Home / Romansa / My Pain Killer / Apakah Tuhan Menyiksaku?

Share

Apakah Tuhan Menyiksaku?

Author: Alfarin
last update Huling Na-update: 2021-04-19 19:49:11

Pada saat itu aku berada pada titik kultimasi rasa kecewa, marah dan sedih. Marah pada Tuhan, marah pada kedua orangtuaku. Sedih karena merasa diabaikan dan tak mempunyai tempat untuk bernaung. Kecewa karena perlakuan tak adil yang kuterima.

Setelah Mama menutup telepon, Ares juga menelponku.

"Selamat ya, Li! Lolos Sastra Jepang," ucapnya dengan suara penuh semangat.

Alih-alih merasa senang, aku hanya diam tak menjawab ucapannya.

"Li, Lo masih di sana?" Kembali Ares bersuara.

Belum sempat menjawab pertanyaannya, panggilannya terputus. Aku melempar begitu saja ponselku ke pojok tempat tidur, kembali menggulung tubuh dengan selimut. Mencoba mencari kenyamanan.

Rasanya aku tak ingin melakukan apa-apa hari itu. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Padahal di saat Mama menelepon, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi setelah pembicaraan kami berakhir, yang kurasakan hanyalah kosong.

Tak lama berselang, ponselku kembali berbunyi. Nama Ares kembali tertera di sana.

"Li, ayo kita makan kupat tahu," ajaknya ketika panggilannya kuterima. "Bareng Aldo juga, nih."

"Kalian pergi berdua saja, aku lagi nggak mood buat keluar." Aku menolak ketus.

Berpikir cowok yang satu itu benar-benar kurang peka.

Padahal selama ini aku sudah sering bercerita bahwa aku akan ditendang dari silsilah keluarga jika tidak lolos di Fakultas Kedokteran, dia malah memberi selamat karena aku lolos jurusan yang kupilih secara acak.

Harusnya dia menanyakan bagaimana perasaanku saat itu. Bukan dengan santainya memberi selamat yang tidak pada tempatnya. Bagaimana mungkin aku menerima ucapan selamat atas kehancuran masa depanku.

Sambungan telepon kembali terputus tanpa kalimat penutup, khas Ares setiap kali menelepon. Kupikir Ares akan pergi begitu saja karena penolakanku. Tak lama, pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku mendapati wajah cemas ibu pemilik kosan begitu pintu kubuka.

"Neng Lia, damang, Neng?" tanya perempuan paruh baya itu dengan napas ngos-ngosan. Sepertinya dia tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai kamarku.

"Iya, Bu. Kenapa?" tanyaku heran.

"Li, kamu jangan bunuh diri!" terdengar jeritan agak lebay suara cowok yang tak asing di telinga.

Kulihat Ares berdiri di belakang ibu pemilik kos dengan wajah khawatir yang dibuat-buat.

"Eh, siapa yang mau bunuh diri!" Aku membalas sengit.

"Ini, tadi temannya Neng melas-melas minta ijin masuk. Katanya Neng ngomong mau bunuh diri. Makanya Ibu khawatir. Atuh Neng, jangan bikin kosan Ibu jadi didatangi polisi entar," cecar ibu pemilik kos, masih dengan wajah khawatir.

"Enggak Bu, saya malah nggak ada pikiran seperti itu," ujarku panik. "Kamu jangan bikin cerita aneh-aneh, Res!" ujarku setengah berteriak ke arah Ares yang cengengesan di balik punggung ibu pemilik kos.

"Dia bilang enggak mau makan, Bu. Makanya saya khawatir dia mau bunuh diri dengan mogok makan," kilah Ares beralasan ketika ibu pemilik kos melotot padanya seakan meminta penjelasan.

"Eleuh siah, aya-aya wae. Kualat kamu ngerjain orangtua! Kalau berantem sama pacar jangan ngerepotin orang lain," omel perempuan paruh baya itu. Wajah khawatirnya berubah menjadi kesal.

Seketika penghuni kamar kos yang lain berdatangan karena mendengar suara ribut-ribut di depan kamarku. Tak ingin menjadi pusat perhatian, aku bergegas menyeret Ares keluar dari bangunan kos sambil meminta maaf pada ibu pemilik kos.

"Kenapa kamu malah bikin rusuh pagi-pagi, sih, Res? Aku kan malu sama si Ibu," gerutuku ketika sampai di depan gerbang.

