Share

Ponsel Sebagai Jaminan

"Hey, kau. Kemarilah!" ajak Adam begitu ia melihat Zea.

"Ha! Eh! Aku?" Zea terkejut, tak menyangka Adam sudah melihatnya, sedang ia dalam keadaan berpikir dan tak terfokus.

Adam melangkah mendekati Zea, lalu mengajak Zea untuk lebih masuk ke dalam ruang dapur itu. Ia akan mengajak Zea turut makan bersama. Sementara ibunya Adam terlihat cemberut.

"Kami memang tidak memiliki meja makan, jadi kita makan di lantai saja," ucap Adam sudah membawa Zea ke dalam ruang dapur.

"Kau bisa membantu ibuku untuk meletakkannya di bawah, aku akan mencuci tanganku dulu," lanjut Adam sambil melangkah ke wastafel.

"Ya, baiklah," balas Zea.

Zea mulai menurunkan satu menu ke lantai. Adam dan ibunya memang terbiasa seperti itu, rumah mereka memang teramat sederhana. Ibunya Adam kemudian melihat tajam pada Zea.

"Ku harap kau tidak mengatakan bahwa kau yang memasak," bisiknya pelan sekali, tepat ke wajah Zea.

Zea tak menyahut, ucapan dengan berbisik itu malah membuatnya bertambah keheranan. Apa yang membuat ibu itu melakukan kebohongan untuk putranya sendiri dan apa tujuannya. Apakah itu baik untuk putranya, sampai-sampai ia mau melakukan hal itu.

"Ini lezat sekali, Bu. Tidak seperti biasanya," ucapnya kagum.

"Jadi maksudmu kemarin-kemarin masakan ibu tidak lezat?" sahut ibunya Adam balik bertanya dan cemberut.

"Bukan begitu maksudku, Bu." Adam menjadi panik, ketakutan ibunya tersinggung.

"Mm, maaf sebaiknya kita tidak berdebat disaat makan," ucap Zea menengahi.

"Ya, kau benar." Adam menyetujui ucapan Zea.

"Maafkan aku, Bu. Masakanmu selalu yang terlezat! Tapi bukan berarti Ibu akan memasak lagi setelah ini, Ibu harus tetap beristirahat," lanjutnya tegas. Ibunya Adam hanya terdiam lalu melihat kepada Zea.

Hanya pulang untuk makan siang, Adam harus kembali lagi bekerja. Ia bahkan belum memenuhi uang setoran kepada bosnya atas taksinya. Jam kerjanya sudah terpotong karena membantu Zea tadi.

Ketika Adam beranjak untuk pergi, ibunya kemudian memanggil lalu menghampirinya. Zea yang tertinggal untuk menghampiri Adam itu terdiam, tak ingin mengetahui itu untuk urusan apa. Walaupun Zea sedikit mencurigai itu berhubungan dengan dirinya.

"Sebaiknya kau ajak saja wanita itu pergi. Ibu tidak ingin ada yang berpikir dia itu istrimu sedangkan dia sudah bersuami, bukan?" bujuknya. Adam melihat pada Zea.

"Baiklah, Bu." Adam melangkah ke arah Zea.

Zea melihat pada Adam sampai pria berwajah tampan itu kini sudah ada di depannya. Ia sudah yakin pria itu akan menuruti permintaan ibunya walaupun ia belum tahu apa itu.

"Kau, siapa namamu tadi?" tanya Adam.

"Zea," jawab Zea singkat.

"Aku akan mengantarmu pulang," ucap Adam.

Dari belakang Adam, tampak ibunya tersenyum senang. Dia berpikir kehadiran Zea hanya sesaat saja menjadi penghalangnya. Ibu yang hanya memiliki satu anak dan suami yang telah tiada itu benar-benar tidak menginginkan adanya wanita dalam hidup putranya itu.

Sudah berada di samping mobil taksi Adam, Zea masih belum siap untuk pulang sebenarnya. Ia tak ingin bertemu dengan suaminya, sanak saudara pun ia tak punya. Ia hanya sebatang kara di dunia ini. Menikah dengan Ruan itu karena sebuah kebaikan dilakukannya yang membuat Ruan jatuh cinta. Pernikahan dan restu dari keluarga Ruan pun terjadi tak lama setelah itu.

"Ponselmu!" Adam mengulurkan ponsel milik Zea.

