Share

Mahasiswa Baru

Memasuki tahun perkuliahan baru, aku terpaksa berhenti dari pekerjaanku di kafe. Bukan saja karena jarak yang harus kutempuh dari Jatinangor-Bandung, tetapi karena aku tidak mau mencari masalah lain dengan Kak Daren.

Saat itu aku merasa hubunganku dengan Mama sudah sedikit membaik, tidak ingin mencari masalah baru jika Kak Daren memberi laporan macam-macam pada Mama.

Kang Hilmi memaklumi permintaanku untuk berhenti bekerja di kafenya. Pada hari terakhir bekerja, Kang Hilmi memanggilku ke kantornya.

"Lia, saya lihat kamu sering menggambarkan kalau lagi senggang, apa kamu mau ikut kerja di teman saya?"

"Memang kerja apaan, Kang?" Aku balik bertanya ragu-ragu.

"Dia buka distro, kebetulan studio gambarnya ada di Jatinangor, kalau kamu mau, nanti saya bilang ke dia."

Aku tak langsung menjawab. Masih ragu apakah masih bisa keluar bebas jika berada di bawah pengawasan Kak Daren.

"Kamu coba ketemu dulu, siapa tau jam kerjanya bisa diatur," tukas Kang Hilmi seakan mengerti apa yang membuatku ragu.

"Iya, deh, Kang. Saya coba dulu," ujarku menyetujui.

Meski sikap Mama telah melunak, keraguan terhadapnya masih ada. Aku tidak ingin terlalu menggantungkan harapan akan biaya kuliah terhadap kedua orangtuaku. Berharap, selama menempuh pendidikan, masih bisa bekerja untuk mengumpulkan biaya kuliah.

Sungguh ironis memang. Meski kedua orangtuaku adalah dokter spesialis, tak lantas aku bisa menikmati fasilitas yang mereka berikan dengan cuma-cuma. Mereka meminta bayaran untuk setiap rupiah yang mereka kucurkan pada kami anak-anak mereka. Beruntung kedua kakakku bisa membayar dengan prestasi mereka. Sementara aku, seolah aset yang membuat mereka rugi.

"Kang Hilmi ngomong apa?" tanya Ares ketika aku keluar dari ruangan pemilik kafe.

"Mau tau aja."

"Lo beneran mau berhenti? Kenapa enggak lanjut kerja, sih?" kulirik wajah Ares. Tidak biasanya dia terlihat serius seperti saat itu.

"Kenapa? Bakal kangen, ya kalau aku enggak ada?" tanyaku tersenyum jail, berusaha terlihat biasa meski jantungku kebat-kebit. Sebenarnya, aku juga sedikit berharap dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Berharap dia akan menjawab bahwa dia akan merasa kehilangan jika aku tak lagi bekerja di kafe Kang Hilmi.

"Mulai kepedean, deh!" ujarnya menjitak pelan kepalaku. Jawabannya serta merta memupus habis harapan yang tadi sempat muncul.

"Lagian nanya-nanya mulu kayak tamu," tepisku, melenggang meninggalkannya. Meredakan perih yang seketika hadir.


****

Awal tahun ajaran baru. Aku mulai tinggal di kosan yang baru. Mulai menyesuaikan diri kembali dengan lingkungan baru. Kosan yang dicarikan Kak Daren amat sangat nyaman. Terdiri dari dua bangunan utama.

Bangunan untuk laki-laki dan bangunan untuk perempuan. Diantara dua bangunan itu dipisah bangunan serupa pendopo.

Kata Kak Daren, pada hari-hari tertentu, pemilik kosan suka mengadakan acara yang melibatkan seluruh penghuni kos di pendopo itu.

Kak Daren menempati bangunan kos untuk laki-laki. Sementara aku menempati bangunan untuk perempuan. Setiap bangunan Terdiri dari dua lantai dengan sepuluh kamar yang berhadapan seperti asrama, di tiap lantainya. Aku menempati lantai dua dengan posisi kamar paling ujung.

Kamarnya juga cukup luas, empat kali empat dengan kamar mandi di dalamnya, tidak seperti kamar kosku sewaktu Bandung. Perabotan yang disediakan juga cukup bagus. Lemari ukuran besar, tempat tidur dengan kasur pegas yang nyaman, dan meja belajar. Berada di kamar itu, membuatku teringat kamarku di rumah.

