Bab. 2. Trio Somplakers
“Ini serius si Bian mau kawin?” tanya Kho. Teman satu pekerjaanku di minimarket milik Pak Dodot itu menggeleng-geleng tak percaya sembari menggosok-gosok rambutnya yang sedikit basah oleh handuk. “Dan ... itu bukan sama lu, Tik? Duh, Gusti. Gue sama Tania baru dapat undangan tadi. Makanya, kita langsung cus kemari buat nanya sama lu langsung.”
Pandangan yang semula ke arahku, Kho alihkan pada Tania yang datang bersamanya di tengah hujan. Ia seolah meminta kebenaran atas pernyataannya barusan. Dan, Tania yang baru saja duduk di sampingku ini pun mengangguk, membenarkan.
“Tul, tuh, Tik. Sumpah, sebenarnya gue nggak percaya! Takutnya, nama lu emang bukan Kartika,” katanya, hampir membuatku tertawa.
Ya, masa iya, namaku bukan Kartika? Di KTP jelas, kok, tulisannya. Meski, fotonya amat sangat menyebalkan. Udah mah tanpa make up, pakai kerudung nyengsol pula. Sampai heran, yang ngambil foto kok nggak ada inisiatif buat benerin kerudungku dulu gitu?
Halah! Kok, jadi bahas foto KTP? Awokawok.
“Iya, Kho.” Pelan suaraku saat menjawab pertanyaannya yang bahkan sudah bisa ditebak, begitu aku tahu bahwa merekalah yang datang bertamu, maka akan bertanya perihal pernikahan Bian. “Kalian nggak salah baca nama pengantin wanitanya, kok. Si Bian emang mo kawin sana cewek lain!”
“Lah, emang lu kapan putus sama si Bian, sih?” selidiknya, seolah tak cukup dengan undangan pernikahan Bian yang katanya sudah mereka terima itu. “Kok, gue sama Tania nggak tahu? Malah, gue pikir lu baik-baik aja sama dia. Iya, nggak, Tan?”
“Hooh!” timpal Tania, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Padahal, aku nggak yakin kalau dia ini serius nyimak. Biasanya pun emang cuman ikutan mangut. Ngarti kagak!
“Dah sebulan kayaknya.”
Masih pelan, karena aku sama sekali tak tertarik untuk menaikkan oktafnya. Apalagi kalau Cuma untuk bahas si mantan, tutup mulut aja mestinya. Namun, aku mana bisa mendiamkan makhluk terbawel di kedua sampingku ini? Kalau nggak dijawab, habis tubuhku diunyeng-unyeng.
“Astaga ... kok lu nggak bilang, sih sama gue?” Kali ini Tania yang berkomentar dengan nada kesalnya yang cetar membahenol. Tumben. Itu artinya, dia memang nyimak. “Tahu gitu kan, si Bian bisa gue unyel-unyel dulu palanya, Tik!” lanjutnya, antusias.
“Iya. Kenapa lu nggak bilang, sih?” tambah si Kho, yang selalu tak sabaran. Rambutnya sudah kembali kering. Sehingga ia, kemudian menyimpan handuk yang baru selesai dipakainya itu di sandaran kursi. Sebelum akhirnya ia buru-buru berbalik ke arahku.
“Karena ... gue pikir dia cuma marah, dan bakal minta balikan lagi.” Kali ini, suaraku terdengar sedikit nyaring saat menjelaskan alasan apa yang membuatku enggan bercerita selain kepada Ibu. “Eh, tahunya ... dia malah menghamili anak orang.”
“What? Apa lu bilang?”
Tania langsung berbalik badan sepenuhnya, lalu menaikkan sebelah kaki ke kursi sampai dirinya bersihadap denganku. Astaga! Bar-bar sekali dia. Namun, belum sempat aku menanggapi keterkejutannya itu, Kho pun melakukan hal sama sampai membuatku yang duduk di tengah-tengah mereka bingung harus melihat ke arah mana. Sakit pula karena terimpit.
“Gue nggak salah denger, 'kan?”
Si Kho mendesak, pake segala menarik-narik tanganku lagi. Padahal, yang harusnya kesel, marah dan sableung kan aku. Kenapa jadi mereka yang riweuh coba? Kebiasaan! Yang dapat lotre siapa, yang ambil hadiahnya siapa. Kan, asem!
“Nggak, kalian nggak salah denger, kok. Orang Bian sendiri yang bilang sama gue minggu kemarin. Makanya, acara pernikahannya itu mendadak banget.”
Sampai di sini, aku tak lagi dapat menahan sesak. Jujur, rasanya itu seperti sedang makan ice cream ... terus, tiba-tiba ice creamnya jatuh karena ketiban bola. Apes! Apes seapes-apesnya. Air mata yang sedari tadi aku tahan pun, sedikit dapat mendobrak pertahanan. Meski aku berhasil kembali menahannya dengan senyum yang aku pasang sekuat mungkin.
