Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.
Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh."Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjolkan kelebihan pada wajahku.Aku pun mulai tergiur mengubah penampilan. Meski belum berani seperti Agnes dengan berbagai macam alat kosmetik. Baru sebatas pada pemilihan pakaian.Namun ada seseorang yang tidak menyukai perubahanku, Ares. Pertama kali dia melihatku ke kampus dengan rasa percaya diri yang tinggi, dia mengernyit. Memperhatikan penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki."Lagi mimpi apa, lo?" tanyanya dengan wajah risih."Kenapa?" Aku balik bertanya dengan senyum semringah. Saat akan berangkat ke kampus, aku berharap dia akan menyukai penampilan baruku. Memakai dress warna pastel selutut, rambut kugerai, dan sepatu wegdes lima senti menggantikan sepatu kets yang biasa kupakai. Tas ransel yang biasa kusandang, berganti dengan shopper bag yang lebih memberikan kesan feminim."Kenapa lo jadi ikut-ikutan cewek-cewek itu?" tunjuknya dengan dagu ke arah beberapa cewek di kelas, berkumpul."Aneh, ya?" Rasa percaya diri yang tadi sempat naik, mendadak meluncur turun.Aku berniat mengubah penampilan agar Ares sedikit menyadari bahwa aku menarik. Jika melihat wajahnya saat itu, aku merasa, penampilan baruku tak berguna."Lo lagi naksir seseorang?" bisiknya kemudian ketika dosen telah masuk.Aku mengangguk sambil tersenyum. Ingin melihat reaksinya seperti apa. Seperti biasa, hanya wajah tanpa ekspresi yang kudapat."Lo tau, nggak? Kalau tu cowok naksir lo dengan penampilan seperti ini, gue yakin dia cuma suka kulit luar lo doang." Kembali Ares berbisik.Aku hanya diam. Dalam hati membenarkan apa yang dikatakan Ares. Di sisi lain juga makin penasaran, seperti apa tipe cewek yang dia suka."Nggak usah jadi orang lain buat disukai seseorang, Li," lanjutnya kembali."Padahal kamu juga suka menjadi orang lain," protesku."Menjadi orang lain gimana?" Dia mengernyit serius."Berpura-pura bahagia dan selalu terlihat nggak ada masalah," sahutku ketus."Gue bukan pura-pura bahagia. Lagian juga bukan buat menarik perhatian orang lain. Yang gue lakuin itu agar bisa melihat sisi baik dalam hidup," katanya dengan nada terdengar sinis. "Lo pernah dengar apa yang dikatakan oleh Ernest Hemingway?" tanyanya menatapku tajam.Aku menggeleng."The most paintfull things is losing yourself in the process of loving someone too much, and forgetting that you are special too," (Hal yang paling menyakitkan adalah kehilangan dirimu dalam proses mencintai seseorang, dan lupa bahwa dirimu spesial) ujarnya dengan nada rendah.Lalu aku harus bagaimana, selama ini aku berharap kamu menyukaiku apa adanya, tapi kamu tidak pernah menyadari perasaanku. Aku merutuk dalam hati.
Hari itu Ares terlihat beda dari biasa. Dia lebih banyak diam setelah mengatakan pendapatnya. Lalu sepulang kuliah, dia langsung pergi setelah mengantarkanku ke kosan. Tidak seperti biasa, memaksaku untuk memberi izin agar dia bisa beristirahat sejenak.
Ketakutanku mulai muncul, bagaimana jika Ares mulai menjauh karena perubahanku. Keesokan harinya, aku kembali ke penampilanku semula, kemeja berlengan pendek dengan jeans belel, ransel di pundak serta rambut yang diikat ekor kuda.
"Kenapa jadi balik lagi ke style lama?" Senyum yang sedikit terkesan sinis terpampang di wajahnya.
