Mandi sudah, pake seragam sudah, cantik pun sudah. Kenapa Bian ninggalin aku coba? Eh ... bukan-bukan. Kenapa jadi belok mikirin Bian lagi, sih? Kerja, Tik. Kerja! Ya, Allah. Pak Dodot keluar taring, tahu rasa nanti.
“Ok!” seruku di depan cermin, sembari menilik tubuh dari atas sampai ke bawah sekali lagi. Takut kalau sampai ada yang lupa terpasang. Kerudung atau sepatu gitu misalnya. Kan malu-maluin kalau nanti tiba-tiba ketemu jodoh di jalan.
Iya! Karena kata orang, jodoh itu, kan jorok. Ya, siapa tahu kalau jodohku emang masih keliaran di jalan. Atau mungkin, jodohku itu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Secara, jalan menuju rumah ini kan banyak belokannya. Awokawok.
Selesai dengan urusan perdandanan, buru-buru kuraih tas selendang yang menggantung di samping meja rias. Lalu aku melesat keluar kamar untuk memanasi si Monic terlebih dulu. Kuda Besiku itu memang manja. Kalau nggak dipanasi, pasti mogok.
Omong-omong soal si Monic, sebenarnya, sudah lama aku mau membeli motor yang baru. Tapi kok nggak tega aja gitu kalau dia dijual. Atau, kalau nggak dijual, aku juga nggak tega saat nanti ngelus-ngelus motor anyar di depan dia. Apalagi setelah sekian tahun dia nemenin aku, jauh sebelum kerja sama Pak Dodot. Perjuangannya nggak ada tanding. Kalau jauh sama Bian pun. Jadi, meski si Monic sering manja, nggak apa-apalah demi menjaga persahabatan antara aku dan dia.
Mungkin, akan ada saatnya nanti aku dan si Monic berpisah, tapi dengan cara yang ia mau sendiri. Bobrok kek, mogok dan nggak bisa dibenerin kek, atau apalah gitu. Baru, aku mau beli yang baru biar dia nggak cemburu.
Karena jam sudah menunjukkan pukul enam lebih, buru-buru aku mendorong kuda besiku ini keluar dengan membiarkan mesinnya menyala. Tak lupa celingukan, mencari Ibu yang tak tampak batang hidungnya sejak aku selesai mandi. Ibu tidak ada di luar. Cucian pun belum berjejer di bentangan jemuran. Itu artinya, Ibu memang belum selesai berjibaku di kamar mandi.
“Berangkat dulu, Bu!” seruku, pada akhirnya.
“Loh-loh. Nggak mau sarapan dulu gitu?” Sambil menjinjing bagian tengah dasternya sampai selutut, Ibu muncul dari ruang tengah. Kedua tangannya basah, bahkan bersabun. Sementara rambutnya yang digelung sudah tak berbentuk lagi, semerawut karena sebagian anak-anak rambutnya terurai begitu saja.
“Nggak, Bu. Disuruh datang pagi-pagi sama Pak Bos,” jawabku sambil tersenyum. Pagi-pagi begini, aku tak boleh memancing jiwa bercanda Ibu yang kadang suka berlebihan. Karena bisa-bisa, candaannya itu akan merusak mood-ku pagi ini.
Jangan sampai!
“Ya, sudah,” kata Ibu seraya membantuku mendorong motor sampai turun ke halaman. “Tapi, jangan sampai kamu pingsan gegara nggak bisa menerima kenyataan, ya?”
“Dih! Apa hubungannya?” Dengan bibir mengerucut, juga kening mengerut, aku menoleh tanpa berhenti dorong si Monic. Padahal, aku sudah bicara selembut mungkin dengan senyum menyungging. Berharap, Ibu tak mengucapkan sesuatu yang akan membuat mood-ku ambyar. Tapi, kenyataannya?
Ah, sudahlah! Mungkin memang sudah nasibku harus begini. Punya Ibu doyan mengolok-olok anak sendiri.