"Lagian, Lo ngapain pake nggak mau makan segala," ujarnya santai, seakan tak terjadi apa-apa.

"Perutku belum lapar. Lagian kamu enggak peka banget, sih! Aku pengen sendirian dulu."

"Li, orang lagi sedih itu enggak boleh sendirian apalagi perut kosong. Nanti diisi setan. Sudahlah, ayo jalan," ujarnya tak memedulikan rasa kesalku.

Aldo yang menyaksikanku adu mulut dengan Ares, hanya cengengesan sambil menggaruk kepala.

Dibalik rasa kesal yang kurasakan saat itu, terselip rasa geli. Bisa-bisanya dia memilih cara itu untuk membuatku keluar.

"Sudah, jangan cemberut saja. Enggak bakal kenyang. Buruan, keburu gue pingsan kelaparan!" ajak Ares sambil menyalakan skuternya.

"Aku boncengan sama Aldo saja," gerutuku meninggalkan Ares.

Benar ternyata kata Ares, obat sedih itu adalah makan. Kupat tahu yang kami makan pagi itu terasa begitu nikmat. Kuah kacangnya yang kental begitu sarat bumbu, rasa pedasnya terasa pas di lidahku. Aku yang biasa tidak terlalu suka tahu dan toge, melahap habis semua tanpa bersisa. Makanan khas sunda itu berhasil membuatku lupa kesedihan yang kurasa pagi itu.

"Tuh, kan, lapar. Sok-sok bilang enggak lapar segala," serunya melihat piring di hadapanku telah bersih.

"Kamu maksa, sih. Padahal aku makan sereal di kosan juga bisa," gerutuku masih gengsi mengakui bahwa Ares benar.

"Maksa buat kebaikan nggak apa-apa, kan? Lagian kita harus merayakan keberhasilan kita, ngapain sedih-sedih."

"Kamu nggak peka banget, sih, Res! Gimana aku enggak sedih, orang Papa benar-benar melakukan ancamannya," semburku kembali merasakan sesak yang tadi sempat sirna.

"Eh? Seriusan Papa kamu nggak mau ngebiayain kuliahmu, Lia?" Kali ini Aldo bersuara, setelah sebelumnya diam tak menanggapi perdebatanku dengan Ares.

"Iya ... aku pikir Papa bilang seperti itu supaya aku makin giat belajar, enggak taunya beneran, Do." Seketika rasa sesak itu kembali hadir. Tanpa dapat kucegah, airmataku kembali tumpah.

"Ah, lo Do! Malah bikin anak orang nangis," keluh Ares, menyodorkan tisu ke tanganku. Saat itu aku merasa tak percaya Ares bisa menunjukkan sikap peduli.

"Sebelum lo meratapi nasib, lo ingat deh, mungkin di saat yang sama banyak orang yang lebih bersedih dari lo karena enggak lolos ujian masuk PTN. Kan, sudah gue bilang, kalau beneran lo dicoret dari kartu keluarga, kita bikin kartu keluarga berdua," ujarnya dengan cengiran lebar.

Mau tak mau aku tertawa mendengar perkataannya. Baru kali itu aku bertemu seseorang yang masih berusaha melihat sisi terang meski dalam keadaan gelap.

Aku melihat pribadi yang unik pada diri Ares. Meski terlihat cuek, dia sebenarnya perhatian. Perlahan-lahan, perasaanku terhadapnya mulai tumbuh. Pelan, tanpa kusadari ia tiba-tiba makin membesar.

"Kamu gimana, Do? Lolos FSRD?" tanyaku beralih pada Aldo.

"Alhamdulillah," sahut Aldo dengan senyum puas tercetak pada wajah.

"Wuah! Selamat!" tanpa sadar aku berteriak, menyebabkan beberapa pasang mata dari pelanggan kupat tahu tempat kami makan, melirik ke arah bangku tempat kami duduk.

"Ah, padahal aku berharap bisa bareng sama kamu kuliahnya," sahut Aldo.

"Lia ditakdirkan bareng sama gue, Do. Lo harus berlapang dada menerima," kekeh Ares dengan senyum penuh kemenangan.

"Eh? Kok?" Aku menatap Ares heran.

"Nihon bungaku bu!" (Fakultas Sastra Jepang) soraknya menepuk dada. "Kita sefakultas, onegaishimasu!" ujarnya membungkukkan badan menirukan gaya orang Jepang.

