Share

Menyukai Dalam Diam

Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu  tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.

Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan.

Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.

Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu  sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.

Terkadang perlakuannya membuatku merasa istimewa dan berharap lebih dari pertemanan kami. Namun terkadang, sikapnya seolah menjaga jarak. Sikapnya yang sering bertolak belakang itulah yang membuatku semakin takut untuk memperlihatkan perasaanku.

Suatu hari, dosen yang mengajar, berhalangan hadir. Alih-alih menghabiskan waktu di kampus untuk menunggu jam kuliah berikutnya, Ares mengajakku kembali ke kosan.

"Enggak enak, sih Res. Kita selalu memisahkan diri dari anak kelas." Aku mencoba protes.

"Terlalu berisik," sahutnya cuek.

"Siapa?" 

"Cewek-cewek itu," bisiknya.

"Aku yang nggak enak disindir mulu."

"Sudah, nggak usah dengerin omongan orang, nggak bakal kenyang. Yuk balik aja," ujarnya santai merangkul bahuku dengan setengah menyeret ke arah parkiran.

Jika sudah begitu, aku sudah tidak bisa berkutik. Jujur, aku juga senang menghabiskan waktu berdua dengannya. Karena selama di kelas, Ares selalu saja dikelilingi para cewek yang berusaha mencuri perhatiannya. Sekuat apa pun cowok itu menghindar, mereka selalu saja bisa membuat Ares merasa terperangkap. Karena alasan itulah, setiap kali ada jam kuliah yang kosong, Ares selalu mengajakku meninggalkan kampus untuk menghindar.

Jatinangor sangat terik ketika kami meninggalkan kampus. Debu jalanan beterbangan mengusik pernapasanku. Aku terbatuk agak lama.

Ares mendadak memberhentikan skuternya di warung pinggir jalan menuju kosan. Tanpa banyak bicara dia turun begitu saja. Kembali ke tempatku menunggu dengan sebotol air mineral.

"Nih minum. Dari tadi gue lihat lo nggak bawa botol minum seperti biasa," tukasnya.

Seketika hawa panas Jatinangor mendadak turun. Perhatian kecilnya membuat harapan yang selalu kutekan, makin tak mampu kukendalikan.

"Thanks, Res," ucapku dengan wajah yang terasa bersemu.

"Muka lo udah kayak kepiting rebus. Kepanasan, ya?"

Bukan, Res! Wajahku merah karena perlakuan manismu, teriakku dalam hati.

"Iya, yuk buruan balik. Lagian tadi udah enakan di kampus ngadem, kamu maksa banget minta ke kosan aku," sahutku menggerutu untuk menutupi rasa grogi.

"Bantu gue buat lepas dari cewek-cewek berisik itu. Lo kayak nggak tau aja gimana gue," sahutnya dengan wajah serius. Lalu kembali menyalakan skuternya.

Di sepanjang perjalanan menuju kosan, aku hanya sibuk dengan pikiranku. Bertanya-tanya dalam hati, sampai kapan aku mampu bertahan menyukainya diam-diam seperti ini. Semoga saja hati ini tidak menuntut lebih dari rasa nyaman yang telah Ares berikan padaku.

****

"Li, masih suka bikin sketsa?" tanyanya sambil menyetem senar gitar yang dibawanya hari itu.

"Masih, kenapa?" Aku yang tengah mengetik tugas kuliah di laptop, memalingkan wajah ke arahnya.

"Bikinin sketsa gue lagi, dong. Pastinya sekarang sudah lebih expert, dong, ya? Apalagi sekarang, kan udah jadi kerjaan sehari-hari." Tatapan Ares mengunci, menimbulkan gelenyar halus di dada, yang selalu kutahan.

Andai kamu tau, Res. Buku sketsaku hanya dipenuhi sketsa wajahmu, ungkapku dalam hati.

"Sketsa yang kamu bikin waktu pameran kebudayaan dulu, masih gue simpan," katanya, dengan senyum yang tidak biasa, menghias bibir. Menambah debaran yang semakin menguat dalam rongga dadaku.

"Males, ah! Gambar gue jelek," tolakku.

"Pelit lo, ah! Nggak asyik!" Ares melemparkan kupluk yang sering dia pakai. Tepat mengenai wajahku. Aroma sampo yang dipakainya seketika menutupi indera penciumanku. Aku selalu suka mencium aromanya. Aroma musk dan lemon yang segar, sesegar pribadi Ares yang tak kenal kata sedih.

"Iya. Nanti kalau ada waktu aku bikinin," ujarku mengalah.

