Share

Apakah Tuhan Menyiksaku?

Pada saat itu aku berada pada titik kultimasi rasa kecewa, marah dan sedih. Marah pada Tuhan, marah pada kedua orangtuaku. Sedih karena merasa diabaikan dan tak mempunyai tempat untuk bernaung. Kecewa karena perlakuan tak adil yang kuterima.

Setelah Mama menutup telepon, Ares juga menelponku.

"Selamat ya, Li! Lolos Sastra Jepang," ucapnya dengan suara penuh semangat.

Alih-alih merasa senang, aku hanya diam tak menjawab ucapannya.

"Li, Lo masih di sana?" Kembali Ares bersuara.

Belum sempat menjawab pertanyaannya, panggilannya terputus. Aku melempar begitu saja ponselku ke pojok tempat tidur, kembali menggulung tubuh dengan selimut. Mencoba mencari kenyamanan.

Rasanya aku tak ingin melakukan apa-apa hari itu. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Padahal di saat Mama menelepon, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi setelah pembicaraan kami berakhir, yang kurasakan hanyalah kosong.

Tak lama berselang, ponselku kembali berbunyi. Nama Ares kembali tertera di sana.

"Li, ayo kita makan kupat tahu," ajaknya ketika panggilannya kuterima. "Bareng Aldo juga, nih."

"Kalian pergi berdua saja, aku lagi nggak mood buat keluar." Aku menolak ketus.

Berpikir cowok yang satu itu benar-benar kurang peka.

Padahal selama ini aku sudah sering bercerita bahwa aku akan ditendang dari silsilah keluarga jika tidak lolos di Fakultas Kedokteran, dia malah memberi selamat karena aku lolos jurusan yang kupilih secara acak.

Harusnya dia menanyakan bagaimana perasaanku saat itu. Bukan dengan santainya memberi selamat yang tidak pada tempatnya. Bagaimana mungkin aku menerima ucapan selamat atas kehancuran masa depanku.

Sambungan telepon kembali terputus tanpa kalimat penutup, khas Ares setiap kali menelepon. Kupikir Ares akan pergi begitu saja karena penolakanku. Tak lama, pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku mendapati wajah cemas ibu pemilik kosan begitu pintu kubuka.

"Neng Lia, damang, Neng?" tanya perempuan paruh baya itu dengan napas ngos-ngosan. Sepertinya dia tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai kamarku.

"Iya, Bu. Kenapa?" tanyaku heran.

"Li, kamu jangan bunuh diri!" terdengar jeritan agak lebay suara cowok yang tak asing di telinga.

Kulihat Ares berdiri di belakang ibu pemilik kos dengan wajah khawatir yang dibuat-buat.

"Eh, siapa yang mau bunuh diri!" Aku membalas sengit.

"Ini, tadi temannya Neng melas-melas minta ijin masuk. Katanya Neng ngomong mau bunuh diri. Makanya Ibu khawatir. Atuh Neng, jangan bikin kosan Ibu jadi didatangi polisi entar," cecar ibu pemilik kos, masih dengan wajah khawatir.

"Enggak Bu, saya malah nggak ada pikiran seperti itu," ujarku panik. "Kamu jangan bikin cerita aneh-aneh, Res!" ujarku setengah berteriak ke arah Ares yang cengengesan di balik punggung ibu pemilik kos.

"Dia bilang enggak mau makan, Bu. Makanya saya khawatir dia mau bunuh diri dengan mogok makan," kilah Ares beralasan ketika ibu pemilik kos melotot padanya seakan meminta penjelasan.

"Eleuh siah, aya-aya wae. Kualat kamu ngerjain orangtua! Kalau berantem sama pacar jangan ngerepotin orang lain," omel perempuan paruh baya itu. Wajah khawatirnya berubah menjadi kesal.

Seketika penghuni kamar kos yang lain berdatangan karena mendengar suara ribut-ribut di depan kamarku. Tak ingin menjadi pusat perhatian, aku bergegas menyeret Ares keluar dari bangunan kos sambil meminta maaf pada ibu pemilik kos.

