Share

Percobaan Ranjang

Hujan turun sangat deras pada pukul sembilan malam. Saat ini aku telah berada di depan pintu kamar Mr. Regan sambil  ragu-ragu ingin mengetuknya atau tidak. Aku takut mengganggu aktivitas Mr. Regan yang  sore tadi berpesan pada pelayan di rumah itu  bahwa ia tak bisa diganggu. 

Meski begitu aku sangat cemas Mr. Regan belum makan apapun sejak sore. Kini dari luar pintu itu yang terdapat kaca patri, aku dapat melihat Mr. Regan tengah berada di meja kerjanya sambil menghadap pada layar Laptop. Netra di balik kacamatanya tampak serius, membuatku bertambah ragu.

Aku melihat nampan berisi makanan dan juga teh madu untuk menghangatkan tubuh Mr. Regan apalagi hujan begitu derasnya turun. Menikmati teh adalah cara paling jitu untuk membantu menyingkirkan penat.

 Aku berpikir beliau pasti sangat lelah karena harus menyelesaikan beberapa bab untuk novel terbarunya. Ya, Mr. Regan merupakan seorang novelis bertema misteri ternama yang karyanya sudah sangat banyak dibaca dan dikagumi oleh banyak orang.  Kudengar dari Bibi Claire, pria itu telah menghasilkan puluhan karya sejak ia masih muda. Di usia belasan tahun misalnya, dia sudah menerbitkan novel-novel misteri yang selalu berhasil menyentuh angka fantastis dalam penjualannya. 

Menghantarkan namanya sebagai penulis novel misteri  ternama paling diperhitungkan hingga kini, meraih banyak nobel dalam berbagai ajang penghargaan. 

Tetapi, kehidupan pribadinya jarang sekali terekspos meskipun media selalu memuji-muji ketampanan  dan kekayaan luar biasa milik Mr. Regan. Pria itu sangat tertutup bahkan bagi orang-orang yang mengenalnya. Termasuk diriku sendiri. 

Yah, sejak dinikahi olehnya, aku kira aku memang sedang bermimpi. Tapi tentu saja, aku tidak bermimpi. Dia datang ke rumahku dan langsung melamarku.  

Lamarannya tentu saja langsung diterima oleh orangtuaku karena dia menawarkan untuk melunasi seluruh utang keluargaku dan memberikan banyak hal lain lagi jika bersedia menjadikannya sebagai menantu. Ini memang aneh. Tapi ya, begitulah yang terjadi. 

Helaanku terdengar gusar. Sudah cukup aku menunggu, pada akhirnya, aku pun memberanikan untuk mengetuk pintu itu dengan tiga kali ketukan. Lalu aku bersuara agak lembut, "Apakah aku boleh masuk?"

Aku menunggu selama beberapa detik, sampai terdengar dehaman dari pria itu. 

"Silakan," katanya. 

Mendengar hal itu, maka aku bergerak membuka pintu dengan menarik tuasnya dan masuk ke dalam. 

Mr. Regan mengalihkan diri dari layar Macbook-nya untuk melihatku yang membawa makanan berupa sup iga, juga mug berisi teh madu.  

Tatapan kami bertemu. Takut-takut aku berujar lagi, "Aku membawa makan malam karena cemas kau lapar."

Aku meletakan semua itu di atas meja depan sofa biru kamar itu. Sadar bahwa Mr. Regan memperhatikanku, maka aku berusaha bersikap sesopan mungkin. 

"Aku tidak lapar, bawa itu keluar,"beritahu Mr. Regan ketika aku berjalan mendekati meja kerjanya dengan perlahan. Ucapannya membuatku bingung mau berkata apa lagi jika ternyata aku ditolak secara tak langsung. 

Situasinya selalu saja seperti ini. Begitu kaku dan canggung, seolah Mr. Regan  tak ingin berlama-lama mengobrol denganku meskipun aku selalu berusaha untuk dekat dengan pria yang berstatus sebagai suamiku itu. 