Bukan mengapa. Tapi, aku tuh ingat apa yang dipesankan Ibu. Katanya, nangis karena cowok selingkuh enggak banget. Jadi, mulai sekarang, aku bakal ngurang-ngurangin jatah nangis. Biar nanti aja nangisnya, kalau mereka sudah nggak ada.
“Astaga naga ... gue nggak nyangka sumpah.” Tania langsung menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendengkus. “Setahu gue, selama Bian sama lu ... dia alim-alim aja, 'kan? Terus, kok bisa tiba-tiba begitu?” tanyanya, kemudian. Ia menggeleng. Mungkin, saking tak menyangka.
“Lu kaget, Tan?” tanyaku, sambil mengelap ingus yang mulai naik turun gara-gara menahan tangis juga sesak di dada. Terus gue tatap sorot matanya yang tampak penasaran itu.
“Iyalah!” Tania berseru lantang, kesal kurasa. Dia yang semula bersandar itu pun kembali duduk tegak menghadapku. “Gimana nggak kaget gue? Ini si Bian nanem benih di perut orang, Tik. Tuhan!” lanjutnya, dengan nada serius.
“Apalagi gue, Tan! Bayangin aja. Kagetnya, tuh udah kek kesetrum listrik bermuatan tinggi tauk.” Pecah sudah air mata yang sedari mereka datang aku tahan. Lengkap dengan ingus dari kedua idung. “Malah nggak hanya itu. Abis kesetrum, gue berasa ketiban tangga, ketiban genteng, abis itu ketiban gentong aer juga. Bayangin, Ta. Bayangin ...!”
“Ya Allah ... kasihan bener nasib sahabat somplak gue ini. Tolong beri dia ketabahan seluas samudera Ya Allah. Beri dia jodoh yang lebih kaya dari Bian juga Ya Allah,” timpal Tania sambil mengangkat kedua tangan. “Biar nih anak bisa beli genteng sama gentong aer yang jatoh lagi. Ya, nggak, Kho?”
Astaga? Ya, tapi ... Aamiin, deh. Hu hu hu.
“Eh ...,” lanjutnya tiba-tiba. Tania pun menyipit, membuat mata sipitnya itu seperti siput. Eh bukan. Maksudku semakin sipit. Sementara itu, kedua alisnya yang lebat hampir bertaut. “Kata ibu, lu maksa-maksa mau pindah. Seriusan?”
“Maunya, sih, gitu. Tapi—“
“Lu nggak kasihan emang sama kita berdua?” serobot Kho, udah kayak kereta api yang lagi lepas landas. Nyerocos pula. “Awas aja lu kalau ujug-ujug ngilang. Gue ikutin sampai ke alam mimpi ntar.”
“Bujug! Serah-serah lu pada lah. Gue pusing serius. Pen tidur, tapi mata nggak mau merem. Pen jalan, hujannya lebat banget. Pen makan, takut makin gendut. Terus pen—“
“Cari pacar lagi aja coba!” usul Tania sambil menjentikkan jari mungilnya di depan wajahku yang cantik jelita ini. Sampai-sampai, aku tak sempat menyelesaikan ucapan. “Ya ... buat seru-seruan aja gitu,” lanjutnya.
“Nggak. Awas aja kalau kamu begitu Neng!”
Tiba-tiba Ibu pun muncul. Aku lihat, ditangannya ada nampan berisi tiga gelas minuman hangat. Susu jahe, Gaes. Membuat aku, Tania dan Kho seketika terkejut dan mendongak bersamaan. Percis Teletubbies, tapi kurang seorang.
“Lah, Ibu main nyambar aja. Emang, tadi aku sama temen-temen lagi bahas apa coba?” tanyaku, sekalian sambil melap ingus dan air mata. Sedihku ambyar sudah.
“Cari pacar buat seru-seruan. Iya, 'kan? Duh ... kalian ini. Temen lagi galau malah dikasih saran yang nggak-nggak. Gimana, sih?” Sambil menaruh tiga minuman hangat di meja, Ibu ngomel-ngomel. Dah biasa, sih. Tapi, kali ini kelihatan banget wajah marahnya. “Coba pikir. Gimana kalau nanti malah terjadi yang nggak-nggak sama anaknya ibu?” lanjutnya, seraya kembali berdiri tegak dan menatap Kho dan Tania bergantian.
Aku, sih, seneng aja nengok Tania sama si Kho diomelin. Jarang banget soalnya. Dah, biar mereka tahu rasa ajalah! Awokawok.
“Maaf, Bu.” Tania yang tadi tampak garang karena mendengar ulah Bian pun berubah lugu. Ia pun langsung menurunkan sebelah kakinya lagi ke lantai, seraya tertunduk lesu di sana.
“Ok, ibu maafin. Tapi, sebagai hukumannya ... kalian harus bantuin ibu di dapur.”
“Hah?” Kho yang sedari Ibu datang langsung mengunci mulut, seketika menganga sambil mendongak lagi. “Emang, ibu mau bikin apa?” tanyanya.
“Cilok!”