"Kenapa kamu malah bikin rusuh pagi-pagi, sih, Res? Aku kan malu sama si Ibu," gerutuku ketika sampai di depan gerbang.

"Lagian, Lo ngapain pake nggak mau makan segala," ujarnya santai, seakan tak terjadi apa-apa.

"Perutku belum lapar. Lagian kamu enggak peka banget, sih! Aku pengen sendirian dulu."

"Li, orang lagi sedih itu enggak boleh sendirian apalagi perut kosong. Nanti diisi setan. Sudahlah, ayo jalan," ujarnya tak memedulikan rasa kesalku.

Aldo yang menyaksikanku adu mulut dengan Ares, hanya cengengesan sambil menggaruk kepala.

Dibalik rasa kesal yang kurasakan saat itu, terselip rasa geli. Bisa-bisanya dia memilih cara itu untuk membuatku keluar.

"Sudah, jangan cemberut saja. Enggak bakal kenyang. Buruan, keburu gue pingsan kelaparan!" ajak Ares sambil menyalakan skuternya.

"Aku boncengan sama Aldo saja," gerutuku meninggalkan Ares.

Benar ternyata kata Ares, obat sedih itu adalah makan. Kupat tahu yang kami makan pagi itu terasa begitu nikmat. Kuah kacangnya yang kental begitu sarat bumbu, rasa pedasnya terasa pas di lidahku. Aku yang biasa tidak terlalu suka tahu dan toge, melahap habis semua tanpa bersisa. Makanan khas sunda itu berhasil membuatku lupa kesedihan yang kurasa pagi itu.

"Tuh, kan, lapar. Sok-sok bilang enggak lapar segala," serunya melihat piring di hadapanku telah bersih.

"Kamu maksa, sih. Padahal aku makan sereal di kosan juga bisa," gerutuku masih gengsi mengakui bahwa Ares benar.

"Maksa buat kebaikan nggak apa-apa, kan? Lagian kita harus merayakan keberhasilan kita, ngapain sedih-sedih."

"Kamu nggak peka banget, sih, Res! Gimana aku enggak sedih, orang Papa benar-benar melakukan ancamannya," semburku kembali merasakan sesak yang tadi sempat sirna.

"Eh? Seriusan Papa kamu nggak mau ngebiayain kuliahmu, Lia?" Kali ini Aldo bersuara, setelah sebelumnya diam tak menanggapi perdebatanku dengan Ares.

"Iya ... aku pikir Papa bilang seperti itu supaya aku makin giat belajar, enggak taunya beneran, Do." Seketika rasa sesak itu kembali hadir. Tanpa dapat kucegah, airmataku kembali tumpah.

"Ah, lo Do! Malah bikin anak orang nangis," keluh Ares, menyodorkan tisu ke tanganku. Saat itu aku merasa tak percaya Ares bisa menunjukkan sikap peduli.

"Sebelum lo meratapi nasib, lo ingat deh, mungkin di saat yang sama banyak orang yang lebih bersedih dari lo karena enggak lolos ujian masuk PTN. Kan, sudah gue bilang, kalau beneran lo dicoret dari kartu keluarga, kita bikin kartu keluarga berdua," ujarnya dengan cengiran lebar.

Mau tak mau aku tertawa mendengar perkataannya. Baru kali itu aku bertemu seseorang yang masih berusaha melihat sisi terang meski dalam keadaan gelap.

Aku melihat pribadi yang unik pada diri Ares. Meski terlihat cuek, dia sebenarnya perhatian. Perlahan-lahan, perasaanku terhadapnya mulai tumbuh. Pelan, tanpa kusadari ia tiba-tiba makin membesar.

"Kamu gimana, Do? Lolos FSRD?" tanyaku beralih pada Aldo.

"Alhamdulillah," sahut Aldo dengan senyum puas tercetak pada wajah.

"Wuah! Selamat!" tanpa sadar aku berteriak, menyebabkan beberapa pasang mata dari pelanggan kupat tahu tempat kami makan, melirik ke arah bangku tempat kami duduk.

"Ah, padahal aku berharap bisa bareng sama kamu kuliahnya," sahut Aldo.

"Lia ditakdirkan bareng sama gue, Do. Lo harus berlapang dada menerima," kekeh Ares dengan senyum penuh kemenangan.

