Home / Romansa / My Peaches / 3. Conversation

Share

3. Conversation

Author: Shawty Ajeng
last update Last Updated: 2021-06-21 23:23:43

Esoknya, hari pertama pekerjaan yang di lakukan oleh Latasha tidak begitu berat seperti di tempat kerja lamanya. Banyak hal-hal baru yang tidak ia lakukan sebelumnya, lebih banyak keluar masuk ke ruangan Oliver. Benar apa kata Renatta, jika pekerjaan wanita itu menjadi Office Girl pribadi Oliver. Latasha sendiri banyak memiliki teman baru yang sebaya dengan dirinya. Tak susah untuk Latasha bertukar cerita.

Evan sendiri terkejut bila pertemuan dengan Latasha begitu tak terduga. Dulu, saat SMA, Evan menjadi incaran banyak gadis di sana. Tetapi Evan memilih Latasha yang kuper. Bahkan setelah dua tahun kelulusan, Latasha saja yang tidak hadir di acara reuni. Evan tidak bisa mengekpresikan dirinya saat bertemu Latasha. Ia kikuk dan memilih pergi dari ruangan Oliver. Sesampai di ruangannya, Evan terduduk lemas lantaran masih tidak percaya jika seorang Latasha dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Aura kelembutan yang ia miliki masih terpancar hingga saat ini. Evan penasaran, seperti apa wujud anak dari Latasha. Apa persis sepertinya Ibunya?

“Pak Evan....” Seseorang mengetuk pintu, membuat Evan terkejut sesaat.

“Masuk.”

Renatta. Wanita itu masuk seraya membawa berkas di tangannya. Evan melirik yang sebelumnya telah memperbaiki sikapnya seperti biasa, dingin dan tidak mau banyak berbicara.

“Ini Pak, berkas dari cabang Bekasi, perihal kenaikan omset di beberapa bulan terakhir ini. Kata Pak Oliver, di beberapa tempat Bekasi barat akan segera di urus pembukaan cafe baru. Pak Evan sendiri yang akan mengaturnya.” Jelas Renatta.

“Saya?”

Renatta mengangguk pelan.

“Kebiasaan.”

“Saya permisi dulu, Pak.” Renatta pamit setalah menaruh berkas di meja kera Evan.

Oliver memang senang jika bisnis cafenya melesat pesat. Kenaikan omset dari beberapa cabang tidak main-main, bahkan marginnya pun selalu naik dari tahun ke tahun. Tak heran juga jika Oliver semakin giat mendirikan cafe di berbagai tempat. Isu-isu Oliver sendiri ingin mendirikan cafenya di tetangga sebelah, Malaysia. Tentunya yang akan mengatur lapangan adalah Evan, membuat lelaki berumur 27 tahun itu pusing karena harus memikirkan tempat mana yang strategis untuk membangun usaha. Ayahnya tak suka jika tempat cafenya di bangun di sembarang tempat, tidak strategis serta tidak menghasilkan omset yang melejit.

Evan kembali merebahkan badan besarnya di kursi, ia merasa lelah akhir-akhir ini. Membuat mood nya hancur dan perlarian untuknya adalah club malam, mencurahkan segala keluh kesah kepada sebotol wine dengan aroma kupu-kupu malam.

Evan mengambil ponselnya, mencari nama Tan di sana.

“Tan,”

“Hi, bro? What’s up?”

“Siapkan gue tempat paling nyaman.”

Ada suara tawa di seberang sana, “Seperti biasa, club gue malam ini milik lo.”

“Thanks.”

Percakapan tertutup. Evan menghela napas beratnya. Kecanduannya dengan alkohol atau semacamnya bermula sejak kuliah. Ia menyalurkan stressnya kepada minuman haram itu, meski Evan sendiri tahu jika itu tidak baik. Ia selalu membatasi minumnya supaya tidak terlihat mabuk berat saat pulang. Ellena sudah mengoce saat mendapati Evan terbaring di atas ranjangnya dengan masih memakai jas lengkap miliknya. Ellena tahu, kebiasaan adiknya saat seperti itu adalah habis mabuk.

