Mobil Juna berhenti di halaman rumah minimalis miliknya, Tara praktis melipat dahi saat melihat ada mobil lain yang tak ia ketahui pemiliknya (jelas bukan punya Juna) terparkir di garasi pemuda itu.
"Siapa yang dateng? Temen kamu?" Tara bertanya sembari menoleh ke samping, hanya untuk mendapatkan Juna yang tengah membuka sabuk pengaman.
"Eyang." jawab pemuda itu dengan santainya.
"Apa?!" Tara memekik tertahan. "Bisa-bisanya kamu nggak bilang dari tadi!"
Dengan wajah tanpa dosa Juna mengedikkan bahu tak peduli. "Emangnya penting?"
"Ya penting lah, Juna! Masa aku ketemu nenek kamu kayak gini?" Tara merasa minder karena hanya memakai kaos polos putih dan celana jeans pendek di atas lutut dan bahkan sama sekali tak memakai make up.
"Apanya yang kayak gini? Kamu cantik kok." Juna meyakinkan.
Bukannya tersipu
Hari ini juga, di tempat lain, Jeno mendesah berat. Minggu-minggu seperti ini harusnya dia berada di toko distro untuk mengais rezeki, namun agaknya hari ini ada yang lebih berat daripada tanggungjawab itu; menjaga keponakannya.Entah tersambar gledek atau bagaimana, saudara jauhnya berkunjung hari ini. Lengkap formasinya dengan anak-anak, beserta satu gadis SMP yang sedang dalam masa pertumbuhan— yang rupa-rupanya menaruh hati lebih kepada Jeno— Omnya sendiri."Om, om, lihat nih! Aku punya jam tangan Superman." Seorang anak laki-laki menunjukkan pergelangan tangan yang bertahta jam bergambar Superman di sana, tersenyum pongah kepada Jeno.Jeno berpura-pura antusias, tersenyum dan menatap seolah iri, padahal tidak sama sekali. "Wahhh, bagus banget. Om jadi pengen. Kamu beli di mana?" Pemuda itu akhirnya masuk ke dalam drama kanak-kanak.Tak cukup sampai itu, Jeno j
Tara mulai mengabsen setiap stand-stand penjual makanan maupun mainan. Bermain-main dengan panahan untuk mendapatkan boneka beruang yang berujung menghabiskan lebih dari seratus ribu tanpa membawa pulang apapun. Kemudian mereka berhenti lagi di stand penjual kentang spiral, mengantre di sana dengan tertib sambil berpegangan tangan layak remaja yang baru saja kasmaran."Kamu mau yang rasa pedes atau original?" tanya Tara ketika antrian semakin menipis, maju seiring berjalannya waktu."Original aja. Kalau kamu pasti pedes, kan?" Juna merangkul bahu Tara dari belakang, dunia serasa milik berdua. Mereka tiada memperdulikan tatapan iri serta menghardik dari orang-orang."Iya. Kamu tahu lah. Boleh, kan?""Iya, yang penting jangan pedes-pedes. Nanti sakit." Juna sesekali mengecup pucuk kepala gadis itu, membaui vanilla yang selalu menjadi favoritnya.Tara m
Sebenarnya, tempo hari sebelum pulang, Tiffany sempat bertanya apakah Minggu depan Tara memiliki cukup waktu. Dan tanpa ragu, gadis itu menjawab iya. Memang setiap hari Minggunya selalu kosong, kok. Dia tak punya agenda apa-apa selain merebahkan diri di atas kasur sampai malam kembali menjemput.Jadi hari-hari yang sibuk sudah terlewati begitu saja. Hari ini, pagi-pagi buta mobil limusin mewah yang dikemudikan oleh Pak Suryo- supir kesayangan Tiffany- sudah terparkir rapi di halaman rumah Tara. Yang sempat membuat Papa, Om, Tirta dan Jojon sukses terheran-heran di Sabtu pagi yang cerah ini.Tak lama, Tara keluar dari kamarnya. Jelas semua orang lebih heran, sebab angka di jam menunjukkan masih pukul setengah tujuh pagi. Itu artinya Satara bangun 1,5 jam lebih awal daripada biasanya. Semua orang terkesiap di tempat."Mau kemana, Ra?" Akhirnya, setelah meredakan kaget, Papa bertanya dengan raut penuh seli
"Tara pulang ya, Eyang." Lalu dua manusia berjenis kelamin wanita itu berpelukan sebentar, cium pipi kanan dan kiri seperti adegan dalam televisi.Tiffany mengangguk, matanya beralih pada Pak Suryo yang menunggu mereka di samping mobil. "Hati-hati ya, Pak." Berpesan wanita itu kepada Sang supir.Lelaki paruh baya berkumis hitam lebat itu mengangguk mantap lalu mengacungkan kedua jempolnya menyanggupi permintaan Tiffany. "Siap delapan enam!"Hari beranjak menuju petang saat Satara mulai menaiki limusin mewah berwarna hitam, tak lama pun menunggu, mereka telah merayap di jalanan ibukota yang hiruk.Pemandangan di luar jendela terasa menghibur. Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat, atau para pedagang jalanan yang menjajakan segalanya di perempatan jalan, pada pohon-pohon beringin besar yang ditanam di pinggir membuat udara setidaknya sedikit lebih sejuk di sore hari. Namun pa