Sudah sebulan pernikahan kami terjalin, dan aku tak pernah punya kesempatan untuk mengobrol akrab dengan Mr. Regan sejak dia membawaku ke rumah ini. Meninggalkan seluruh kehidupanku dahulu.  

Aku bosan, sungguh. 

Sebelum aku dipersunting oleh Mr. Regan, aku merupakan gadis periang yang banyak omong. Tetapi rasanya seluruh sifat itu harus teredam dengan keheningan sifat Mr. Regan. Ingin sekali rasanya aku duduk dan berbicara santai dengannya, atau berjalan-jalan di sekitar kebun rumah besar keluarga Regan yang sangat luas sambil menikmati sore hari di musim semi yang tengah berlangsung.

 Tetapi, aura Mr. Regan selalu membungkam mulutku untuk sekedar berbicara. 

Kini Mr. Regan kembali terlihat fokus pada layar Macbook,  walau keberadaanku yang tak kunjung pergi membuat Mr. Regan melihatku lagi. Mungkin keberadaanku mengganggu pekerjaannya. Karena dia berikutnya bertanya, "Kau belum mau pergi?"

"Ada yang ingin aku bicarakan," beritahuku. 

"Apa?" tanya Mr. Regan dingin. 

Aku takut ingin membahas apa yang ingin dia utarakan. Terlalu sensitif. Aku takut Mr. Regan marah. 

"Tadi pagi, ibuku menelepon."

"Lalu?"

"Dia bertanya apakah dia bisa mengunjungiku atau tidak."

Mr. Regan menghela, "Kau kan sudah tahu jawabannya."

"Tapi, ini sudah sebulan sejak kita menikah. Dan aku sama sekali belum melihat ibu."

"Baru sebulan, kan? Bahkan belum setahun," balas Mr. Regan. 

Aku terdiam. Menunduk sambil memainkan jemari. Lalu menggumam sangat lirih. 

"Mengapa kau kejam sekali?" Sambil mau menangis. Aku menyeka air mata yang akan jatuh.  Mr. Regan sepertinya tak dapat fokus lagi. Dia mematikan Laptopnya, lalu menatapku sembari bertopang dagu.

 Dia memberikanku kesempatan untuk menyampaikan uneg-unegyang menghantui pikiranku sebulan ini.

 

"Aku tahu bahwa aku harus balas budi karena kau sudah melunasi seluruh utang-utang keluargaku. Tapi bersikap seperti ini sangatlah kejam. Sebenarnya aku juga tak paham mengapa kau menikahiku. Kenapa harus aku? Kau bahkan tak mencintaiku. Bagaimana bisa kau menikahi wanita yang tidak kau cintai?"

Mr. Regan menghela berat.

"Kenapa kau meracau malam-malam begini?" Dia melihatku  dengan tatapan kesal, lantas bersedekap tangan sambil bersandar di kursinya.  "Apakah menikah harus dengan cinta?"

"I-itu," aku tercekat. 

Faktanya, ada beberapa pernikahan yang terjadi bukan karena cinta. Nenekku misalnya, dulu nenekku juga dijodohkan dan bukan karena cinta.

Tapi sungguh itu menyebalkan. 

"Bersyukurlah kau menikah denganku. Aku menyelamatkan hidupmu dari kemiskinan."

Perkataan Mr. Regan membuatku makin sakit hati. Meski aku tahu ini nasibku bertemu dan menikah dengan pria sedingin Mr. Regan. Tapi lama-kelamaan aku tak bisa menerimanya lagi. 

Aku benci penindasan, dan ini adalah salah satu bentuk penindasan. Aku terdiam di depan Mr. Regan. Pria itu masih menatapku, meneliti keadaanku yang mengenakan gaun tidur selutut berwarna pastel dan lumayan transparan, sehingga menampilkan bentuk dan warna bra yang kukenakan. Entah apa yang kupikirkan ketika berani mengenakan pakaian seksi seperti ini untuk menemuinya. 

Bukan berniat menggoda, hanya saja  aku ingin melihat apakah dia bisa bersikap sebagai pria normal atau tidak. 