Tok... Tok...

Ketukan pintu membuat Evan lagi-lagi terkejut. Tanpa mengubah posisi duduknya ia mempersilahkan siapa pun orang di balik pintu itu untuk masuk.

“P-permisi, P-pak....”

Evan menoleh mendengar suara yang sangat di kenalnya. Ya, Latasha. Wanita itu sudah memakai seragam barunya. Segeralah Evan mengubah posisi duduknya sedikit tegak dan langsung bertanya tanpa menatap Latasha sedikit pun.

“Ada apa?”

“Tadi, Ibu Renatta bilang kalau hari ini adalah jadwal bebersih di ruangan Bapak. Jadi saya—“

“Silahkan.” Potong Evan cepet dan langsung bergegas keluar ruangan. Meninggalkan Latasha tanpa melirik sedikit pun, membuat wanita itu mematung melihat tingkah Evan.

Wanita itu ingin bertanya bagian mana yang biasanya Rianti bersihkan, pasti ada tempat-tempat tertentu yang tidak boleh di sentuh. Latasha sempat bingung, tetapi ia harus melakukan kewajibannya. Wanita itu memulai dengan membersihkan singgah sananya Evan, kursi kebanggan lelaki itu yang belum ganti beberapa bulan terakhir ini. Entah alasan apa, Evan nyaman duduk di sana.

Latasha masih belum percaya, jika cinta masa SMAnya sekarang sudah sangat sukses. Mungkin jika mereka masih bersama, apakah Latasha akan menjadi nyonya Geutama bagi Evan? Sempat terpikir oleh Latasha saat ini, tetapi tidaklah mungkin. Latasha bukan dari kalangan menengah ke atas, silsilah keluarga saja sudah tak jelas. Pantas saja jika Alvin meninggalkan dirinya. Membuat semakin lengkap kisah hidup Latasha yang suram.

Pertemuan pertama di ruang Oliver membuat keduanya terdiam seribu bahasa. Sempat hening beberapa menit dan hanya Oliver lah yang selalu memulai percakapan di antara keduanya. Semua itu terhenti ketika Renatta datang sambil memberitahu bahwa ada clien Evan yang menelpon.

Latasha mulai merapihkan meja Evan, ada beberapa dokumen penting yang berantakan. Kemudian beralih membersihkan meja serta laci-laci itu. Tak sengaja ada laci yang sedikit terbuka, Latasha tahu jika itu tidak sopan, tetapi kegiatannya berhenti saat melihat gelang rajut biru muda di sana. Wanita itu terkejut, lantaran gelang rajut yang ia lihat terakhir kali pada saat kelulusan masih tersimpan oleh Evan. Bahkan ada di laci kerjanya.

Latasha mengambilnya tanpa memikirkan sepasang mata telah mengawasinya sejak tadi.

“Apakah itu sopan?”

Latasha terkejut. Ya, sepasang mata itu adalah Evan.

“Baru saja di tinggal ke toilet, kamu sud—“

“Maaf, Pak.”

Hening.

Evan beralasan jika ia sehabis ke toilet, tentu saja ia berdiam di balik pintu ruangannya. Memperhatikan gerak-gerik Latasha di hari pertamanya kerja. Ketika Latasha mengambil gelang biru itu, ia terkejut dan memutuskan untuk masuk.

Evan menghampiri Latasha yang menunduk, sementara sudut bibir Evan terangkat sedikit, ia tak menyangka jika sikap Latasha tidak pernah berubah. Wanita itu semakin takut, aura Evan sendiri juga tidak kalah menegangkan. Tak ada yang berubah dengan sikap dingin menghanyutkan lelaki itu, selalu melekat pada dirinya.

“Latasha...”

Napas Evan begitu terasa di wajah lembut Latasha. Mengantarkan aroma klasik yang melekat pada Evan, aroma yang tidak pernah berubah selama hampir delapan tahun lamanya. Itulah dulu yang membuat Latasha jatuh cinta. Sikap Evan yang keras tidak menutup hati seorang Latasha untuk bisa mencintai lelaki itu, hingga waktu memberi mereka jeda dan di pertemukan dengan status yang berbeda.