Dulu, waktu Tirta masih kecil, sewaktu rumah Keluarga Taharja juga tidak sebesar ini— ada satu pohon yang dia tanam di samping tapak kepyar besar di depan sana, sebuah pohon yang bahkan tidak Tirta ketahui namanya.Namanya juga anak-anak, jadi dengan pemikiran picik itu, Tirta menyiramnya sehari dua kali, sore hari menuju esok pagi. Berbicara panjang lebar dengan pohon kecil itu setiap pulang dari taman kanak-kanak, lalu berharap ia tumbuh dewasa bersama-sama dengan dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang keren.Mama mendukungnya, bahkan pohon itu, Mama-lah yang turut membantunya menanam di sisi pohon tapak kepyar. Mama bilang, kalau Tirta menanamnya dengan kasih sayang, pohon itu pasti hidup dan tumbuh dengan baik. Tirta sangat percaya perkataan Mama.Memangnya ada anak balita yang tidak percaya omongan orang tuanya? Tirta rasa tidak ada. Maka dia berkata, dia tak salah untuk percaya. Diwarnai na
Dulu, waktu Tirta masih kecil, sewaktu rumah Keluarga Taharja juga tidak sebesar ini— ada satu pohon yang dia tanam di samping tapak kepyar besar di depan sana, sebuah pohon yang bahkan tidak Tirta ketahui namanya.Namanya juga anak-anak, jadi dengan pemikiran picik itu, Tirta menyiramnya sehari dua kali, sore hari menuju esok pagi. Berbicara panjang lebar dengan pohon kecil itu setiap pulang dari taman kanak-kanak, lalu berharap ia tumbuh dewasa bersama-sama dengan dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang keren.Mama mendukungnya, bahkan pohon itu, Mama-lah yang turut membantunya menanam di sisi pohon tapak kepyar. Mama bilang, kalau Tirta menanamnya dengan kasih sayang, pohon itu pasti hidup dan tumbuh dengan baik. Tirta sangat percaya perkataan Mama.Memangnya ada anak balita yang tidak percaya omongan orang tuanya? Tirta rasa tidak ada. Maka dia berkata, dia tak salah untuk percaya. Diwarnai na
Tirta menuntun adiknya pulang ke rumah, duduk di sofa ruang tengah saat hari merambat menuju siang. Mereka berdua didera canggung, khususnya Tara. Gadis itu merasa malu untuk hanya sekedar menatap mata Tirta. Tentu saja itu karena dia tak pernah menangis di depan Kakaknya.Tara sontak menatap Tirta tatkala jari kelingking yang panjang mengacung di depan wajahnya. "Apa nih?" Gadis itu bertanya bingung."Janji kalau kita nggak bakalan bilang siapa-siapa, kalau kita nangis hari ini. Kita 'kan impas, aku nangis, kamu juga nangis. Tanpa sadar, kita membangun setengah hari yang sendu bersama-sama. Cuma kita berdua." Tirta tersenyum menenangkan."Kalau dipikir-pikir kamu hampir nggak pernah nangis di depan Kakak."Tara berpikir sebentar, kemudian merengkuh kelingking Tirta dengan kelingkingnya. "Aku juga nggak pernah lihat Kak Tirta nangis.""Janji?"
Karen pikir, ini adalah hari tersialnya tahun ini. Soalnya, pagi tadi baru ia mendapat kabar kalau kafe yang dia bangun susah payah kemalingan dan sekarang ia juga harus dirampok oleh kekejaman Tara yang memesan lebih dari 10 jenis makanan dan menghabiskan lebih dari 500.000 untuk makanan yang kini terhidang rapi di meja makan. Semua orang tersenyum dengan mata yang berliur, sedangkan Karen tersenyum kecut sambil meratapi nasib."Nasib, nasib ...." Pria itu berjalan dengan langkah lunglai ke meja makan, menyusul Tirta dan Tara yang sudah tersenyum- makan dengan lahap- yang lebih nampak bagai sepasang iblis di mata Karen."Udah deh, Om. Sukurin aja." Tara berucap dengan mulut penuh daging sapi impor yang diolah sedemikian rupa.Tirta mengangguk dengan wajah sok jumawa, satu tangannya menyedot minuman susu kotak lalu satunya lagi membawa paha ayam goreng, membuatnya tampak bagai bocah rakus yang biasa ada