Pikiranku tak lepas dari bayangan Ares. Berkali-kali kuperiksa ponsel. Menunggu balasan dari Aldo, tapi hingga keluar dari tempat billiard, tak ada pesan yang kuterima.
"Kamu tidak senang dengan surprise tadi, By?" Rio terlihat kecewa. "Apa karena tempatnya nggak tepat?" tanyanya kembali."Aku senang, kok. Baru kali ini aku mendapat kejutan seperti ini. Makasih, ya!" Aku berusaha mengembalikan fokus pada cowok yang sedang menyetir di sampingku.Sebuah boneka beruang yang cukup besar hadiah dari Rio, kini berada di pelukanku. Membantu meredam rasa dingin dari pendingin udara di dalam mobil."Tapi wajahmu menunjukkan sebaliknya," ujarnya menoleh sekilas padaku."Aku lagi khawatir. Aldo mengabarkan kalau Ares masuk rumah sakit." Akhirnya kuutarakan apa yang menyebabkanku gundah.Kulihat rahang Rio mengeras, "Kamu masih mikirin dia, ternyata," ucapnMemasuki bangunan rumah sakit, perasaanku makin tak menentu. Tiba-tiba saja ragu menyerang. Langkahku terhenti di depan pintu kamar tempat Ares dirawat. Bau menusuk khas rumah sakit membuatku mual.Jika bukan karena Ares, aku tidak akan melangkahkan kakiku memasuki gedung ini. Rumah sakit selalu mengingatkanku pada kedua orangtuaku. Mengingatkanku akan rasa kecewa atas harapan mereka yang tak pernah mampu kuwujudkan. Membuatku merasa jadi manusia gagal.Aku mengurungkan niat untuk menarik kenop pintu. Menatap ragu pintu kayu yang membatasi jarak antara aku dan Ares. Tiba-tiba saja pintu itu terbuka, dan wajah Aldo muncul dari sana."Eh, udah datang? Sana masuk." Aldo membukakan pintu lebih lebar untukku. Wajahnya terlihat sedikit lelah. Mungkin karena semalam begadang menemani Ares."Aku takut, Do," sahutku lirih, masih tak bergerak dari tempatku berdiri."Memangnya mau masu
I should counting on the blessing I have. So I have no time for complaining about my life. I have thousands reasons to smile, when I stop looking for something that I never have.*****"By, kerjaan kamu masih lama nggak kelarnya? Kita jadi nonton?"Aku mengalihkan perhatian dari layar laptop. Baru sadar kalau Rio masih ada di kamar. Sedari tadi sibuk menguak-atik desain yang akan diserahkan ke Kang Dadan membuatku lupa akan keberadaan cowok itu."Masih agak lama, sih ... tapi ayo aja kalau mau nonton, aku butuh penyegaran biar dapat ide baru." Aku memutar tubuh menghadap Rio yang tengah berbaring sambil memainkan game consol di belakangku.Rio bangkit ke posisi duduk, menatapku heran. Selama ini aku lebih sering menolak jika Rio mengajak kencan. Kalau pun aku setuju, biasanya setelah dia berusaha mengajakku berkali-kali."Bentar, aku siap-siap dulu.
Warna jingga telah memenuhi langit ketika kami memasuki area mall. Gugusan awan tipis kelabu membuat jingganya terlihat lebih berwarna. Sebenarnya aku tak begitu menyukai senja. Karena ia mengingatkanku akan sebuah kepasrahan. Tak peduli betapa kuatnya sang mentari membakar siang, pada akhirnya dia pasrah untuk takluk pada malam yang menenggelamkan cahayanya. Sama seperti diriku, tak peduli seberapa kuatnya keinginanku untuk terus menggambar, pada akhirnya aku harus pasrah menjadi anak yang disisihkan karena tak dapat mewujudkan harapan kedua orangtuaku."Damn! Keduluan lagi!" Suara Rio menyentakkanku. Meninggalkan kilasan kekecewaan di balik lembayung senja.Sore ini pengunjung mall sepertinya cukup ramai. Terlihat dari tempat parkir yang hampir semuanya terisi penuh. Kulirik wajah Rio, ia terlihat sedikit gusar. Entah putaran keberapa kali yang dia lakukan, masih saja belum ada lahan parkir yang kosong.