"Kan, kemarin kamu yang bilang nggak perlu jadi orang lain buat disukai orang.""Lo emang nggak punya pendirian, ya? Apa yang dibilangin orang, diikutin aja.""Kamu lagi kenapa, sih, Res? Semua yang aku lakuin salah aja!" tanyaku sengit, rasanya ingin menangis melihat sikap Ares saat itu."Siapa yang bilang salah? Gue cuma bilang jangan suka ikut-ikutan orang. Lo lagi PMS, ya? Sensi banget."Perdebatan kami terhenti ketika dosen masuk. Kembali aku merasakan sikap Ares yang berbeda dari biasa. Tidak terlalu banyak bicara. Bahkan jadi pelit candaan.Menyadari perubahan Ares seperti itu, aku mulai mempersiapkan hati. Mungkin sudah saatnya tak memupuk harapan apapun bersamanya. Cukup berhenti pada titik menjadi pengagumnya, tidak lebih.Kala itu, setelah jam kuliah berakhir, aku langsung memisahkan diri dari Ares. Janjian dengan Agnes untuk pulang bersama."Lagi berantem sama cowok, lo?" tanya Agnes ketika aku tiba di parkiran gedung fakultasnya."Aku, kan jomblo," kekehku mengusir getir yang hadir."Eh, gue pikir cowok yang sering nganter lo balik itu cowok lo?" Agnes mendelik penasaran."Bukan, cuma temen." Lagi-lagi getir itu makin menggigit."Temen tapi mesra amat," kekehnya. "Ya udah, ntar malam ikut gue aja, yuk!" ajaknya kemudian dengan penuh semangat."Kemana?""Clubbing.""Dugem?" tanyaku memastikan."Iya. Cowok gue open table di salah satu klub di Bandung. Biar rame. Entar gue kenalin sama temen cowok gue deh," bujuknya tersenyum manis.Tak lantas mengiyakan ajakan Agnes. Aku tidak begitu tertarik dengan dunia malam yang penuh gemerlap itu. Namun demi berusaha melepaskan pikiranku terhadap Ares, aku mulai mempertimbangkan ajakan gadis itu.Agnes tak henti-hentinya bercerita di sepanjang perjalanan pulang. Sementara pikiranku masih berputar di sekitar Ares. Ponselku pun tak berhenti bergetar. Kulirik benda itu sekilas, panggilan dari Ares, lalu mengabaikannya. Akhirnya Ares menyerah menghubungiku. Panggilannya berhenti di angka lima belas kali panggilan tak terjawab.Lalu ketika kami sampai di kos, kulihat Ares sudah menunggu di atas skuter tuanya di depan gerbang. Beruntung kaca mobil Agnes cukup gelap, sehingga dia tidak menyadari bahwa aku berada di mobil yang berhenti di sampingnya."Itu cowok lo, kan?" tunjuk Agnes ketika menghentikan mobilnya."Kan udah aku bilang, bukan cowokku." Aku meringis."Oh iya, tapi kayaknya dia nungguin lo, tuh."
"Biarin aja, lagi kesel ama dia," gerutuku, makin membenamkan diri di jok kursi penumpang."Oh, biar gue yang buka gerbang aja kalau gitu. Lo diem aja di sini." Agnes tersenyum dan menepuk pelan bahuku.Aku hanya memperhatikan gadis itu melenggang anggun, dari dalam mobil. Agnes tampak mendekati Ares. Entah apa yang mereka bicarakan. Wajah Ares terlihat kecewa. Setelahnya cowok itu menyalakan skuter dan berlalu dari depan kos."Kamu bilang apa sama Ares?" rasa penasaran membuatku langsung bertanya pada Agnes ketika dia kembali ke mobil."Cuma nanya nyari siapa, terus pas dia bilang nyariin lo, gue bilang aja lo lagi nggak mau di ganggu.""Udah?" Aku menatap Agnes tak percaya."Ya ... udah, makanya dia langsung pergi. Emangnya lo ngarep dia bilang apa?" Agnes tersenyum iseng."Ng ... nggak ada siih," sahutku tersenyum kikuk. Aku sedikit berharap dia menyampaikan pesan pada Agnes, sekedar permintaan maaf atau basa-basi."Kecengan lo, ya?" tanya Agnes tersenyum jahil."Ha-ha, enggak juga," tepisku masih mencoba menyimpan sendiri perasaanku terhadap Ares."Ha-ha, nggak usah malu gitu ah! Cakep kok tu cowok, cuma kurang memperhatikan penampilan aja. Make over dikit, bakal jadi idol deh, tuh!" papar Agnes.Cewek yang satu itu memang penglihatannya jeli akan potensi seseorang. Di matanya tidak ada orang jelek, hanya orang yang tidak bisa memunculkan kelebihannya saja.Kesan pertama jika bertemu Agnes, mungkin orang akan menganggapnya cewek angkuh. Karena penampilannya memang bak artis. Namun dibalik penampilannya yang glamor, gadis itu ramah terhadap semua orang.Aku menghempaskan tubuh di kasur ketika sampai di kamar. Berharap siang ini bisa sejenak mengistirahatkan pikiranku dari memikirkan Ares. Namun bayangan wajah kecewanya masih saja tak mau pergi.*****
