Acara pertemuan keluargaku dan keluarga Kak Nadia berjalan lancar. Membuat suasana hati Papa sehari ini terlihat begitu baik. Tidak ada wajah masam yang biasa ditunjukkannya. Bahkan sampai kami mengantar mereka ke bandara, wajah Papa masih menguarkan aura bahagia.
Bagaimana tidak, mempunyai calon menantu yang cantik dan juga seorang dokter, dari keluarga terpandang. Orangtua mana yang tidak akan bahagia.
Aku dan Kak Arsya baru saja keluar dari tol bandara ketika Rio menelpon."By, kamu dimana?" tanyanya begitu aku menjawab panggilan. "Baru keluar bandara habis nganter Papa.""Sampai kapan di Jakarta?""Rencana besok baru mau pulang. Kenapa?" Aku mengernyit heran. Menoleh sekilas pada Kak Arsya yang tampak ingin tahu dengan percakapanku dan Rio.Aku duduk gelisah di kursi ruang tunggu bandara. Rio terlihat cukup mampu menguasai rasa gugupnya dengan asyik bermain game di ponselnya. Aku juga mencoba berkosentrasi penuh, membuat beberapa sketsa untuk mengalihkan pikiran. Namun, memikirkan reaksi Papa, kembali membuatku tak tenang.Rio memaksa untuk berangkat menemui kedua orangtuaku di kampung hari ini. Dia benar-benar berusaha mewujudkan satu persatu rencana yang telah ia susun. Termasuk menemui orangtuaku untuk mendapatkan restu. Satu hal yang membuatku kehabisan kata-kata, dia benar-benar membawa perlengkapan berkemah. Satu set tenda lipat dan perlengkapannya, ia muat di dalam tas ransel besar."Kamu serius mau bikin tenda di depan rumahku?" Tawaku pecah saat tau isi ransel yang Rio bawa."Iya, buat jaga-jaga kalau Papa kamu nggak mau kasih izin kita menikah," katanya dengan wajah serius tak terpengaruh d
Mama sudah tidak ada di ruang tengah ketika aku kembali masuk. Berjalan pelan ke arah kamarku. Berusaha untuk tidak membuat gaduh. Aku masih belum siap menerima interogasi lanjutan dari Papa malam ini. Badanku terlalu letih. Terlebih lagi sambutan dari Papa yang menyedot habis seluruh tenaga, membuatku ingin cepat-cepat merebahkan tubuh.Aku mengurungkan niat masuk kamar. Kulihat lampu di kamar Buk Rom masih menyala. Perlahan, kuketuk pintu kamarnya yang langsung dibuka."Ibuk belum mau tidur?" tanyaku pada perempuan yang sudah kuanggap seperti pengganti Mama itu. Karena dia telah bekerja di rumah kami semenjak aku masih balita, semua kebutuhanku sehari-hari selama ini pun selalu disiapkan oleh Buk Rom."Belum. Sudah pulang tamunya?" tanyanya melongok ke arah ruang depan."Sudah. Boleh Lia masuk?" tanyaku meminta izin."Ada
Penelitian mengatakan bahwa jatuh cinta bisa menyebabkan perubahan pada fungsi reseptor otak seseorang. Mungkin itu yang tengah terjadi padaku. Biasanya dalam kondisi apapun, aku tidak akan berani mengajak Papa berbicara terlebih dahulu. Sepertinya ini juga efek bahagia karena melihat perjuangan Rio untuk menaklukkan hati Papa agar bisa bersamaku."Pa ... Papa mau ketan sama gorengannya dulu apa mau sarapan yang lain?" Aku kembali memberanikan diri menegur Papa yang tengah serius membaca surat kabar di kursi teras depan.Aku melihat ekspresi terkejut dari wajah Papa. Dia terdiam sepersekian detik sebelum bereaksi."Ketan saja. Sekalian bikinin Papa espresso. Kalau tidak bisa, suruh Buk Rom saja," sahutnya dengan nada datar. Kemudian kembali menekuri surat kabar yang ada di tangannya."Okay, Pa." Aku berg
Pagi ini aku bangun dengan hati yang terasa ringan. Bahkan ajakan Buk Rom untuk shalat di mesjid tak kutolak. Langit masih gelap ketika kami kembali ke rumah. Udara pegunungan yang begitu segar menambah tenangnya suasana hati. Baru kali ini aku benar-benar merasa hidup, setelah sekian belas tahun hidup tertekan."Ah, tidak terasa sebentar lagi Lia akan benar-benar pergi dari rumah," desah Buk Rom tersenyum sendu. "Baru kemarin rasanya Ibuk masih gendong-gendong Lia, kewalahan mengejar Lia yang gesitnya minta ampun. Sekarang sudah mau menikah," kenang perempuan berwajah keibuan itu dengan ujung mata yang basah."Aah ... Ibuk, pagi-pagi sudah bikin melow aja," ujarku sambil menyusut ujung mata dengan mukena yang masih kukenakan."Ibuk ngerasa Lia sudah seperti anak Ibuk. Makanya jadi sedih kalau ingat sebentar lagi Lia benar-benar pergi meninggalkan rumah." Bu
