Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.
Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.
Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.
“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
“Sumpah, si Bos tuh bikin kaget aja tadi. Mana pake acara tuduh-menuduh lagi! Apaan coba?”Sekembalinya beristirahat, Tania merutuk sambil mengunyah makan siangnya. Lalu sesekali menenggak air mineral, karena mungkin nasinya itu susah untuk ditelan. Karena sebenarnya, pas tadi aku masak nasi untuk makan bersama, prosesnya memang terlalu buru-buru. Sampai lupa takaran, berapa banyak air yang harusnya aku masukan.“Dahlah biarin. Ngapain juga dipikirin? Dia kan emang gitu!” Aku pun sama-sama sedang mengunyah nasi. Pelan-pelan, karena nasinya memang terlalu keras. Sekeras hatiku yang masih aja mikirin Bian.“Nah, betul tuh kata si Tika. Lu kayak baru denger Pak Bos ngomel aja!” timpal Kho, yang justru baru selesai makan. Dia memang jagonya kalau soal kunyah-mengunyah. Mau lembek kek, keras kek, nggak pernah sekali pun memprotes siapa yang menanak nasi.“Iya, sih. Tapi tetep aja gue kaget,
Tahu rasanya ada iler malang-melintang di area bibir dan pipi pas bangun tidur? Terus, di depan kalian orang-orang melihat itu. Jangan harap harga diri kalian masih ada di atas bintang kalau sampai itu terjadi, karena nyali saja rasanya ciut untuk bisa bertatap muka dengan mereka lagi.Andai hanya di depan Kho dan Tania, aku tak kan merasa semalu ini. Bodo amat, karena mereka sudah tahu luar dan dalamnya perihal aku. Tapi, kalau sama Pak Dodot dan tiga pegawai prianya yang cakep-cakep ... ambyar, Gaes. Ambyar!Aku bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi setengah jam lalu. Lantas kembali berusaha fokus menyetir motor, untuk sampai di rumah dengan selamat. Sepoi angin kemudian mengelebat, menampar-nampar wajah serta tubuhku sampai terasa lumayan dingin.Merasa dejavu, aku pun ingat akan peristiwa-peristiwa saat berangkat dan pulang kerja bersama Bian. Dingin yang menyergap tubuhku saat ini, hampir tak pernah aku rasakan karena dia selalu menyelimutiku dengan
Diselingkuhin, diputusin, sampai ditinggal kawin pas lagi sayang-sayangnya itu emang bikin frustrasi. Malas ngapa-ngapain, dan bikin aku hampir melakukan tindakan bunuh diri. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain juga rela mati demi orang yang tak peduli?Nanti, yang ada, begitu aku goak-goak gegara ngerasa sakit pas dijemput sama malaikat pencabut nyawa, si Bian malah indehoi semelehoi sama istrinya di malam yang entah ke berapa.Enak di dia, nggak enak di aku, dong? No! Daripada begitu, mending berselancar di dunia literasi yang katanya penuh dengan halusinasi. Banyakin temen, atau pacar sekalian buat happy-happy.“Coba kita lihat sekarang, apa dia ada mengirim pesan?” tanyaku pada diri sendiri, seraya menghidupkan data ponsel.Seperti biasa, begitu data kunyalakan, suara ‘tang-ting-tung-teng-tong’ dengan diiringi getaran langsung meramaikan suasana sepi di dalam kamar. Notifikasi Facebook, notifikasi W