Suara gedoran di pintu mengagetkanku. Kamar sudah gelap. Lamat-lamat kudengar suara Agnes memanggil dari luar kamar. Tanpa membalas panggilan Agnes, aku bangkit dari tempat tidur. Menyalakan lampu, melirik jam di dinding. Sudah pukul 18.30. Ternyata aku tertidur hampir tiga jam."Gue pikir lo pingsan!" Suara Agnes melengking ketika kubukakan pintu."Kecapean, semalam aku begadang ngurusin kerjaan," sahutku masih dengan mata yang terasa berat."Buruan mandi, bentar lagi berangkat ke Bandung." Agnes mendorong tubuhku kembali ke kamar."Emangnya pergi jam berapa?""Sebelum pagar di gembok, kita udah keluar. Udah buruan sana, ntar abis mandi ke kamar gue," titah gadis itu."Ntar dulu. Ntar kita pulangnya gimana?" Seketika kantukku sirna karena mendengar pernyataan Agnes."Kita nggak balik ke kosan lagi malam ini. Nginep di apartemen cowok gue," terang Agnes."Nggak, deh. Aku nggak enak." Rasa takutku muncul."Udah nyantai aja. Orang biasa pada Nginep di sana kalau abis pulang clubbing, kok.""Tapi, kan aku belum kenal cowokmu," ujarku masih berusaha untuk menolak ajakannya."Ah, elah dibikin ribet. Nanti gue kenalin sama cowok gue, sama teman-temannya yang lain juga. Udah! Buruan sana!"Merasa kalah argumen dengan Agnes akhirnya kuseret langkah ke kamar mandi. Mengenyahkan perasaan was-was yang seketika hadir. Itu adalah kali pertamaku mengenal dunia malam. Antara takut dan bersemangat.Agnes mendadaniku kembali dengan cekatan. Mini dress yang dipilihkannya untukku malam itu. Karena tidak terbiasa dengan pakaian terbuka, aku merasa risih. Berkali-kali kutarik dress diatas lutus itu agar menutupi bagian bawah tubuhku yang terbuka. Meski pada akhirnya, aku menyerah, mencoba membiasakan diri dengan pakaian minim itu.
Lima menit sebelum pintu gerbang kos ditutup, kami keluar. Bukan hanya ada aku, beberapa penghuni kos lain yang turut serta. Sherly, Viona, dan Elsa. Penampilan mereka juga tak kalah glamor.
Seiring melajunya city car Agnes meninggalkan bangunan kos, hatiku makin terasa was-was. Berbagai kekhawatiran membuat udara dingin malam itu tak begitu terasa. Keringat membanjiri tubuhku. Apa yang akan terjadi nanti di klub malam itu? Aku mencoba mereka-reka gambaran klub malam yang akan kami kunjungi. Semakin aku mengingatnya, semakin rasa takut itu membesar.Memasuki tol Cileunyi, aku berusaha membuang jauh segala pikiran burukku. Berharap acara malam itu berjalan baik.Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me
Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke
Aku tersentak mendengar ketukan disertai suara Ares memanggil dari luar kamar. Ternyata aku tertidur setelah semalaman berkutat dengan pikiran tentang cowok yang tengah mengetuk pintu itu."Lo tidur apa pingsan, sih? Dari tadi gue bangunin nggak bangun-bangun," semburnya ketika pintu kubuka."Maaf, aku baru bisa tidur sudah mendekati pagi," ucapku sambil mengucek mata yang masih terasa berat."Ngapain? Kelaperan?""Bukan, karena di tempat baru, aja.""Nih, sarapan. Makan dulu, ntar gue anter balik," ujarnya menyerahkan bungkusan plastik. "Bubur ayam kesukaan lo. Ekstra cakwe seperti biasa," lanjutnya."Makasih, nggak sekalian bikinin teh angetnya?""Eh ngelunjak!" Satu jitakan pelan melayang ke puncak kepalaku."Cih! Nggak sopan banget memperlakukan tamu," gerutuku mengusap kepala bekas jitak