Karena aku curiga padanya yang seperti tak memiiki hasrat sama sekali terhadap wanita. Itu adalah salah satu hal yang membuatku cemas dan kepikiran. Setidaknya, jika dia tak mencintaiku, dia bisa saja memikirkan bagaimana seharusnya hubungan suami-istri itu terjalin. Meski aku tak berpengalaman, mungkin kami harus sama-sama belajar dan membuka diri. 

Tapi, sepertinya aku hanya melakukan hal yang sia-sia. Aku menarik napas dan melihat Mr. Regan dengan mata berkaca-kaca.

"Aku akan kembali ke kamarku," beritahuku. Yah  kalau dia ingin tahu dan peduli. Aku  menunduk sebelum undur diri berjalan menghampiri pintu. 

“Mayra," panggil Mr. Regan. 

Akhirnya!

Akupun menoleh dan melihat Mr. Regan berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiriku yang sudah dekat dengan pintu. 

"Iya?" sahutku malu-malu. 

Mr. Regan sampai di hadapanku. Tubuhku yang mungil membuatku harus sedikit menengadah melihat Mr. Regan tepat di matanya. Kemudian diriku tertarik melihat seluruh benda-benda mengagumkan di wajahnya. Dahinya, matanya, hidungnya, alisnya dan bibirnya. 

Terakhir kali Mr. Regan menciumku adalah ketika kami mengucap janji di depan altar. Itupun cuma sebentar.

Aku sempat membayangkan malam pertama dengan Mr. Regan, namun bahkan, pria itu melewatkan malam pertama dengannya dan langsung membuat kami berada di kamar terpisah. 

Aku tak berharap lebih melihat bagaimana Mr. Regan memperlakukanku seperti pajangan saja alih-alih sebagai istrinya.

Bagainapaun walau kubilang aku benci pernikahan atas dasar perjodohan, namun mengetahui bahwa pria seperti Mr. Regan lah yang menikahiku, membuat aku tak terlalu keberatan. Aku tak mau munafik jika pura-pura menolak pria seperti Mr. Regan.

 Ditambah lagi Mr. Regan merupakan orang yang sangat mapan. 

Aku tak akan melupakan pesta  pernikahan yang  membuatku benar-benar merasakan hidup sebagai seorang wanita dari kalangan atas. Kemewahan yang ditawarkan Mr. Regan memang tak tanggung-tanggung. Mengingat itu semua, aku pun berhasil menutupi bahwa aku menyesali telah dilahirkan di keluarga serakah. Nyatanya hidup memang mengutamakan harta dan tahta di atas segalanya.

Dan kembali pada suasananya saat ini, aku baru sadar bahwa Mr. Regan sangat dekat denganku. Membuatku tanpa sadar menelan ludah sebab tatapan tajam Mr. Regan begitu membuatku berdebar tak karuan. 

"Ada apa?" tanyaku lirih. 

"Aku baru menuliskan bab baru pada bukuku, dan aku bingung menuliskan beberapa hal," katanya. 

"Eum?" Aku mengerjap. "Apakah itu bagian yang paling sulit?"

"Ya. Bab melumuri donat dan menghancurkan debu. Karena aku kesulitan menuliskan bagian itu, aku pikir kau bisa membantuku menuliskannya."

"A-apa?" Aku mengerjap kebingungan. Tak mengerti apa yang barusan dia katakan padaku. Maka aku tertawa canggung. "Aku tidak mengerti, ucapku seraya meringis. Dan lagi aku tak bisa menulis novel sepertimu. Bahkan menulis memo untuk belanjaan saja aku tidak bisa."

"Bukan itu maksudku." Mr. Regan menyeringai. Ada jeda sejenak sebelum aku melihat Mr. Regan bergerak menghampiri pintu dan menguncinya. Lantas tanpa aba-aba, ia menarik pergelangan tanganku ke ranjang, dan mendudukkanku di sana. Mr. Regan memegang pundakku dan berbicara sangat dekat. "Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk menggunakanmu," bisiknya. 

