Share

Kelahiran Bayi Tampan

Pada akhirnya Adam membawa Zea kembali ke rumahnya. Setelah mendatangi dokter kandungan yang juga menyatakan Zea hamil, bahkan kehamilan Zea ternyata telah memasuki bulan ke lima. Pantas saja baby bum Zea sudah terlihat, hanya saja ia tidak mengalami apa-apa yang biasa dialami wanita hamil pada umumnya. Hal itulah yang membuat Zea tidak menyadari kehamilannya.

Seandainya saja ia menyadari kehamilannya lebih dulu, mungkin tak akan ada kejadian yang menyakiti itu. Zea dan Ruan pasti sudah berbahagia akan kehamilan yang sudah dinanti-nantikan dalam tiga tahun pernikahan mereka. Namun, kini semuanya seakan percuma saja, hanya Zea saja yang mengetahui hal kehamilan itu.

"Kau jangan berdiam diri saja, enak saja jika kau tidak melakukan apa pun di rumah ini," ucap kasar ibunya Adam.

"Ibu, apakah boleh jika hari ini aku tidak melakukan apa pun. Perutku sakit sekali," sahut Zea sedikit merintih.

"Kau jangan berpura-pura dan itu hanya alasanmu untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah!" Ibunya Adam tak mempercayai keluh Zea, bahkan lebih kearah tidak peduli.

Ya, hari demi hari bahkan beberapa bulan terlewati tinggal di rumah Adam, tentu kehamilan Zea semakin membesar. Sudah sampai saat ini pun, Zea masih belum memberi tahu pada Ruan. Rasa sakit dan hancur hatinya mengalahkannya dari memberi kabar itu. Entah bagaimana dengan Ruan di sana.

"Aakkh!"

Tak tahan dengan rasa sakit yang semakin menjadi, Zea akhirnya berteriak juga sambil memegang bagian bawah perutnya yang membuncit besar. Tentu saja rasa sakit itu karena bayi dalam kandungan Zea memberontak ingin keluar.

"Hey, apa kau akan melahirkan? Menyusahkan saja! Kau bukan siapa-siapa di sini, pergilah sendiri ke rumah sakit!" sungguh tega, ibunya Adam berkata seperti itu.

"Ibu, aku tidak kuat untuk berjalan. Apa kau bisa menghubungi Adam? Aku membutuhkan bantuannya," mohon Zea berucap dengan sedikit meringis menahan sakitnya.

"Hey, enak saja kau ini. Adam bukan suamimu, kau juga bukan saudaranya untuk apa Adam ke rumah sakit membawamu melahirkan!" Ibunya Adam malah memarahi Zea.

Zea tak kuat lagi untuk menimpali ucapan ibunya Adam. Rasa sakit itu begitu kuat, juga membuat pucat wajahnya. Peluh keringat di dahinya mulai membasahi. Zea sungguh sudah sangat kesakitan.

"Ough!" ringis Zea.

Zea berusaha melangkah untuk mencoba ke rumah sakit sendiri, sementara ibunya Adam hanya diam memperhatikan Zea tanpa rasa iba. Seharusnya ia tidak tega dengan hal itu, bukankah ia juga pernah merasakan bagaimana rasanya akan melahirkan.

Suara deru mesin mobil terdengar walaupun sangat lembut suaranya. Ibunya Adam tahu bahwa yang datang itu adalah sopir taksi Adam, putranya. Cepat-cepat ia menghampiri Zea untuk berakting.

"Hey, aku akan mengantarmu ke rumah sakit," ucapnya sedikit berbisik. Zea hanya terdiam.

Adam memasuki rumah, dan langsung melihat Zea yang sedang dipapah ibunya Adam. Sontak saja ia melihat keadaan Zea yang masih seperti tadi. Segera saja ia berhambur menghampiri Zea.

"Kau, kau kenapa?" katanya dengan panik.

"Adam, dia akan melahirkan. Bawa dia ke Rumah Sakit," titah ibunya Adam seolah peduli.

"Me-melahirkan?! Jadi, seperti ini akan melahirkan?" tanya Adam tak mengerti.

"Iya, Adam," jawab ibunya Adam.

"Adam, tolong aku," rintih Zea, sudah tidak kuat.

"I-iya." Adam berucap dengan gelagapan, baru kali ini ia melihat wanita yang akan melahirkan.

Adam membantu memapah Zea, Ia terlihat sangat khawatir dan panik. Tak seperti ibunya yang memasang wajah tak suka jika tanpa pandangan Adam. Namun ketika Adam melihat pada ibunya sebagai ungkapan rasa khawatirnya, agar ibunya merespon dan memberi tahu apa yang harus dilakukannya. Ibunya Adam cepat merubah mimik wajahnya menunjukkan rasa khawatir tanpa berkata apa-apa sebagai solusi untuk Adam.

"Aku akan menggendongmu." Adam menggendong Zea agar lebih cepat. Sungguh hal yang membuat ibunya cemberut.

