Gadis dengan rambut yang sudah dicepol asal, wajah lesu, dan pikiran yang hampir saja meledak seandainya dia adalah mesin. Menjadi mahasiswi tahun ketiga tidak pernah mudah, praktik dan makalahnya sering ditolak. Tara jadi menyesal tidak giat belajar sejak lalu-lalu.
Dia membuang bungkus permen lewat celah jendela, dengan lagu ballad berbahasa Mandarin—yang Tara mau tidak mau suka, karena Juna juga suka—mengalun lembut di setiap inci mobil Juna.
Tara memperhatikan air embun di jendela mobil yang ia dan Juna kendarai saat ini, dalam hati ia bertanya-tanya: apakah sebab sekarang hujan, jadi embun datang, kalau iya, ia suka.
"Jun." Tara mengalihkan pandangannya pada Juna yang fokus menyetir.
Mereka baru saja pulang dari kafe, lebih tepatnya Juna menjemput Tara yang sedang berada di kafe. Gadis itu tengah mengerjakan tugas kelompok.
"Hm, kena
Tara melihat tangan kecilnya digenggam erat-erat. Dia terserang panik berlebihan saat bunyi klakson bersahut-sahutan di telinga, ditambah lagi suara ayahnya yang meneriakkan nama Tara dan seorang wanita di sebelahnya keras-keras.Begitupun yang dilakukan oleh Tirta, Kakaknya.Mereka bersiap untuk menyebrang. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti langkah orang itu. Tenaganya tak cukup besar untuk menolak.Tin!!! Tin!!!Sebuah truk pengangkut pasir terang-terangan menabrak tubuhnya, ia terpelanting jauh. Tubuh kecil itu terseret beberapa meter di atas material aspal yang kasar.Selesai.Tubuhnya sudah tergolek tak bernyawa. Bersimbah darah di kanan kiri dengan luka memenuhi setiap inci.Tara terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat mengucur deras lewat pelipisnya. Rambut basah oleh keringat dengan tangan gemetar hebat.Buru-buru ia membuka nakas yang berada tepat d
"Ra cepet turun sini, cepet!""Ih bentar!!" Tara balas berteriak.Dia sedang mencari antingnya yang tinggal sebelah. Hari ini mau berangkat kuliah bareng ayahnya karena dia masih kesal terhadap Juna.Bahkan gadis itu sama sekali tak membuka ponsel sebab tahu, Juna pasti sudah menghubungi berkali-kali dan mengirim pesan spam sambil marah-marah."Ih cepetan."Tara sontak menoleh saat mendapati ayahnya sudah berdiri di daun pintu kamarnya yang berwarna biru langit."Bentar, ih! Anting aku kemana ya, Pa?" Tara kembali mengacak-acak ranjangnya, siapa tahu anting berhiaskan permata mini itu menyelip di sana."Anting?""Iya. Papa liat nggak?""Anting yang ada permatanya?"Tara kembali melihat Papanya yang sudah berpakaian rapi, hendak mengurus masalah penyewaan gedung."Iya," balas gadis itu penu
Bagi orang-orang kalimat "Aku tak bisa hidup tanpanya" adalah bualan semata. Tapi bagi Juna, rangkaian kata itu bukan sekedar rayuan. Itu nyata adanya.Juna tak bisa hidup tanpa Tara. Tak ada hari tanpa Tara dan tak ada napas tanpa memikirkan gadis itu.Semua. Semua napas, setiap butir nasi yang masuk ke dalam tubuh, setiap inci tubuh dan jiwanya, Juna merasa; itu semua untuk Tara. Milik Tara.Juna merasa ... dia bisa melawan semuanya termasuk semesta untuk mendapatkan Tara.Pada hari-hari penuh kebimbangan, Juna berusaha mati-matian untuk menerima Tara. Tak mudah memang, tapi gadis itu berhasil.Mereka akhirnya saling mencintai.Tapi tak ada yang berubah, Juna tetap Juna yang dulu dan Tara semakin parah. Tapi mereka bersikap abai terhadap kenyataan tersebut.Mereka berdua hanya berderap pada jala
Hari ini semua orang kembali sibuk, Tirta sebagai pemegang predikat manusia ganteng yang tak pernah pacaran tapi sangat populer di kalangan para penyewa gedung—harus kembali ke kantor untuk mengurus segalanya yang harus diurus.Pemuda itu telah siap dengan celana chinos hitam dan kemeja merah jambu yang sialnya tampak serasi-serasi saja dengan rambutnya yang baru dicat berwarna biru. Rambut yang sudah berganti warna sebanyak tiga kali dalam empat bulan terakhir.Pemuda itu membenarkan kacamatanya sebelum beranjak dari kursi bar, menyelesaikan sarapannya. Begitupun yang dilakukan oleh satu-satunya perempuan di rumah itu, Tara. Gadis tersebut sudah siap dengan kemeja biru muda dan celana jeans senada, wajahnya yang selalu ceria kini kontras dengan kepribadiannya. Terlihat sangat frustasi serta kelelahan, kantung mata terlihat jelas seperti digambar dengan eyeshadow.Kantor Tirta tidak jauh-jauh amat
