Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.
******
Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku menyusut hidung yang mulai terasa berat menghirup udara. Menyeka airmata yang mengaburkan pandangan dengan punggung tangan. Menatap dengan perasaan teriris setiap lembar hasil goresan tanganku dilahap api yang menyala di dalam drum bekas."Lo lagi ngapain bakar-bakar malam-malam, Beb?" sapa sebuah suara merdu bagai alunan lagu."Aku mau move-on, Ta," sahutku lirih dengan suara sengau."Eh itu sketsa wajah si Ares? Kok lo bakar?" cecar Tania sahabat satu kosanku setengah berteriak."Udah ngga guna." Aku menyahut sambil terus memasukkan lembaran sketsa cowok berwajah seksi itu satu persatu ke dalam drum. Setiap satu lembar yang kulemparkan ke dalam api, setiap itu pula ada yang terasa ditarik dari hatiku."Eh, pelet si Ares dah habis ya?" Tania menanggapi dengan kekehan geli. Mengabaikan wajahku yang sembab karena seharian menangis. "Ya sudah, sini gue bantu." Gadis berparas ayu itu me
Aku kembali ke kamar setelah semua sketsa Ares menjelma jadi jelaga. Tak ada lagi yang bersisa. Namun entah kenapa masih saja ada sesak yang kurasa mengganjal."Nih, diminum dulu. Terus ini kompresan buat mata lo," ujar Tania menyerahkan segelas teh lemon hangat dan eye pad gel ke tanganku. "Lo udah makan?" kembali dia bertanya sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih."Sudah.""Makan apa?" selidiknya seakan tak percaya dengan jawabanku."Tadi Aldo datang bawa kwetiaw.""Oh, ya sudah. Istirahat kalau bisa." Tania berlalu meninggalkanku seorang diri di kamar."Ta!" Aku mencegatnya sebelum gadis itu menutup pintu."Uhm? Kenapa?" Mojang Kuningan berparas kemayu itu melongokkan kembali kepalanya di antara celah pintu yang hampir ditutup."Kayaknya aku cerita sekarang aja, deh. Kamu udah mau tidur?" tanyaku r
Keesokan harinya, Aldo menjemputku ke tempat bimbingan belajar bersama Ares. Gaya Ares masih sama dengan pertama kali aku mengenalnya, cuek. Siang itu dia memakai jaket jeans belel dengan kaus oblong longgar di baliknya. Rambut bagian poni pun masih seperti kuingat, agak gondrong berantakan. Bedanya, dia terlihat lebih tinggi."Hai, Li. Ketemu lagi," sapanya dengan cengiran lebar."Hai ...." balasku kikuk."Yuk ah, cabs udah laper," ajaknya sambil mengusap perut.Tanpa banyak basa-basi, aku, Aldo dan Ares meninggalkan gedung bimbingan belajar. Menyusuri jalan Juanda ke arah Gasibu. Aku berboncengan dengan Aldo, sementara Ares sendirian mengendarai skuter tuanya.Tempat makan pilihan kedua cowok itu di sebuah rumah makan dengan gaya prasmanan."Di sini restoran all you can eat dengan kearifan lokal," terang Ares sambil meny
Aku dan Ares berpisah di gerbang utama kampus tempat ujian seleksi dilaksanakan. Cowok itu kebagian gedung di bagian Utara kampus, sementara aku di gedung bagian Timur."Ntar kalau sudah beres, tunggu di gedung lo aja, Li. Biar gue jemput ke sana," ujarnya ketika hendak berpisah."Okay, thanks, Res."Cowok itu berlalu dari hadapanku dengan langkah panjang dan tak menoleh lagi. Aku pun beranjak ke gedungku. Bimbang tiba-tiba saja menyelubungi. Apakah aku berani menjalani konsekuensi, apabila nanti lulus di jurusan yang bukan pilihan orangtuaku?Perang batin terjadi. Antara keinginan menjadi anak yang patuh atau menjadi anak yang pemberontak. Di tengah perdebatan batin dan kepala yang kembali terasa berat, ponselku berbunyi. Panggilan dari Mama."Halo, Ma.""Sudah enggak perlu doa Mama lagi sekarang?" cecar Mama dari seberang sambungan. "Hari ini kamu ujian, kan? K
Pada saat itu aku berada pada titik kultimasi rasa kecewa, marah dan sedih. Marah pada Tuhan, marah pada kedua orangtuaku. Sedih karena merasa diabaikan dan tak mempunyai tempat untuk bernaung. Kecewa karena perlakuan tak adil yang kuterima.Setelah Mama menutup telepon, Ares juga menelponku. "Selamat ya, Li! Lolos Sastra Jepang," ucapnya dengan suara penuh semangat.Alih-alih merasa senang, aku hanya diam tak menjawab ucapannya."Li, Lo masih di sana?" Kembali Ares bersuara.Belum sempat menjawab pertanyaannya, panggilannya terputus. Aku melempar begitu saja ponselku ke pojok tempat tidur, kembali menggulung tubuh dengan selimut. Mencoba mencari kenyamanan. Rasanya aku tak ingin melakukan apa-apa hari itu. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Padahal di saat Mama menelepon, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi setelah pembicaraan k
Memasuki tahun perkuliahan baru, aku terpaksa berhenti dari pekerjaanku di kafe. Bukan saja karena jarak yang harus kutempuh dari Jatinangor-Bandung, tetapi karena aku tidak mau mencari masalah lain dengan Kak Daren.Saat itu aku merasa hubunganku dengan Mama sudah sedikit membaik, tidak ingin mencari masalah baru jika Kak Daren memberi laporan macam-macam pada Mama.Kang Hilmi memaklumi permintaanku untuk berhenti bekerja di kafenya. Pada hari terakhir bekerja, Kang Hilmi memanggilku ke kantornya. "Lia, saya lihat kamu sering menggambarkan kalau lagi senggang, apa kamu mau ikut kerja di teman saya?" "Memang kerja apaan, Kang?" Aku balik bertanya ragu-ragu."Dia buka distro, kebetulan studio gambarnya ada di Jatinangor, kalau kamu mau, nanti saya bilang ke dia."Aku tak langsung menjawab. Masih ragu apakah masih bisa keluar bebas jika berada di bawah pe
Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan. Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.