Share

3. Turn Back Time

Pagi hari, 31 Desember, 2018 ....

Hujan lebat. Guntur datang sesaat setelah petir mencoret langit seluas pandangan mata manusia. Bagaikan aktor drama air, seorang lelaki yang mengenakan pakaian semi formal, celana panjang dan kemeja polos berwarna biru muda tersebut berlari tunggang langgang sepanjang koridor rumah sakit Good Husada. 

Sebelum itu, ia tengah bekerja sebagai seorang sub manajer dalam satu restoran besar di pusat kota. Mendengar istrinya akan segera melahirkan dan dilarikan ke rumah sakit, ia tak lagi sanggup melihat catatan penjualan harian, yang ia mau hanya melihat istrinya. Meskipun cuma sebagai sandaran dari rintih dan perih, dia rela. 

"Mama di mana?" tanyanya setelah melihat Tirta—Sang sulung terduduk di lobi sendiri—Tirta masih berusia tujuh tahun saat itu—anak laki-laki itu menunjuk ruangan bersalin. 

Setelah melihat bahwa istrinya telah mendapat penanganan, lelaki itu mengambil napas lega. Air hujan memang membasahi seluruh pakaiannya, namun tetap saja rasanya keringat mengalir jauh lebih deras daripada hujan itu sendiri. 

Dia tak tahu, harus bersyukur atau merasa bersedih. Hidup bertiga saja sudah terlunta-lunta, apalagi istrinya yang sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil membuat ia semakin merasa bersalah. Memohon maaf kepada siapa saja kalau dia belum bisa membahagiakan orang-orang yang ia cinta. 

Lelaki bermata lembut itu tak mengharapkan memiliki anak lagi, tapi Tuhan memberikan rezeki kepadanya secara terburu. Dia masih saja berpikir, bagaimana dia menghidupi dua orang dan satu bayi. Dia sungguh kalut, seperti daun pinus kering yang terpaksa jatuh ke tanah karena serangan angin. Seperti kertas penuh coretan yang kini habis terbakar, menjadi abu. 

Tapi mau sekalut apa, dia masih sadar, anak adalah anugerah dari Sang Khalik yang tidak bisa ia sia-siakan atau akan berdosa. 

"Bapak Taharja?" Seorang suster muncul dari balik pintu ruang persalinan. 

Mendengar namanya disebut, Taharja berdiri cepat-cepat. "S-saya?" 

"Iya, Bapak Taharja bisa menuju kemari?" 

Taharja mengangguk, memberikan tas kerjanya kepada Tirta, lelaki itu berjalan gamang menuju ruang persalinan. 

"Bayinya cantik Pak...." Seorang suster memberikan bayi itu pada Taharja, masih hangat, dilumuri oleh darah yang pekat dan amis. 

Bayi itu menangis sangat kencang, telinga Taharja sampai sakit. Anehnya, bapak dua anak itu malah tersenyum. Anaknya cantik sekali, matanya mirip dengan ibunya. Bulat dan cokelat. Indah. 

Istrinya melihat itu dengan kesadaran yang menipis, lalu memegang tangan Sang suami. "Mas, namanya siapa?" 

"Satara Taharja." 

Satara Tajarja. Begitulah sedikit cerita tentang lahirnya seorang anak hiperaktif bernama Tara. 

Tara punya banyak hal yang ia sukai di dunia ini. Yang pertama adalah hidup itu sendiri. Tara suka dan sangat bersyukur bahwa ia hidup, apalagi menjadi anak dari seorang lelaki bernama Taharja Purnama. Bukan karena papanya kaya, sebab waktu Tara kecil hidup mereka tak semapan sekarang. Hanya saja, karena papanya adalah papanya. 

Papa Tara. 

Seorang lelaki ceria nan baik yang dengan lapang dada membawanya ke dunia ini. Seorang lelaki yang malu-malu mengajarkan Tara soal haid ketika gadis itu kebingungan setengah mati saat darah keluar deras dari area kewanitaan. Seorang laki-laki yang berkata akan mencarikan pemuda terbaik untuk Tara. 

Pertama, ia suka hidup. Kedua ia suka Papa dan Mama. Tapi selama beberapa tahun terakhir daftar kedua mulai berubah, Tara cuma suka Papa. Tara tidak suka Mama lagi. Karena Mama itu jahat. Kendati demikian, Tara tak pernah bisa membenci wanita itu. Sebab di depan kaca, dia adalah Mama dalam bentuk duplikat. 