“Kagak ada, sih. Dah-dah sana. Katanya disuruh datang pagi-pagi, 'kan?” ujarnya, sembari tertawa-tawa kecil. Padahal, menurutku, nggak ada yang lucu sama sekali.
“Ya, bentar. Nunggu anget dulu ini si Monic. Kalau mogok kan tambah repot, Bu.” Aku pun balas dengan omelan. Biar saja. Biar Ibu tahu kalau anak anaknya ini memang baperan.
“Oiya.” Ibu pun menyengir sambil memelak pinggang, begitu aku sudah menaiki si Monic. “Ibu tinggal nyuci dulu kalau gitu. Hati-hati ketemu mantan di jalan kamu,” sambungnya tanpa merasa iba sedikit pun.
“Ya, Allah ... Bu. Masih aja dibahas?” Aku pun berteriak. Namun, Ibu yang langsung berlari setelah pamit itu pun seolah tak peduli. Dia benar-benar mengabaikan aku.
Huaaaa
***
Sebenarnya, ibuku itu baiknya nggak ketulungan, salihahnya pun apalagi. Tapi, entah kenapa sikapnya tiba-tiba berubah konyol. Apa-apa bawa si Bian. Apa-apa ngomongin mantan. Apa-apa nyinggung jodohnya orang.
Gimana nggak bikin aku kesel coba?
Padahal, Ibu tahu kalau aku nggak bisa move on dari orang yang menjagaku selama hampir dua tahun lamanya itu. Eh, sekarang malah dibahas terus. Maksudnya apa? Kan, kemarin Ibu sendiri yang nyuruh aku buat menerima kenyataan.
“Bikin gue kepikiran dia terus kan jadinya,” umpatku, sambil menaikkan laju motor. Biar galau, aku nggak mau kalau sampai telat datang ke minimarket. “Untung ada kamu, Mon. Dan emang cuma kamu yang bisa mengerti aku selama ini.”
“Iya, Tik. Aku akan selalu ngertiin kamu!”
“Halah! Apa, sih malah nanya sendiri dijawab sendiri? Dikira gila beneran nanti kamu, Tik ... Tik. Ya Allah Gusti. Gini amat yak rasanya putus cinta. Pait!”
Di sepanjang jalan, aku tak berhenti mengomel. Bahkan merutuk, karena epek dari yang dikatakan Ibu sebelum aku pergi adalah menyimpan rasa kesal dan jengkel di hati. Belum lagi isi pikiran, yang isinya amburadul.
Namun, tiba-tiba, seseorang hampir menyerempet motorku. Entah kalau mungkin, aku yang justru tak hati-hati sampai laju motor menjadi oleng. Yang jelas, jantungku ini langsung berdebar kencang saat menyadari adanya kesalahan.
“Astagfirullah!” seruku, usai menarik rem kuat-kuat sampai membuat aku tersentak dan kepala terantuk setang. “Untung nggak jatuh gue! Astagfirullah.”
“Tika?”
Seseorang memanggil, saat aku baru saja hendak mengangkat wajah untuk meluapkan amarah. Tapi ... Ya, Allah Gusti. Itu suara Bian?
“Maaf. Nggak sengaja barusan,” lanjutnya pelan, begitu aku benar-benar sudah melihat wujudnya yang ... Ya Rabb. Itu anak kenapa masih terlihat tampan aja? Padahal, harusnya, wujud orang yang aku benci serupa hewan.
“Tik, kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, yang khawatir mungkin.
Aku mengerjap, setelah seolah terhipnotis oleh apa yang aku lihat sekarang. Bian, dengan pakaian kemejanya yang selalu rapi itu terlihat begitu tampan. Bahkan, aroma dari tubuhnya masih terasa sama segar. Dia, masih serupa Bian yang aku kenal kemarin. Tak ada yang berubah sedikit pun kecuali perasaannya, barangkali.
Bian pun tersenyum tipis, sangaaat tipis.