Aku mengerjap tak percaya menatap isi dus pemberian Rio. Seperangkat pen tablet seri terbaru. Gadget yang berfungsi sebagai alat untuk menggambar ilustrasi yang nantinya dihubungkan pada komputer. Memang alat yang kuidam-idamkan semenjak beberapa bulan terakhir, untuk menunjang pekerjaanku membuat desain."Halo, By? Kenapa? Kangen, ya?" Terdengar suara Rio terkekeh menyahut dari ujung sambungan telepon setelah tiga kali aku mencoba menghubunginya."Uhm ... ini nggak salah kamu kasih aku hadiah barang mahal gini?" tanyaku mengabaikan candaannya."Itu yang kamu pengen dari kemaren, kan? Apa aku salah beli?" Dia balik bertanya."Iya, tapi ini terlalu berlebihan.""Nggak, kok, By. Itu cuma ....""Maksud aku, kamu masih belum kerja. Beliin aku barang mahal kayak gini, nggak enak sama orangtua kamu.
Menjelang sore, kosan mulai sepi. Tania pergi bersama Bayu—pacarnya. Beberapa penghuni kos yang lain juga tampaknya menghabiskan minggu sore mereka di luar kos. Sepertinya hanya aku penghuni yang tersisa.Rio tadi mengabarkan bahwa dia akan datang ke tempatku sore, karena masih ada rapat koordinasi untuk pelaksanaan Bunkasai yang tinggal dua minggu lagi. Maka aku bebas menggunakan waktu tanpa kehadirannya.Seharian aku berkutat di depan laptop, mencoba pen tablet pemberian Rio. Sambil mendengarkan musik dan turut bernyanyi sesekali. Bahagia yang kurasa tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Benda yang telah kuidam-idamkan semenjak lama kini ada di dalam genggaman.Alat ini memang sangat memudahkanku dalam membuat desain. Rasanya seperti menggambar langsung pada kertas. Bedanya, hasil goresan tanganku langsung bisa muncul di layar laptop. Menghemat waktu dan tenaga, dan hasilnya ju
Setelah selesai makan malam dan mengantarku kembali ke kos, Rio langsung pamit pulang. Tampaknya dia juga sudah lelah seharian mengurus segala persiapan untuk acara Bunkasai. Biasanya, dia masih betah berlama-lama bersamaku meski sudah larut dan kusuruh pulang berkali-kali. Rintik rinai kecil mulai turun ketika dia hendak pergi. Rio bergegas masuk mobil. Aku hanya menatapnya dari pinggiran teras yang berbatasan langsung dengan lapangan parkir."Istirahat, ya, By. Jangan begadang lagi malam ini. Mata kamu udah kayak mata panda," ujarnya sebelum menginjak pedal gas dan mengulas senyum tipis."Hai, wakatta. Arigatou Rio-kun. Ja mata ashita.*" Aku menjawab dengan gaya sok imut, menirukan para cewek Jepang berbicara."Ha-ha, sudah mulai berani ngegodain, ya!" kekehnya, kemudian melambai dan melajuk
Aku baru saja hendak beranjak meninggalkan area panggung biru, ketika tanganku ditarik seseorang. Tanpa melihatnya, aku sudah tau tangan milik siapa."Res?" Aku berbalik menatap si pemilik tangan."Li, ngobrol sebentar, yuk!" Ares melepaskan genggamannya. Ekspresinya sesantai biasa. Tak terlihat canggung meski sudah lama kami tidak saling bicara.Hatiku membuncah bahagia, demi mendengar dia berbicara kembali denganku. Sudah hampir satu bulan dari terakhir kali aku berbicara dan bertatap muka dengannya. Tak pernah menyangka akan kembali mendengarnya memanggil namaku.Aku menjawab dengan anggukan. Ares mengajakku menepi dari hingarnya panggung biru, menuju selasar gedung yang menghadap taman. Dia duduk di salah satu bangku, menepuk sisinya yang kosong sambil menatapku dengan seulas senyum. Aku duduk perlahan di sampingnya, tak mau melepaskan tatapan dari
Sesuai rencana, hari ini aku bersiap menemui Kak Daren. Dia mengabarkan bahwa kereta yang ia tumpangi akan sampai di Bandung pukul dua siang. Rio sudah datang dari pagi ke tempatku. Seperti biasa, mengajak sarapan bersama dan merecokiku yang masih berkutat dengan beberapa desain yang masih belum beres."By, Kakakmu orangnya gimana?" tanya Rio tiba-tiba.Aku menghentikan kegiatanku, berbalik menghadapnya. Memikirkan kata yang tepat untuk menggambarkan Kak Daren."Uhm, standar kebanyakan anak FK, lah ya. Nggak terlalu banyak ngomong. Ngomongnya juga agak kaku. Ntar lihat sendiri, deh."Rio tercenung."Kira-kira aku bisa nyambung sama kakak kamu, nggak?" tanyanya kembali."Nggak nyambung juga nggak apa-apa. Aku aja susah nyambungnya," kekehku kembali menatap bayanganku di cermin."Tapi kok Ares bisa?" Pertanyaannya sontak membuatku membeku. Perlahan aku k