Meski dalam kepanikan, tetapi Adam bergerak pasti dan cekatan membawa Zea ke mobil dengan menggendongnya, menyetir mobil dengan cepat namun aman, sehingga sampai di Rumah sakit pun dengan tepat waktu dan aman. Itulah betapa pedulinya Adam.

Tindakan Adam benar-benar tepat waktu. Tak lama masuk ruang persalinan, Zea melahirkan bayi laki-laki. Entah mengapa, Adam merasa bahagia dan lega akan hal itu. Senyum Adam begitu lepas dan tulus turut merasa bahagia. Jangan tanya bagaimana dengan ibunya Adam, sudah dapat dipastikan dia bukan orang yang bahagia saat ini.

"Selamat, bayi tampanmu telah lahir," ucap Adam haru.

"Terima kasih, Adam. Ini semua karena bantuanmu," timpal Zea.

Bayi Zea lahir dengan sempurna, wajahnya putih dan tampan. Zea tahu wajah siapa yang dibawa bayi itu, tentu wajah Ruan sebagai sang papa. Begitu pula dengan Adam, ia sudah menduga bayi itu menyerupai wajah ayah bayi itu secara tidak ada kemiripan dari wajah Zea.

"Apa seperti ini wajah papanya?" tanya Adam.

"Iya, Adam. Dia sangat mirip ayahnya," jawab Zea.

"Tampan sekali," puji Adam.

Zea dan Adam saling tersenyum bahagia atas kelahiran bayi itu. Hal itu tak berlaku bagi ibunya Adam. Dia bahkan melihat sinis pada bayi itu, meski tanpa berkata.

"Kau akan memberitahu suamimu tentang hal ini?" tanya Adam.

"Tidak! Bayi ini hanya milikku!" tandas Zea, tak bermaksud marah pada Adam. Namun, Zea masih begitu kesal pada suaminya.

Bayi yang sehat serta keadaan Zea yang juga pulih dengan cepat membuat Zea hanya sehari saja di rumah sakit itu. Ia dan bayinya kembali pulang ke rumah Adam. Suatu hal yang sangat dibenci ibunya Adam.

Hari-hari bahagia Zea atas kelahiran bayinya hilang seketika. Ibunya Adam selalu menunjukkan rasa bencinya. Lebih parahnya ketika tiada Adam yang dalam bekerja.

"Aku sangat membencimu dan bayi laki-lakimu itu. Kuharap kau pergi saja dari rumahku ini! Aku sudah tidak bisa menahan lagi, kau selalu merebut perhatian putraku!" omelnya pada Zea yang tengah bermain dengan bayinya.

Ucapan ibunya Adam tentu sangat melukai hati Zea. Ia berpikir itu adalah ungkapan seseorang yang mengusir. Ya, ibunya Adam secara langsung mengusir Zea.

"Ibu, aku akan pergi dari sini, tetapi aku akan berpamitan dulu pada Adam," ucap Zea.

"Tidak perlu! Kau punya suami, kau datangi suamimu dan katakan itu bayi kalian. Aku sudah muak, selalu saja Adam yang kau repotkan!" marahnya dahsyat.

Seperti tertampar wajahnya, ucapan ibunya Adam menyadarkan Zea bahwa selama ini ia memang selalu merepotkan Adam saja. Zea membenarkan juga tentang pengusiran ibunya Adam. Ia juga membenarkan juga, ia tidak perlu berpamitan pada Adam yang mungkin akan mencegahnya untuk pergi setelah pamitnya.

Berjalan waktu cukup lama di kediaman Adam, membuat Zea memiliki beberapa baju lain selain baju yang ia pakai ketika baru datang. Beberapa baju itu adalah pemberian Adam. Ia membawa serta baju itu dan beberapa baju bayi pemberian Adam juga.

"Ibu aku pergi, semoga kau dan Adam sehat selalu," pamit Zea.

"Ya, cepatlah kau pergi!" sambut ibunya Adam ketus.

Zea benar-benar pergi dari rumah Adam sebelum Adam pulang. Ia masih belum tahu harus pergi kemana, sementara ia tetap tidak ingin kembali pada Ruan.

Dalam kebingungannya, bayinya menangis. Zea berhenti dari perjalanannya, ia mencari tempat aman dan terhalang dari orang-orang untuk memberi ASI pada bayinya.

Tempat itu sudah ia temukan dan bayinya sudah dalam pemberian ASI-nya. Bayi itu kemudian tertidur pulas setelah merasa kenyang akan ASI eksklusif Zea. Barulah Zea teringat akan cincin pernikahannya yang ia lepas setelah beberapa hari tinggal di rumah Adam lalu disimpannya di dalam tas selempangnya.

Zea mendatangi toko perhiasan untuk menjual cincin itu. Ia merasa sudah tidak ada cinta dalam cincin itu. Cincin yang sebenarnya ingin ia pertahankan sampai akhir hidupnya, tapi karena perselingkuhan itu untuk apa cincin itu masih dipegangnya, begitu pikirnya.