Mobil Rio menepi di depan pagar kos. Tanpa menawarkannya untuk masuk, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu."Lia!" teriaknya ketika aku baru saja hendak menutup pintu pagar."Ya?" Aku berbalik, mengurungkan niat menutup pintu."Boleh minta nomor lo?"Aku menatapnya agak ragu. Aku bukan tipe suka bertukar nomor ponsel jika tidak terlalu dekat dengan seseorang."Buat apa?""Kok buat apa? Apa nggak boleh gue ngontak lo?" tanyanya terlihat heran dengan pertanyaanku."Iya, maksudnya keperluan kamu ngontak aku buat apa?""Masa harus sedetil itu? Emangnya nggak mau jadi teman?""Oh ... i-iya, boleh."Aku menyebutkan nomor ponsel, Rio lalu menelpon memastikan nomor yang kuberikan tidak salah."Save nomor gue, ya," ujarnya melambaikan tan
"Apa nggak sebaiknya nanya sama Ares dulu, Beb?" saran Tania mengusap pelan punggungku. "Gue lebih percaya Ares daripada Rio," imbuhnya.Meski selama ini Tania menganggapku bodoh masih menyukai Ares di saat cowok itu telah menyatakan hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi tak membuat gadis itu serta merta memberi komentar buruk terhadap Ares."Nggak mungkin dia akan mengakui, Ta!" sahutku dengan suara sengau."Ya kalau dia nggak mau ngakuin, paling nggak, dia tau alasan lo buat menghindarinya.""Nggak, ah! Biarin aku jaga jarak aja sama dia. Kalau udah ketemu dia, ntar hatiku lemah lagi." Aku kembali terisak."Ye, gimana nggak bakal ketemu, kalian ngambil mata kuliah bareng, ya bakal ketemu terus. Nggak enak dong dari yang biasa dekat banget, tiba-tiba menjauh."Aku bersikeras akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Rio padaku. Ti
Aku beralih menatap Rio setelah Ares pergi. Tampaknya cowok itu juga tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi."Maaf, gue nggak kepikiran bakal jadi kayak gini," sesalnya."Aku mau sendiri dulu. Bisa kamu tinggalin aku?" pintaku padanya."Iya. Gue balik, ya." Rio beranjak pergi dan menutup pintu.Aku mencoba menyusun ulang adegan demi adegan yang baru saja terjadi. Tak percaya Ares akan menyerah begitu saja. Lalu rasa sesak itu kembali muncul. Meski selama ini hubunganku dengan Ares hanya sebatas sahabat, aku cukup tenang berada di sisinya. Dia seolah melengkapi sesuatu yang kurang dalam hidupku."Beb ... Lo tidur?" Tiba-tiba Tania melongok ke kamar. Dia langsung masuk begitu mendapatiku meringkuk di kasur."Tadi gue papasan sama Ares di jalan depan, terus ketemu Rio pas mau masuk. Wajah mereka pada nggak ngenakin semua. Lo udah ko
Tidak ada perasaan berbunga-bunga, tidak ada rasa deg-degan saat mendengar dan menjawab pernyataan Rio. Semua mengalir begitu saja seolah tanpa makna. Aku menerima Rio hanya karena takut menjalani hariku sendirian.Rio langsung mengantarku kembali ke tempat kos begitu kami selesai makan. Wajah tegang yang sedari tadi menggantung di wajahnya telah sirna. Digantikan senyum simpul yang tak lepas dari bibirnya. Meski jalanan yang kami lalui diserang macet, tak mempengaruhi suasana hatinya."Besok kuliah pukul berapa?" Dia menoleh padaku. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok, dan menatapku lekat. Lekuk garis wajahnya terlihat tegas diantara keremangan lampu jalanan."Pukul delapan," sahutku membalas tatapannya. Berharap akan ada setitik rasa yang sama seperti kurasakan pada Ares ketika menatap manik matanya. Namun, tetap saja tak ada rasa apa pun yang hadir."Aku jemput, ya?"
[By, hari ini kerja, nggak?] Satu pesan dari Rio kuterima ketika keluar dari kelas terakhir, siang ini.Akhir-akhir ini Rio memanggilku 'Baby'. Meski beberapa kali kuprotes, ia tak menggubrisnya. Lelah berdebat hanya masalah panggilan, aku memilih membiarkan sesuka hatinya hendak memanggilku apa. Bagiku tak ada bedanya.[Nggak, kenapa?] Aku membalas segera.[Aku masih ada rapat untuk persiapan Bunkasai*. Kamu tunggu, ya.] [Aku pulang sendiri aja. Takut kamu lama.][Kamu tunggu bentar. Aku nggak lama.] lagi-lagi Rio tak mengizinkanku pulang sendiri.Semenjak pacaran dengannya, waktuku makin banyak habis bersamanya. Lebih parah dibanding sebelum bersama Ares. Sedikit demi sedikit, aku mulai merasa ketergantungan padanya. Setiap kali hendak pergi ke suatu tempat, seperti sebuah keharusan untuk melapor. L