Ya Allah Gusti ... jantungku langsung berdebar hebat ini. Tolong karungin dia untukku saja, boleh, 'kan? Jangan biarkan dia menikah dengan wanita lain. Atau, jangan membuatnya menjadi milik siapa pun, kalau aku tak dapat memilikinya.
Dan, melihatnya semakin lama justru membuat wajahku ini terasa begitu panas. Benar-benar panas, sampai deru napas pun kecepatannya mengalahi degup jantung. Dia benar-benar mengingatkanku pada kertas undangan kemarin, juga pada pengkhianatannya yang sudah menghamili wanita lain sejak masih berhubungan denganku.
Pesona yang membuyarkan perasaanku pun berubah menjadi kebencian semakin dalam.
“Kamu pikir, aku nggak kenapa-kenapa begitu? Kamu pikir, aku baik-baik saja, hah?” teriakku pada akhirnya. “Ya, Tuhan.” Aku pun langsung menarik wajah, berpaling dari tatapannya yang terasa menyakitkan. Dia begitu menjijikkan.
Menjijikkan!
“Tik—“
Tak ingin mempertontonkan air mata yang hampir membuncah karenanya ini, buru-buru aku menarik gas tanpa peduli dengan panggilannya barusan, kemudian melesat meninggalkan Bian dengan segala kenangan bersamanya itu di sana. Dan semoga, kenangan-kenangan itu tak lagi ikut ke mana aku pergi.
“Sekarang, penjelasan apa pun tak mungkin bisa menyatukan kita kembali.” Tangisku pun akhirnya pecah. Bahkan, rasanya seperti menyayat-nyayat kulit wajah begitu airnya luruh melintasi pipi.
Dingin dan perih, seperih luka yang ditorehkan olehnya di sini. Di hatiku.
***
Doa Ibu memang benar-benar mujarab. Contohnya tadi, saat aku tiba-tiba ketemu Bian di jalan. Karena apa coba, kalau bukan karena kata-kata Ibu sewaktu aku hendak berangkat kerja?
“Hati-hati ketemu mantan di jalan kamu.”
Halah! Resek, emang. Coba kalau tadi bukan itu yang Ibu bilang. Melainkan “Semoga ketemu jodoh di jalan” Gitu. Kan, aku pasti senang. Bukan kepalang lagi malah, senangnya itu.
“Pagi, Neng geulis,” sapa Kang Cihu, yang menyewa tempat di depan minimarket semenjak dua bulan lalu. “Tumben datangnya pagi banget?” tanyanya SKSD, tepat ketika aku melepas helm.
“Biasa, ada tugas dari Pak Bos. Katanya, ada yang mau ngirim barang,” timpalku, seraya turun dari motor. “Kang Cihu juga tumben udah di sini?”
“Wah, si Neng benar-benar. Saya mah emang tiap jam segini kok datangnya.”
Pemuda di hadapanku itu tertawa kecil, sambil mengelap gerobaknya yang kotor tentu saja. Sebagai pedagang cihu, aku lihat ... kerapian dan kebersihannya bahkan mengalah-ngalahi aku. Pakaian rapi, gerobak bersih, plus wajah berseri. Cocoknya, Kang Cihu ini jadi security. Biar ada jabatannya sedikit gitu.
“Iyakah? Kok, aku nggak pernah lihat, ya? Padahal bukan sekali aku datang sepagi ini,” tanyaku, pura-pura. Padahal, tiap hari juga selalu dia yang lebih dulu ada di sini.
“Terus, Neng anggap apa saya yang setiap pagi ngelap gerobak kotor ini teh?” tanyanya, masih sambil tertawa-tawa kecil di balik gerobaknya itu. Dia memang gemar bercanda. “Orang segede gini kok nggak kelihatan?”
“Haha! Kang Cihu bisa aja bercandanya.” Aku ikut tertawa sambil melangkah cepat ke teras. “Bercanda aja kok tadi. Aku pamit masuk dulu, ya. Selamat bekerja!”