Ada hal yang tak kusangka. Saat pindah kosan, Kak Daren sengaja datang menjemputku ke Bandung, untuk membantu mengemasi barang-barang. Tidak terlihat wajah kesal seperti yang biasa dia tunjukkan.

"Terima Kasih, Kak. Sudah repot-repot bantuin," ucapku ketika Kak Daren meletakkan koperku di lantai kamar.

"Kaku banget, sih. Memangnya aku ini orang lain?" ujar Kak Daren mengernyit.

"Uhm, maksud Lia ... Kakak, kan lagi sibuk mau sidang, masih sempat-sempatnya bantuin pindahan, padahal Lia bisa minta bantu Aldo."

"Kenapa malah sama kakak sendiri, sungkan? Aldo tentu juga lagi sibuk sama urusan persiapan masuk kuliahnya." Aku menatap heran Kak Daren. Tidak biasanya dia bersikap baik begitu.

"Kupikir ... Kakak akan menggerutu seperti biasa kalau Lia minta tolong," sahutku jujur.

"Kakak minta maaf," ujarnya pelan. Lagi-lagi keherananku bertambah. Ada apa dengan keluargaku. Kata maaf seperti kata yang sakral diucapkan oleh orang yang lebih tua dalam keluarga kami.

Sebelumnya Mama, lalu Kak Daren. Entah apa yang menyebabkan mereka mau mengucapkan kalimat itu.

"Untuk apa?"

"Karena selama ini selalu menjadi kakak yang menebalkan," jawabnya dengan muka bersungguh-sungguh.

"Lia juga adik yang buruk. Tidak perlu meminta maaf."

Suasana canggung kentara terasa. Aku dan kakakku bukan saudara yang akrab. Ketika sedang berdua seperti saat itu, terasa bagai dengan orang asing. Kak Daren dengan sikapnya yang kaku, aku dengan sifatku yang juga tidak bisa mencairkan suasana.

"Nanti kasih tau saja kalau Lia butuh apa-apa. Kakak akan bantu."

Aku ternganga mendengar kalimat itu keluar dari mulut cowok menyebalkan yang kukenal selama ini.

"Aku enggak mimpi, kak, Kak?" Aku mencoba tertawa untuk mencairkan suasana.

"Kita coba mulai dari awal, untuk menjadi kakak-adik sesungguhnya, Kakak akan berusaha jadi kakak yang baik buat Lia," ucapnya menepuk pelan kepalaku. Seperti ditarik ke dalam kolam dengan air yang sejuk. Sudah lama sekali aku tak merasakan setenang itu.

Aku tidak tau apa yang menyebabkan Mama dan Kak Daren berubah seperti itu. Yang pasti, aku harus bersyukur, hidupku tak seburuk yang kupikir selama ini. Paling tidak saat itu aku mempunyai seseorang yang tengah berusaha membuatku merasa aman.


****

Setelah semua urusan perkuliahan dan tempat tinggal baru teratasi, aku bertemu dengan Kang Dadan—teman Kang Hilmi yang memiliki distro. Kang Dadan menawarkanku kerja paruh waktu untuk desain karikatur kaos yang akan diproduksi distronya.

Bayaran yang ditawarkan oleh Kang Dadan cukup menggiurkan, jam kerja yang tidak terlalu mengikat membuatku menyetujui kerja sama dengan pengusaha distro itu.

Aku memberanikan diri meminta izin kepada Kak Daren untuk bekerja paruh waktu. Khawatir dia mengira aku hanya keluyuran jika tidak sedang ada jam kuliah.

"Memangnya sepenting apa pekerjaan ini bagi Lia? Bukankah Mama telah mengatakan akan tetap memberikan biaya kuliah?" tanya Kak Daren dengan tatapan menyelidik. 

"Mumpung ada yang menawarkan pekerjaan, kenapa harus disia-siakan. Lagipula, pekerjaannya sesuai dengan bakat Lia, Kak," sahutku dengan wajah penuh harap.

Kak Daren tidak menjawab. Dia seolah tenggelam dalam pikirannya.

"Lagipula, Lia ingin membuktikan sama Mama dan Papa kalau bakat Lia ini juga berguna," lanjutku, berharap Kak Daren tidak keberatan dengan keinginanku bekerja paruh waktu.

"Ya sudah, jika memang keinginan Lia seperti itu. Yang penting harus bertanggung jawab dengan keputusan itu," sahutnya kemudian.