“S-saya ngg-“

“Sudah cukup.”

Tubuh Evan semakin dekat dengan Latasha. Aroma parfume peach tercium oleh Evan, membuat kedua matanya terpejam sesaat. Evan meletakan tangan kekarnya di atas meja, seakan membuat Latasha semakin terperangkap dalam dunianya.

“Latasha...”

Wanita itu tidak bisa bergerak, ia memberanikan menatap mata elang milik Evan. Memori masa lalu kembali menyerang mereka berdua. Di pisahkan oleh waktu di pertemukan oleh keadaan.  Tak menyangka delapan tahun menghilang keduanya bisa bertemu.

“Latasha...”

“Em—“

“Ambilkan gelangnya.”

Latasha seketika tersadar. Ia menunduk dan melihat gelang biru itu jatuh tepat di dekat kakinya. Detik itu juga Evan menjauhkan tubuhnya dari Latasha, mulai bersikap seperti tidak ada apa-apa.  Sementara Latasha dengan sedikit bingung ia langsung mengambil gelang itu. Menaruhnya di atas meja dan langsung bergegas pergi. Wanita itu tidak mengingat kapan jantungnya mulai berpacu dengan kecepatan di atas rata-rata.

“Latasha.”

Wanita itu berhenti, ia memejamkan kedua matanya seraya berbisik, “Tolong jangan mendekat.”

Evan menghampiri lagi, kali ini berdiri tepat di belakang Latasha. Wanita itu tidak mau menoleh sedikit pun ke arahnya.

“Ada apa, Pak?”

Evan mulai mendekat, kini napasnya mulai terasa di leher Latasha. Membuat wanita itu harus kuat dan tidak lemas di hadapan Evan. Latasha mengakui lelaki itu sempurna, semua wanita bertekuk lutut dengannya jika sudah seperti ini. Tetapi Latasha lebih memilih menahan semuanya.

“Kamu meninggalkan serbet nya,” ucap Evan sambil memberikan kain kotak-kotak itu di hadapan Latasha. Wanita itu langsung mengambilnya bersamaan ia menelan ludahnya sendiri dengan susah payah.

“Lain kali, jangan ceroboh.”

“Maaf, Pak.”

“Mau lanjut bebersih?”

Latasha menggeleng. Ia melihat jam tangannya seakan mengingat sesuatu, “Saya harus buatkan kopi untuk Pak Oliver.”

Tanpa menunggu Evan berbicara, Latasha langsung meninggalkan ruangan lelaki itu tanpa menoleh sedikit pun. Ia berlari dan menuju pantry, mengatur napasnya yang naik turun serta mengatur detak jantungnya yang masih berdegup tak karuan. 

“Eh, kenapa?” tanya Rumi, cleaning service lain yang heran melihat Latasha pucat.

“Abis liat apa sampai pucat gitu? Ada hantu di sini?”

“Ngg-nggak kok, Rum. Lanjut lagi ya,” balas Latasha seadanya. Ia menghela napas dan mulai bergegas, meninggalkan Rumi dengan beribu tanya.

Di ruangannya, Evan masih berdiri di dekat ambang pintu. Seakan menerawang hal apa yang baru saja terjadi dengan dirinya. Ia mengerjapkan matanya dan mengambil ponsel di saku jasnya. Mencari nama seseorang di sana.

“Ke tempatku malam ini.”

                                      ***

Malam hari seperti biasa Latasha selalu menyisihkan waktu dengan Gaitha. Sepulang bekerja, wanita itu langsung menjemput anaknya di tempat sekolah. Ia sangat berterima kasih tentunya kepada pihak sekolah karena sudah mau di titipkan anak. Dengan begini, baik Latasha mau pun Lea bisa tenang menjalani aktifitas keseharian mereka.

Awal yang rumit bagi seorang Latasha ketika ia harus mengurus Gaitha sendirian. Bingung sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dirinya. Di tambah Gaitha sudah mengerti tentang sosok Ayah. Pernah sekali ia bertanya, “Ma, Ayah itha siapa?” Dengan wajah polosnya yang membuat hati Latasha remuk saat itu juga. Entah kata-kata dari mana yang membuat bocah itu bisa bertanya kepada Latasha. Beruntunglah Lea pintar dalam hal mengalihkan pembicaraan, tentu saja Gaitha lupa seketika dengan pertanyaannya. Sampai detik ini Lastasha belum bisa menemukan jawaban yang tepat.  Lea bak malaikat dadakan, datang di saat yang tepat dengan kedua orang tua Lea yang juga menerima Latasha di sana. Bahkan Gaitha sempat ingin di adopsi oleh orang tua Lea, tetapi Latasha menentang itu dan tetap merawat Gaitha yang ia bisa.

“Ma, Itha gambal kuda tadi. Di kasih bintang-bintang sama bubu gulu,” celotehnya dengan antusias.

Awal masuk sekolah, bocah itu sudah di ajarkan untuk memanggil Ibu Guru, entah kenapa lidah bocah itu sulit sekali mengucapkan kata-kata tersebut. Alhasil, hanya Gaitha sendiri yang memanggil para guru dengan sebutan, “bubu gulu”. Lucu memang dan semua guru di sana sangat memaklumi itu.

“Oh ya? Mama mau lihat.”

Dengan semangat Gaitha berlari ke ransel sekolahnya, mengambil selembar kertas yang sudah terlipat di bagian ujung-ujungnya. Bocah itu memberi hasil karyanya dengan senyuman manis. Latasha mengambil dan terkejut melihat gambar anaknya sendiri, ia ingin tertawa tetapi saat melirik Gaitha yang menunggu penilaian darinya, semua itu ia urungkan. Latasha heran, sejan kapan kuda kakinya bisa menjadi enam? Seingatnya, ia pernah memberi contoh gambar kuda dan tentunya Gaitha paham dengan itu.

“Gambar Itha bagus. Tapi... kok kuda kakinya enam?”

Gaitha yang tak paham melihat kembali hasil karyanya, ia terdiam seraya melirik Mamanya beberapa kali.

“Coba sini hitung.”

“Ini berapa, sa...”

“Tu...,” Gaitha mulai menghitung semua kaki kudanya.

“Nah, kuda kakinya berapa?”

Raut wajahnya tampak berpikir dan sepertinya bocah itu sudah lupa.

“Du...”

“Dua!!”

“Pintar! Besok gambar kuda kakinya dua ya.”

Gaitha hanya tertawa dan mulai melihat-lihat hasil karyanya dengan bangga. Seolah ia sangat handal dalam hal menggambar.

“Wah, apaan itu?” Lea, tiba-tiba muncul dari kamar mandi dengan handuk yang terlilit di kepalanya.

“Itha gambar kuda di sekolah,” balas Latasha.

“Kuda kaki enam!” sahut Gaitha bangga. Membuat Latasha dan Lea saling berpandangan.

                                          ***

“Kak Tata belum tidur?”

Latasha menoleh dan tersenyum tipis, ia membenarkan posisinya karena baru saja meniduri Gaitha. Wanita itu memberi isyarat untuk keluar dari kamar, sementara Lea langsung paham dengan gerak-gerik Latasha.

“Kakak ketemu sama dia, Le.” Itulah kalimat pertama yang di ucapkan oleh Latasha.

“M-maksudnya?”

“Evan.”

Tentu saja Lea terkejut. Ia tahu banyak tentang masa lalu Latasha bersama laki-laki sebelum Alvin. Sejak perkenalan Latasha dan Evan, keluarga Evan sendiri memang tidak mengetahui tentang hal itu. Evan anak yang tertutup, cuek dan arogan. Sulit bagi Evan untuk mengungkapkan cinta kepada seseorang. Kepada Latasha pun berawal dari rasa penasaran yang berujung suka tetapi tidak untuk di jabarkan perasaan seperti apa yang ia rasakan.