Juna marah-marah lagi. Seperti biasa, karena Tara lupa mengabari ditambah masalah ponsel tadi. Setelah beberapa menit mengobrol dengan ponsel Sonya, akhirnya pemuda itu kembali tenang begitupun Tara.Setelah benar-benar berpisah dengan lambaian tangan yang kian mengecil ditelan jarak, Tara berjalan ke arah pintu utama. Sidak pasti akan dilakukan hari ini kepada pelaku pencurian sabun cuci motor, yang tak lain dan tak bukan adalah Tirta. Tara yakin sekali.Saat memasuki rumah, Tara dibuat super heran dengan keadaan sekitar yang amat kacau. Tampak ayahnya yang sedang membersihkan pecahan kaca di lantai, sedangkan omnya—Karen—duduk di sofa dengan pose yang sangat sopan. Jelas itu adalah sebuah kejanggalan, sebab Karen dan Sopan adalah dua hal yang tidak mungkin berkolaborasi. Lalu yang lebih mengherankan, kakaknya sedang menangis dengan nada super nelangsa, di pelukannya terdapat kucing hitam temuan tempo hari. Ditambah
Karen menurunkan bahu dan kertas yang diangkat tinggi-tinggi itu bersama helaan panjang yang muak. "Siapa sih yang main ke rumah malem-malem?! Nggak tau apa kalau lagi ada sidang penting di sini?!" Lelaki itu kembali menghamburkan diri ke sofa, tanda bahwa ia sama sekali tak mau membuka pintu dan mempersilahkan Sang tamu masuk ke kediaman mereka."Tau tuh!" Tirta pun ikut-ikutan menghamburkan diri ke sofa. Sudah cukup sedih kehilangan Kulas hari ini, dia sedang tidak memiliki ide, bahkan hanya untuk tersenyum kepada seseorang.Papa dan Tara beradu pandang sengit. Semula, Tara hendak tidak tahu diri dan menyuruh Papanya untuk membuka pintu. Tapi setelah mendapatkan pelototan dari Kakaknya, gadis itu ngibrit menuju selasar, pintu utama."Aduh-aduuhhh!! Saya nggak budek, ya." Gadis itu menggerutu sambil berjalan cepat lantaran bel ditekan semakin tangkas tiap detiknya. Gadis itu tiba-tiba memiliki ide, ten
Juna mendudukkan pantatnya di sofa, melihat udara yang mencekam membuatnya kian bertanya-tanya. "Kenapa ini? Kok pada serius?""Lo mengganggu sidak besar Keluarga Taharja, Juna." Karen membalas sengit, yang diangguki mantap oleh Tirta.Papa tersenyum kecut pada Juna yang masih bingung. "Udah, udah, nggak papa. Gimana kalau sekarang kita lanjut aja? Itung-itung Juna bisa jadi saksi bisu.""Begitukah?" Karen melonjak semangat. Tak sabar melihat hukuman seberat apa yang akan menimpa Tirta, melupakan bahwa sebenarnya tindakannya lebih bejat daripada Sang keponakan."Diam kau pembunuh." Tirta berdiri, mengambil lagi lembaran yang ditulis oleh Karen.Mendengar Tirta menyebut Om-nya sebagai pembunuh, Juna semakin dibuat penasaran tentang apa yang terjadi di rumah ini. Pemuda itu mengerutkan dahi sambil memasang telinga lebar-lebar.
Suatu hari, Rendra pernah dibuat bingung setengah mati. Duduk tak kuasa, makan tak dapat tertelan, rasa-rasanya bernapas saja sudah merupakan dosa. Hari itu adalah hari di mana Tiffany melahirkan. Rendra dan Tiffany adalah kakek-neneknya Juna kalau perlu diingatkan.Saat itu, Rendra bahkan merecoki setiap suster yang lalu-lalang di depan ruang bersalin. Hanya untuk sekadar menanyakan, apakah buah hatinya sudah lahir atau belum, kemudian kira-kira berapa lama lagi. Sampai-sampai semua orang muak. Kendati demikian, para suster sama sekali tak keberatan sebab disuguhkan wajah tampan seorang Narendra Gautama.Pada akhirnya, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu sambil dilalap keresahan. Dan seperti kata pepatah, tak ada penantian yang sia-sia. Pukul sembilan malam kurang beberapa menit, anaknya telah lahir.Lelaki itu memandang Tiffany penuh perhatian dan cinta. Berterima kasih paling banyak dan serius karena t