Benar ternyata bahwa rindu itu berat. Sebulan sudah tak bertemu dengan Rio. Mendengar suaranya terkadang menjadi candu. Seperti ada yang kurang jika dia tidak memberi kabar.Papa masih belum mengizinkanku untuk kembali ke Bandung dan melarang untuk bertemu Rio hingga keluarganya datang untuk membicarakan hubungan kami.Menjalin hubungan jarak jauh seperti ini membuatku kehilangan setengah kewarasan. Memikirkan Rio akan berpaling, begitu menghantuiku. Khawatir jika akhirnya dia menyadari bahwa aku tak begitu layak untuk dipertahankan. Segala kekhawatiran itu membuat sikapku uring-uringan setiap kali Rio menelepon. Hal itu sering menyulut pertengkaran di antara kami."By, hari ini aku sibuk meeting buat membenahi manajemen franchise, bukan kelayapan nggak jelas," ujar Rio mengungkapkan alasannya tidak menerima panggilanku seharian. Wajahnya terlihat gusar.
Satu masalah selesai. Lega karena mendapat dukungan dari Rio untuk mengikuti acara mentoring di Jakarta. Lalu ketika teringat harus meminta izin pada Papa mendadak harapanku pupus. Sudah pasti Papa tidak akan mengizinkan jika mengetahui tujuanku pergi ke Jakarta, berkaitan dengan hobi gambarku.Hanya tinggal dua hari lagi menjelang hari daftar ulang peserta mentoring. Aku masih kebingungan memulai percakapan dengan Papa. Setiap kali beliau pulang dari rumah sakit, wajahnya terlihat tidak bersahabat. Sehingga aku selalu mengurungkan niat untuk membicarakannya."Kapan jadinya berangkat, By?" tanya Rio kembali ketika melakukan panggilan video malam ini."Aku belum ngomong sama Papa." Kukatakan pada Rio apa yang menjadi beban pikiranku."Coba kamu tanya aja, mana tau kali ini Papa sudah tidak terlalu saklek kayak dulu," usulnya memberi
"Kalian mau ke Jepang?" tanya Ares duduk di hadapan Rio. Sekilas dia menatapku lalu kembali beralih pada Rio."Iya, mau honeymoon," tekan Rio pada kata terakhir kalimatnya."Oh! Kalian sudah menikah?" Senyum yang tadinya tercetak di bibir Ares seketika sirna. Tatapannya beralih padaku.Jika tak salah menafsirkan tatapan itu, ada kilatan kecewa yang hadir di sana. Namun, untuk apa lagi? Bukankah dia yang dulu menyerah dengan perasaannya terhadapku. Dia yang menyuruhku mencari kebahagiaanku sendiri. Lalu buat apa kecewa itu dia rasakan saat ini?"Bulan depan. Nanti datang, ya, Bro!" Rio menepuk pelan lengan Ares."Wah, bulan depan gue balik ke Jepang. Mungkin bakal menetap sampai beres kuliah," balas Ares dengan ekspresi yang tak dapat kuartikan."Kamu ngelanjutin kuliah di sana?" Tanpa sadar pertanyaan itu terlontar saja dari bibirku."Iya. Gue dapat beasiswa penuh," sahut Ares tersenyum ti
Rindu kali ini makin terasa berat. Bagaimana tidak, bahkan hanya untuk sekedar mengetahui kabar Rio melalui pesan singkat saja, aku tak bisa. Hari ini aku sudah tak sanggup lagi menahan rindu. Satu minggu lagi menjelang hari pernikahan, rasa tak tenang membuatku melanggar aturan. Satu pesan singkat kukirim. Hanya centang satu yang muncul. Hingga sore menjelang, tanda centang tak berubah menjadi dua.Gelisah bolak-balik memeriksa ponsel, tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda Rio membaca pesan dariku. Iseng, kucoba menghubungi nomornya, tidak aktif. Ada perasaan janggal yang kurasa. Tidak biasanya Rio mematikan ponsel seharian seperti ini.Selesai shalat magrib, tanda pesan masuk berbunyi pada ponselku. Berharap itu pesan balasan dari Rio, gegas kubuka aplikasi pesan berwarna hijau itu. Ternyata Mama Yasmin yang mengirim pesan padaku.[Lia, besok bisa berangkat k