Share

Hiburan Malam

Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga.  Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."

Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes.

"Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah.

Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk.

"Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku.

"Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya.

"Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.

Aku hanya manggut-manggut. Mencoba mengusir kembali segala ketakutanku. Berusaha meyakinkan diri, bahwa Agnes tidak akan berbuat macam-macam dan menjerumuskanku pada hal-hal yang tidak baik.

Lift berhenti di lantai sembilan. Kembali Agnes melenggang keluar diikuti ketiga gadis lainnya termasuk aku. Dia berhenti di sebuah pintu yang tak jauh dari lift dan memencet nomor akses pada pintu. Agnes memberi isyarat agar kami menunggu sebentar ketika ia membuka pintu.

"Erik?" Agnes memanggil setengah berteriak.

"Yap, honey aku lagi di kamar mandi." Terdengar sahutan suara cowok dari dalam.

"Aku masuk, ya. Bareng teman-teman," ujar Agnes kembali setengah berteriak.

"Okay. Sebentar lagi aku beres."

Sebuah ruangan bertipe studio menyambut kami.  Ruangan khas cowok dengan beberapa benda bertaburan di ruang depan TV. Di samping kanan pintu masuk terdapat pantry kecil, juga penuh dengan peralatan bekas makan yang belum dibersihkan.

"Sory, ya. Berantakan," seorang cowok berperawakan bak model keluar dari kamar mandi di belakang kami.

"Hei, aku baru liat temanmu yang ini," tunjuk cowok yang bernama Erik itu padaku.

"Oh iya, ini Lia. Teman samping kamarku," sahut Agnes. "Lia, kenalin cowok gue." Agnes merangkul pundakku.

Tidak lama setelah perkenalan dengan Erik, beberapa temannya datang.

"Eh, lo Lia, kan?" sapa seorang cowok.

"Lo udah kenal?" Agnes balik bertanya sebelum aku menjawab.

"Sering liat bareng Ares." Dia menjawab pertanyaan Agnes tanpa memalingkan wajah dariku.

Aku terkesiap mendengar nama itu.

"Jeli juga mata, lo. Padahal, kan biasa Lia nggak dandan," puji Agnes menepuk-nepuk bahu cowok itu.

"Eh, gue Rio," ujarnya menyodorkan tangan, kembali mengabaikan Agnes. Tatapannya masih tak lepas dariku. Membuatku makin merasa risih.

"Lia," sahutku rikuh.

"Ya udah, cabs yuk!" Erik mengajak para tamunya keluar.

"Rio, lo bawa mobil?" tanya Agnes.

"Nggak, gue bareng Egi." Akhirnya tatapan Rio beralih pada Agnes.

"Ya udah, lo bareng Rio aja ya, Li." Agnes menoleh padaku. "Nih, lo bawa mobil gue." Agnes menyerahkan kunci mobil ke tangan Rio dan berlalu keluar unit Erik.

"Yuk!" Rio menarik tanganku, yang langsung kutarik karena tak terbiasa.

"Eh, sorry," ucapnya sambil mengangkat kedua telapak tangannya.

Para gadis berpisah, ikut dengan pasangan masing-masing. Aku dengan Rio di mobil Agnes. Seketika menyesal telah turut bersama mereka. Tak terlintas dalam benakku bahwa mereka akan memisahkan diri seperti saat itu.

"Tumben nggak bareng Ares?" Suara Rio memecah keheningan sedari keluar parkiran apartmen tadi.

"Ya, enggak harus bareng terus, kan? Aku sama dia punya hidup masing-masing," sahutku dingin. Sementara tanganku masih berusaha menutupi bagian paha yang terbuka karena dress yang kukenakan makin tertarik ke atas.

"He-he Iya, sih." Rio melirikku sekilas. "Pakai jaket gue aja buat nutupin, nih." Tiba-tiba cowok itu menyerahkan jaketnya, seakan membaca apa yang membuatku tidak nyaman.

"Thanks."

"Kalau nggak nyaman pakai pakaian seperti itu kenapa maksa make, sih?" kembali Rio bersuara. Kali ini tanpa menoleh padaku. Ada nada kasian yang kutangkap dari nada suaranya.

"Agnes yang memaksa," sahutku jujur.

Rio lalu membelokkan mobil ke sebuah mini market dua puluh empat jam, "Tunggu bentar, ya." cowok itu berlalu meninggalkanku di dalam mobil.

Aku hanya memperhatikannya masuk ke dalam mini market. Selang beberapa saat dia kembali dengan sebuah plastik di tangan.

"Pakai ini aja, biar nggak terlalu kebuka," ujarnya menyerahkan plastik itu padaku, yang ternyata sebuah stocking berwarna hitam.

