Chin Hwa menebar senyuman ramah penuh pesona kepada para awak media itu.“Tuan Song, malam ini Anda datang tidak sendiri,” ujar seorang wartawan, memulai sesi wawancara. “Apakah itu artinya Anda akan segera mengakhiri masa lajang Anda?”Senyuman Chin Hwa semakin lebar mendengar pertanyaan yang sangat menjurus itu. Hatinya mendadak berdebar. Diliriknya Qeiza yang tegak mematung di sebelahnya.Ekspresi gadis itu terlihat datar sehingga menyulitkan dirinya untuk mereka-reka bagaimana perasaan Qeiza sehubungan dengan pertanyaan yang agak tidak mengenakkan itu.“Ah, masalah itu … lihat bagaimana nanti saja,” jawab Chin Hwa. “Sekarang masih terlalu dini untuk mengungkapkan segalanya.”“Sedikit saja, Tuan Song!” pinta jurnalis lainnya. “Setidaknya beri kami sedikit bocoran yang menyenangkan.”Muka Qeiza mulai berubah. Terkurung di tengah gerombolan kuli tinta tak ubahnya bagai terjebak dalam jaring laba-laba. Sulit sekali untuk melepaskan diri.Tatapan tajam Chin Hwa segera menyadari perubaha
Ketika kau tak berniat menemukan cahaya, maka selamanya kau akan terperangkap dalam kegelapan.***“Aku tidak menyangka kamu direktur baru perusahaan M.”“Begitulah.”“Oh My God! Haruskah kita jaga jarak mulai sekarang?”Ansel mengedikkan bahu dengan mimik lucu. Dia juga tidak menyangka kalau pemimpin perusahaan yang menjadi pesaingnya adalah teman semasa kuliahnya dulu.“Sepertinya kamu sudah sangat mengenal Tuan Song dan Nona Kim,” ujar Ansel.Dia mencoba mengorek keterangan tentang kedekatan hubungan Dae Hyun dengan Qeiza dengan cara yang tidak begitu kentara.“Tentu saja,” sahut Dae Hyun. “Kami juga pernah menjadi relasi bisnis.”Dae Hyun melirik Chin Hwa. “Bukan begitu, Tuan Song?”“Benar sekali!” Chin Hwa menyahut singkat.Dae Hyun mengalihkan perhatiannya pada Qeiza. “Ah, Ae Ri … bisa bicara empat mata?”Tanpa menunggu reaksi Qeiza, Dae Hyun menarik lengan wanita itu. Melangkah cepat, keluar dari ballroom.Bias mata Ansel menggelap. Dia tidak suka melihat pemandangan itu. Kalau
“Saat masih anak-anak sampai dia menyelesaikan SMA-nya, kami hidup terpisah,” lanjut Dae Hyun.“Maaf,” ujar Ansel.Dae Hyun menatap sendu pada Qeiza yang sudah duduk di meja yang lain.“Adikku yang malang,” gumam Dae Hyun. “Dia menjadi janda di usia muda.”PFFFT!Ansel menyemburkan minuman yang baru saja disesapnya. Matanya membesar, menatap Qeiza tanpa kedip.“Hanya lelaki bodoh yang menceraikan wanita secantik itu,” makinya.Dae Hyun menoleh pada Ansel. Bibirnya mencebik sinis. 'Dan lelaki itu kamu, Ansel!'Sayang ucapan itu hanya bergema di dalam hati. Tadinya ia ingin memberi pelajaran pada Ansel, tetapi dibatalkannya. Setelah melihat tatapan Ansel yang menyiratkan ketertarikan terhadap Qeiza, ia jadi tergoda untuk menyaksikan drama apa yang akan terjadi selanjutnya.“Ya. Kau benar!” sahut Dae Hyun. “Dia lelaki terbodoh yang pernah ada di muka bumi ini.”Kembali Dae Hyun menyesap sisa minumannya. Dalam sekali tenggak, minuman itu pun habis tak tersisa.“Dia bahkan tidak menyentuh a
Terkadang hewan buruan lebih cerdik daripada pemburu itu sendiri.***Qeiza meninggalkan meja riasnya dengan wajah berbinar cerah. Setelah hampir sebulan penuh dia bekerja bak seorang tawanan dalam penjara ruang kaca milik Ansel, hari ini dia bisa menarik napas dengan lega.Peragaan busana pada akhir pekan dua hari yang lalu itu menjadi garis finish bagi kebersamaannya dengan Ansel. Sekarang dia bisa kembali ke pelukan damai, bekerja di kantor Chin Hwa.Qeiza mematung di depan pintu apartemennya. Sesosok lelaki berdiri membelakanginya. Lelaki itu segera balik badan begitu mendengar suara pintu dibuka.“Hai, Ae Ri!” sapa Ansel sembari mempersembahkan senyuman terbaiknya.BRAK!Refleks Qeiza bergerak mundur dan membanting pintu dengan sangat keras. Hatinya bergetar cemas.“Kenapa dia bisa berada di sini pagi-pagi sekali?” gumamnya. “Dia benar-benar lelaki yang menakutkan!”Qeiza mengintip dari peeping hole, memastikan apakah Ansel masih menunggunya di depan pintu atau sudah pergi meningg
