. Membuat aku akhirnya berjibaku sendiri, membersihkannya sambil menyetel musik dangdut, karena Ibu sama sekali nggak mau bantu. Dia bilang, dia mau pergi ke rumah Bibi Cahaya. Entah ada urusan apa, aku tak sempat menanyainya tadi.

Selesai dengan semua perabot dapur, aku cepat-cepat mencuci tangan sampai bersih dari aroma sabun. Lantas bergegas masuk ke kamar, untuk segera meluruskan pinggang yang terasa begitu pegal dan ngilu. Begitu sampai aku langsung melempar tubuh sampai memantul pelan, lalu berbalik ke sisi kiri dan kanan, guna untuk merenggangkan otot-otot. Suara 'krek' dari tulang-tulangku pun seketika terdengar nyaring.

Leganya ...!

Sambil terpejam aku menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan bersamaan dengan keluarnya gas beracun—bagi orang lain yang menciumnya—dari area belakang tubuh. Rasanya luar biasa nikmat, karena selain otot-otot melerai ... perut melilitku pun terasa hilang.

Namun, saat mataku ini hendak terpejam ... suara notifikasi dari benda berteknologi canggih terdengar nyaring. Buru-buru aku meraih ponsel dari dalam saku celana kolor merah muda yang aku pakai.

Pak Dodot? Mau ngapain dia menelepon malam-malam begini? Bukannya besok juga masuk kerja? Ah, dahlah angkat saja, Tik. Kali mau ngasih bonus, setelah dua tahun aku kerja di mini marketnya. Hi-hi.

“Halo, Pak.” Sambil menguap aku menyapanya terlebih dulu. Karena sebenarnya, aku malas untuk mengangkat panggilannya itu.

“Ya, ampun. Lama banget, sih kamu angkat teleponnya.” Pak Dodot langsung mengomel. Dan, itu sudah kuduga. Dia, selain bengis juga jagonya marah-marah.

Ish! Enaknya diapain dia, ya? Diulek bareng cabai, atau disantap baren sambal? Mulutnya itu, loh. Pedes!

“Malah bengong?!” serunya lagi, sampai mengagetkanku.

“Lah ... malah Bapak yang ngomel. Harusnya saya yang marah, Pak. Bapak ngapain coba telepon saya malam-malam begini. Ganggu orang mau tidur aja tauk nggak?” Kantukku pun langsung menghilang, setelah mendengar omelan Pak Bos yang nyaring itu.

“Terserah saya, dong. Saya kan bos. Kamu tuh, kenapa berani ngomel sama bos?” tanyanya, dari seberang telepon. Buru-buru aku menjauhkan ponsel dari telinga. Barangkali si bos masih mau mengomel.

“Diam lagi?” tanyanya, yang sontak membuat aku buru-buru menempelkan ponsel kembali ke telinga. “Kamu dengerin saya nggak, sih, Tik? Wah, jangan-jangan molor kamu!” tuduhnya.

“Oiya-iya, Pak. Saya denger, kok. Mana ada molor. Bapak mau apa emang?”

“Saya cuma mau nanya kunci cadangan. Kamu yang pegang, 'kan?” Kali ini suaranya terdengar kalem. Gitu, dong. Baru cakep bosku. Bukan malah teriak-teriak dah kayak orang kesurupan.

“Hooh. Kenapa emang? Bapak butuh? Kan, Bapak punya juga?” Aku menginterogasinya. Nggak apa-apalah berlagak songong sekali-kali. Mudah-mudahan aja dia nggak marah lagi. Awokawok.

“Bukan!” serunya lantang.

“La, terus buat apa Bapak nanyain kunci?”

Wajahku langsung mengernyit, heran dengan sikap bapak yang satu ini. Sudah mah gangguin orang malam-malam. Ditanya mau apa malah ngomel. Untung bos, tua dan punya anak istri pula. Coba kalau masih mudaan dikit, tak jadiin pacar, dah.

Lumayan, kan ... buat ganti posisi Bian? Ahaha.

“Besok datangnya agak pagian. Ada yang mau nganterin barang soalnya, Tik.”