"Tidak, aku belum bisa mengganti uangmu," sahut Zea.

"Memangnya kau tidak ingin menghubungi suamimu? Atau barangkali suamimu sudah menghubungimu berkali-kali."

Zea terdiam melihat pada ponselnya yang masih diulurkan Adam. Ia menggunakan ponselnya itu untuk jaminan atas biaya ke klinik tadi sementara Zea tidak membawa uang lebih. Akhirnya Adam yang mengeluarkan uangnya untuk hal itu, tetapi Zea tidak ingin berhutang. Jadi, ia memberikan ponselnya untuk jaminan dan akan diambil kembali jika sudah mengganti uang yang dikeluarkan Adam yang memang tak banyak sebenarnya.

Ponselnya itu dalam keadaan tidak aktif. Adam yang memintanya, karena tak ingin terganggu dengan panggilan atau pesan chat yang bukan untuknya. Namun, kini Adam merasa tidak enak jika itu hanya akan membuat Zea tak bisa menghubungi atau dihubungi suaminya.

"Untuk apa? Dia tidak akan menghubungiku," tolak Zea.

"Lalu aku akan mengantarmu kemana?" tanya Adam. Zea menggeleng pelan.

Zea belum menceritakan apa yang terjadi tadi. Namun, saat mengigau di klinik tadi Adam bisa menduga jika suami wanita yang ada di depannya itu berselingkuh. Ia menjadi serba salah, tak tega tetapi ia juga harus bekerja.

"Kau tidak mencoba untuk berbicara baik-baik dengannya?" Adam berharap Zea menerima sarannya.

"Hey! Tunggu! Dokter tadi bilang kau hamil, apa suamimu tidak peduli … atau dia memang belum tahu? Secara kau sendiri belum menyadarinya juga, kan?"

Zea sedikit terperanjat juga dengan ucapan Adam yang ini. Iya, dia juga baru ingat lagi dengan apa yang dikatakan Dokter tadi. Ia dinyatakan hamil, sementara ia sendiri tidak tahu kalau dia hamil. Zea juga tidak merasakan apa yang biasa terjadi pada wanita hamil.

"Ya, kau benar! Aku harus mengetahui apa aku benar-benar hamil," ucap Zea dengan terkejutnya.

"Kau … maukah kau membantuku untuk itu? Kau … kau bisa memakai ponselku sebagai bayarannya atau kau akan menjual dan mengambil uangnya, itu pun bisa kau lakukan." Zea memohon pada Adam sambil memegang tangan Adam juga mengguncang-guncangnya.

"Ku mohon!" Zea memohon lagi dengan mengatupkan kedua tangannya.

"Ya, ya, baiklah." Adam menuruti juga setelah sejenak melihat pada ponsel Zea yang memang terbilang mahal.

Zea masuk ke dalam mobil taksi Adam dengan segera. Ia sudah sangat ingin mengetahui apakah ia benar-benar hamil. Kehamilan yang sudah sangat dinanti-nanti selama tiga tahun pernikahannya.

Dalam mobil itu, perlahan Zea memegang perutnya. Ia memang menyadari bahwa bentuk perutnya memang ada perubahan. Tadinya ia berpikir itu karena ia mulai banyak makan sehingga membuat perutnya sedikit membuncit. Ia baru menyadari hal itu satu minggu lalu. Ia bahkan berniat untuk melakukan diet setelah melihat bentuk perutnya.

Adam melirik Zea dari kaca spion atas. Zea masih berposisi seperti tadi, memegang perutnya dan memikirkan hal-hal yang terjadi belakangan kemarin-kemarin. Rasa kasihan pada Zea kembali menyerangnya.

Adam melihat lagi pada ponsel Zea, dia tidak akan setega itu memanfaatkan kesulitan seseorang. Ia berpikir, biarlah ponsel itu bersamanya dahulu baru kemudian ia akan berikan jika wanita itu membutuhkan.

"Kau yakin ponsel ini untukku? ini ponsel dengan harga yang sangat mahal. Jika aku menjualnya aku bisa membeli dua ponsel baru dengan harga dibawahnya," pancing Adam.

"Aku sudah tidak membutuhkan ponsel itu! sudah ku katakan, tidak ada lagi yang bisa kuhubungi dengan ponsel itu," balas Zea.

"Oke, baiklah." Adam melajukan mobil taksinya dengan yakinnya kemudian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status