Share

3. Turn Back Time

Author: Asteroid
last update Last Updated: 2021-06-18 06:48:29

Pagi hari, 31 Desember, 2018 ....

Hujan lebat. Guntur datang sesaat setelah petir mencoret langit seluas pandangan mata manusia. Bagaikan aktor drama air, seorang lelaki yang mengenakan pakaian semi formal, celana panjang dan kemeja polos berwarna biru muda tersebut berlari tunggang langgang sepanjang koridor rumah sakit Good Husada. 

Sebelum itu, ia tengah bekerja sebagai seorang sub manajer dalam satu restoran besar di pusat kota. Mendengar istrinya akan segera melahirkan dan dilarikan ke rumah sakit, ia tak lagi sanggup melihat catatan penjualan harian, yang ia mau hanya melihat istrinya. Meskipun cuma sebagai sandaran dari rintih dan perih, dia rela. 

"Mama di mana?" tanyanya setelah melihat Tirta—Sang sulung terduduk di lobi sendiri—Tirta masih berusia tujuh tahun saat itu—anak laki-laki itu menunjuk ruangan bersalin. 

Setelah melihat bahwa istrinya telah mendapat penanganan, lelaki itu mengambil napas lega. Air hujan memang membasahi seluruh pakaiannya, namun tetap saja rasanya keringat mengalir jauh lebih deras daripada hujan itu sendiri. 

Dia tak tahu, harus bersyukur atau merasa bersedih. Hidup bertiga saja sudah terlunta-lunta, apalagi istrinya yang sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil membuat ia semakin merasa bersalah. Memohon maaf kepada siapa saja kalau dia belum bisa membahagiakan orang-orang yang ia cinta. 

Lelaki bermata lembut itu tak mengharapkan memiliki anak lagi, tapi Tuhan memberikan rezeki kepadanya secara terburu. Dia masih saja berpikir, bagaimana dia menghidupi dua orang dan satu bayi. Dia sungguh kalut, seperti daun pinus kering yang terpaksa jatuh ke tanah karena serangan angin. Seperti kertas penuh coretan yang kini habis terbakar, menjadi abu. 

Tapi mau sekalut apa, dia masih sadar, anak adalah anugerah dari Sang Khalik yang tidak bisa ia sia-siakan atau akan berdosa. 

"Bapak Taharja?" Seorang suster muncul dari balik pintu ruang persalinan. 

Mendengar namanya disebut, Taharja berdiri cepat-cepat. "S-saya?" 

"Iya, Bapak Taharja bisa menuju kemari?" 

Taharja mengangguk, memberikan tas kerjanya kepada Tirta, lelaki itu berjalan gamang menuju ruang persalinan. 

"Bayinya cantik Pak...." Seorang suster memberikan bayi itu pada Taharja, masih hangat, dilumuri oleh darah yang pekat dan amis. 

Bayi itu menangis sangat kencang, telinga Taharja sampai sakit. Anehnya, bapak dua anak itu malah tersenyum. Anaknya cantik sekali, matanya mirip dengan ibunya. Bulat dan cokelat. Indah. 

Istrinya melihat itu dengan kesadaran yang menipis, lalu memegang tangan Sang suami. "Mas, namanya siapa?" 

"Satara Taharja." 

Satara Tajarja. Begitulah sedikit cerita tentang lahirnya seorang anak hiperaktif bernama Tara. 

Tara punya banyak hal yang ia sukai di dunia ini. Yang pertama adalah hidup itu sendiri. Tara suka dan sangat bersyukur bahwa ia hidup, apalagi menjadi anak dari seorang lelaki bernama Taharja Purnama. Bukan karena papanya kaya, sebab waktu Tara kecil hidup mereka tak semapan sekarang. Hanya saja, karena papanya adalah papanya. 

Papa Tara. 

Seorang lelaki ceria nan baik yang dengan lapang dada membawanya ke dunia ini. Seorang lelaki yang malu-malu mengajarkan Tara soal haid ketika gadis itu kebingungan setengah mati saat darah keluar deras dari area kewanitaan. Seorang laki-laki yang berkata akan mencarikan pemuda terbaik untuk Tara. 

Pertama, ia suka hidup. Kedua ia suka Papa dan Mama. Tapi selama beberapa tahun terakhir daftar kedua mulai berubah, Tara cuma suka Papa. Tara tidak suka Mama lagi. Karena Mama itu jahat. Kendati demikian, Tara tak pernah bisa membenci wanita itu. Sebab di depan kaca, dia adalah Mama dalam bentuk duplikat. 

Beranjak dewasa, Tara yang awalnya mempunyai banyak hal untuk disukai mulai berjalan terbalik. Banyak sekali hal yang patut dibenci menurutnya. Dunia tidak sebaik pikirannya ketika masih kecil. 