“Evan... jadi bos Kak Tata?” Lea bertanya kedua kalinya setelah Latasha menceritakan ia bekerja di perusahaan mana dan wanita itu mengangguk lemah.

“Kak Tata masih kuat, kan?”

“Semoga Lea.”

“Demi Gaitha. Kakak bisa ko lewatin ini.”

“Tapi, Kakak malu, Le. Pertemuan Kakak dengannya sudah berbeda status.”

“Kakak masih berharap?”

Latasha terdiam, pikirannya mulai berkelana entah kemana. Meski ia pernah menikah, tetaplah Evan adalah lelaki pertama yang menjadi kekasihnya saat itu. Evanlah lelaki pertama yang menyukai dirinya sekaligus memberi rasa sakit tanpa Latasha ketahui karena sudah tertutup cinta di lubuk hatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Peaches   35. Ayah

    "Om... ini Itha dimana? Itha mau pulang, mau ketemu Mama sama Tante Lea." Sudah sekian kalinya Gaitha mengeluarkan kata-kata tersebut kepada Alvin, dan Alvin hanya diam saja seraya mengelus puncak kepala gadis kecil itu. Di lubuk hatinya, Alvin senang meski dulu ia mencampakan istri dan anaknya. Bahkan sosok Gaitha membuat hatinya tenang, wajah Gaitha begitu mirip dengan Latasha. Bahkan cara bicaranya pun sangat mirip dengan mantan istrinya itu, hanya warna mata dan rambut sedikit ikalnya yang mirip dengan Alvin. "Itha... Itha mau punya, Ayah?" Tanya Alvin lembut. Gaitha tampak berpikir, kemudian menjawab dengan polosnya, "Mau. Tapi Itha udah ada Ayah." "Siapa?" "Om." Alvin tampak bingung, "Om?" Gaitha mengangguk, "Om teman Mama, namanya Om Epan!" Seru bocah itu girang. Tatapan Alvin berubah menjadi dingin ketika nama Evan di sebutkan, tetapi Gaitha tidak menyadari itu yang membuatnya kembali normal. "Itha mau tau sesuatu?" "Apa?" Alvin beranjak dari duduknya, ia mengambil

  • My Peaches   34. Sebuah Kabar (2)

    Dengan langkah gontai, Evan berjalan cepat menuju tempat dimana wanita itu di rawat. Pikiran Evan sudah tidak bisa di kontrol lagi, satu yang akan Evan lakukan, menemukan Alvin kemudian membunuhnya. Setelah berada di lantai tiga, ia langsung menuju lorong yang di sana sudah terdapat empat bodyguard suruhan Evan di awal. Tanpa berkata lagi, Evan ingin mendobrak kamar inap Latasha dan hal itu di tahan oleh dua bodyguard lainnya. "Bos, Ibu Latasha masih di tangani. Dia habis melewati perawatan intens karena lukanya, bos." Evan menghempaskan tubuh kedua bodyguard itu sehingga mereka terjatuh di lantai. Belum sempat Evan bergerak, dua bodyguard lainnya menahan tubuh besar Evan agar tidak masuk keruangan tersebut. "Bos, tahan dulu. Masih ada dokter di dalam, kita belum boleh masuk." "Bangsat! Siapa yang berani ngatur gue!" Sentak Evan bersamaan ia mendorong kedua tubuh bodyguardnya. Napasnya memburu, wajahnya merah padam serta rahangnya mengeras, benar-benar menandakan betapa emosinya

