TOK! TOK! TOK!
“Siapa?” tanya Ansel dari dalam kamar.Dia sedang merapikan penampilannya di depan cermin. Hari ini dia ada janji akan bertemu dengan kolega bisnisnya untuk membicarakan proyek kerja sama mereka.“Ini aku, Xander.”“Masuk!”Xander masuk ke kamar Ansel segera setelah mendapat izin. Sejenak dia mematung tiga langkah dari Ansel.“Ada apa?” tanya Ansel, melirik Xander dari pantulan cermin. “Kau terlihat gugup."“I–itu ….” Xander menyahut ragu. Membuat alis Ansel bertaut.Namun, tangannya tetap saja bekerja memasang dasi pada leher kemeja putihnya.
“Kau menemukan catatan hitam tentang kolega yang akan kita temui?”Xander melambaikan kedua tangannya. “Tidak. Bukan itu.”“Lalu, kenapa kau terlihat gelisah?”Ansel telah menyelesaikan dandanannya dan berjalan menghampiri Xander. Matanya menyipit ketika dia melihat map di tangan Xander.“Aku mau menyerahkan ini,” ujar Xander, menyodorkan map itu kepada Ansel.“Apa ini?”“Gugatan cerai dari Nona Qeiza.”Mulut Ansel mencebik sinis ketika mendengar Xander menyebut nama Qeiza. Tangannya bergerak, mendorong kembali kertas yang sudah setengah ditariknya keluar dari map itu. Dia pikir ia tidak perlu membacanya lagi. Semua sudah jelas.“Dia sangat pintar mengintai waktu yang tepat!” sindir Ansel. “Atau dia memang sengaja memata-mataiku?”Xander tak menanggapi pertanyaan Ansel. Dia hanya merasa prihatin dengan rumah tangga sahabat sekaligus bosnya itu. Lebih tepatnya, dia merasa kasihan pada Qeiza. Gadis lugu yang menjadi objek kebencian seorang Ansel tanpa sebab yang jelas.“Apa tidak sebaiknya kau temui dia?”“Untuk apa? Ikuti saja permainannya,” sahut Ansel tak acuh. “Hubungi pengacara dan minta dia untuk membereskan semuanya.”“Baiklah.” Xander menyahut lesu.Hati kecilnya sangat menyayangkan Ansel mengambil keputusan segegabah itu.“Kenapa mukamu tertekuk masam begitu?” tanya seorang gadis cantik pada Xander.“Apa sepupuku ini melemparkan bubur panas ke kepalamu?”“Kau tanya saja langsung pada sepupumu yang berkepala batu itu, Edrea!”Edrea mengerutkan kening, melirik sekilas pada wajah kaku Ansel. Disambarnya lengan Xander dan ditariknya menjauh dari Ansel.“Apa semua ini ada hubungannya dengan panggilan telepon kemarin malam?” bisiknya di telinga Xander.Bola mata Xander membesar. Ia yakin Qeiza yang menghubungi Ansel dan lelaki itu telah menggunakan jasa Edrea untuk menyakiti hati Qeiza. Sadis sekali!***Qeiza memandangi cincin kawin yang baru saja dilepasnya. Berulang kali ia membuang napas kencang.“Terima kasih telah menemaniku dalam kehampaan selama empat tahun terakhir ini,” gumamnya, berbicara pada cincin berlian itu seakan-akan cincin itu dapat berbicara layaknya manusia.Sekali lagi ia menyeka bulir bening yang meluruh dari kedua sudut matanya sebelum akhirnya memasukkan cincin pernikahannya ke dalam sebuah kotak kecil dan menyimpannya ke dalam laci nakas di samping tempat tidur.Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Qeiza melirik jam dinding. Berarti sekarang pukul delapan pagi waktu Indonesia bagian Barat.Qeiza meraih ponselnya dan membuka kontak Adnan. Tidak lama terdengar nada sambung disertai sapaan dari seberang sana.“Tolong kirim berkasnya segera setelah kau menyelesaikannya ya,” pinta Qeiza setelah sedikit berbasa-basi.“Ya ampun, kau sungguh tidak sabar,” seloroh Adnan. “Semua butuh proses.”“Faster is better, Adnan!” balas Qeiza. “Aku percaya kau tidak akan membuatku menunggu lama.”“Apa itu sebuah paksaan?”“Terserah bagaimana kau menyimpulkannya. Kau tahu ke mana harus menghubungiku nanti, kan?”“Baiklah. Take care of yourself!” pesan Adnan. “Aku pasti akan sangat merindukanmu.”“Kau bisa mengunjungiku kapan-kapan.”Qeiza menyudahi percakapannya dengan Adnan. Dia tersenyum kecut, memandangi sebuah koper yang sudah tersandar di dekat pintu.Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan