Share

2. Tertolak

Tiga puluh Desember, 2018 ....

Juna tumbuh besar tanpa orang tua. Yang dia punya hanya Eyang Putri yang sangat sayang padanya alias kalau di bahasa gaul-kan: bucin banget sama Juna. 

Eyang dan Eyang Putri adalah couple goals pada masanya. Mereka sama-sama sukses, Eyang adalah seorang pelukis terkenal. Lalu memutuskan untuk membangun galeri. Di sana, Eyang Putri muda bekerja sebagai manajer utama kelanjutannya bisa kalian tebak sendiri. 

Sampai sekarang, galeri Eyang sudah memiliki beberapa cabang. Dan ada dua yang berada di US. Eyang Putri dulu sangat cantik, bahkan sampai sekarang wajahnya masih sarat akan kecantikan yang seolah tak pernah memudar. Eyang juga tampan, mungkin itu sebabnya Juna juga tampan. Ketampanan seseorang memang tidak pernah lepas dari gen keluarga, kata mas Kulin di film Terlalu Tampan. 

Kabar pahit yang pertama adalah Juna hidup tanpa orang tua. Kabar pahit yang kedua adalah, Eyang meninggal lima tahun yang lalu. Menyisakan Eyang Putri dan dirinya sendirian. Itu artinya, setelah ini Juna harus mau tidak mau mengurus galeri peninggalan Eyang. Sebab Eyang Putri sendiri semakin menua. 

Seiring bertambahnya usia, Juna semakin menutup diri. Itulah yang membuat Eyang Putri sedih. Apalagi tiga tahun terakhir Juna memilih untuk tinggal sendirian, Eyang takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Meskipun wanita di usia pertengahan 60 itu yakin kalau Juna tak sebodoh itu untuk melukai diri sendiri.

Kemarin Juna mengusirnya karena cucunya itu bilang bahwa dia akan menonton drama. Dengan terpaksa Eyang pergi dari rumah Juna. Meskipun mengusir, sebenarnya Juna tidak kasar. Hanya sedikit menyebalkan saja. 

Hari ini, Eyang mau melihatnya lagi. Eyang berniat untuk manja dengan Juna, karena memang ini hari Minggu. Dia akan meminta Juna mengantar ke rumah sakit untuk periksa kesehatan bulanan. 

"Nggak bisa dong, waktu libur Juna itu habis buat nonton drakor, Eyaaaang." 

"Ayolah, Jun. Jarang-jarang juga Eyang minta dianterin sama kamu. Ya? Ya?" 

"Masalahnya Juna juga belum mandi." Benar. Laki-laki itu belum mandi, masih menggunakan kaos putih belel kemarin sore dan wajah bengkak karena tidur subuh tadi. Biasalah, maraton drakor. Oh iya, yang tahu Juna suka nonton drakor cuma Eyang doang kok. Usahakan yang lain tidak tahu, gengsi lah! 

"Ya nggak papa, Eyang tungguin." Eyang tidak mau kalah. Sekarang dia duduk di atas sofa cokelat beludru di kamar Juna. 

Juna menghela napas tidak percaya. Tanpa bisa berbuat apa-apa dia mengambil handuknya di lemari, lantas berderap ke kamar mandi dengan perasaan super jengkel. 

Eyang diam-diam berseru menang di dalam hati. Sebenarnya mudah saja membuat anak itu menurut, karena pada dasarnya memang sudah penurut sejak kecil. 

***

Renjuna Winarga selalu bertanya-tanya, kemana perginya orang-orang yang mati. Tentu saja raga mereka masih di dunia ini, membusuk dimakan cacing atau dibakar dan berakhir menjadi abu. Yang Juna tanyakan adalah jiwa yang terkandung di dalam raga. Kemana perginya jiwa-jiwa itu. Apakah benar mereka mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang mereka lakukan di dunia. Juna selalu penasaran. Tapi rasa penasaran itu selalu berakhir tak terjawab, padahal dia hanya ingin tahu. Kira-kira seorang wanita malang di sana ... bahagia atau tidak. 

Di basemen lantai dua, Juna terduduk diam. Sofa kulit hitam di bawahnya terasa dingin, begitupun kaki dan tangannya. Juna tidak pernah bisa memberi tahu siapapun, bahkan Eyang Putri. Bahwa dia tidak suka berada di rumah sakit. Pemuda itu hanya diam di sana. Menjadi sepi di antara ramai. Menjadi sendirian di antara banyaknya kerumunan. Menjabat udara dari pendingin ruangan yang merasuk ke dalam dada. 

