Evan berjalan cepat menuju club malam seorang diri. Setelah seharian bekerja membuat lelaki itu menginginkan sedikit hiburan. Sesampainya, Evan langsung di sambut oleh penjaga club seperti biasanya. Club milik Tan, temen kuliahnya dulu adalah seorang duda tanpa anak. Kehidupan Tan begitu bebas sehingga status menikah hanyalah pajangan bagi dirinya, Tan sendiri sudah menikah sebanyak empat kali dan tentu saja semua itu tidak bertahan lama. Kecintaan Tan terhadap club membuat istrinya tidak tahan dan memilih untuk cerai. Tan memang pandai dalam menggoda perempuan, ketampanan Tan tidak beda jauh dengan Evan yang anak seorang CEO. Pun kekayaan Tan setara dengan Oliver.
“Hi, bro!”
Tan menyapa Evan saat ia sedang duduk di sofa bersama wanita malam yang di pilihnya. Evan tak membalas sapaan Tan melainkan langsung duduk dan menuangkan wine untuk di minumnya.
Tan tertawa, ia memberi isyarat agar wanita di sebelahnya menyingkir.
“Ada apa?”
“Gue butuh hiburan.”
“Apa Nayla udah lo hubungi?”
“Hm.”
“Bagaimana hari ini?”
“Biasa aja.”
Tan tahu sikap Evan yang malas untuk membahas hari-harinya. Kemudian, Tan memanggil seorang wanita bergaun hitam nan sexy. Berniat untuk memberi sedikit hiburan kepada teman kuliahnya ini.
“Bro, mungkin dengan ini lo bisa terhibur.”
Evan melirik sekilas ke arah wanita itu, terapi ekspresi Evan biasa saja yang kemudian ia berpamitan kepada Tan untuk pergi. Sekaligus ia meminta Tan untuk mengantarkan dua botol wine ke mobilnya.
“Malam ini Nayla udah sampai di apartmen.” ucap Evan saat berjalan menuju mobilnya.
“Apa lo mau ikutin jejak gue? Menikmati setiap tubuh wanita tanpa ada status?”
Evan berhenti kemudian berbalik, “Kita memang berteman, tetapi untuk itu gue belum kepikiran akan bagaimana.”
Tan hanya mengangguk, sangat mengerti kemauan Evan. Meraka berdua tidak beda jauh, saat kuliah pun Evan sudah melepas perjakanya karena ajakan Tan. Mungkin jika di hitung Tan lebih banyak menikmati tubuh wanita di banding Evan. Setelahnya Evan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sampai di Apartemen miliknya, Evan melihat seorang wanita yang di kenalnya sudah duduk di loby. Tanpa basa-basi lagi Evan langsung menarik tangan sang wanita itu untuk ke kamarnya. Wanita itu hanya tertawa melihat tingkah Evan yang mungkin saja sudah tidak tahan ingin melepas rasa penatnya.
Nayla adalah wanita malam yang di temui Evan di club milik Tan, tetapi tidak sembarangan pula yang bisa menikmati tubuh indah wanita itu. Nayla harus memilh siapa yang pantas untuk dirinya, salah satunya adalah Evan. Tentu saja karena Evan anak konglomerat. Demikian Evan, ada beberapa wanita yang sudah di tiduri tetapi Nayla bisa di bilang lebih banyak menikmati kejantatan miliknya. Tidak ada rasa sedikit pun baik Nayla dan Evan. Pekerjaan Nayla membuat dirinya mati rasa dan hanya menikmati uang setelah memuaskan hasrat para lelaki konglomerat.
Sesampainya di kamar, Evan langsung melumat bibir sexy Nayla, meremas bokong indah itu seraya mendekatkan kejantanan milik Evan dengan vagina Nayla. Tentu saja wanita itu mengerang nikmat saat lumatan itu berpindah ke leher, kemudian turun ke tempat paling indah yang di miliki wanita. Evan langsung merobek gaun Nayla begitu saja, membuat dua buah gundukan itu mengembul tepat di wajah Evan. Tak pakai jeda, Evan langsung menikmati gundukan itu serta melumat puting Nayla tanpa ampun. Nayla yang sudah mulai lemas oleh sentuhan Evan mulai meremas rambut lelaki itu diringi erangan kenikmatan.
Tubuh Nayla di dorong lembut oleh Evan ke ranjang king size miliknya. Lelaki itu membuka pakaiannya, Nayla pun hanya diam karena setiap melakukan hubungan Evanlah yang membuka seluruh pakaian Nayla dengan paksa.
“Evan, jangan lupa pengamannya.”
Evan tak menjawab ia langsung bergegas ke laci samping ranjangnya dan mengambil pengaman itu. Nayla sudah tak tahan, area sensitifnya sudah mulai basah dan siap untuk di nikmati lebih jauh.
Ketika sudah sama-sama tanpa busana, disitulah Nayla terpukau dengan kejantanan milik Evan yang sudah mengeras. Evan masih menciumi setiap inci tubuh Nayla tanpa henti, melumat area-area yang dapat membuat Nayla mengerang nikmat.
“Ah, Evan….”
“Evan….”
“Shut up, bit*h.” suara Evan mulai serak.
Roleplay yang di buat Evan cukup bagi keduanya, Evan memasukan kejantanan miliknya ke lubang kenikmatan milik Nayla. Wanita itu berteriak dengan suara sexy, bermula dengan tempo lambat Evan langsung memberi tempo cepat setelahnya. Membuat malam itu adalah kenikmatan bagi keduanya setelah beberapa minggu terakhir tidak saling melepas hasrat.