"Ah, terima kasih, Kak!" Saat itu tanpa sadar aku menghambur ke pelukan Kak Daren. Rasa bahagia yang seakan meledak di dadaku, membuatku lupa bahwa kami dulu tak sedekat itu.

Untuk pertama kali dalam hidupku, mendapat izin melakukan sesuatu yang kusenangi dari anggota keluarga. Sekilas kulihat Kak Daren tersenyum. Lalu kembali memasang wajah kakunya tatkala aku melepas pelukan darinya.

Dari kecil, aku dan Kak Daren memang tidak terlalu dekat. Penyebabnya karena Mama dan Papa selalu membanding-bandingkanku dengannya. Perlahan aku mulai membenci cowok berwajah kaku itu. Karena sikapku yang membencinya, Kak Daren pun seolah tak berhenti membuat hidupku susah. Jarak usia kami yang cukup dekat, membuatku selalu bertemu dengan Kak Daren dalam setiap tingkatan sekolahku.

Hidupku tidak pernah merasa tenang, karena selalu saja ada aduan yang disampaikannya pada Mama.

Sekarang, Kak Daren dengan segala perubahannya bagai mukjizat yang Tuhan berikan dalam hidupku, semoga saja ini bertahan lama.


****

Masa orientasi dengan segala kegilaannya dimulai. Kak Daren membuktikan perkataannya. Walaupun ditengah kesibukan untuk persiapan sidang kelulusan, dia masih berusaha membantuku untuk menyiapkan segala macam perlengkapan ospek. Kendati demikian, rasa canggung diantara kami masih belum sepenuhnya hilang.

Sedangkan Ares, dia memilih untuk tidak mengikuti kegiatan orientasi. 

"Gue enggak mau diperlakukan seperti manusia bodoh," ujarnya memberi alasan ketika aku menanyakan kemana dirinya saat masa orientasi berlangsung.

"Apa kamu tidak takut dikucilkan Atau dipersulit nantinya, Res?" tanyaku heran dengan sikapnya yang santai.

"Memangnya lo mau ngucilin gue karena nggak ikut ospek?"

"Ya nggak, lah. Kan kamu temanku."

"Ya sudah, nggak ada yang perlu dikhawatirkan kalau begitu," kekehnya.

Masa orientasi berakhir, masa perkuliahan pun dimulai. Lalu aku kembali dipertemukan kembali dengan Ares, di kelas yang sama.

"Sepertinya kita memang sudah ditakdirkan untuk bareng ya, Li," ujarnya dengan seringaian lebar.

Hati gadis mana yang tidak akan menaruh harapan, jika setiap kali cowok yang ditaksirnya selalu melontarkan kalimat seperti itu. Namun aku masih berusaha sekuat tenaga untuk tidak memperlihatkan rasa sukaku padanya.

Gayanya yang selalu berbicara asal, membuatku terlalu takut untuk berharap. Aku takut mengetahui bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang diberi kata-kata seperti itu.

Terlebih lagi wajah Ares yang cukup menarik perhatian, membuat teman-teman perempuan di kelasku banyak yang mengaguminya. Aku cukup tau diri dengan penampilan dan wajah yang pas-pasan, merasa tak mampu bersaing dengan mereka yang berpenampilan begitu memukau.

Aku hanya seumpama upik abu diantara para mahasiswi lainnya di kelasku. Bagaimana mungkin aku akan berharap Ares akan tertarik padaku.

Namun sekuat apapun aku berusaha untuk berhenti mengagumi Ares, semakin saja perasaan terhadapnya makin membesar.

Setiap hari ketika tidak bersama Ares, menggoreskan pensil di buku sketsa menjadi pelampiasanku untuk melepaskan cowok itu dari pikiran. Entah berapa lembar sketsa wajahnya telah memenuhi bukuku.

Entah berapa malam kuhabiskan hanya untuk menyelesaikan goresan wajahnya.

Satu hal yang membuatku masih bertahan untuk terus menyukainya dalam diam, dia masih terus berada di sisiku. Tak peduli berapa banyak mahasiswi yang berusaha mendekatinya. Setiap jam perkuliahan, Ares selalu memilih tempat duduk di dekatku.

Lalu, perempuan mana yang mampu berhenti berharap jika laki-laki yang dia taksir seolah memberinya harapan?

Jika menyukainya dalam diam adalah satu-satunya pilihan  untuk bisa terus berada di dekat Ares, maka aku akan bertahan hingga nanti aku mempunyai alasan untuk berhenti menyukainya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status