"Lebay!" Aku mencibir pada cowok bergaya cuek itu tak sanggup menahan tawa.

Agak aneh memang. Di saat aku harusnya meratapi nasib karena kemalangan, aku malah menikmatinya dengan tawa. Semua berkat Ares. Cowok itu seakan tak tersentuh oleh perasaan sedih. Dia bagaikan matahari yang menerangi sisi gelap yang ada di bumi. Mencairkan segala kebekuan, mengusir rasa dingin.


*****

Setelah pengumuman ujian saringan masuk perguruan tinggi, aku dan Ares kembali disibukkan dengan pekerjaan kami di kafe. Berharap pada saat jadwal pendaftaran ulang, biaya yang dibutuhkan telah terkumpul.

Seminggu menjelang jadwal pendaftaran ulang berakhir, Mama kembali menelpon. Ada rasa canggung yang kurasa. Bahkan aku merasa seperti berbicara dengan orang asing.

"Mama tadi mentransfer uang untuk pendaftaran ulangmu," ujarnya.

"Bukan kah ...."

"Lia masih anak Mama. Mama tidak pernah membenci Lia. Lia harus ingat itu," potong Mama. Andai kala itu Mama ada di hadapanku, ingin rasanya menghambur ke pelukannya. Aku bagai menemukan oase di tengah padang pasir. Terasa sejuk mendengar kalimat yang diucapkan Mama.

"Terima kasih, Ma. Maafkan Lia belum bisa membanggakan Mama." Aku terisak.

Merasa sesak sekaligus lega. Setidaknya aku tau bahwa aku masih di cintai, sudah lebih dari cukup.

"Sudah tau kapan jadwal kuliah?"

Mengabaikan ucapan terima kasihku, suara Mama kembali terdengar kaku seperti biasa.

"Bulan depan, Ma."

"Daren sudah mama suruh cari kosan di Jatinagor untukmu. Sudah dikabari belum?"

"Belum."

"Mungkin belum ada yang cocok, nanti Lia tanya sama Daren, ya. Semoga bulan depan Mama bisa mengunjungi kalian," ujar Mama, kemudian menyudahi pembicaraan tercanggung antara ibu dan anak itu.

Setelah Mama menelpon, aku kembali memeriksa nomor panggilan terakhir, untuk memastikan bahwa tidak sedang berhalusinasi. Nomor Mama benar-benar tertera pada panggilan terakhir.

Sekali lagi, Ares benar. Orangtuaku hanya kecewa. Mereka tidak benar-benar membenciku. Terlebih lagi selama ini komunikasi yang terjalin di antara kami tidak begitu bagus. Mereka terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Aku dibiarkan mengurus sendiri semua keperluanku. Jika membutuhkan orang dewasa, ada asisten rumah tangga yang akan mewakili mereka.

Selama ini mereka menganggap, kebutuhanku hanya sebatas materi. Padahal aku yakin, dengan latar belakang pendidikan yang mereka punya, mereka pasti sudah paham bahwa yang di butuhkan seorang anak bukan hanya materi.

Meskipun selama ini aku terlihat hidup berkecukupan, tapi seperti ada yang hilang. Selalu berjalan di jalan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh kedua orangtua. Segala ambisiku harus dibuang jauh-jauh. Tidak ada yang namanya cita-cita selain menjadi dokter.

Seminggu setelah Mama menelpon, Kak Daren menghubungiku, mengabarkan bahwa dia telah menemukan tempat kos yang cocok untukku. Bersebelahan dengan kosannya. Pada saat itu aku langsung mengambil kesimpulan, tahun-tahun pertama perkuliahanku tak akan indah. Hidup di bawah pengawasan Kak Daren sepertinya lebih parah daripada hidup bersama Papa. Saat itu aku berpikir, Tuhan benar-benar ingin menyiksaku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • My Pain Killer   My Panacea, My Pain Killer

    Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa

  • My Pain Killer   Aku Yakin Kuat

    Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya

  • My Pain Killer   Menata Kembali

    Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T

  • My Pain Killer   Percaya Saja

    "Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit

  • My Pain Killer   Belajar Menerima

    Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam

  • My Pain Killer   Janin yang tak diharap

    Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin

  • My Pain Killer   Pasrah

    Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3

  • My Pain Killer   Tempat Ternyaman

    Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci

  • My Pain Killer   Mimpi Buruk

    "Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status