***
“Lea, hari ini mau pergi?”
“Nggak, Kak. Biar gue yang jagain si Itha.”
Latasha tersenyum, wanita itu berencana datang lebih pagi karena ingin lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan anaknya masih tertidur pulas, Latasha tidak bisa membangunkannya.
“Kalau begitu, Kakak pergi dulu.”
“Bye!”
Latasha pergi menaiki bus seorang diri menuju tempat kerjanya, sudah hal biasa juga baginya selalu seperti ini. Tidak terpikir oleh wanita itu tentang, ‘apakah ia akan menikah lagi?’. Mungkin pertanyaan itu dia kesampingkan dan lebih fokus mengurus Gaitha hingga anak itu tumbuh dewasa.
Setelah wanita itu turun Latasha langsung masuk ke tempat kerjanya, ia berjalan menuju pantry dengan langkah terburu-buru. Saat menyadari pintu pantry sudah terbuka, wanita itu mengira bahwa salah satu temannya sudah datang lebih awal.
“Pasti Rumi,” pikirnya.
Ketika Latasha masuk, di situlah pertemuan kembali dengan Evan. Lelaki itu sedang membuat kopinya sendiri. Dari belakang tubuh besar Evan serasa menarik Latasha untuk memeluknya. Rasa rindu itu menjalar tiba-tiba ke seluruh tubuhnya.
“Kenapa?”
Suara Evan membuyarkan lamunan Latasha, ia sempat salah tingkah saat Evan menatapnya dengan intens. Langkah Evan mendekat setelah ia menyeruput kopinya.
“Latasha tidak banyak berubah.”
Latasha hanya menunduk, ia malu sebenarnya. Karena tak menyangka jika mantan kekasihnya, sekarang menjadi bosnya.
“Cobalah untuk nggak menunduk di saat biacara dengan orang.”
“M-maaf, Pak.”
“Lalu… bisakan jangan panggil Pak di saat lagi berdua?”
Latasha mendunga, ia memberanikan diri untuk menatap Evan yang sedang lanjut menyeruput kopinya. Tatapan Evan tak berpaling dari Latasha, lelaki itu sukses membuat jantung Latasha berdebar lagi seperti kemarin.
“Aku ingin bertanya.”
“Ya?”
“Ke mana suami mu?”
Kedua mata Latasha memanas. Heran jika setelah bertahun-tahun lamanya ia sangat menghindari pertanyaan itu. Tetapi Evan dengan berani bertanya tanpa berpikir lagi, 'apakah hal itu menyakitkan hati seorang wanita atau tidak?'.
“Apakah pertanyaanku sulit di jawab?”
“Aku sudah bercerai, aku nggak tau di mana suamiku.” Suara Latasha dengan mulai bergetar.
Evan tidak menyadari itu meski ia masih menatap Latasha dengan intens, melainkan ia bertanya tentang hal lain, “Kamu sudah punya anak?”
Latasha mengangguk, “Perempuan, namanya Gaitha.”
“Namanya yang bagus.”
“Terima kasih.”
“Latasha….”
Latasha kembali menatap Evan dengan sedih. Ada rasa yang sulit di jelaskan oleh Latasha sendiri.
“Apa kamu merindukan seseorang selama ini?”
“Apakah kamu merindukan seseorang?”Pertanyaan itu terniang-niang di kepala mungil Latasha, ia heran kenapa Evan bertanya seperti itu. Sesaat Evan pergi, wanita itu tidak berbicara lagi dan hanya menunduk. Tidak kuat menatap Evan terlalu lama. Sifat Evan semakin terlihat oleh Latasha jika lelaki itu sudah sedikit berubah, tidak kasar seperti dulu.Ingatan delapan tahun lalu kembali muncul saat Evan beberapa kali sudah menampar Latasha karena masalah kecil. Evan yang dulu sangatlah sensetif dan hanya Latasha yang bisa bertahan cukup lama dengan lelaki mata elang itu. Berbanding terbalik dengan mantan-mantan Evan sebelumnya, belum genap sebulan mereka sudah meninggalkan Evan lantaran tidak kuat. Evan SMA egonya masih tinggi, tetapi ia terpilih jadi ketua osis karena kepintaran lelaki itu serta ide-ide brilian dalam mengembangkan kedisiplinan para siswa.
“Itha langsung ke kamar mandi, ya.” “Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi. Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan. Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!” *** Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh be
Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi. “Astaga!” Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi. “Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”“Hah? Sekaran
Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k
Senin. Hari di mana semua aktifitas bermula. Semua kerjaan dari hari ke hari menumpuk di hari tersebut. Lagi-lagi Evan di tegur oleh Oliver untuk segera menyelesaikan proyek cafe baru yang tengah ia kerjakan. Tetapi bukan Evan namanya jika tidak punya ide B. Diam-diam proyek itu sudah selesai berkat bantuan tangan kanannya Evan, Renatta dan dua orang karyawan terpercayanya. Bukan Evan malas, lantaran ia juga memiliki bisnis sendiri di luar perusahaan Gtama Group itu. Cuan yang Evan incar sampai-sampai beberapa hari lalu ia melewatkan kunjungannya ke proyek cafe tersebut.“Bagaimana? Lusa kita siap buka cafe baru itu?” Pertanyaan serius itu mengarah kepada Renatta.“Siap, Pak. Semua karyawan baru juga sudah saya rekrut, tetapi masih kurang satu karyawan wanita lagi.”