Juna memilih untuk membuka ponsel. Mungkin menonton aktor kesayangannya berkelahi adalah opsi yang paling tepat saat ini, sebab di antara keramaian dia selalu merasa tersisihkan. 

Juna mengerutkan dahi saat terdapat beberapa notifikasi dari Instagramnya. 

•Tararara_ra mengikuti Anda. 

•Tararara_ra mengirimi Anda pesan. 

•Tararara_ra menyukai postingan Anda. 

Tiba-tiba Juna jadi mengingat gadis itu. Kemarin dia sama sekali tak bertemu dengan Tara, mengetahui hal itu Juna sangat lega. Sebab Tara terkadang cukup mengganggu aktivitasnya. Meskipun cuma melamun, itu tetap saja penting bagi Juna. Sebab di antara pandangan yang ia sebar, dalam lamunan yang khusyuk bukan main, Juna sedikit demi sedikit melepaskan rasa sesak di dadanya. 

Tapi hari ini Juna mulai penasaran; kemana Si berisik itu. Kemudian hatinya menjawab, mungkin sedang berlibur karena kemarin adalah hari Sabtu. Juna membiarkan notifikasi itu menghilang, tidak mau memikirkan sesuatu yang tak penting-penting amat. 

Akan tetapi, apa boleh buat. Yang baru saja ia pikirkan sekarang sudah ada di hadapan mata. Tara berjalan dengan seorang laki-laki paruh baya dan pemuda yang kira-kira seumuran dengan Juna. Kelihatan ceria sekali, ketawa-ketiwi, lalu terkadang Tara memukul pemuda di sebelahnya.

Buru-buru Juna mengambil majalah kesehatan yang tergolek di meja, menutup seluruh wajahnya dan berharap setengah mati Tara tidak menemukan dirinya. 

"Kak Juna!" 

"Kaget aku!" Juna memekik karena tiba-tiba wajah ceria Tara sudah berada di depannya, gadis itu duduk di sebelah Juna. 

"Kak Juna ngapain di sini?" 

Belum sempat Juna menjawab, lelaki paruh baya yang Juna yakini sebagai ayah Tara itu turut menghampiri mereka. "Ra, Papa sama Kakak duluan ya, nanti nyusul aja. Take ur time sama pacar kamu." 

"Hah? Bukan Om!" Juna berteriak tidak terima, refleks. Papa Tara malah tertawa. 

"Nggak papa kok, Om duluan ya." 

Sedangkan pemuda yang satunya cuma melihat Juna dari atas ke bawah, seperti menganalisa apakah Juna ini pantas menjadi adik iparnya ataukan tidak. Setelah itu turut pergi tanpa sepatah kata. 

"O-om gak gitu Om!" Terlambat, Papa dan Kakak Tara sudah melenggang dari sana. Juna menatap tajam ke arah Tara, geram sekali. 

"Pura-pura nggak kenal aja bisa gak sih, Ra? Lagian kita 'kan emang nggak kenal." 

"Ya nggak dong! Kak Juna tau namaku Tara dan aku tau nama Kak Juna adalah Renjuna Winarga. Semuanya sudah jelas Kak Jun, kita saling mengenal. Kita teman!" Tara tidak mau kalah berargumen. "Kalau bisa sih lebih," cicitnya lagi. 

"Ngayal!" Juna membuang majalah kesehatan di tangannya dengan kesal, berdiri dan merapikan bajunya. Tahu gitu Juna tadi ikut masuk Eyang ke dalam ruang pemeriksaan, daripada bertemu musibah. 

"Eh Kak!" Tara menjegal lengan pemuda tersebut, Juna sontak berhenti. 

"Gua nggak mau!" 

Juna tahu kalau Tara mengajaknya merayakan tahun baru bersama anak-anak hits di kampus. Sayangnya Juna sama sekali tidak tertarik, sangat membuang-buang waktu. 

"Kak Juna!!! Oy! Oy cogan!" Tara berteriak. Namun, Juna tak peduli. Punggungnya semakin jauh ditelan jarak. Gadis itu bersendekap dada dengan bibir mengerucut. 

"Anjirt, ganteng-ganteng sombong." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status