Tak ingin menanggapi celotehnya lagi, aku langsung bergegas membuka kunci begitu dia mengangguk-angguk. Lalu masuk, dan duduk di meja kasir seorang diri. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, aku bahkan sedikit terlambat, tapi orang yang mau mengirim barang tak juga datang.
“Jangan-jangan, Pak Bos ngerjain aku?” gumamku sambil melihat ke sekeliling. Nggak ada yang aneh, sih. “Wah, terlalu kalau sampai iya.” Aku langsung beranjak bangun, lalu berjalan keluar meja kasir. “Untuk memastikannya, Pak Bos kudu ditelepon.”
Tut ... tut ... tut ... Panggilan telepon langsung tersambung. Tapi, “Maaf! Nomor telepon yang Anda tuju sedang selingkuh!” Aku mengikuti apa yang dikatakan operator, dengan memelesetkan kata-kata terakhirnya. “Apa coba, tiba-tiba sok sibuk gini?”
Tut ... tut ... tut ... Panggilan telepon kembali tersambung saat aku mengulangi panggilan. Namun, lagi-lagi Mbak operator yang mengangkatnya. Bukan Pak Bos, atau istrinya Pak Bos.
“Dih?”
Aku pun langsung menjauhkan ponsel dari telinga, saking herannya. Kemudian duduk berjongkok sambil mencari nomor Tania. Namun, belum sempat aku menekan tombol hijau, Kang Cihu mengetuk-ngetuk pintu kaca minimarket.
“Apa, sih?” tanyaku kesal, karena terbawa emosi gara-gara nggak bisa menghubungi Pak Dodot.
“Nggak. Itu, saya cuman mau nanya. Neng geulis lagi ngapain jongkok di situ? Sakit perut, ya? Ke WC atuh sakit perut mah,” ocehnya, benar-benar membuatku kian merasa jengkel. Lebih-lebih, nada suaranya serupa es. Dingin dan seolah merasa tak berdosa. Padahal, aku yakin kalau ia hanya bercanda.
“Kang Cihu apaan, sih? Aku teh nggak lagi sakit perut. Tapi ini ... aku teh lagi nyari harta karun.” Gemas, kubalas saja dia dengan candaan. Tak lupa sambil menarik bibir, memaksa tawa.
“Nyari harta karun, Neng? Serius?” tanyanya, sok polos.
“Ya nggak atuh Kang Cihu. Mana ada harta karun di minimarket. Kang Cihu mabuk?” Aku pun beranjak bangkit, lantas berdiri tegak sembari menautkan kedua tangan di belakang tubuh. Sementara pandangan, aku arahkan pada bujang yang satu ini dengan tatapan sinis.
“Nggak atuh, Neng. Masa saya mau jualan, pake acara mabuk segala?” jawabnya.
“Kenapa atuh pake ngira saya mau berak di sini? Yang benar saja atuh Kang Cihu. Masa saya buang kotoran di sini? Kan saya teh manusia, bukan hewan yang nggak punya otak macam ka ... astagfirullah.” Aku langsung mendengkus saat menyadari ucapan yang tak sepantasnya. “Kan, hampir saja aku keceplosan. Kang Cihu, sih.”
“Lho ... kok, saya sih?” Omong kosongnya lagi. Pakai acara sok polos pula wajahnya.
“Iyalah. Masa harus nyalahin setan? Kan, setan mah ghaib. Nggak kelihatan. Gimana nyalahinnya?”
“Duh, Akang jadi bingung. Ini kenapa jadi bahas setan, ya? Apa nggak marah nanti, setannya?” Ia yang mungkin kehabisan akal itu pun langsung tertawa kikuk. Bahkan sampai menggaruk pelipisnya dengan hanya satu jari.
“Ya, nggak tahu. Tanya aja sendiri sama setannya. Kenapa gitu, kok mau-maunya dibahas?” Aku tetap menahan tawa. Sementara Kamg Cihu sendiri, kemudian mengalah dan memilih untuk pergi.
Nggak tahu dia, kau lagi kesal, jangankan setan aku bawa-bawa. Truk gandeng aku bawa!
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&