Ares tak lagi menanggapi. Matanya terpaku pada gitar, jari-jarinya dengan lincah memetik senar. Kemudian lagu Wonderwall—Oasis, mengalun merdu dari bibirnya.

Tanpa terasa, aku pun turut menyanyikan beberapa lirik yang seolah menggambarkan perasaanku.

".... there are many things that I would like to say to you but I don't know how. Because maybe, you're gonna be the one that saves me. And after all, you're my wonderwall ...."

Ya, bagiku Ares seolah menjadi penyelamat

ketika aku sempat terpuruk menjelang ujian masuk perguruan tinggi dulu. Dia yang menyelamatkanku untuk tidak patah semangat melanjutkan hidup meski merasa dibuang oleh keluarga.

"Menghayati banget." Ares menghentikan petikan gitarnya dan menatapku dengan satu alis terangkat dan senyumannya yang khas.

"Ha-ha, itu lagu kesukaanku!"

"BTW, ada cowok yang lo suka, nggak, Li?" tanyanya dengan wajah serius.

Jantungku berdebar cepat. Ingin rasanya mengakui perasaanku padanya, tapi gengsi. Aku tidak ingin Ares menganggapku sama saja dengan para cewek yang selalu memaksa untuk mendekatinya.

"Belum kepikiran. Kalau kamu punya cewek yang kamu suka?" Aku membalikkan pertanyaan, harap-harap cemas. Berharap dia akan menjawab, bahwa aku lah cewek itu. Namun, cemas jika ternyata bukan aku yang ada di hatinya.

"Ada, sih. Cuma gue masih takut buat menjalin hubungan serius. Masih mahasiswa kere kayak gini," kekehnya kembali dengan tawa renyah.

"Tumben ngga pede? Biasa juga over pede."

Dia mengendikkan bahu. "Kalau soal perasaan nggak bisa dibuat pede-pedean. Gue pengen nanti kalau udah lulus kuliah, dapat kerjaan yang pasti penghasilannya, langsung mau nikah aja."kembali wajahnya terlihat serius.

"Kalau kamu nggak bilang dari sekarang, tu cewek, kan nggak tau. Bisa-bisa diembat orang."

"Berarti bukan jodoh gue."

"Sesimple itu?" Aku menatapnya heran.

"Bukannya kalau cinta harus diperjuangkan?" tanyaku kembali. Tak puas dengan jawabannya yang terdengar asal.

"Ya perjuangan gue sekarang, gimana cepat-cepat lulus kuliah buat ngehalalin tu cewek. Kalau sekiranya nanti gue keduluan orang lain, berarti bukan dia jodoh gue, kan?" ujarnya seakan meminta pendapatku.

"Tapi, seenggaknya kamu kan bisa bilang dulu ke ceweknya." Argumen lain kuutarakan.

"Ya, kalau jodoh gue, ga bakal kemana juga, Li. Pasti Tuhan jaga buat gue." Ares menyengir lebar.

Sedikit rasa penasaran terasa menggelitik. Siapa cewek yang telah mampu menempati ruang dalam hati Ares yang selama ini terkesan cuek. Lalu ada rasa getir kurasa, ketika satu pikiran yang melintas, Bagaimana jika cewek yang di taksir Ares bukan aku? Apakah aku bisa menerimanya dengan lapang dada?

Kala itu aku tak berani bertanya lebih lanjut. Bukankah pepatah mengatakan, "terkadang ketidaktahuan bisa menyelamatkanmu." Lebih baik aku membuang jauh rasa penasaran akan cewek yang ada di hati Ares. Terus berada di sisinya seperti saat itu, sudah lebih dari cukup. Saat itu aku tidak ingin membuang rasa nyaman bersamanya dengan mengetahui siapa cewek yang dia suka.

***

Tak terasa setahun sudah dekat dengan Ares. Dalam satu tahun itu cukup banyak hal yang kami lalui. Bahkan Aldo sempat mengira kami sudah jadian. Karena setiap kali kami bertiga bertemu, Aldo memperhatikan caraku dan Ares berinteraksi.

"Kamu sudah berubah jauh sekarang, Lia," ungkap Aldo ketika kami bertemu di kafe tempat Ares bekerja.

"Hah?" Aku yang saat itu fokus memperhatikan Ares yang sedang perform dengan lagu Fix You-Cold Play, memalingkan wajah menatap Aldo.

"Berubah dalam artian buruk Atau baik, Do?" selidikku.

"Berubah lebih baik. Dulu jarang sekali aku melihatmu tertawa lepas. Sekarang kamu lebih ekspresif," terang Aldo.