"Bagaimana jika aku bisa memutar balik waktu?" Dalam diam, Tara pernah berharap kepada semesta. Meminta "semesta, aku ingin memutar waktu dan berkata kepada Tuhan kalau aku tak mau lahir ke dunia ini". Namun, tentu saja kalimat itu tak pernah terlontar, hanya terpikir lalu ditelan gelap dinginnya malam. 

***

Tara tahu, ini bakal jadi sangat klise. Tapi sungguh, gadis itu tak dapat menghilangkan segalanya tentang Juna. Tentang bagaimana laki-laki itu berjalan, berbicara, diam atau ... bagaimana laki-laki itu menatapnya. Dalam, teduh dan sakit. Sebuah kombinasi rasa yang seolah-olah tak dapat menemukan asa. 

"Ngapain sih? Sibuk banget dari subuh, bukannya doa sama Tuhan malah scroll hape melulu." Seseorang di samping Tara mencerca, suaranya agak serak khas orang bangun tidur. 

Langit mulai cerah, pertanda bahwa pagi subuh sudah meninggalkan mereka lalu digantikan oleh pagi hari. "Bodo, ih." Tara tak ambil pusing dengan gadis di sebelahnya. 

Namanya Fina, teman Tara waktu SMA. Sebenarnya Fina dan Tara tidak bisa dibilang dekat, karena bahkan saat jarak membentang mereka jauh sekali, tak ada ucapan rindu atau kata-kata ingin segera bertemu. Namun, terkadang juga, mereka menyadari kalau mereka saling menyayangi. 

Fina kuliah di luar kota, itu sebabnya Jeno maupun Tara tak pernah bertemu Fina. Berkontak di ponsel pun jarang, Fina adalah tipe yang jarang membuka sosial media. Baginya ... itu tak penting-penting amat buat anak ambisius macam dirinya. Apa sih yang paling penting buat anak ambisius? Ya belajarlah! 

Sehari-hari dipenuhi oleh deretan angka, narasi dan deskripsi yang bahkan Tara tak ketahui sama sekali. Sungguh, kadang punya teman macam Fina ini bikin Tara kehilangan kepercayaan diri sebagai gadis yang dianugerahi rasa malas dan non-ambisius yang tinggi. 

"Lihat apa sih?" tanya Fina. Hari ini, tanggal 31 Desember 2018. Fina yang mendapat libur dari kampus, bukannya pulang ke rumah sendiri malah pulang ke kediaman Keluarga Taharja. Bikin Tara, Papa, Kakak dan Om-nya (yang sudah numpang tinggal di sini lama) geleng-geleng kepala. 

"Lagi stalking akun cogan." Tara menjawab tanpa menatap temannya itu. Hmm, sudah beberapa hari ini Tara melakukan stalking terhadap akun media sosial Juna. Mulai dari I*******m sampai F******k, semuanya digali sampai rinci.

Tapi nihil, tak ada apa-apa yang Tara dapat. Akun Juna sudah seperti akun yang ditinggal mati oleh pemiliknya, atau bernasib sama seperti akun-akun yang dibajak hacker luar negeri dan berakhir tak dapat dibuka. Tanda aktif pun tak pernah nampak meski Tara sudah mengikuti dirinya sejak beberapa hari yang lalu. Bukannya apa-apa, sebenarnya Tara sudah niat mau kepo tanpa harus mengikuti. Tapi akun Juna, digembok .... 

Gadis itu hanya menemukan beberapa foto Juna bersama teman-temannya, di mana Jeno juga ada di sana. Lalu, beberapa foto caramel macchiato di dalam cangkir yang asapnya masih mengepul. Dipotret secara estetik dengan bantuan filter I*******m.

Di sorotan ceritanya, Tara tak menemukan apa-apa selain foto atau cuplikan-cuplikan drama China. Dengan begitu saja, Tara menebak kalau Juna suka segala yang berbau China.

"Lihat, nih," suruh Tara kepada Fina yang masih menahan kantuk. "Ganteng 'kan?" 

"Nggak." Fina membuang napas sambil kembali merebahkan kepala. 

"Ihh! Orang ganteng gini kok, dia anaknya juga baik loh, Fin." 

"Ya terus apa? Lo suka gitu?" 

Tara terdiam. Masa iya ... dia suka sama Juna? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Posessive Boyfriend [Indonesia]   56. Semoga Semuanya Baik-baik Saja

    Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany

  • My Posessive Boyfriend [Indonesia]   55. Sekecap Terima Kasih

    Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny

  • My Posessive Boyfriend [Indonesia]   54. I Say I Sore

    "Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg

  • My Posessive Boyfriend [Indonesia]   53. Say That You are Sore

    "Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti

  • My Posessive Boyfriend [Indonesia]   52. Sisi Tergelap

    "Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi

  • My Posessive Boyfriend [Indonesia]   51. Filosofi Laut

    "Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status