  • My Peaches   33. Sebuah Kabar

    "Rum, kok Latasha belum datan? Udah jam 8, loh." Kata Pak Rega ketika memasuki pantry. Rumi menoleh dengan wajah yang khawatir. Ia juga sudah beberapa kali menghubungi wanita itu tetapi belum ada jawaban. "Aku nggak tau, tumben banget Latasha nggak ada kabar kalau emang dia nggak masuk." "Apa dia sakit?" Rumi hanya menggeleng, "Latasha wanita kuat, meriang aja dia tetap masuk." "Kamu punya nomor kerabat Latasha?" Rumi menghela napas lesuh, "Nggak punya, Pak." "Tapi, Rumi jadi khawatir deh sama Latasha. Nggak biasanya dia kaya gini." Lanjut Rumi. "Tunggu sampai siang, mungkin memang benar Latasha sedang sakit dan belum sempat kabarin kita. Orang pertama yang ia kabari pasti saya." Jelas Pak Rega. Rumi hanya mengangguk saja, "Nanti setelah istirahat Rumi coba hubungi dia lagi." Pak Rega mengangguk setuju, "Kamu bikinkan teh hangat untuk Pak Evan, seharusnya ia suruh Latasha. Tapi dia belum datang jadi kamu aja sana." "Baik Pak." Sesampainya di ambang pintu ruangan Evan, Rumi

  • My Peaches   32. Penelusuran

    Setelah dari rumah Latasha, Evan langsung berlalu menuju mobilnya. Ia enggan untuk pulang dan justru mengikuti jejak Alvin yang sudah pergi beberapa menit yang lalu. Meski ia tidak yakin akan bertemu sosok Alvin, setidaknya jika Tuhan berkendak, ia ingin melihat Alvin dari jarak jauh saja sudah cukup. "Kemana bajingan itu pergi?!" Umpatnya kesal ketika mobilnya menyusuri jalanan berkelok dengan bebatuan. Sempat sulit bagi Evan mengendari mobilnya. Terakhir kali ia melihat Alvin, lelaki itu berbelok ke jalanan tersebut. Setelah setengah jam menyusuri jalanan bebatu, Evan mematikan mesin mobilnya ketika melihat gubuk kecil yang tak jauh dari pandangannya. Kedua matanya masih memantau pergerakan gubuk tersebut lantaran Evan yakin jika itu tempat persembunyian Alvin selama ini. Jarak pandang yang minim, membuat Evan mengambil ponselnya lalu mengarahkan kameranya kesana. Ia merekam dan mengzoom gubuk tersebut, detik berikutnya ia terperangah lantaran melihat sosok laki-laki yang sangat

  • My Peaches   31. He's Come Back

    Evan memijat keningnya, ia memikirkan cara agar Latasha mau mengikuti keinginannya. Tan sudah memberi usul untuk menyewa bodyguard khusus agar Alvin bisa terpantau, di tambah lagi mereka akan selalu mengawasi Latasha dan Gaitha. Hanya cara itu yang bisa Evan lakukan untuk saat ini. Setidaknya, sampai wanita itu mau berbicara lagi dengannya. Sepeninggal Latasha sore tadi, membuat Evan sedikit kelimpungan. Pasalnya wanita itu selalu berpamitan ketika ingin pulang, lain hal kali ini. Sama sekali ia tidak mengabari dirinya. Bahkan ketika berpapasan di lift Latasha berusaha menghindarinya. Sengaja Evan tidak memberitahu alasan mengapa mengajak Latasha tinggal di tempatnya. Lelaki itu mengira jika hubungannya sudah membaik dan wanitanya akan mau di ajak kemanapun. Tetapi, semua itu tidak mudah. Latasha tetaplah Latasha yang tidak suka merepotkan orang-orang sekitarnya. Evan beralih ke laptop di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di apartementnya. Setelah menyelesaikan cuti dua harinya

  • My Peaches   30. Please.

    Dua minggu telah berlalu semenjak menyelesaikan kasus Nayla. Kini kantor Gtama Group tengah mengadakan acara besar. Penyematan jabatan kepada Evan Farraz Geutama. Hari ini ia resmi menyandang gelar CEO menggantikan Oliver, sementara lelaki paru baya itu akan fokus untuk mengatur bisnis lainnya di luar perusahaan. Oliver akan lebih santai dan tidak terlalu sering pergi ke kantor untuk menjalankan bisnis yang selama ini ia besarkan. Evan sudah memimpin di perusahaannya, bisa di bilang Oliver akan pensiun dari tempat tersebut. Meski nama Oliver akan selalu tetap jadi utama di sana. "Selamat, Evan. Tepat hari ini kamulah CEO Gtama Group." Oliver menjabat tangan Evan dan memeluknya sesaat. Suara tepukkan memenuhi ruangan rapat yang luas itu."Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada saya." "Tentu, karena kamu sudah di takdirkan untuk meneruskan perusahaan ini." Oliver melepas jabatannya. Lalu mempersilakan Evan memberi sambutan serta misi visi pribadinya dalam menjalankan perusahaan