Tak lantas mengucapkan terima kasih, aku hanya terpana menatap bungkusan itu. Tidak terpikirkan bahwa Rio akan membelikanku benda itu. Rasa asing mendadak memaksa masuk ke hatiku. Entah rasa apa yang tiba-tiba kurasa saat itu.

"Malah bengong, buruan pake, gue tunggu di luar," ujarnya sambil menutup pintu mobil.

Tak pernah terbayangkan rasanya menjadi orang yang awalnya diabaikan, lalu tiba-tiba mendapat perhatian bertubi-tubi dari orang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganku. Terharu, lebih tepatnya yang kurasakan saat itu.

Disaat aku merasa selalu diabaikan oleh keluargaku, aku dipertemukan dengan orang asing yang memberi perhatian yang tidak kudapat itu. Rasanya seperti dikeluarkan dari tempat sampah dan didaur ulang. Aku merasa menjadi pribadi baru.

Rio mengetuk kaca mobil, "Udah belum?" tanyanya dari luar.

Aku menurunkan kaca mobil pada sisi penumpang, "Udah, yuk."

Kami kembali melaju meninggalkan mini market. Aku merasa sedikit nyaman karena bagian kaki sudah tertutup.

"Lo pertama kali ikut clubbing, ya?" tanya Rio masih fokus ke jalan.

"Iya."

Rio hanya manggut-manggut

"Kamu kenal Ares darimana?" rasa penasaran membuatku menghilangkan rasa sungkan terhadapnya.

"Dia teman SMA gue. Jarang-jarang gue liat dia bareng ama cewek. Hebat juga lo bisa deketin dia," ujarnya menatapku sekilas dengan seulas senyum.

"Terus kok kamu tau aku sering bareng dia?"

"Gue, kan, anak FIB juga, gue sering liat lo kok di kampus. Lo aja yang nggak ngeh," kekehnya. "Gitu emang kalau orang lagi jatuh cinta mah, ya. Yang diliat cuma orang yang disayangnya aja. Yang lain butiran debu." Rio tergelak.

Suasana kaku yang kurasa dari awal perjalanan mendadak cair. Aku merasa sifat Rio hampir mirip dengan Ares.  Sehingga  kesulitanku berbaur dengan orang baru menjadi tersingkirkan. Lagi-lagi aku kepikiran cowok cuek itu.

Wajah kecewanya ketika meninggalkan kosku, kembali membuatku merasa bersalah. Bahkan aku juga tidak mau menerima telepon darinya. Rasa bersalah yang berlipat, kemudian disingkirkan egoku, "Suruh siapa jadi orang nyebelin. Bukan pacar tapi ngatur-ngatur."

"Yuk, turun." Suara Rio membuatku terkesiap.

"Eh, udah nyampe?"

"Ngelamun mulu dari tadi," ujarnya dengan tawa ringan.

"Ha-ha, ngantuk sih tepatnya," sahutku sambil membuka pintu mobil.

"Masih siang ini," kekehnya ringan.

Hentakan musik seketika terasa menampar gendang telingaku ketika kami memasuki ruangan kelab. Bau nikotin berpadu aroma minuman dan parfum pengunjung, memenuhi indera penciuman. Lampu laser berwarna-warni menghiasi ruangan yang gelap. Aku merasa seakan memasuki dunia lain.

Itu adalah kali pertamaku menjejakkan kaki di kelab malam. Sesekali terdengar suara sorakan dan teriakan pengunjung. Tumpang tindih dengan musik yang sedang dimainkan Disk Jockey. Rasa tak nyaman dengan keriuhan, membuatku makin gugup.

Rio kembali menarik tanganku. Aku bergeming, membiarkan cowok itu menuntunku berjalan melewati beberapa pengunjung diantara keremangan ruangan. Kesan yang ditunjukkannya selama di perjalanan, membuatku bisa memercayainya.

"Lama banget kalian. Ngapain dulu?" sambut Erik begitu kami sampai di meja.

"Ah, biasa. Kayak yang nggak ngalamin aja," kekeh Rio, kemudian menarikkan sebuah kursi untukku.

"Ciee ...." Agnes dan ketiga gadis lainnya kompak menggoda kami.

"Langsung jadi aja, nih!" Komen Erik.

Aku yang masih belum terlalu akrab dengan mereka hanya bisa tersenyum kikuk. Membiarkan Rio yang membalas godaan teman-temannya yang lain.