"Eh? Kok?" Aku menatap Ares heran.

"Nihon bungaku bu!" (Fakultas Sastra Jepang) soraknya menepuk dada. "Kita sefakultas, onegaishimasu!" ujarnya membungkukkan badan menirukan gaya orang Jepang.

"Lebay!" Aku mencibir pada cowok bergaya cuek itu tak sanggup menahan tawa.

Agak aneh memang. Di saat aku harusnya meratapi nasib karena kemalangan, aku malah menikmatinya dengan tawa. Semua berkat Ares. Cowok itu seakan tak tersentuh oleh perasaan sedih. Dia bagaikan matahari yang menerangi sisi gelap yang ada di bumi. Mencairkan segala kebekuan, mengusir rasa dingin.


*****

Setelah pengumuman ujian saringan masuk perguruan tinggi, aku dan Ares kembali disibukkan dengan pekerjaan kami di kafe. Berharap pada saat jadwal pendaftaran ulang, biaya yang dibutuhkan telah terkumpul.

Seminggu menjelang jadwal pendaftaran ulang berakhir, Mama kembali menelpon. Ada rasa canggung yang kurasa. Bahkan aku merasa seperti berbicara dengan orang asing.

"Mama tadi mentransfer uang untuk pendaftaran ulangmu," ujarnya.

"Bukan kah ...."

"Lia masih anak Mama. Mama tidak pernah membenci Lia. Lia harus ingat itu," potong Mama. Andai kala itu Mama ada di hadapanku, ingin rasanya menghambur ke pelukannya. Aku bagai menemukan oase di tengah padang pasir. Terasa sejuk mendengar kalimat yang diucapkan Mama.

"Terima kasih, Ma. Maafkan Lia belum bisa membanggakan Mama." Aku terisak.

Merasa sesak sekaligus lega. Setidaknya aku tau bahwa aku masih di cintai, sudah lebih dari cukup.

"Sudah tau kapan jadwal kuliah?"

Mengabaikan ucapan terima kasihku, suara Mama kembali terdengar kaku seperti biasa.

"Bulan depan, Ma."

"Daren sudah mama suruh cari kosan di Jatinagor untukmu. Sudah dikabari belum?"

"Belum."

"Mungkin belum ada yang cocok, nanti Lia tanya sama Daren, ya. Semoga bulan depan Mama bisa mengunjungi kalian," ujar Mama, kemudian menyudahi pembicaraan tercanggung antara ibu dan anak itu.

Setelah Mama menelpon, aku kembali memeriksa nomor panggilan terakhir, untuk memastikan bahwa tidak sedang berhalusinasi. Nomor Mama benar-benar tertera pada panggilan terakhir.

Sekali lagi, Ares benar. Orangtuaku hanya kecewa. Mereka tidak benar-benar membenciku. Terlebih lagi selama ini komunikasi yang terjalin di antara kami tidak begitu bagus. Mereka terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Aku dibiarkan mengurus sendiri semua keperluanku. Jika membutuhkan orang dewasa, ada asisten rumah tangga yang akan mewakili mereka.

Selama ini mereka menganggap, kebutuhanku hanya sebatas materi. Padahal aku yakin, dengan latar belakang pendidikan yang mereka punya, mereka pasti sudah paham bahwa yang di butuhkan seorang anak bukan hanya materi.

Meskipun selama ini aku terlihat hidup berkecukupan, tapi seperti ada yang hilang. Selalu berjalan di jalan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh kedua orangtua. Segala ambisiku harus dibuang jauh-jauh. Tidak ada yang namanya cita-cita selain menjadi dokter.

Seminggu setelah Mama menelpon, Kak Daren menghubungiku, mengabarkan bahwa dia telah menemukan tempat kos yang cocok untukku. Bersebelahan dengan kosannya. Pada saat itu aku langsung mengambil kesimpulan, tahun-tahun pertama perkuliahanku tak akan indah. Hidup di bawah pengawasan Kak Daren sepertinya lebih parah daripada hidup bersama Papa. Saat itu aku berpikir, Tuhan benar-benar ingin menyiksaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status