Beranjak dewasa, Tara yang awalnya mempunyai banyak hal untuk disukai mulai berjalan terbalik. Banyak sekali hal yang patut dibenci menurutnya. Dunia tidak sebaik pikirannya ketika masih kecil. 

"Bagaimana jika aku bisa memutar balik waktu?" Dalam diam, Tara pernah berharap kepada semesta. Meminta "semesta, aku ingin memutar waktu dan berkata kepada Tuhan kalau aku tak mau lahir ke dunia ini". Namun, tentu saja kalimat itu tak pernah terlontar, hanya terpikir lalu ditelan gelap dinginnya malam. 

***

Tara tahu, ini bakal jadi sangat klise. Tapi sungguh, gadis itu tak dapat menghilangkan segalanya tentang Juna. Tentang bagaimana laki-laki itu berjalan, berbicara, diam atau ... bagaimana laki-laki itu menatapnya. Dalam, teduh dan sakit. Sebuah kombinasi rasa yang seolah-olah tak dapat menemukan asa. 

"Ngapain sih? Sibuk banget dari subuh, bukannya doa sama Tuhan malah scroll hape melulu." Seseorang di samping Tara mencerca, suaranya agak serak khas orang bangun tidur. 

Langit mulai cerah, pertanda bahwa pagi subuh sudah meninggalkan mereka lalu digantikan oleh pagi hari. "Bodo, ih." Tara tak ambil pusing dengan gadis di sebelahnya. 

Namanya Fina, teman Tara waktu SMA. Sebenarnya Fina dan Tara tidak bisa dibilang dekat, karena bahkan saat jarak membentang mereka jauh sekali, tak ada ucapan rindu atau kata-kata ingin segera bertemu. Namun, terkadang juga, mereka menyadari kalau mereka saling menyayangi. 

Fina kuliah di luar kota, itu sebabnya Jeno maupun Tara tak pernah bertemu Fina. Berkontak di ponsel pun jarang, Fina adalah tipe yang jarang membuka sosial media. Baginya ... itu tak penting-penting amat buat anak ambisius macam dirinya. Apa sih yang paling penting buat anak ambisius? Ya belajarlah! 

Sehari-hari dipenuhi oleh deretan angka, narasi dan deskripsi yang bahkan Tara tak ketahui sama sekali. Sungguh, kadang punya teman macam Fina ini bikin Tara kehilangan kepercayaan diri sebagai gadis yang dianugerahi rasa malas dan non-ambisius yang tinggi. 

"Lihat apa sih?" tanya Fina. Hari ini, tanggal 31 Desember 2018. Fina yang mendapat libur dari kampus, bukannya pulang ke rumah sendiri malah pulang ke kediaman Keluarga Taharja. Bikin Tara, Papa, Kakak dan Om-nya (yang sudah numpang tinggal di sini lama) geleng-geleng kepala. 

"Lagi stalking akun cogan." Tara menjawab tanpa menatap temannya itu. Hmm, sudah beberapa hari ini Tara melakukan stalking terhadap akun media sosial Juna. Mulai dari I*******m sampai F******k, semuanya digali sampai rinci.

Tapi nihil, tak ada apa-apa yang Tara dapat. Akun Juna sudah seperti akun yang ditinggal mati oleh pemiliknya, atau bernasib sama seperti akun-akun yang dibajak hacker luar negeri dan berakhir tak dapat dibuka. Tanda aktif pun tak pernah nampak meski Tara sudah mengikuti dirinya sejak beberapa hari yang lalu. Bukannya apa-apa, sebenarnya Tara sudah niat mau kepo tanpa harus mengikuti. Tapi akun Juna, digembok .... 

Gadis itu hanya menemukan beberapa foto Juna bersama teman-temannya, di mana Jeno juga ada di sana. Lalu, beberapa foto caramel macchiato di dalam cangkir yang asapnya masih mengepul. Dipotret secara estetik dengan bantuan filter I*******m.

Di sorotan ceritanya, Tara tak menemukan apa-apa selain foto atau cuplikan-cuplikan drama China. Dengan begitu saja, Tara menebak kalau Juna suka segala yang berbau China.

"Lihat, nih," suruh Tara kepada Fina yang masih menahan kantuk. "Ganteng 'kan?" 

"Nggak." Fina membuang napas sambil kembali merebahkan kepala. 

"Ihh! Orang ganteng gini kok, dia anaknya juga baik loh, Fin." 

"Ya terus apa? Lo suka gitu?" 

Tara terdiam. Masa iya ... dia suka sama Juna? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status