Aku memperhatikan kedua bola mata Mr. Regan bergantian. 

Dan tak sempat bertanya apa maksud ucapannya, Mr. Regan bergerak menangkup kedua pipiku lantas menciumku sambil mendorongku sampai berbaring di ranjang. 

Aku masih bingung. Serbuan pertanyaan menghampiriku saat ini. 

Aku mendorong sedikit dada Mr. Regan hingga pria itu menatapku dengan jarak yang sangat dekat. "Apa maksudmu dengan menggunakanku?" tanyaku. 

Hanya sedikit yang mampu kucerna dari ucapan itu, yakni, apakah Mr. Regan menggunakanku sebagai inspirasinya?

Mr. Regan tak menjawab. Pria itu berlutut di kasur sambil membuka satu persatu pakaian yang kukenakan. Malam semakin larut kala kulihat pekatnya kegelapan di luar jendela, di mana lampunya sudah akan mati, dan musik jazz klasik yang terputar dari gromofon  terdengar samar di lantai bawah. Entah siapa yang menyalakannya, tetapi hal itu seakan berhasil membuat fantasi Mr. Regan semakin menjadi-jadi. 

Mr. Regan telah berhasil membuka pakaiannya, lalu dia menunduk kembali untuk menciumku yang hanya bisa pasrah. Aku membuka matanya sambil melihat langit-langit kamar  ketika Mr. Regan pun terus menciumiku.

"G-gaunku!" pekikku spontan karena dia merobeknya begitu saja.  

Mr. Regan berhenti sejenak. "Akan aku ganti dengan yang lebih bagus."

“Tapi itu gaun mahal. Aku membelinya susah payah." Aku menggerutu. 

Tapi Mr. Regan tak peduli. Ia mencumbuku. Seperti Mr. Regan tahu apa yang aku inginkan selama ini darinya. Kami melakukannya. Mr. Regan memberikanku pengalaman bercinta untuk pertama kali dan aku tak akan melupakannya karena ini sangat luar biasa. Setelah kegiatan itu usai, aku menoleh pada Mr. Regan yang sudah memejam mata, tampak sudah akan tertidur. Maka aku melakukan hal yang sama, aku mendekat pada Mr. Regan dan meraih lengannya untuk dijadikan bantal. 

Bersyukur Mr. Regan tak keberatan. Sebelum terlelap, aku meraih selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami. Dan memegang dada Mr. Regan, menempatkan telingaku di sana agar aku dapat mendengar degup jantungnya sebagai nyanyian pengantar tidur paling indah yang pernah kudengar. 

***

Aku terbangun pukul enam pagi. Kudengar suara burung berkicau, dan langit berkabut di luar jendela. 

Sosok Mr. Regan sudah tak lagi di sampingku ketika aku benar-benar sudah berhasil mengumpulkan kesadaranku.

Maka aku pun bangkit. Terduduk sebentar di pinggir ranjang, merasakan sekujur tubuhku terasa nyeri kala digerakkan. Aku  melihat meja kerja Mr. Regan. Laptopnya menyala, membuatku mengernyit bingung. 

Aku meraih selimut untuk dibalutkan di tubuh telanjangku, sementara aku berjalan mendekati meja kerja Mr. Regan. Aku melihat-lihat meja itu sebentar, sebelum ragu-ragu mengintip layar Laptop di mana di sana terdapat rangkaian kalimat-kalimat yang ditulis oleh Mr. Regan. Seluruh adegan bercinta semalam,  dituliskannya di layar ms.words, dengan beberapa baris penutup yang membuatku semakin bertanya-tanya.

Di sana tertulis,

Tubuhnya adalah kanvas dan lirihnya adalah desau angin musim semi.

Banyak sekali kupu-kupu  hinggap menggelitik tubuhku, membuatku ikut melambung tinggi. 

Dan pada malam kala aku menyentuhnya, adalah malam terakhir yang kupunya untuk melihatnya. 

Karena dia harus pergi. 

Dia  harus mati

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status