"Pak apa kau tahu wanita ini? Aku sudah mencarinya sangat lama, tetapi aku belum menemukannya,"

Samar-samar Zea mendengar suara seseorang bertanya, berjarak beberapa langkah kira-kira. Ia mengenali suara orang itu, sangat mengenali. Buru-buru saja ia menoleh ke belakang. Namun, ketika Zea melihat orang itu sudah pergi setelah mendapat jawaban dengan gelengan kepala dari orang yang ditanyanya.

"Zea!" panggil Adam.

"Adam!" kaget Zea ketika ia berbalik badan lagi.

"Akhirnya aku menemukanmu juga! Aku sudah memarahi ibuku yang sudah mengusirmu! Tadinya ibuku tidak mengakui, tapi setelah aku mendesaknya barulah ibuku mengakui," ungkap Adam dengan membara.

"Zea, katakan apa selama ini ibuku tidak baik padamu?" Adam baru menyadari hal itu.

"Tidak, Adam. Jangan menyalahkan apa pun kepada ibumu. Dia ibu yang baik, dia tidak ingin kau meninggalkannya, itu saja." Zea berusaha agar tidak menjadi kemarahan yang lebih dari Adam untuk ibunya sendiri.

"Baiklah, sekarang bagaimana? Kau akan tinggal di mana?" tanya Adam khawatir.

"Aku baru saja menjual cincin pernikahanku, Adam. Ya, kurasa cincin ini memang pantas untuk dijual," jawab Zea. Adam hanya terdiam tak bisa berkata apa-apa soal itu.

Cincin pernikahannya berharga fantastis, sebenarnya. Sayangnya Zea tidak membawa surat-suratnya, sehingga penjualan cincin berharga rendah. Mau tak mau Zea menerimanya. Walaupun demikian, uang hasil penjualan cincin itu cukup untuk biaya hidup dirinya dan bayinya mungkin selama dua tahun.

Hal pertama yang Zea lakukan setelah cukup uang di tangannya adalah mencari tempat tinggal. Ia harus segera mencari tempat tinggal yang nyaman untuk bayinya terutama. Beruntung, Zea melihat sebuah papan kecil yang bertuliskan promosi sebuah rumah kontrakan.

"Biar aku yang menanyakannya," tawar Adam.

"Permisi, apa Ibu tahu pemilik rumah kontrakan itu?" tanya Adam lalu menunjuk pada papan iklan itu, pada seorang ibu yang tengah lewat.

"Oh, rumah kontrakan itu milik Bu Sindy. Rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakan itu," jawab ibu yang ditanya Adam setelah sejenak melihat Adam lalu melihat Zea yang berdiri agak jauh.

"Terima kasih, Bu. Kami akan menemui Bu Sindy," ucap Adam terselingi senyuman.

Ibu tersebut melanjutkan langkahnya, Adam dan Zea berlanjut menuju rumah yang tadi ditunjukkan. Jarak yang tak jauh dari rumah kontrakan yang berpapan iklan itu ke rumah pemiliknya, membuat mereka tidak kesulitan mencari-cari lagi. Rumah itu sudah di depan mata Zea kini.

Tiba-tiba ponsel Adam berdering, ia mendapat panggilan dari pelanggan khususnya yang memakai jasa antar jemputnya agar tidak kerepotan mencari-cari taksi lain.

"Zea aku harus pergi, kau tidak apa-apa sendiri? Nanti aku datang lagi ke sini," pamit Adam tak rela sebenarnya.

"Iya, Adam. Pergilah," balas Zea mengikhlaskan Adam tak menemaninya lagi. Ia juga merasa Adam sudah terlalu baik padanya.

Adam telah meninggalkan Zea, tetapi ia mengatakan akan kembali lagi. Zea sendirian mendatangi pemilik rumah kontrakan itu. Ia berharap semoga tidak ada masalah jika ia membawa seorang bayi tanpa suami mendampinginya.

"Silakan, aku sangat senang sekali. Kebetulan memang belum ada yang masuk," ucap Bu Sindy si pemilik rumah kontrakan.

Pembayaran untuk satu bulan telah diberikan Zea kepada pemilik rumah kontrakan itu. Mulai saat ini Zea berhak untuk menempati rumah itu sesuai pembayaran dan jangkarnya.

"Semoga bayi kecilmu ini nyaman tinggal di sini! Bersabarlah atas suamimu," ucapnya setelah memberikan kunci. Zea menyambut dengan senyum dan anggukan.

Sang pemilik rumah kontrakan memang sempat bertanya tentang suami Zea yang kemudian dijelaskannya sekedarnya saja. Syukurnya ia mengerti dan memaklumi keadaan Zea tanpa menuntut penjelasan lebih jelas. Dari melihat penampilan Zea, ia sudah memastikan Zea bukanlah seorang wanita yang memiliki anak diluar nikah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status