“Aku merasa seperti seorang tahanan yang baru saja mendapat kebebasan,” sahut Qeiza.“Ya ampun!” Mata Chin Hwa terbelalak. “Apa seburuk itu?”Qeiza mulai meraih beberapa sketsa setengah jadi yang pernah digarapnya. Ia melirik sekilas pada Chin Hwa seraya melayangkan senyuman tipis.“Bayangkan saja bagaimana rasanya dipaksa dirawat di rumah sakit jiwa, padahal kau sama sekali tidak gila.”“Hahaha ….” Kekehan tawa Chin Hwa pun pecah. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Ansel mendengar apa yang baru saja kau katakan.”“Kalau begitu, tidak usah dibayangkan,” tukas Qeiza. “Ayo mulai babak baru! Ada yang bisa kulakukan selain berkutat dengan rancangan yang belum jadi ini?”“Ah, tentu saja.” Chin Hwa menyahut cepat.Ia meraih sebuah map dari atas meja kerjanya dan bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendatangi Qeiza.“Lihat ini!” Disodorkannya map itu kepada Qeiza.Manik mata hazel Qeiza membulat ketika membaca isi map yang baru saja diterimanya dari Chin Hwa.“Oh Chun Hei?” gumam
Sampai kapan pun, kebohongan tidak akan pernah berakhir dengan kebahagiaan.***Konsentrasi kerja Qeiza terpecah oleh dering ponsel. Ia melihat gawai yang tergeletak di sudut meja dengan lirikan malas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada desain yang sedang ia garap.Dia pikir mungkin itu hanya panggilan iseng. Selama ini yang sering menghubungi di saat ia sedang sibuk bekerja hanyalah Ansel.Sekarang ia sudah tidak lagi terlibat proyek desain dengan mantan suaminya itu. Jadi, tidak ada alasan bagi lelaki itu untuk terus-terusan mengganggunya.Sialnya, Qeiza tidak bisa mengabaikan panggilan itu lebih lama lagi ketika dering ponselnya semakin melengking nyaring tanpa jeda.Diawali dengan helaan napas berat, Qeiza akhirnya meraih ponselnya. Matanya sedikit menyipit saat mendapati sebuah nomor asing tertera di sana. Namun, ia tidak punya pilihan selain menjawab panggilan itu.Roman muka Qeiza berubah seketika. Dia terlonjak bangkit dari tempat duduknya. Sebelah tangannya bergerak lin
Qeiza tersentak. Mau tidak mau, dia harus mengakui bahwa Ansel memang sudah sangat berjasa dalam hidupnya selama empat tahun berstatus sebagai suaminya. Meskipun tidak pernah menemuinya ataupun berbicara dengannya, Ansel selalu mengirimkan uang untuk biaya hidup dan kuliahnya melalui Xander yang menjadi tangan kanannya.Teringat pada hal tersebut, Qeiza mengembuskan napas kencang. Tidak ada salahnya jika dia sedikit bersimpati pada Ansel. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena lelaki itu tidak sepenuhnya mengabaikan dirinya, walaupun faktanya dia juga tidak pernah menggunakan segala fasilitas yang sediakan Ansel untuknya.Dari tempatnya berbaring, Ansel melayangkan tatapan harap-harap cemas pada Qeiza. Sudut bibirnya sedikit melengkung, membentuk seringai kemenangan. Di sisi lain, relung hatinya berdebar kencang. Dia takut gadis itu akan melarikan diri dari ruangan itu dan dia tidak punya kekuatan untuk mengejarnya.Ansel memejamkan mata. Menghadapkan jiwanya pada Sang Pemilik
Jangan biarkan mimpi buruk masa lalu mengacaukan masa depanmu!***Alih-alih kembali ke kantor, setelah melarikan diri dari rumah sakit, Qeiza malah meminta sang sopir taksi untuk mengantarnya ke tepian Sungai Seine.Dia berjalan di sepanjang tepian Sungai Seine dengan rasa hati tak menentu. Matanya menyapu keindahan puncak menara Eiffel yang terlihat jelas. Berharap pesona menakjubkan itu mampu mengusir segala gundah yang bercokol di dadanya.Sungguh ia tak mengerti mengapa takdir masih ingin terus mempermainkan dirinya. Bertahun-tahun ia bersabar dalam penantian. Memupuk asa bahwa suatu saat Ansel akan membuka hati untuknya sebagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat menonton lelaki itu mengucapkan ijab kabul pada hari pernikahan mereka.Namun, semua penantian itu hanya mengantarnya pada secarik luka. Ketika akhirnya Ansel bersedia mengangkat panggilan teleponnya, yang berdengung di telinganya hanyalah suara manja seorang wanita beserta kecupan mesra.Hati Qeiza hancur ber