"Masa, sih? Perasaan sama saja," tepisku.

"Kan, yang bisa melihat orang lain. Biasanya tiap ketemu kamu selalu mengeluhkan sikap orangtuamu Atau kakakmu . Sekarang sudah tidak pernah lagi masalah keluarga kamu singgung-singgung." Sekali lagi Aldo menyampaikan analisanya.

"Ha-ha, iya, ya?" Aku tertawa gugup. Berharap Aldo tidak mengaitkannya dengan Ares.

"Kalian sudah jadian, ya?" tembaknya kemudian.

"Enggak! Kamu kayak nggak tau Ares aja. Emang dia modelnya begitu, kan?" Aku semakin gugup. Sesekali melirik ke panggung tempat Ares perform.

"Lalu perasaanmu ke Ares gimana?" Aldo menatapku dengan tatapan menyelidiki dari balik kacamatanya.

"Ya, enggak gimana-gimana." Aku mengendikkan bahu. Menyeruput milk shake yang kupesan, untuk mengurangi rasa gugup.

"Bukannya kamu suka Ares?" tanya Aldo tanpa banyak basa-basi.

"Eh? Kata siapa?" tanyaku sengit bagai maling tertangkap tangan.

"Kan kamu dulu yang bilang."

"Kapan?" tanyaku berusaha mengingat.

"Waktu SMA."

Aku menatap Aldo panik. "Itu cuma kagum aja. Bukan suka." Aku masih berusaha mengelak.

"Ya, terserah kamu bilang apa. Yang jelas aku sudah tau perasaanmu," gelaknya dengan tawa penuh kemenangan.

Aku tak lagi membalas perkataan Aldo. Ares telah selesai perform. Khawatir dia mendengar pembicaraan kami jika masih diteruskan membahas perasaanku.

"Li, ayo gue anter balik. Takutnya kemaleman, nggak bisa masuk kosan, lo," ajaknya menepuk pundakku.

"Biar gue yang anter, Res. Lo kan masih kerja," tawar Aldo.

"Jangan dong, Bro. Yang bawa dia ke sini kan gue. Ntar gue di sangka cowok nggak bertanggung jawab sama Daren. Tadi gue minta ijin sama dia bawa Lia soalnya," tolak Ares.

Aldo ternganga. "Serius Daren kasih ijin kamu jalan?" tanyanya tak percaya, menatapku dan Ares bergantian.

"Iya. Cs-an dia sama Daren sekarang," kekehku. Mengingat bagaimana Ares dengan gaya sok akrabnya mengajak kakaku mengobrol. Pada awalnya Daren terlihat terganggu. Namun, lama-lama mulai terpengaruh juga. Pembawaan Ares yang luwes, akhirnya mampu mencairkan kekakuan sikap Daren.

"Kok, bisa?" Aldo masih menatap tak percaya.

"Gue jampe-jampe," kekeh Ares asal. "Yuk, ah. Keburu malam. Lo nggak perlu gue anter balik, kan, Do?" tanyanya dengan senyum genit yang dibuat-buat.

"Hii, merinding gue liat ekspresi lo, Res!" ujar Aldo melemparkan sherbet bekas ke muka Ares sambil bangkit berdiri dari duduknya.

Udara dingin Bandung menerpa wajahku ketika skuter yang dikendarai Ares membelah jalanan daerah Cicaheum yang masih terlihat ramai. Duduk berboncengan dengannya seperti saat itu membuatku mampu mencium aroma parfum yang dipakai Ares. Aku selalu menyukai aromanya. Terasa begitu menenangkan.

"Kedinginan, Li?" tanya Ares sedikit berteriak mengalahkan suara skuternya yang keras.

"Nggak, kan ketutup badan kamu," balasku juga setengah berteriak.

"Kalau kedinginan, peluk aja," kekehnya.

"Huu, maunya!" Aku menoyor bahu Ares dengan detak jantung yang mendadak naik. Bahkan suhu udara sekitar juga terasa ikut naik.

Candaannya yang terlalu santai itu terkadang membuatku yakin kalau Ares tak mempunyai perasaan yang sama denganku. Sekali lagi, aku harus menelan sendiri perasaan ini jika masih ingin terus berada di dekatnya. Aku masih terlalu takut untuk kehilangan Ares.

Kehadirannya selama ini telah mampu mengubah tatanan hidupku yang dulu suram. Aku tidak ingin kembali ke masa itu. Pikirku saat itu, biarlah untuk sesaat saja aku menikmati perhatian yang diberikan Ares.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status