***
Tepat ketika azan Zuhur berkumandang, Kho dan Tania selesai bantuin Ibu membuat cilok di dapur. Sementara aku? Tentu saja cuma ngeliatin mereka berdua, tanpa membantu apa-apa. Ya, iya. Mau ikut bantu juga dilarang kok sama Ibu. Katanya, di dapur sempit. Kagak bakal muat kalau duduk semua.
Bukan nggak bisa juga, tapi memang lagi nggak mau aja mainin sagu. Dan lagi mumpung ada dua sahabat yang mau bantuin Ibu, ongkang-ongkang kaki macam juragan gini kan jarang banget. Lagian, selama hampir dua tahun berteman baik, mereka cuma tahu makan aja. Padahal, bikin ciloknya tuh bikin keringetan. Kening basah, leher basah, ketek juga ikut basah.
Kayak mereka sekarang itulah. Wajah cemong, karena nggak sadar mengelap keringat dengan punggung tangan penuh sagu. Leher basah, karena yang namanya dekat kompor pasti rasanya gerah. Belum lagi kalau hidung tiba-tiba terasa gatal, uh ... rasanya nano-nano, deh. Senano-nano cilok buatan Ibu.
“Gara-gara lu, sih!” Usil, Kho berbisik sambil mencolek wajah Tania dengan tangan berlumur sagu. “Jadi kotor gini, kan kita?” tambahnya, kemudian berdiri. Mereka sudah selesai membulat-bulatkan cilok ternyata.
“Udah, sih. Lagian ... lu doyan juga ciloknya!” timpal Tania, yang juga ikut berdiri. Ia menepuk-nepuk pelan kedua tangannya, sebelum kemudian memelak pinggang sambil menghela napas panjang. Lantas, ia embuskan perlahan.
“Bener tuh kata Tania.” Tanpa memelankan suara, aku menimpali keduanya sambil ikut berdiri juga. Membuat Ibu yang lagi asyik mengolah bumbu cilok langsung berbalik, dengan ulekan masih di tangan.
“Apanya yang bener, Neng?” Ibu bertanya, bersamaan dengan sebelah alisnya yang terangkat.
“Aeh, Ibu. Itu, Bu ... cilok.” Aku menyengir, menggaruk pundak pula walau sebenarnya tak terasa gatal. Ini demi belain si Kho dan Tania. Kan, kasihan juga kalau sampai Ibu tahu, bahwa mereka mau bantuin karena terpaksa. Lebih kasihan lagi kalau ulekan yang Ibu pegang sampai melayang.
“Kenapa sama ciloknya?” tanya Ibu lagi. Kali ini, tangan Ibu kembali mengulek adonan ciloknya lagi.
“Enak, Bu. Ciloknya selalu enak. Gitu. Ya Allah, judes banget, sih. Biasa juga manis. Semanis cendol Kang Ujang Ibu, tuh. Iya, nggak, Gaes?”
“Iyalah!” timpal Kho dan Tania sambil tertawa-tawa kagok. Mungkin, mereka sama takutnya denganku. Karena tak biasanya, Ibu bersikap judes. Biasanya, ibuku itu selalu bersikap manis dan ramah.
“Lah, ibu cuma nanya juga. Mana ada jutek? Kalian aja yang takutnya berlebihan sama ibu. Ya, 'kan?”
Masih mengulek adonan cilok, tapi kepala Ibu menoleh barang sekejap ke arah Kho dan Tania. Kedua somplakers itu pun langsung menyengir. Merasa, mungkin.
“Ya, dah. Kalau gitu, Neng tinggal ke depan dulu, Bu. Kasihan temen-temen kepanasan di dapur.” Aku pun memilih mundur. Dari pada maju, tapi ujung-ujungnya gentar. Awokawok.
“Iya, Bu. Pamit bentar, ya.”
Kho dan Tania pun mengucapkan hal yang sama, bersamaan. Membuat Ibu seketika tertawa pelan sambil mengangguk-angguk. “Tapi, kalian jangan langsung pulang, ya. Selain karena baru azan, kalian juga harus makan ciloknya dulu.”
“Siap, Bu!” Lagi-lagi, Kho dan Tania berkata hal yang sama. Membuat suasana yang tadi sempat menegang, tiba-tiba mencair karena gelak tawa. Mereka akhirnya terlihat sedikit lega.
“Lagian ... mana mungkin aku dan Tania pulang tanpa mencicipi ciloknya dulu, Bu. Bahkan, kalau boleh aku mau minta buat dibawa pulang,” lanjut si Kho. Soal makanan, dia memang yang paling doyan. Apalagi kalau gratisan.
Beuh!
“Ya, sudah. Kalau begitu, kalian sekalian salat dulu aja sana. Terus, doain si Neng biar cepet-cepet move on dari si Bian.”
Ibuku mulai lagi. Padahal, dari tadi nggak ada yang bahas soal si Bian. Eh, malah dibahas juga. Kan, gimana bisa move on?
“Aamiin?” timpal Kho dan Tania, bersamaan lagi. Mereka, sepertinya akan bersekongkol kalau tak segera dipisahkan.
Baiklah! Menjauhkan mereka dari Ibu, seharusnya dimulai dari sekarang.
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&