“Biasa juga datang pagi. Bapak, tuh, yang kalau datang suka telat!” Mulutku keceplosan lagi. Pak Bos pasti langsung ngegas.

“Eh, malah marahin saya kamu. Bos mah biarin datang telat juga. Kalau kamu, baru nggak boleh.”

Nah, kan? Apa kubilang! Ngomel lagi dia.

“Iya-iya. Jam berapa memang datang barangnya?” Padahal, ingin rasanya aku balas mengomel. Lalu, membuat dia bertekuk lutut. Ah ... tapi mana mungkin seorang bos bertekuk lutut sama bawahan. Yang ada, digetok kali palaknya kalau ketahuan selingkuh.

“Pastinya, sih nggak tau saya. Tapi, kamu jangan datang lewat jam tujuh ok?” ucapnya, udah kek bunglon. Berubah mulu. Kadang santui. Kasang ngegas.

“Ok, Pak. Siap laksanakan. Asal jangan lupa aja sama anu.” Tawaku pun hampir pecah saat untuk pertama kali berani menggodanya. Beruntung, aku berhasil menyumpal mulut dengan ujung bantal.

“Anu apaan, Tik? Saya sudah punya istri, ya. Jangan macam-macam kamu.”

“Lah ... otak Bapak ngeres, tuh. Sapuin sana!” timpalku seraya mengucap salam. Lalu buru-buru menutup telepon, agar tak perlu mendengar amukannya terlebih dulu. Padahal, aku cuma mau minta bonus tadi. “Siapa juga yang mau sama laki beristri.”

Tawaku pun akhirnya pecah seketika. Tak kuat menahan lucu di tengah-tengah rasa kesal, tiap kali mengobrol sambil becandain Pak Dodot yang super cerewet itu. Untungnya, dia nggak pernah pandang bulu. Mau sama pelayan kek, sama cleaning servis kek, sama Kang Cihu atau sama Kang Parkir... tetap aja sikapnya baik dan ramah.

Hanya saja, kalau dia marah biasanya meledak. Yang bikin kesalahan seorang, eh ... yang kena marah semua. Kayak kemarin tuh pas si Kho telat datang, omelannya merembet ke mana-mana.

Huh.

“Neng, obatmu habis?” Tiba-tiba Ibu melongo dari ambang pintu. Bibirnya menyengir lebar, sementara alisnya bergerak-gerak. Kenapa coba? Kayak orang cacingan gitu. Eh. Maaf, Bu. Keceplosan.

“Ibu dah pulang? Obat apa, sih?” tanyaku sambil mengangkat kepala, juga kedua sikut menopang tubuh. Ibu masih di tempatnya. Berdiri tegak di ambang pintu kamarku.

“Itu ... barusan ibu lihat ketawa-ketawa sendiri. Kirain habis obat,” timpalnya sambil melengos pergi. Cekikikan pula.

“Astaga! Ibu ...,” teriakku sambil melempar bantal ke arah pintu. Sementara di luar kamar, suara tawa Ibu terdengar semakin nyaring. “Kok tega, sih ngatain anak sendiri?”

Huaaaaa ...

“Tidur, Neng. Berisik! Udah malam ini,” teriak Ibu, entah dari mana. “Nanti dikira gila beneran hayoloh!”

Huaaaaa ... aku mau nangis guling-guling ajalah, Bu. Huaaaa ... Punya Ibu kok ngomongnya sompral? Aku ini nggak gila, Bu. Cuman stres aja gegara ditinggal kawin. Huaaaa


Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • My Lover is Cheating   Bab. 33. Mendadak Dilamar

    “Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”

  • My Lover is Cheating   Bab. 32. Kejutan

    Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia

  • My Lover is Cheating   Bab. 31. Akhirnya Terungkap

    Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa

  • My Lover is Cheating   Bab. 30. Virus Cinta

    Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”

  • My Lover is Cheating   Bab. 29. Bogem Mentah

    Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe

  • My Lover is Cheating   Bab. 28. Hati Bicara Lain

    Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status