  • My Peaches   29. Feeling

    Bab 29 Esoknya pagi-pagi Evan di kejutkan dengan deretan email dari Oliver yang menyatakan bahwa pembersihan data tersebut telah berhasil. Di tambah lagi banyak kolega baru yang mengirim email ke Evan untuk mengajaknya kerja sama dalam hal berbisnis. Bukan itu saja, deretan spam email itu rata-rata memberitahu jika bisnis yang ia jalankan sebelumnya mendapat keuntungan yang melimpah. Kini Evan yakin jika tinggal beberapa langkah lagi Evan akan menyandang gelar CEO menggantikan Oliver. Lelaki itu menghela napas, mengatur sedikit napasnya dan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Kali pertamanya bagi Evan bangun di atas jam 7, ia meregangkan otot tangannya sesaat. Lalu beranjak dari ranjangnya, keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Sudah ada Erick yang tengah menyantap sarapannya dengan nikmat. Suasana hening kembali terasa di pagi hari. "Kemana orang-orang?" Evan bertanya setelah mencomot roti panggang yang tersisa satu. "Pergi ke Mars, capek

  • My Peaches   28. Good Night

    Tan, Evan, beberapa bodyguard serta ahli IT tengah berkumpul di sebuah ruangan yang bertepatan di Mansion milik Evan. Mansion tersebut berada di ujung kota dan tidak banyak orang yang tahu kecuali Tan dan para bodyguard mereka. Dengan sistem yang sudah di atur oleh Evan, membuat privasi ketika berada di Mansion tersebut akan selalu terjaga. Keluarga Gtama dan Nayla pun tak pernah tahu jika salah satu anak mereka memilik Mansion mewah di kota tersebut. Mansion itu juga akan menjadi tempat tinggal Evan bersama pasangannya nanti, tentu saja ia sudah memikirkan hidup dengan Latasha. Di bar khusus, para ahli IT sudah bersiap dengan alat perang mereka. Sudah saatnya semua kebocoran data akan di hapus untuk membuat reputasi Evan kembali membaik. Di tambah lagi ia akan memblokir semua akses dengan Nayla agar wanita jalang itu tidak bisa lagi untuk melacak tentang Evan. "Backinga-an Nayla apa udah meluncur kemari?" Tanya Tan di sela-sela keheningan. Evan menjawab setelah menuangkan minumanny

  • My Peaches   27. Kenyataan

    Lea masih berkutik dengan laptopnya ketika berada di perpustakaan kampus. Dengan sesekali melirik buku-buku tebal tentang administrasi, membuatnya kembali pusing mengingat sebentar lagi ia akan menghadapi ujian. Beberapa kali Lea menghela napas panjang, memegang perutnya yang terasa perih lantaran belum makan dari pagi. Lea menyandarkan punggungnya di kursi, sekilas melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sesaat gadis itu memejamkan matanya untuk sekedar menenangkan pikirian. Detik berikutnya Lea di kejutkan dengan kedatangan Erick ketika ia membuka matanya, cowok tengil itu sudah berada di hadapannya tengah duduk dengan paper bag cokelat di atas meja. "Ba-Erick...," Lea membenarkan posisi duduknya. Erick tidak langsung menjawab, ia mendorong paper bag di hadapannya kearah Lea. "Makan." "H-hah?" "Lo budeg?" Sindir Erick kejam. Lea meremas celana jeansnya, ia benar-bener heran dengan sikap Erick yang seperti ini tiba-tiba. "Lo tau dari mana gue belum makan?

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status