Selama berada di sana, aku hanya memperhatikan pengunjung dan teman-temanku yang riuh bercengkrama. Sesekali mereka meninggalkanku turun melantai jika musik yang dimainkan Disk Jockey menarik. Hanya aku dan Rio yang bertahan di meja. Beberapa kali Agnes mengajakku turut melantai, tapi selalu kutolak. Aku tidak terbiasa dan merasa tidak nyaman.

Rasanya ingin pergi dari tempat itu, tapi aku tidak tau hendak kemana.

"Masih mau di sini?" tanya Rio tiba-tiba, seakan memahami perasaan tidak nyamanku.

"Mau nggak mau. Emangnya mau kemana lagi?" tanyaku mengangkat bahu.

"Mau pulang? Biar gue antar," tawarnya.

"Kosanku udah tutup jam segini."

Aku sudah tidak punya pilihan. Bertahan di sana, menunggu mereka selesai bersenang-senang adalah satu-satunya pilihan kendati rasa tak nyaman yang kurasa telah memuncak.

"Terus entar lo nginap di mana?"

"Di tempat Erik bareng Agnes."

Rio tampak berpikir sejenak.

"Kalau nggak, kita ngider aja dulu. Daripada lo nggak nyaman gitu," katanya sambil menjentikan jari.

Aku berpikir sejenak. Menatap Rio sekilas. Merasa cowok itu dapat dipercaya, aku mengangguk menyetujui ajakannya untuk keluar dari ruangan kelab malam tersebut.

Tanpa meminta izin pada yang lain, kami meninggalkan kelab. Perlahan dentuman musik mulai terdengar samar ketika kami telah berada di luar. Aku memenuhi paruku dengan udara segar di luar, dingin menerpa wajahku.

Rio membawaku kembali ke jalan Braga. Meski belum akhir minggu, jalanan itu sudah ramai dipenuhi mobil dengan pelat nomor luar kota. Sepertinya Bandung memang menjadi tujuan  favorit untuk menghabiskan akhir pekan. Tak peduli berapa pun sesaknya, mereka masih saja terus berdatangan.

Proses perkenalan dengan Rio berlanjut di sepanjang perjalanan. Dia yang lebih banyak mengobrol lebih tepatnya. Aku hanya mendengarkannya bercerita. Hingga percakapan kami kembali membahas Ares. Seperti biasa, getaran halus itu kembali hadir ketika nama Ares disebut.

"Jadi lo udah kenal Ares dari SMA juga?" tanya Rio setelah mendengar kisah awal perkenalanku dengan cowok yang menjadi model favorit sketsaku itu.

"Hu-uhm, tapi kenal gitu aja, sih. Nggak kontak-kontakan juga."

"Tapi hebat juga, lo, bisa deketin Ares. Dia terkenal cowok dingin dulu waktu SMA, bahkan pernah dikira ga demen cewek. Ha-ha." Rio terbahak. "Pakai pelet apaan, lo?" tanyanya di sela tawa.

"Apaan, sih!"

Rio hanya menanggapi dengan tawa.

"Makan yuk!" ajak Rio, tiba-tiba membelokkan mobilnya ke salah satu kafe, yang tak lain adalah kafe Kang Hilmi.

"Jangan di sini, deh," tolakku mendadak panik.

"Kenapa?"

"Ares kerja di sini ...."

"Lo takut ke-gap jalan sama cowok lain?" ledeknya.

"Bukan .... eng .... aku nggak nyaman dengan pakaian seperti ini ketemu dia," ujarku beralasan.

"Dia bukan cowok lo, kan?" Rio menatapku curiga.

"Bukan, aku sama Ares nggak ada hubungan seperti itu."

"Nggak perlu takut mikir pendapat dia gimana." Rio bersikeras. "Atau lo emang ada rasa sama dia, makanya takut kelihatan jalan sama cowok lain?" kalimat yang diucapkan Rio seolah menantangku.

"Ng ... nggak, kok." Aku mencoba berkilah.

"Ya sudah kalau nggak ada apa-apa, nggak usah panik. Yuk turun."

Jika kala itu ada pilihan untuk menghilang, aku akan mengambil pilihan itu. Perasaanku kacau. Pertengkaran kami pada siang hari masih belum selesai. Lalu jika aku datang dengan pakaian seperti itu, bersama Rio pula, entah bagaimana reaksi cowok itu.

Namun, ada sisi lain hatiku penasaran mengetahui bagaimana reaksi Ares. Membuatku perlahan membuang rasa cemas. Jika memang Ares tak mempunyai rasa terhadapku, untuk apa aku harus memikirkan perasaannya. Lalu dengan secuil rasa percaya diri, aku mengikuti langkah Rio memasuki bangunan Kafe.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status