Esok pagi, setelah meminta izin untuk libur bekerja, aku bersiap-siap untuk meluncur ke lokasi di mana ada satu rumah yang kurasa memang cocok untuk ditempati. Selain tempatnya yang nggak jauh-jauh banget dari mini market, harga rumah tersebut terbilang murah. Bahkan, tak sampai mencapai harga jual rumah Ibu kemarin.Seandainya cocok, uang sisa yang dipegang Ibu bisa dibuat modal usaha dulu. Dagang apa gitu, biar Ibu langsung ada kegiatan sebagai warga baru di sana. Pada kenalan kan tuh nantinya? Terus, kalau sudah kenal ... biasanya suka main jodoh-jodohan. Nah, siapa tahu kalau jodohku itu masih nyempil di antara anak-anak mereka? Ho-ho-ho.“Neng ... dah siap belum?”Tiba-tiba, suara Ibu terdengar menggelegar dari luar kamar. Persis sepiker masjid. Aku rasa Ibu sudah tak sabar untuk segera pergi. Secara, Ibu memang hampir tak pernah jalan-jalan, karena selalu saja menolak saat kuajak pergi.Sibuklah, capeklah, panaslah. Dan banyak lagi alasa
Seraya menunggu ibuku salat, aku sempatkan untuk membuka data terlebih dulu. Barangkali, ada Bara yang kelimpungan gegara Facebook-ku nggak aktif-aktif. Apalagi setelah aku nggak sempat balas pesannya yang tadi malam.Benar saja, begitu data tersambung, notifikasi pun ternyata penuh oleh jempol Bara yang mampir di setiap postinganku. Bahkan, foto dan status yang kutunjukkan untuk Bian dia beri love sebagai jejak.Astaga!Aku menggeleng, tak menyangka kalau dia tiba-tiba akan seantusias itu untuk mengetahui tentang diriku. Beralih pada Messenger, pesan Bara pun menjadi satu-satunya yang aku buka.“Kamu nggak suka puisinya? Kok nggak balas, sih? Malah off sepanjang malam, bahkan nggak aktif-aktif saat kucek di pagi hari.“Aku minta maaf kalau memang aku terlalu lancang. Tapi, jujur saja ... tiba-tiba aku merasa nyaman. Apalagi setelah melihat foto-fotomu hampir di sepanjang malam, aku suka.”Suka? Secepat itu? Hanya karena be
Setelah bicara banyak sama Kang Cihu, tiba-tiba Ibu langsung mengajak aku pulang. Sampai tak sempat pamit pada Kho dan Tania, apalagi Pak Dodot. Selain karena mereka sibuk, Ibu benar-benar menyuruhku untuk buru-buru.Entah kenapa, aku tak tahu sampai setibanya di rumah, Ibu langsung membuka kunci dan ladi terbirit-birit ke dalam.“Ibu kenapa, sih?!” teriakku sambil mengunci leher si Monic. Lalu melesat, menyusul Ibu ke dalam.“Ibu kebelet, Neng. Sumpah nggak nahan!” jawabnya, sambil membanting pintu kamar mandi.Astaga! Ternyata cuma karena kebelet? “Kenapa nggak buang air di sana aja? Kan, ada toilet.” Aku memelak pinggang di depan pintu kamar mandi dengan napas terengah. Sesek, kek waktu diputusin pacar.“Malulah. Untung tadi baru kerasa mules biasa. Duh ... leganya.” Ibu mendengkus, diiringi suara kentut.“Ih! Ibu jorok.”Aku bergidik seraya berbalik badan, lalu melesat me
Sesampainya di ruang tamu, aku menggeleng tanpa bisa berhenti senyum. Tingkah laku Bara tetiba berubah lucu, apalagi kalau sudah bicara panjang kali lebar di ruang chat. Rasanya malas untuk berhenti kalau saja tak lagi sibuk begini.“Kenapa kamu? Senyum-senyum sendiri, udah kek orang habis obat.” Ibu yang entah dari mana itu tiba-tiba muncul di hadapanku.“Mulai, deh. Jangan rusak mood-ku kenapa? Lagi senang ini,” kataku seraya mengikat dus dengan tali rapiah. Isinya masih perabot dapur, yang sudah dikemas sejak kemarin.“Ok, Bos!” jawab Ibu sambil tergelak. “BTW, bajumu sudah dikemas semua?”“Sudah, Bu.”“Mobil gimana? Datang jam berapa kira-kira?”“Mungkin jam lima.” Aku mengangguk-angguk, meyakinkannya. “Tapi, tiga mobil kiranya cukup nggak, ya?”“Nggaklah. Tapi nggak apa-apa. Sisanya bisa nyusul. Bukan orang lain ini yang beli rum